Putu Devi Yustisia Utami
Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail : Deviyustisia27@gmail.com

Published : 31 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 31 Documents
Search

Perseroan Perorangan Pada Usaha Mikro dan Kecil: Kedudukan dan Tanggung Jawab Organ Perseroan Putu Devi Yustisia Utami; Kadek Agus Sudiarawan
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 10 No 4 (2021)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2021.v10.i04.p08

Abstract

The purpose of this article was to determine the position of company organs and to analyze the authority and responsibility of company organs in Individual Limited Liability Company. This study used a normative juridical method with a statutory and concept approach. The study indicated that the position of the company's organs in Individual Limited Liability Company is different from the Limited Liability Company organs. The organs of Limited Liability Company consist of the General Meeting Shareholders (GMS), Board of Directors and the Board of Commissioners, while the organs of the Individual Limited Liability Company consist of Shareholders as well as Directors and doesn’t have Board of Commissioners. The authority and responsibility of the Individual Limited Liability Company organs can be seen in the provisions of article 109 number (5) of the Job Creation Law which includes articles 153 letter d and 153 letter j. Individual Limited Liability Company in Indonesia adhere to the one tier system, but there are differences between the one tier system in Indonesia and the Anglo Saxon countries. The company's organs in Anglo Saxon countries still consist of the GMS, Directors and Commissioners who can hold concurrent positions, whereas in Individual Limited Liability Company in Indonesia, shareholders only hold concurrent positions. as the Board of Directors and eliminate the organs of the Board of Commissioners. Individual Company Organs in PP No. 8/2021 is not in accordance with the provisions of the company organs in the above regulations, namely the Job Creation Law and the Company Law. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan organ perseroan pada perseroan perorangan serta menganalisis wewenang dan tanggung jawab organ perseroan perorangan. Metode hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep dipergunakan dalam penelitian ini. Hasil menunjukkan bahwa kedudukan organ perseroan pada perseroan perorangan berbeda dengan organ PT pada umumnya. Organ PT terdiri dari RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris, sedangkan organ perseroan perorangan terdiri dari Pemegang Saham sekaligus Direktur namun tidak memiliki organ Dewan Komisaris. Wewenang dan tanggung jawab organ perseroan perorangan dapat dilihat pada ketentuan pasal 109 angka (5) UU Cipta Kerja yang menyisipkan pasal 153 huruf d dan 153 huruf j. Perseroan perorangan di Indonesia menganut one tier system, namun terdapat perbedaan mengenai one tier system yang dianut oleh Indonesia dengan yang dianut oleh negara Anglo Saxon. Pada negara Anglo Saxon organ perseroan tetap terdiri dari RUPS, Direksi dan Komisaris yang dapat dirangkap jabatan, sedangkan pada perseroan perorangan di Indonesia pemegang saham hanya merangkap jabatan sebagai Direksi dan tidak ada organ Dewan Komisaris. Organ perseroan perorangan pada PP No. 8/2021 tidak sesuai dengan ketentuan organ perseroan pada peraturan diatasnya yakni UU Cipta Kerja dan UUPT.
PENGATURAN PENDAFTARAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM MELALUI SISTEM ADMINISTRASI BADAN USAHA Yustisia Utami, Putu Devi
Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Vol 6, No 1 (2020): Februari, Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jkh.v6i1.23432

Abstract

Istilah Perseroan Komanditer, Firma dan Persekutuan Perdata sudah tidak asing lagi bagi kita. Dasar hukum pendirian CV, Firma dan Persekutuan Perdata adalah berdasarkan KUHD dan KUHPerdata. Berdasarkan pasal 23 KUHD, pendaftaran pendirian CV, Firma dan Persekutuan Perdata dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Akan tetapi, saat ini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pendaftaran CV, Firma dan Persekutuan Perdata dimana pendaftarannya mirip dengan pendaftaran badan usaha berbadan hukum yaitu dilakukan kepada Menteri melalui Sistem Administrasi Badan Usaha (SABU) secara online. Ini menyebabkan adanya ketidaksesuaian norma mengenai pendaftaran pendirian badan usaha bukan badan hukum. Berdasarkan paparan tersebut penulis menemukan permasalahan yaitu Bagaimanakah pengaturan mengenai badan usaha bukan badan hukum dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia dan Apa akibat hukum bagi badan usaha bukan badan hukum yang berdiri sebelum berlakunya Permenkumham No. 17 tahun 2018 yang tidak mendaftarkan dirinya pada Sistem Administrasi Badan Usaha (SABU). Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang- undangan (Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep (Analytical Concept Approach). Kesimpulannya adalah berdasarkan asas lex posterior derograt legi priori, dalam hal terjadi dualisme pengaturan pendaftaran CV, Firma dan Persekutuan Perdata, ketentuan hukum yang dipergunakan adalah KUHD dan KUHPerdata.
PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM SISTEM PEER TO PEER LENDING luh sarini; Putu Devi Yustisia Utami
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (223.795 KB) | DOI: 10.24843/KS.2020.v09.i01.p05

Abstract

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memahami hubungan setiap pihak pada sistem Peer to Peer Lending secara hukum serta menganalisis pengaturan penyelesaian sengketa pada sistem Peer to Peer Lending. Metode pada penelitian ini yaitu penelitian yuridis normatif dengan mempergunakan pendekatan perundang-undangan dalam menganalisis isu hukum yang sumber hukumnya berasal dari bahan hukum primer, sekunder, serta tersier. Hasil pada penulisan ini menunjukkan bahwa belum terdapat pengaturan secara khusus terkait penyelesaian sengketa dalam sistem Peer to Peer Lending. Sengketa pada sistem tersebut membutuhkan proses penyelesaian sengketa yang cepat, mudah, serta terjangkau sehingga perlu dibentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa online yang khususnya menangani sengketa bisnis dengan sistem Peer to Peer Lending. This study aims to understand the relationship of each party in the Peer to Peer Lending system legally and to analyze dispute resolution arrangements in the Peer to Peer Lending system. The method in this research is normative juridical research using a statutory approach in analyzing legal issues whose sources of law come from primary, secondary and tertiary legal materials. The results of this paper indicate that there is no specific arrangement regarding dispute resolution in the Peer to Peer Lending system. Disputes in this system require a dispute resolution process that is fast, easy, and affordable, so it is necessary to establish an alternative online Dispute Resolution Institute which specifically handles business disputes with the Peer to Peer Lending system.
TATA CARA YAYASAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM MENANGANI TRANSAKSI FINTECH ILLEGAL DI KOTA DENPASAR Febripuspa Surya Candra; Putu Devi Yustisia Utami
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 9 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (386.443 KB) | DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i09.p09

Abstract

Penelitian dalam tulisan ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam mengenai tata cara Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) dalam hal menangani atau melindungi konsumen (pembeli) terhadap perlakuan pelaku usaha yang menyimpang dalam transaksi Fintech Illegal di Kota Denpasar. Metode yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode hukum penelitian empiris. Adapun hasil dari penelitian ini ialah dimana Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali sudah memberikan perlindungan hukum secara maksimal terhadap konsumen yang merasa dirugikan terhadap kasus fintech illegal yakni diantaranya dengan cara melakukan kerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan juga dari pihak kepolisian, selain itu YLPK sendiri membantu mendampingi konsumen tersebut untuk mendapatkan hak-haknya dalam hukum seperti dalam penyelesaian kasusnya yang diproses oleh pihak kepolisian, kemudian memberikan bantuan berupa konsultasi hukum, dan juga memberikan informasi mengenai tindakan hukum yang tepat yang dapat konsumen tersebut laksanakan selama proses penggugatan maupun proses pengadilan dalam perihal kasus penipuan transaksi finctech illegal, serta pihak YLPK juga wajib bisa meminimalisir hambatan dana keuangan yang dialaminya dengan cara mengajukan proposal terhadap pemerintah demi kelancaran bantuan hukum terhadap konsumen. The research in this paper aims to find out deeper about the procedures for the Indonesian Consumer Protection Organization (YLPK) in terms of handling or protecting consumers (buyers) against deviant treatment of business actors in Illegal Fintech transactions in Denpasar City. The method used by the author in this study is the legal method of empirical research. The result of this research is that the Bali’s Indonesian Consumer Protection Organization (YLPK) has provided maximum legal protection for consumers who feel disadvantaged by illegal fintech cases, including by collaborating with the Financial Services Authority of Indonesia (OJK) and also the police. Besides, YLPK itself helps assist these consumers to obtain their rights under the law, such as in resolving their cases processed by the police, then providing assistance in the form of legal consultation, and also providing information regarding appropriate legal actions that consumers can carry out during the lawsuit process or the court process concerning fraud cases of illegal fintech transaction, and YLPK is also required to minimize the financial constraints the organization experiences by submitting a proposal to the government for the smooth running of legal assistance to consumers.
PERTANGGUNGJAWABAN BANK KEPADA NASABAH BILAMANA MENGALAMI LIKUIDASI Gusti Ayu Mirah Febriary Adhyaksa; Putu Devi Yustisia Utami
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 5 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (187.849 KB) | DOI: 10.24843/KS.2022.v10.i05.p02

Abstract

Penulisan artikel memiliki maksud guna dapat mengetahui pengaturan terkait dengan bank yang diliikuidasi pada sistem hukum di Indonesia dan untuk mengetahui pertanggungjawaban pihak bank kepada nasabah bilamana mengalami likuidasi. Adapun yang dipergunakan sebagai metode metode untuk mengkaji artikel ini yaitu metode penelitian hukum normatif. Dalam metode penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendeketan konseptual sebagai suatu cara untuk memecahkan masalah berdasarkan bahan hukum yang didapatkan dan dianalisis dengan teknik deskripsi kualitatif. Setelah dikaji maka didapatkan hasil bahwa pengaturan terkait dengan likuidasi bank dalam sistem perbankan di Indonesia sebenarnya sudah diatur. Hal tersebut dapat dilihat pada UU Perbankan, UU LPS, Peraturan Pemeriintah Nomor 25 Tahun 1999 dan ketentuan lainnya. Dasarnya dalam ketetapan tersebut memuat hal yang sama yaitu bahwa likuidasi merupakan akhir dari kegagalan bank. Dalam hal bank mengalami likuidasi, maka bank harus mengembalikan simpanan yang dimiliki oleh nasabah. Bilamana aset yang dimiliki bank tidak mencukupi, maka komisaris, direksi dan pemegang saham bisa diminta pertanggungjawabannya untuk memenuhi kewajiban dari bank tersebut. The purpose of this research is to find out what arrangements currently exist in relation to the liquidation of banks in the banking system in Indonesia and to determine the accountability of the bank to its customers when it goes into liquidation. The method used in reviewing this research is the normative legal research method. Which in this normative legal research method uses a statutory approach and a conceptual approach as a way to solve problems from the data obtained. Regulations related to bank liquidation in the banking system in Indonesia have actually been regulated. This can be seen in the Banking Law, LPS Law, Government Regulation Number 25 of 1999 and other provisions. Basically, the provisions contain the same thing, namely that liquidation is the end of bank failure. In the event that the bank goes into liquidation, the bank must return the deposits held by the customer. If the assets owned by the bank are not sufficient, then the members of the board of directors, commissioners and shareholders can be held accountable for fulfilling the obligations of the bank.
KAJIAN YURIDIS AGUNAN YANG DIAMBIL ALIH (AYDA) OLEH BANK Putu Devi Yustisia Utami
Kerta Dyatmika Vol 16 No 2 (2019): Kerta Dyatmika
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Dwijendra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (536.659 KB) | DOI: 10.46650/kd.16.2.739.69-77

Abstract

Banks in providing credit to community always prioritize the principle of prudence, however, any credit that has been provided by the bank has a risk. To minimize the risk of non performing loan by the debtor, banks often require collaterals. The collaterals submitted by the debtor is mostly in the form of land rights which is then be charged to the Encumbrance Right. When the debtor can’t pay the credit, the bank can execute the encumbrace right certificate of the collateral. However, in the fact that the execution of the encumbrance rights is not as easy as imagined, there are many obstacles that occur, so the bank tries to find other alternatives for the settlement of non performing loan with the Foreclosed Collateral (AYDA) process. In this study the author tries to examine the settlement of non performing loan by the Foreclosed Collateral (AYDA) process in terms of Law On Encumbrance Right. The conclusion in this study is, that the settlement of non performing loans through Foreclosed Collateral (AYDA) process as regulated in article 12 A of the Banking Law has violated the provisions of articles 12 and 20 of the Law On Encumbrance Right.This type of research is a normative legal research with a statutory approach and a legal concept analysis approach.Keywords : non performing loan, bank, collateral, AYDA
Non Performing Loan sebagai Dampak Pandemi Covid- 19: Tinjauan Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit Perbankan Putu Devi Yustisia Utami; Dewa Gede Pradnya Yustiawan
Kertha Patrika Vol 43 No 3 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KP.2021.v43.i03.p07

Abstract

Terjadinya pandemi COVID-19 secara tidak langsung berimbas pada perekonomian nasional dan menyebabkan turunnya pendapatan masyarakat. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dunia bisnis termasuk juga pada industri jasa keuangan perbankan. Tujuan penelitian ini diantaranya untuk mengindentifikasi dampak pandemi COVID-19 terhadap sektor perbankan, untuk mengidentifikasi apakah pandemi COVID-19 dapat digolongkan sebagai suatu keadaan kahar (force majeure) yang dapat menghapuskan kewajiban kredit dan mengidentifikasi langkah-langkah penyelamatan kredit yang dilakukan oleh pihak Perbankan dalam mengatasi Non Performing Loan (NPL) akibat adanya pandemi COVID-19. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian lapangan (yuridis empiris) dengan lokasi penelitian pada bank umum milik pemerintah daerah, bank umum milik swasta dan bank perkreditan rakyat di Bali. Penelitian ini memperoleh hasil bahwa Pandemi COVID-19 berdampak bagi operasional bank, menurunnya aktivitas penyimpanan dana di bank, menurunnya pertumbuhan kredit, serta meningkatnya Non Performing Loan (NPL). Pandemi COVID-19 digolongkan sebagai force majeure relative yang tidak menghapuskan kewajiban kredit dan hanya menangguhkan kewajiban. Upaya yang dilakukan oleh pihak bank adalah restrukturisasi kredit, melakukan pemantauan dan monitoring, serta melakukan penambahan fasilitas kredit. Terdapat perbedaan implementasi antara bentuk restrukturisasi yang diatur dalam POJK dengan pelaksanaannya di lapangan.
KEDUDUKAN HUKUM GROSSE AKTA PENGAKUAN HUTANG NOTARIIL DALAM PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN Putu Devi Yustisia Utami; I Made Pasek Diantha; I Made Sarjana
Acta Comitas Vol 3 No 1 (2018)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2018.v03.i01.p15

Abstract

Untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, masyarakat kini dapat dengan mudah memanfaatkan fasilitas kredit dari berbagai lembaga keuangan baik itu lembaga keuangan bank ataupun lembaga keuangan non bank. Pemberian fasilitas kredit dari lembaga keuangan bank selalu didasari oleh perjanjian kredit dan seringkali dilanjutkan dengan pengikatan agunan dan penandatanganan Akta Pengakuan Hutang oleh debitur. Hal ini memunculkan kesan di kalangan masyarakat bahwa terdapat tiga dokumen yang berbeda menyangkut satu obyek hutang yang sama. Grosse akta pengakuan hutang yang dibuat secara notariil tunduk kepada ketentuan Undang- Undang Jabatan Notaris. Berdasarkan paparan tersebut penulis ingin mengkaji mengenai kedudukan hukum dari grosse akta pengakuan hutang disamping adanya akta perjanjian kredi notariil dan akta pengikatan jaminan. Penelitian dalam penulisan ini merupakan penelitian hukum normatif dengan jenis pendekatan berupa pendekatan perundang- undangan (Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep (Analytical Concept Approach) serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Kesimpulan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah bahwa kedudukan hukum dari grosse akta pengakuan hutang notariil hanyalah sebatas perjanjian accesoir (tambahan) yang berfungsi untuk memperkuat posisi kreditur, namun perlu dipahami bahwa grosse akta pengakuan hutang notariil haruslah berdiri sendiri dan tidak boleh dicampur adukkan dengan grosse akta hipotek atau grosse akta hak tanggungan. Kata Kunci : grosse akta, pengakuan hutang, eksekutorial.
Kenaikan Tarif Air Minum Dalam Standar Contract: Tinjauan Perlindungan Konsumen Utami, Devi Yustisia; Yustiawan, Dewa Gede Pradnya
Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Vol 6, No 2 (2020): Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jiis.v6i2.25669

Abstract

Negara memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya air di daerah Kabupaten/Kota melalui perusahaan air minum daerah. Untuk memperoleh pelayanan air minum maka masyarakat harus berlangganan air kepada perusahaan air minum. Perusahaan air minum sewaktu-waktu dapat menaikkan tarif air secara sepihak yang terkesan menimbulkan kerugian bagi pelanggan. Hal ini menarik untuk dikaji dari aspek perlindungan konsumen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan hukum yang terjadi antara perusahaan air minum dengan konsumennya dan untuk mengetahui pengaturan yuridis yang memuat aspek perlindungan konsumen atas kenaikan tarif air minum. Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian yuridis normatif yang mengkaji norma hukum dengan pendekatan perundang- undangan dan konseptual. Hasil penelitian yang diperoleh, bahwa hubungan hukum yang terjadi antara pelanggan dengan perusahaan air minum adalah hubungan contractual, dan pengaturan yuridis aspek perlindungan  konsumen atas kenaikan tarif air minum diatur dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8-1999 serta Permendagri mengenai Perhitungan dan Penetapan Air Minum No. 71-2016.
TANGGUNG JAWAB PUBLIC FIGURE ATAS MEDIA: PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN Ratu, Ida ayu Mas; Yustisia Utami, Putu Devi
Kertha Desa Vol 9 No 8 (2021)
Publisher : Kertha Desa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pengaturan hukum berkaitan dengan penyebaran informasi kepada konsumen berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK) serta mengkaji tanggung jawab public figure yang menyebarkan informasi tidak benar di media sosial berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jenis penelitian dalam studi ini mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan analisis hukum. Hasil studi menunjukkan bahwa Seorang public figure sebagai pihak yang berkedudukan sebagai jasa pengiklan suatu produk wajib untuk memberikan informasi yang benar kepada konsumen. Pengaturan penyebaran informasi kepada konsumen berkaitan dengan promosi produk telah secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 4, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 10 UU PK. Seorang public figure yang menyebarkan informasi tidak benar berkaitan dengan promosi produk melalui social media yang dapat menimbulkan kerugian konsumen dapat dituntut pertanggungjawaban berdasarkan ketentuan Pasal 45 A ayat (1) UU ITE. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Konsumen, dan Public figure ABSTRACT This study aims to identify and analyze legal arrangements relating to the dissemination of information to consumers based on the laws and regulations, namely Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK) and to examine the responsibility of public figures who disseminate false information on social media based on the Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). The type of research in this study uses a normative juridical research method with a statutory approach, a conceptual approach and a legal analysis approach. The results of the study indicate that a public figure as a party who is domiciled as an advertiser of a product is obliged to provide correct information to consumers. The regulation of information dissemination to consumers related to product promotion has been expressly regulated in the provisions of Article 4, Article 7, Article 8 and Article 10 of the UU PK. A public figure who disseminates untrue information related to product promotion through social media that can cause consumer losses can be held accountable under the provisions of Pasal 45 A ayat (1) UU ITE. Keywords: Legal Protection, Consumer, and Public figure