Sri Redjeki
Department Of Marine Science, Faculty Of Fisheries And Marine Science, Diponegoro University

Published : 66 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Kelimpahan Fitoplankton di Padang Lamun Buatan (Artificial Seagrass Bed as Phytoplankton Habitat) Ita Riniatsih; Widianingsih Widianingsih; Sri Redjeki; Hadi Endrawati
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 18, No 2 (2013): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (343.227 KB) | DOI: 10.14710/ik.ijms.18.2.84-90

Abstract

Padang lamun berperan penting dalam menjaga kelestarian berbagai jenis organism laut. Namun secara umum kondisi ekosistem lamun saat ini semakin menurun. Melalui pengembangan padang lamun buatan diharapkan dapat membantu mengembalikan fungsinya, termasuk pertumbuhan fitoplankton sebagai epifit pada salah satu orgasnime yang berasosiasi di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keberhasilan penciptaan habitat fitoplankton di padang lamun buatan. Penelitian dilakukan dengan dua model lamun buatan yang terbuat dari tali kalas, tanaman plastik berbentuk semak, dan transplantasi lamun asli jenis Enhalus acoroides serta padang lamun asli sebagai control dengan empat kali ulangan. Fitoplankton yang diperoleh selama penelitian sebanyak 30 jenis. Jenis fitoplankton yang mendominansi semua perlakuan adalah kelas Bacillariophyceae yaitu genus Nitzschia, Coscinodiscus, Bidulphia, Rhizosolenia dan Skeletonema. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton yang tertangkap terlihat berbeda di setiap sampling pengamatan. Hingga akhir pengamatan jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton tidak terlihat perbedaan antara lamun buatan dan padang lamun asli. Indeks keanekaragaman dan keseragaman fitoplankton dalam kategori sedang pada ketiga perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa padang lamun buatan sama efektifnya dengan padang lamun asli dalam menyediakan tempat untuk penempelan fitoplankton sebagai epifit serta meningkatkan produktivitas primer di ekosistem padang lamun. Kata kunci: habitat, fitoplankton, padang lamun buatan Seagrass bed is one of coastal area ecosystems, which has important role for various marine organisms. Artificial seagrass bed can create new habitat for phytoplankton as one of epiphyte organisms which is associated with others marine organisms. The purpose of this research is to know successful a phytoplankton growth in artificial seagrass bed at Teluk Awur Coastal area, Jepara.. There were three treatments in this research i.e. (a) artificial seagrass bed from kalas rope, (b) artificial seagrass made from plastic, (c) seagrass of Enhalus acoroides, and natural seagrass bed ecosystem as control, with 4 replications. Thirty phytoplankton species were found in that area. Several genera from class Bacillariophyceae dominanted at all treatments, i.e. Nitzschia, Coscinodiscus, Bidulphia, Rhizosolenia and Skeletonema. There were differences on the number of species and abundance of phytoplankton every time sampling. However, the number of species and abundance of phytoplankton were similar between artificial seagrass bed and natural seagrass bed at the end of this research. All treatments have medium category for diversity and evenness index. The results suggest that artificial seagrass bed is as effective as natural seagrass for location (medium) for phytoplankton habitat and for increasing primary productivity. Keywords : habitat, phytoplankton, artificial seagrass bed
Komposisi dan Kelimpahan Ikan di Ekosistem Mangrove di Kedungmalang, Jepara (Fish Community Structure in Mangrove Ecosystem at Kedung Malang, Jepara Regency) Sri Redjeki
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 18, No 1 (2013): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (328.241 KB) | DOI: 10.14710/ik.ijms.18.1.54-60

Abstract

Ekosistem mangrove di Kedungmalang, Kabupaten Jepara dilaporkan telah mengalami kerusakan ekologis. Kondisi ini mempengaruhi biota termasuk ikan yang hidup di kawasan tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui komposisi dan kelimpahan ikan di ekosistem mangrove di Desa Kedungmalang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara. Penelitian dilaksanakan bulan Mei sampai Agustus 2011. Pengambilan sampel ikan dilakukan di 3 lokasi perairan bervegetasi mangrove sejati (true mangrove) Rhizophora sp. dan mangrove asosiasi (associate mangrove) rumput Cyperus sp. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 10 famili ikan, yaitu Mugilidae, Ariidae, Eleotridae, Pristigasteridae, Gobiidae, Drepanidae, Belonidae, Adrianichtyidae, Aplocheilidae, dan Haemulidae. Ikan paling banyak ditemui adalah famili Mugilidae, sedangkan ikan yang jarang ditemui adalah Famili Belonidae. Ikan Mugilidae hidup pada kisaran salinitas luas, sering masuk estuari dan sungai serta bersifat katadromous, biasanya membentuk kelompok besar di daerah dengan dasar pasir atau lumpur. Ikan famili Mugilidae yang paling banyak tertangkap adalah fase anakan dan juvenil. Jenis ikan Belanak ini merupakan ikan  yang berasosiasi dengan hutan mangrove selama periode anakan, tetapi saat dewasa cenderung menggerombol di sepanjang pantai berdekatan dengan hutan mangrove. Secara umum kelimpahan ikan pada saat surut selalu lebih tinggi dibandingkan saat pasang. Kelimpahan ikan di Rhizophora sp. lebih tinggi dibandingkan Cyperus sp. baik pada saat surut maupun pasang. Kata kunci: ekosistem mangrove, ikan, komposisi, Mugillidae Mangrove ecosystem at Kedungmalang has been reported experiencing  an ecological damage. This condition directly or indirectly affect the organisms, including fish that live around the area ecosystem. The purpose of this study was to identify and determine the abundance the fish communities in mangrove ecosystem in the Kedungmalang Village, Kedung District, Jepara Regency. The research was conducted during May to August of 2011. The samples were taken in three location  with true mangrove (Rhizophora sp.) and associate mangrove (Cyperus sp).   The results of this study found 10 fish families, i.e. Mugilidae, Ariidae, Eleotridae, Pristigasteridae, Gobiidae, Drepanidae, Belonidae, Adrianichtyidae, Aplocheilidae, and Haemulidae. The most commonly found is Mugilidae, in the contrary, Belonidae was found to be the lowest abundance family. Mugillidae is euryhaline and catadramous species that enter estuaries and river during high tide and form big school in the waters with sandy or muddy bottom. The sample from Kedungmalang mainly juvenile of Mugillidae.  In general, fish abundance at low tide is always higher than high tide. Abundance of fish in Rhizophora sp. was higher than those in Cyperus sp. both in the low tide or high tide. Keywords: mangrove ecosystem, fish, composition, Mugillidae
Spatial and Temporal Distribution of Blue Swimming Crab Larvae (Portunus pelagicus) in The Conservation Area of Betahwalang, Central Java Sri Redjeki; Muhammad Zainuri; Ita Widowati; Abdul Ghofar; Elsa Lusia Agus; Mustagfirin Mustagfirin; Fabian Panji Ayodya; Michael Abbey
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 25, No 4 (2020): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/ik.ijms.25.4.173-178

Abstract

Betahwalang has been one of the main contributors to the Blue Swimming Crab (BSC, Portunus pelagicus) fisheries production in Central Java Province. Recruitment of the BSC depends to a large extend on the abundance of crab larvae. However, information on larval distribution of the crab affecting the recruitment to the fishery, fishery management and decision making to support crab conservation in Betahwalang area has been lacking.  The purpose of this study is to describe the spatial and temporal distribution of BSC larvae in the crab conservation area, to identify the larval stage most commonly occurs in the conservation area, and to develop process of decision making to managing conservation areas. This study was conducted in twelve months, starting from January until December 2018. The spatial distribution of the crab larvae was analyzed and mapped by means of SPSS and ArcGIS. The results of this study indicate that the crab larvae occur in the conservation area throughout the year.  The highest larval abundance of the crab occurs in May, September, and November. The most commonly found crab larval stages were megalopa. As megalopa and crablet stages are relatively much more active and closer to the adult form, their occurrence in the conservation area and throughout the year of 2018 suggests the existence of continuous support to the Blue Swimming Crab recruitment for the following year. The spatial and temporal distribution of the larvae were influenced by oceanographic parameters including temperature, nitrate and phosphate, which were associated with monsoonal changes in the Java Sea.
Asexual Reproduction of Black Sea Cucumber from Jepara Waters Retno Hartati; Muhammad Zainuri; Ambariyanto Ambariyanto; Sri Redjeki; Ita Riniatsih; Ria Azizah; Hadi Endrawati
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 24, No 3 (2019): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (248.263 KB) | DOI: 10.14710/ik.ijms.24.3.121-126

Abstract

Black sea cucumber or Lollyfish are trade name for Holothuria atra, one species of family Holothuriidae abundance in Jepara waters, especially in Panjang Island.  They inhabit on the seabed, in shallow waters on reefs and sand flats or in Seagrass meadows. Beside reproduce sexually, H. atra also do fission (biology), i.e. able to reproduce asexually by transverse fission. Monthly survey has been conducted for three months to determine frequency of fission among H. atra population in Panjang Island waters. In total 891 individu of H. atra inhabit in seagrass meadow mixed with rubble were examimed. In fissiparous sea cucumber, transverse fission are followed by regeneration and in this research identified from external observations. The fission state was divided into three category, i.e. closed wound (Category 1), little regeneration either posterior or anterior part (category 2), moderate regeneration either posterior or anterior part (category 3).   The result showed that the fission frequency was highest during end of rainy season in April (13,21%) and decreased during May (4,61%) and June (4,86%). Body regeneration seem happened fast, since the new individu sea cucumber at category 1 was low but high as category 3. The regeneration were related with the condition of environment.
Kondisi Makrozoobentos (Gastropoda dan Bivalvia) Pada Ekosistem Mangrove, Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta Meutia Shibaa Nadaa; Nur Taufiq-Spj; Sri Redjeki
Buletin Oseanografi Marina Vol 10, No 1 (2021): Buletin Oseanografi Marina
Publisher : Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/buloma.v10i1.26095

Abstract

Makrozoobentos merupakan indikator biologi perairan, disamping sebagai organisme sesil mereka juga mempunyai daur hidup yang relatif lama. Klass Gastropoda dan Bivalvia secara umum mempunyai kelimpahan dan keanekaragaman yang tinggi, dan senantiasa merespon kondisi kualitas air di tempat hidupnya. Penelitian ini bertujuan menganalisis struktur komunitas makrozoobenthos dan hubungannya dengan ekosistem mangrove di Pulau Pari. Purposive random sampling digunakan pada pengambilan sample dengan melihat kerapatan dan jenis vegetasi mangrove. Square plot 10 x 10 and 5 x 5 m digunakan untuk menghitung kelimpahan mangrove dan makrozoobentos (gastropoda dan bivalvia), sementara identifikasi moluska dilakukan di Lab LIPI Cibinong. Hasil menunjukkan kelimpahan mangrove dari keempat stasiun berkisar 1,200–2,700 pohon/Ha, sementara kelimpahan molusca antara 5.500-55.600 ind/Ha, dengan komposisi makrozoobentos terdapat 10 spesies gastropoda dan 1 spesies bivalvia. Keanekaragaman kedua klass termasuk pada kategori sedang (1,20-2,67), dengan keseragaman sedang (0,59-0,84) dan indeks dominansi antara 0,20-0,47. Analisis regresi hubungan kelimpahan mangrove dan makrozoobentos menunjukkan nilai 0,6498. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pada kawasan mangrove P. Pari tidak ada jenis gastropoda ataupun bivalvia yang mendominasi, namun hubungan keduanya mengikuti kerapatan mangrove yang ada dengan nilai korelasi keduanya sebesar 0,8061.Jenis yang lebih beragam dan kelimpahan jenisnya lebih dipengaruhi oleh kerapatan mangrove sebagai tempat hidupnya. Macrozoobethos as a biological indicators aside as a sessile organisms, its also have relatively long life cycle. Gastropod and bivalvia class, are commonly have a high abundance and diversity, its always responds to the water quality conditions in their habitat. The aim of study is to analized macrozoobenthic community structure and their relationship to mangrove ecosystem at Pari Island. Purposive random sampling was used for sampling the organisms by comparing to the density and species of mangrove vegetation. Square plots of 10 x 10 and 5 x 5 m were used to calculate macrozoobenthos abundance (gastropods and bivalvia) meanwhile the identification of Gastropods and Bivalvia is in LIPI laboratory at Cibinong. The results shows that mangrove density is in between 1,200 to 2,700 inds/Ha, while composition of macrozoobenthos at Pari Island have 10 species of gastropods and one species of bivalvia. The diversity of the two classes is included into the medium category (1.20-2.67), with moderate uniformity (0.59-0.84) and the dominance index is between 0.20-0.47. The regression analysis of the relationship between mangrove and macrozoobenthic abundance is about 0.6498. It can be concluded that in the Pari Island’s mangrove area, there are no gastropods or bivalves that much dominate, but the relationship between of Gastropoda and Bivalvia is following the mangrove density with a correlation about 0.8061. More diverse types and abundance of species are affected by the density of mangroves as a place for its live.
Komposisi Larva Ikan Pada Tutupan Padang Lamun di Perairan Prawean Bandengan, Kabupaten Jepara Sri Redjeki; Riska Novianti Putri; Adi Santoso; Sunaryo Sunaryo; Sri Sedjati
Buletin Oseanografi Marina Vol 8, No 2 (2019): Buletin Oseanografi Marina
Publisher : Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (630.569 KB) | DOI: 10.14710/buloma.v8i2.25639

Abstract

Larva Ikan (ichtyoplankton) merupakan tahapan awal dari daur hidup ikan dimulai dari perkembangan telur, larva dan juvenil, memiliki tingkat mortalitas tinggi dan peka terhadap perubahan lingkungan, predator, dan kesediaan makanan. Fungsi ekologis padang lamun sebagai daerah asuhan dan tempat berlindung bagi semua jenis organisme laut kecil, salah satunya larva ikan. Kerapatan atau tutupan padang lamun juga sebagai salah satu faktor pendukung melimpahnya organisme dan kekayaan di laut. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui kelimpahan dan distribusi larva ikan yang terdapat pada ekosistem padang lamun, serta mengetahui hubungan kelimpahan larva ikan dengan tutupan padang lamun di Perairan Prawean Bandengan, Jepara. Metode penelitian ini adalah metode deskriptif dengan penentuan lokasi sampling menggunakan  purposive sampling methode. Lokasi penelitian pada 3 stasiun dengan pembagian kerapatan lamun yang berbeda (I = Padat ; II = Sedang ; III = Jarang) dan dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan sampling di masing-masing lokasi. Pengambilan sampel larva ikan dilakukan dengan menggunakan larva net  (P = 0,9 m ; L : 0,6m) dengan ukuran mata jaring 800 µm. Hasil penelitian ini ditemukan larva ikan sebanyak 5 famili yaitu Nemipteridae, Gerreidae, Gobiidae, Labridae, dan Mullidae. Famili larva ikan yang paling sering ditemukan adalah Nemipteridae. Rata-rata kelimpahan famili larva ikan pada Stasiun I sebesar 0,419 ind/m3, Stasiun II sebesar 0,205 ind/m3, dan pada stasiun III sebesar 0,069 ind/m3. Nilai rata - rata indeks keanekaragaman termasuk dalam kategori rendah sedang (0,65–1,37), indeks keseragaman larva ikan termasuk dalam kategori rendah-tinggi (0,33-0,65) indeks dominasi larva ikan menunjukan ada yang mendominasi pada tiga stasiun (0,28–0,30) dan indeks sebaran morisita yang dilakukan menunjukan bahwa sebaran larva ikan pada tiga stasiun merata. Fish larvae (ichtyoplankton) are the initial stages of the fish's life cycle starting from the development of eggs, larvae and juveniles, which have a high mortality rate and are sensitive to environmental changes, predators, and food availability. The ecological function of seagrass beds as nurseries and shelter for all types of small marine organisms, one of which is fish larvae. The density or cover of seagrass beds is also one of the supporting factors for the abundance of organisms and wealth in the sea. The purpose of this study was to determine the abundance and distribution of fish larvae found in the seagrass ecosystems, and to determine the relationship of abundance of fish larvae with cover seagrass beds in the waters of Prawean Bandengan, Jepara. This research method is a descriptive method by determining the sampling location using purposive sampling method. The research location was in 3 stations with a different distribution of seagrass density (I = Dense; II = Medium; III = Rare) and carried out 3 times repetition of sampling at each location. Sampling of fish larvae was carried out using larvae net (P = 0,9 m; L: 0,6m) with a mesh size of 800 μm. The results of this reasearch, found fish larvae of 5 families, namely Nemipteridae, Gerreidae, Gobiidae, Labridae, and Mullidae. The most common family of fish larvae was Nemipteridae. The average abundance of fish larvae at Station I was 0,419 ind/m3, Station II was 0,205 ind/m3, and at Station III was 0,069 ind/m3. The average diversity index was included in the low category (0,65 – 1,37), the uniformity index of fish larvae was included in the low-high category (0,33 – 0,65) the fish larvae dominance index shows that there are dominating at three stations (0,28 – 0,30) and the distribution index of distribution (morisita) conducted showed that the distribution of fish larvae at three stations was evenly distributed.
Analisa Persebaran Sarang Penyu Hijau (Chelonia Mydas) Berdasarkan Vegetasi Pantai Di Pantai Sukamade Merubetiri Jawa Timur Argina Dewi S; Hadi Endrawati; Sri Redjeki
Buletin Oseanografi Marina Vol 5, No 2 (2016): Buletin Oseanografi Marina
Publisher : Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (321.068 KB) | DOI: 10.14710/buloma.v5i2.15730

Abstract

Aktivitas manusia yang merusak habitat pantai peneluran Penyu Hijau mengakibatkan penurunan populasi Penyu Hijau. Penataan tempat bertelur penyu (nesting site) dianggap hal yang penting untuk meningkatkan kembali populasi penyu hijau. Penataan tempat bertelur bagi penyu meliputi kondisi biologi. Kondisi biologi pantai peneluran merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Kondisi biologi pantai peneluran salah satunya adalah kondisi vegetasi pantai. Secara biologi kehadiran penyu pada suatu pantai dipengaruhi kondisi ekosistem dan komposisi vegetasi pantai. Vegetasi dianggap memiliki peranan penting dalam aktivitas peneluran penyu karena memberikan rasa nyaman pada lingkungan sekitar peneluran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persebaran sarang peneluran  Penyu Hijau (Chelonia mydas) berdasarkan vegetasi pantai dan mengetahui jenis vegetasi yang ada disekitar sarang Penyu Hijau. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Data yang diambil meliputi data penyu bertelur, jarak sarang terhadap vegetasi dan profil vegetasi pantai. Penelitian ini dilakukan pada pukul 20.00 WIB dan 04.30 WIB sesuai dengan jadwal monitoring penyu petugas di lapangan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) lebih banyak ditemukan pada sektor dengan keadaan lingkungan bervegetasi dengan jenis vegetasi Pandanus tectorius, Baringtonia asiatica, Hibiscus tilaceus. Sedangkan pada sektor yang hanya ditumbuhi vegetasi rambat seperti Ipoemoea pes – caprae Penyu Hijau tidak ditemukan melakukan aktifitas peneluran. Kata Kunci : Penyu Hijau, Vegetasi, Pantai Sukamade.
Reef Fish Community of Pamuteran and Sumber Kima Waters, Buleleng, Bali Ken Suwartimah; Sri Redjeki; R. Noer Pagripto W
Buletin Oseanografi Marina Vol 5, No 1 (2016): Buletin Oseanografi Marina
Publisher : Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (426.399 KB) | DOI: 10.14710/buloma.v5i1.11299

Abstract

Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan karang sangat dipengaruhi oleh faktor biologis dan fisik seperti paparan gelombang, beban sedimen, kedalaman air serta kompleksitas topograhical dari substrat karang. Penelitian ini ditujukan untuk memberikan gambaran pada struktur komunitas ikan karang di Sumber Kima dan perairan Pemuteran, Buleleng, Bali Utara. Pengambilan sampel dengan transek dari 100 meter panjang garis lurus, mengikuti kontur kedalaman dan meletakkan sejajar dengan bagian depan karang. komunitas ikan karang dipelajari dengan siang hari di bawah air visual yang metode sensus transek ikan dari 100 x 5 m mendata spesies ikan dan kelimpahannya. sensus ikan dilakukan tiga kali per situs. Ikan diidentifikasi untuk tingkat spesies. Kelimpahan ikan yang dikumpulkan dari data dari lokasi pengambilan sampel dari setiap lokasi dianalisis menggunakan indeks struktur masyarakat. dari total 7.966 ikan yang disensus dari sembilan situs permanen selama periode penelitian. Ada 78 spesies milik 24 keluarga ditemukan di Pamuteran dan 65 spesies dari 24 keluarga di Sumber Kima Waters. Pomacentridae adalah keluarga yang paling melimpah di kedua lokasi pengambilan sampel terdiri dari 14 spesies di perairan Pamuteran dan 12 spesies di perairan Sumber Kima, Diikuti oleh Chaetodontidae terdiri dari 10 spesies di perairan Pamuteran dan sumber perairan Kima.Kata kunci : ikan karang, Pamuteran, Sumber Kima, Bali 
Studi Kelimpahan Scylla serrata Forsskål, 1775 (Portunidae:Malacostraca) Hasil Tangkapan Musim Penghujan Di Perairan Mangkang Semarang Annisa Rahma Firdaus; Nur Taufiq-Spj; Sri Redjeki
Buletin Oseanografi Marina Vol 9, No 1 (2020): Buletin Oseanografi Marina
Publisher : Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (769.745 KB) | DOI: 10.14710/buloma.v9i1.23659

Abstract

Scylla serrata yang dikenal sebagai kepiting bakau merupakan sumber daya hayati ekosistem bakau yang hingga saat ini memiliki demand pasar yang cukup tinggi. Kondisi ini meningkatkan eksploitasi penangkapan species ini sehingga menyebabkan terganggunya populasi kepiting di alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla serrata) dengan melihat rasio kelimpahan dan hubungan lebar - berat kepiting bakau jantan dan betina dari hasil tangkapan di perairan Mangkang Wetan – Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan pada musim penghujan di akhir tahun 2018 (Desember) dan awal tahun 2019 (Januari). Purposive sampling merupakan metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan melakukan survey yang terarah dan terencana. Sampel kepiting bakau didapatkan dari hasil tangkapan nelayan yang diarahkan pada lima titik berdasarkan aktivitas yang berbeda. Hasil menunjukkan bahwa tangkapan kepiting bakau (Scylla serrata) pada Bulan Desember 2018 dan Januari 2019 di dominasi oleh kepiting jantan. Tangkapan bulan Desember 2018 memiliki rasio jantan : betina lebih besar (1,65:1) dari Januari 2019 (1,21:1). Korelasi lebar karapas dan berat kepiting bakau jantan dan betina bersifat allometrik, dimana jantan memiliki pola pertumbuhan allometrik positif sedangkan betina memiliki pola perumbuhan allometrik negatif. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa populasi kepiting jantan lebih banyak ditemukan selama musim penghujan terutama di bulan Desember dan Januari. Ketidak seimbangan sex rasio ini akan menyebabkan terganggunya kestabilan populasi Scylla setrata di ekosistem estuaria Mangkang Wetan Semarang.  Scylla serrata known as mangrove crab as an edible food resources of the mangrove ecosystem which has a very high market demand. Due to this conditions will be affected in increasing exploitation of this species and cause inbalancing the population in the nature. The study aims to calculate abundance ratio and width – weight correlation between male and female of the crab caught from the estuary of Mangkang Wetan Semarang, Central Java. This study conducted at the end of 2018 (December) to the first month of 2019 (Januari). Survey method was used in this study by using purposive sampling in order to get the right data aimed as a planned. The crab sample was caught by some fisherman which were dirrected at five sampling points base on different fisherman activities. The results shows that the caught seasons in the rainy time  of Dec 2018 and Jan 2019, dominated by males crab (Scylla serrata). The December caught have higher sex ratio between male and female (1,65:1) compare to Januari caught (1,21:1). Correlation in carapage width and body weigth between the crabs male and female shows allometrik growth. Where, the male growth tend to have a positive allometric, while the female were negative. These can be conclude that, the male crabs were dominantly found during rainy seasons especially in December dan January. This imbalance of the sex ratio will disturb the population stability of Scylla setrata in estuary ecosystem of Mangkang Wetan Semarang.
ANALISIS SUSUT BOBOT PENGUKUSAN DAN RENDEMEN PENGUPASAN RAJUNGAN BERUKURAN BERBEDA DAN RAJUNGAN BERTELUR Analysis of Weight Lost due to Streaming and Skinning of Crabs with Different Size and Eggs Laying Slamet Suharto; Romadhon Romadhon; Sri Redjeki
Saintek Perikanan : Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology Vol 12, No 1 (2016): SAINTEK PERIKANAN
Publisher : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (106.894 KB) | DOI: 10.14710/ijfst.12.1.47-51

Abstract

 Industri pengalengan rajungan  pasturisasi melalui beberapa tahap utama yaitu pengukusan, pengupasan dan pengalengan. Rajungan  yang dikukus akan mengalami susut bobot dan ketikan dikupas menghasilkan rendemen daging dalam jumlah dan komposisi tertentu. Penelitian  untuk mengetahui susut bobot  selama pengukusan rajungan,  rendemen, dan komposisi jenis daging   serta  proses pengupasan pada rajungan yang berbeda ukuran dan rajungan bertelur. Rajungan berukuran kecil (lebar karapas <10 cm); rajungan besar (lebar karapas >10 cm) dan rajungan bertelur dikukus selama 30 menit pada suhu 80-90 oC,  didiamkan 60 menit sampai suhunya menyesuaikan ruang, dikupas dan dipisahkan daging  jumbo, reguler dan claw meat. Diperoleh susut selama  dikukus  sebesar 19,3%, susut pendinginan 15,9%, dan susut total 32,2%.  Rerata rendemen pengupasan 37,6%, terdiri  dari : daging jumbo (21,5%);  daging regular (51,9%) dan  daging claw meat (29,4%).  Rendemen rajungan besar 42,1% jumbo 31,5%; regular 34,3%; dan  claw meat 34,2%. Sedangkan rajungan bertelur  rendemen daging 30,7% terdiri dari  jumbo 22,4%; regular 25,8%; claw meat 15,2%.  telur 36,7%. Pengukusan mengakibatkan penyusutan bobot pada rajungan utuh. Rajungan jantan mengalami penyusutan yang lebih tinggi dari rajungan betina yang tidak bertelur.Ukuran rajungan tidak mempengaruhi besarnya penyusutan. Rendemen daging rajungan besar paling tinggi dibandingkan rajungan kecil dan rajungan bertelur. Daging jumbo dihasilkan dan memiliki nilai harga paling tinggi pada rajungan besar. Pasteurized crab canning industry through several major stages, namely steaming, peeling and canning. Steamed food ingredients will experience on weight loss which result in the meat yield in the amount and specific composition. The research was aimed to obtain the weight loss during steaming crab, meat yield and species composition of the process of peeling the crabs, on different sizes and crab spawn. Small crabs (carapace width <10cm); big crab (carapace width > 10cm) and crab spawn steamed for 30 minutes at a temperature of 80-90oC, cooled for 60 minutes according to the room temperature, peeled and separated of meat jumbo, regular and claw meat. The result showed the first shrinkage obtained during steamed at 19.3%, the shrinkage cooling 15.9%  and the total shrinkage at 32.2%. The average of peeling yield of 37.6%, compositing by jumbo meat (21.5%), regular meat (51.9%) and claw meat (29.4%). The yield of jumbo meat 31.5% ; regular 34,3%; and claw meat 34.2%. While spawn crab meat yield of 30.7% consisted of jumbo 22.4%; Regular 25.8%; claw meat 15.2% and eggs around 36.7%. Steaming resulted in depreciation weights on Rajungan intact. Crab males experienced higher depreciation compare to crab females which do not have eggs inside. Crab size does not affect the amount of depreciation. The yield of big crab meat was highest than small crabs and crab spawn. Jumbo meat is produced and has the highest price on the value of big crabs  
Co-Authors Abdul Ghofar Adi Santoso Aditya Dwi Nugroho Agus Sabdono Ahmad Yassin Ali Djunaedi Ali Djunaedi Ambariyanto Ambariyanto Anggit Sapta Raudina Annisa Rahma Firdaus Argina Dewi S Aufa Anam Aulia Dessy Ramadhani Ayu Safitri Azis Nur Bambang Bagas Santosa Bagus Eko Hardiono Bayu Khrisna Yudhatama Bintang Septiarani Cantika Elistyowati Andanar Chrisna Adhi Suryono Delianis Pringgenies Delianis Pringgenies Diah Ayu Mustofa Diah Permata Wijayanti Dyanita Havshyari Putri Andrykusuma Edi Wibowo Edi Wibowo Kushartono Edy Supriyo Elsa Lusia Agus Endang Sri Susilo Endika Meirawati Fabian Panji Ayodya Hadi Endrawati Hans Arthur Philips Hargo Seno Wahyu Edi Henrian Rizki Pradana Hudanu Hapsara Ibnu Pratikto Ika Ayuningtyas Ika Desie Wulandari Inggrid Debora Hutagaol Iqbal Maulana Irwani Irwani Irwani Irwani Isa Anzori Ita Riniatsih Ita Widowati Jakfar Shodiq Panatar Jufri Ubay Jusup Suprijanto Kathan Joy Abelino Ken Suwartimah Ken Suwartimah Krisiyanto Krisiyanto Kurnia Adi Nusaputro Laras Kinanti Pinandita Lita Tyesta Addy Listya Wardhani Lutfil Hakim Baidhowie M. Amanun Tharieq M. Amanun Tharieq Mas’ad Arif Meutia Shibaa Nadaa Michael Abbey Michael Abbey Monica Virgiana Silvi Muhammad Zainuri Muhammad Zainuri Muhammad Zainuri Mustagfirin Mustagfirin Mustagpirin Mustagpirin Nando Arta Gusti Pamungkas Nur Taufiq-Spj Panji Ayodya Parameswari Iccha Nirmalabuddhi Wishnuputri Praressha Wizurai R. Noer Pagripto W Rachellia Rose Nugraha Raden Ario Retno Hartati Retno W. Astuti Ria Azizah Ria Azizah Ria Azizah Tri Nuraini Rina Maharani Iksanti Rindika Wahyu Riska Novianti Putri Robertus Triaji Mahendrajaya Robertus Triaji Mahendrajaya Romadhon Romadhon Rudhi Pribadi Satrio Fahrul Ananda Slamet Suharto, Slamet Sri Sedjati Sri Turni Hartati Sunaryo Sunaryo Surya Fajar Suryono Suryono Widianingsih Widianingsih Widianingsih Widianingsih Yustin Ragil Dewanti