Claim Missing Document
Check
Articles

Found 29 Documents
Search

AKIBAT HUKUM PINJAM MEMINJAM SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH UNTUK DIJADIKAN JAMINAN UTANG (Studi Kasus Putusan MA Nomor:2091.K.PDT.2014) Ana Silviana, Sukirno, Afifah Zahra Wiraatmaja*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.502 KB)

Abstract

Pada masa sekarang, meminjamkan sertipikat tanah untuk dijadikan jaminan memang tidak dilarang dan diperbolehkan dalam Peraturan Undang-Undang. Namun dalam prakteknya seringkali terjadi, pihak debitur tidak melaksanakan prestasinya dan yang dirugikan adalah pihak ketiga yaitu penjamin atau yang meminjamkan sertipikat tanah untuk dijadikan jaminan utang di bank. Salah satu kasus yang terjadi yaitu antara para ahli waris alm. Mochamad Noerhasjim dalam kasus putusan MA Nomor.2091/K.Pdt.2014 dengan PT. Prima Semesta Internusa sebagai pihak yang meminjam sertipikat tanah. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan metode pengumpulan data sekunder mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Hasil penelitian ini yaitu, pertimbangan Majelis Hakim memutus dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan dalam kasus ini tidak dapat diterima karena dianggap kurang pihak. Proses pembebanan hak tanggungan dan proses pelelangan sudah sesuai dengan hukum tanah nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Perlindungan hukum terhadap pemberi Hak Tanggungan yang menjadi pihak penjamin masih lemah. 
IMPLEMENTASI PROGRAM PEMELIHARAAN DATA PENDAFTARAN TANAH SISTEM ONLINE DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KENDAL Ana Silviana, Sukirno, Astika Febrianda Saraswati*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 2 (2016): Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (418.756 KB)

Abstract

Pendaftaran tanah penting dilakukan karena bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat kuat. Di Kantor Pertanahan Kabupaten Kendal memfasilitasi pendaftaran pemeliharaan data secara online ( PPAT online ) yang berbasis teknologi informasi. Program ini bermanfaat bagi PPAT di Kabupaten Kendal untuk mempercepat pelayanan pemeliharaan data. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis implementasi program tersebut serta kendala yang timbul dalam pelaksanaan. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah metode pendekatan yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukan bahwa implementasi program pemeliharaan data sistem online berjalan dengan baik. Kendala yang ditemui dalam pelaksanaan program ini adalah mengenai server dan masalah teknis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Kantor Pertanahan berhasil mengimplementasikan program pemeliharaan data pendaftaran tanah sistem online. Program tersebut sudah dijalankan sesuai dengan SOP yang berlaku secara lebih efektif dan efisien. Meskipun terdapat beberapa kendala namun Kantor Pertanahan Kabupaten Kendal mampu memperbaiki dengan baik.
PERKEMBANGAN PRAKTIK PEMBAGIAN WARISAN MENURUT HUKUM WARIS ADAT BETAWI PADA MASYARAKAT BETAWI DI KELURAHAN SRENGSENG SAWAH, KECAMATAN JAGAKARSA, JAKARTA SELATAN Agung Basuki Prasetyo, Sukirno, Dandia Magna Rijkova*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (285.422 KB)

Abstract

Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Betawi adalah parental dengan menggunakan sistem kewarisan individual. Saat ini, terjadi perkembangan dalam melakukan praktik pembagian warisan pada masyarakat Betawi di Kampung Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Perkembangan ini diakibatkan adanya faktor-faktor yang muncul di masyarakat. Perumusan masalah yang dapat diuraikan yaitu pertama, bagaimana perkembangan praktik pembagian warisan menurut hukum waris adat Betawi; Kedua, apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan praktik pembagian warisan menurut hukum waris adat Betawi. Metode penelitian penulisan hukum ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Hasil wawancara digunakan sebagai data primer dari penulisan hukum ini dan didukung oleh data sekunder berupa data kepustakaan. Analisis data yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari data yang telah terkumpul yaitu dengan menggunakan metode analisis data kualitatif. Praktik pembagian warisan di Kampung Setu Babakan sesuai hasil penelitian awalnya menggunakan hukum kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun  (hukum adat). Seiring dengan berjalannya waktu, saat ini dalam menentukan praktik pembagian warisnya masyarakat Betawi di Kampung Setu Babakan menggunakan hukum adat dengan berlandaskan agama Islam. Terjadinya perkembangan praktik pembagian warisan dipengaruhi oleh: faktor agama; faktor ekonomi; faktor migrasi, sosial dan budaya; dan faktor pendidikan.
Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 pada Masyarakat Adat Karuhun Urang di Cigugur Sukirno Sukirno; Nur Adhim
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 1 (2020): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (415.923 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.11-24

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi No.97/PUU-XIV/2016 menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang Undang Administrasi Kependudukan bertentangan  dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada Kementerian Dalam Negeri, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil  Kabupaten Kuningan, serta masyarakat adat Karuhun Urang (AKUR) Cigugur Kuningan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan socio-legal research, dengan pengumpulan data primer dan data sekunder, dan dianalisis secara deskriptif-analitis preskriptif dengan fokus permasalahan tentang bagaimana implementasi putusan MK  pada masyarakat AKUR di Cigugur Kabupaten Kuningan ? dan apakah implementasi tersebut sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi ? Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara formal Kemendagri dan Dukcapil Kabupaten Kuningan telah melaksanakan Putusan MK, tetapi secara substansial belum melaksanakan putusan MK. Implementasi kedua lembaga tersebut tidak sesuai dengan original intent Putusan MK yang menyatakan kepercayaan termasuk agama. Implementasi Putusan MK ini secara teoretis dipengaruhi oleh paradigma agama dunia. Putusan MK ini harus dilaksanakan oleh semua instansi pemerintah untuk menghormati, memenuhi dan melindungi penganut kepercayaan, termasuk pemberian kesempatan untuk ikut rekrutmen CPNS, TNI dan Polri. 
TINDAK LANJUT PENGAKUAN HUTAN ADAT SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.35/PUU-X/2012 Sukirno Sukirno
Masalah-Masalah Hukum Vol 45, No 4 (2016): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (512.457 KB) | DOI: 10.14710/mmh.45.4.2016.259-267

Abstract

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi N0.35/PUU-X/2012 yang menyatakan hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat. Penelitian yang  bertujuan untuk meneliti tindak lanjut pemerintah atas putusan tersebut, menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Data dianalisis dengan menggunakan legal reasoning yang mengacu pada positivitas, koherensi dan keadilan. Hasil penelitian menunjukkan: (1) putusan MK sudah ditindaklanjuti oleh pemerintah  dengan berbagai peraturan dan keputusan yang berbeda-beda substansinya; (2) tindak lanjut pemerintah tersebut tidak  menjamin pengakuan hutan adat, karena masih menyisakan dua persoalan, yaitu ketidaksamaan persepsi antar kementerian, dan  mata rantai birokrasi penetapan hutan adat terlalu panjang dan lama.
KEBIJAKAN AFIRMATIF PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT Sukirno Sukirno
Masalah-Masalah Hukum Vol 44, No 3 (2015): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4994.557 KB) | DOI: 10.14710/mmh.44.3.2015.326-335

Abstract

This research aim to know and analyse load policy of affirmative, and principles which must there are in regulation recogniting of customary law community rights. Research method used by normative juridical, and then analysed with legal reasoning. Result of research show UUPA, UU No.1/Pnps/1965 and of UU No.24/2013 not yet seen as policy of affirmative because its recognition still accompanied by condition and discrimination. Therefore regulation come have to load four principle, that is based on empirical research, fourth reference norm of Pancasila, affirmative action, and non discrimination.
Freedom of Religion and Gender Equality in Sustainable Development Agenda Khansadhia Afifah Wardana; Rahayu Rahayu; Sukirno Sukirno
Sriwijaya Law Review Volume 6 Issue 1, January 2022
Publisher : Faculty of Law, Sriwijaya University, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/slrev.Vol6.Iss1.1567.pp163-173

Abstract

The implementation of Sustainable Development Goals (SDGs) often lacks in human rights perspective, although the goals themselves were created based on the human rights principles. However, further studies in development and international human rights law show that it is essential to highlight that particular relationship. As a member of the international community, states have an extraterritorial obligation to assist one another in developing and fulfilling the human rights of their people. Particularly in the field of freedom of religion or belief and gender equality, which creates a domino effect on other women's rights such as access to justice and education. Although SDG 2030 has expressed its commitment to respect, protect, and promote fundamental freedoms, including one's religion, and to achieve gender equality, the antagonistic construction between those two issues possibly harm the women’s rights movement and does not adhere to the “no one left behind” principle. The lack of recognition between those issues would be damaging and could be deemed a failure to achieve the sustainable development goals. This research was conducted through a qualitative legal analysis by analysing relevant literary sources to understand the hidden link between freedom of religion or belief and gender equality within the sustainable development agenda. Clarity of these complex elements can be beneficial in creating a tool in advocating for women’s rights, especially for those who belong to religious and belief minorities.
Hukum Yang “Berperasaan” Dalam Penyelesaian Konflik Antara Budaya Dan Agama: Penolakan Administratif Terhadap Tradisi Sedekah Laut Dumaria Simanjuntak; Retno Saraswati; Sukirno Sukirno
Administrative Law and Governance Journal Vol 2, No 3 (2019): Administrative Law & Governance Journal
Publisher : Administrative Law Department, Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (554.091 KB) | DOI: 10.14710/alj.v2i3.499-510

Abstract

Abstract This study aims to explain the meaning of the symbol of the tradition called "Sedekah Laut." It creates a cultural and religious conflicts frequently and explains how the law should be able to resolve social conflicts by "Berperasaan." This "berperasaan" law is based on the progressive legal theory which states that the law must serve the society by providing benefits rather than merely punishing. The results of the discussion showed that there is a strong connection between culture and religion, namely “Sedekah Laut” is a form of practice of the gratitude of the local society to God. This form of gratitude is an expression of gratitude for the gift that has been given. Also, this is a way of respect to God who has guarded the sea, which is believed to be something important related to the safety of society. The relation of this research to the study of law is how law can be a tool to resolve conflicts between culture and religion. Resolving conflict by law is done by looking at symbols as cultural values that have been long-lived in that local society. Keywords: Culture, Tradition, Law, Values Of Society, Social Conflict,  Abstrak  Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan makna simbol dari tradisi “sedekah laut” yang seringkali menimbulkan benturan budaya dan agama itu terjadi dan menjelaskan bagaimana seharusnya hukum dapat menyelesaikan konflik sosial dengan “berperasaan”. Hukum “berperasaan” ini dilandaskan pada teori hukum progresif yang menyatakan bahwa Hukum harus mengabdi kepada masyarakat dengan memberi kebermanfaatan dari pada hanya sekedar menghukumi. Hasil pembahasan menunjukan bahwa ada keterkaitan yang kuat antara budaya dan agama yaitu upacara simbolis Sedekah Laut merupakan wujud implementasi rasa syukur masyarakat setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Wujud syukur ini sebagai ungkapan terima kasih atas pemberian yang telah diberikan. Selain itu, hal ini sebagai wujud rasa hormat mereka untuk menjaga laut yang diyakini berperan penting demi menjaga keselamatan masyarakat. Kaitan penelitian ini dengan studi hukum adalah bahwa bagaimana hukum dapat menjadi alat menyelesaikan konflik antara budaya dan agama. Penyelesain konflik ini oleh hukum dilakukan dengan melihat simbol-simbol sebagai nilai budaya yang telah lama hidup dalam masyarakat setempat. Kata kunci: Budaya, Tradisi, Hukum, Pandangan Hidup, Konflik Sosial, Konflik. 
Politik Hukum Pengakuan Hak atas Administrasi Kependudukan Bagi Penganut Penghayat Kepercayaan Sukirno Sukirno
Administrative Law and Governance Journal Vol 2, No 2 (2019): Administrative Law & Governance Journal
Publisher : Administrative Law Department, Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (551.279 KB) | DOI: 10.14710/alj.v2i2.268-281

Abstract

Abstract This article is motivated by the existence of various laws and regulations that discredit and discriminate against believers to get their rights guaranteed by Article 29 paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which affirms the right to freedom of religion and belief. The problem raised is what legal politics underlie legislation that prevents trustees from obtaining the same rights as other Indonesian citizens. The search results found that the legal politics underlying the discrediting legislation and discriminating against religious believers were the legal politics of the world religions paradigm which gave the majority the religious role to intervene in government policies to marginalize religious minorities. Keywords: legal politics, belief groups. Abstrak Artikel ini dilatar belakangi adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mendiskreditkan dan mendiskriminasi penghayat kepercayaan untuk mendapatkan hak-haknya yang sudah dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menegaskan hak kebebasan beragama dan berkepercayaan. Permasalahan yang diangkat adalah politik hukum apa yang melandasi peraturan perundang-undangan yang menghalangi penghayat kepercayaan untuk memperoleh hak-hak yang sama sebagaimana warga negara Indonesia lainnya. Hasil penelusuran menemukan bahwa politik hukum yang melandasi peraturan perundang-undangan yang mendiskreditkan dan mendiskriminasi penghayat kepercayaan adalah politik hukum paradigma agama dunia yang memberikan peran agama mayoritas untuk mengintervensi kebijakan pemerintah untuk meminggirkan agama minoritas atau kepercayaan. Kata kunci: Politik Hukum, Penghayat Kepercayaan.
Diskriminasi Pemenuhan Hak Sipil Bagi Penganut Agama Lokal Sukirno Sukirno
Administrative Law and Governance Journal Vol 1, No 3 (2018): Administrative Law & Governance Journal
Publisher : Administrative Law Department, Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (448.6 KB) | DOI: 10.14710/alj.v1i3.231-239

Abstract

AbstractThis paper is the result of research to explore whether the guarantee of religious freedom as guaranteed by Article 29 paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia applies to adherents of local religions or beliefs, especially indigenous peoples and their implications for population document services. The location of the first year research was carried out on indigenous peoples in Java, namely the Sunda Wiwitan and Adam Religion from Sedulur Sikep / Samin. Then in the second year, there was research outside Java, namely followers of the Parmalim religion in Laguboti, North Sumatra. The results showed that there were different treatments for indigenous people who were still purely embracing local religions and those who embraced local religions who had converted to one of the recognized religions of the state. For indigenous people who have switched to embrace one of the religions recognized by the state, they are not discriminated against by the state, meaning that they can easily obtain residence documents. Whereas for the indigenous people who continue to embrace the local religion get discriminatory treatment, namely on their Identity (KTP) wrote a column of non-religious beliefs as decided by the Constitutional Court No. No.97 / PUU-XIV / 2016, it is difficult to obtain a marriage certificate, the birth certificate is not as usual, because the marriage of his parents has not been recorded.Keywords: Discrimination, Civil Rights, Population Documents, Local Religion.AbstrakTulisan ini merupakan hasil penelitian untuk menggali apakah benar jaminan kebebasan beragama itu sebagaimana dijamin Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 berlaku bagi penganut agama lokal atau kepercayaan, khususnya masyarakat adat dan implikasinya terhadap layanan dokumen kependudukan. Lokasi penelitian tahun pertama telah dilakukan pada masyarakat adat di Jawa, yaitu pada masyarakat penganut Sunda Wiwitan dan Agama Adam dari Sedulur Sikep/Samin. Kemudian pada tahun kedua telah dilakukan penelitian di luar Jawa, yaitu penganut agama Parmalim di Laguboti, Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan, ada perlakuan yang berbeda bagi masyarakat adat yang masih murni memeluk agama lokal dan masyarakat pemeluk agama lokal yang sudah beralih memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara. Bagi masyarakat adat yang sudah beralih memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara tidak diperlakukan diskriminatif oleh negara, artinya mereka dapat dengan mudah memperoleh dokumen kependudukan. Sedangkan bagi masyarakat adat yang tetap memeluk agama lokal mendapatkan perlakuan diskriminatif, yaitu di KTP mereka tertulis kolom kepercayaan bukan agama seperti yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi No. No.97/PUU-XIV/2016, sulit mendapatkan akta perkawinan, akta kelahiran  tidak sebagaimana umumnya, karena perkawinan orang tuanya belum dicatatkan.Kata Kunci: Diskrininasi, Hak Sipil, Dokumen Kependudukan, Agama Lokal.