Ni Ketut Ardani
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

Active Case Treatment Lebih Cost Effective untuk Pengobatan TB Paru Tahap Awal Ni Ketut Ardani; Thinni Nurul Rochmah; Chatarina Umbul Wahyuni
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.804 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i2.36011

Abstract

Background: Estimated one third of world population have been infected with Mycobacterium tuberculosis. Infected per- son will lose 3-4 months work time and will decrease 20%- 30% of income per year. Finding and treating TB patients are the best endeavor to stop TB spreading with a correct inter- vention. Jember Regency is executing Passive Case Treat- ment (PCT), which lung TB patients should come to puskes- mas to take the Tuberculosis Drug (ATD) in a certain day and hour. The method was not effective, proven by the increase of default rate for 3 years: 5.08% in 2007, 5.14% in 2008 and 6.18% in 2009, followed by the decrease of conversion rate for 3 years: 95.26% in 2007, 93.09% in 2008 and 92.08% in 2009. It is raising alertness for increased re-treatment which will lead to MDR, where MDR is clearly affecting TB patients’ quality of life. Afterward, an idea to create an ATD delivery to patients’ homes was executed, it is called Active Case Treat- ment (ACT). Method: This study was a Quasy Experimental Research with a prospective design. Conducted in 16 Puskesmas with default rate more than 5% and conversion rate less than 80% in 2009. Begin in September until November 2010, using total sampling technique. The sample was all lung TB patients who came for treatment in September 2010, with criteria were: new case, 15-50 years of age, did not suffer HIV and Diabe- tes Mellitus, was not malnourished, and was not allergic to ATD. Data collection was done through interview, filling ques- tionnaires and exploring documents. Then followed the calcu- lation of the total cost (direct and indirect cost) and Quality of Life (QoL) of both PCT and ACT. Later, total cost was com- pared to QoL, the lesser amount was considered more cost effective. Result: Research result showed that to increase 1 scale of Quality of Life (QoL) of PCT needed an amount of IDR. 35,295.00, while to increase 1 QoL scale ACT was IDR 14,377.00. ACT was smaller than PCT. Conclution: Conclusion derived from the result was that ACT is more cost effective than PCT. Recommendation to be pre- sented is to endorse lung TB treatment with ACT in Jember Regency particularly in Puskesmas with the same character- istics with this research.Latar belakang: Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi mikrobakterium tuberkulosis. Bila terinfeksi, diperkira- kan akan kehilangan waktu kerja 3-4 bulan dan berkurangnya pendapatan 20-30% pertahun. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penu- laran TB dengan intervensi yang tepat. Pengobatan TB di Kabu- paten Jember dilakukan dengan cara Pasive Case Treatment (PCT), yang mengharuskan pasien datang ke puskesmas untuk mengambil OAT pada hari dan jam yang telah ditentukan. Cara ini ternyata kurang efektif yang ditandai dengan meningkatnya default selama 3 tahun yaitu: 2007= 5.08%, 2008= 5.14% dan 2009= 6.18%, yang diikuti dengan menurunnya conversion rate selama 3 tahun, yaitu; 2007= 95.26%, 2008= 93.09% dan 2009= 92.08%. Hal ini akan meningkatkan kasus re-treatment yang berakibat munculnya MDR (Multidrugs resistance) dan juga akan mempengaruhi kualitas hidup penderita TB. Kemudian muncul ide untuk menciptakan cara penggobatan dengan meng- antar OAT ke rumah penderita yang dilakukan oleh kader kese- hatan, yang diistilahkan dengan Active Case Treatment (ACT). Metode: Penelitian ini merupakan Quasy Experimental Re- search dengan rancangan prospektif. Dilakukan di 16 Puskes- mas di Kabupaten Jember yang memiliki angka default lebih dari 5% dan conversion rate kurang dari 80% pada tahun 2009. Dilakukan pada awal September sampai akhir Nopember 2010. Sampelnya adalah seluruh pasien TB Paru yang berobat pada bulan september 2010 dengan kriteria; kasus baru, usia 15-50 tahun, tidak HIV dan diabetes, tidak malnutrisi, dan tidak alergi terhadap OAT. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengisian kuesioner dan penelusuran doku- men. Selanjutnya menghitung biaya total (biaya langsung dan biaya tidak langsung) dan tingkat kualitas hidup penderita TB dari kedua cara pengobatan (PCT dan ACT). Kemudian memban- dingkan antara total cost dengan tingkat kualitas hidup. Angka yang lebih kecil menunjukkan lebih cost effective. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menaikkan 1 skala Qol dengan cara PCT dibutuhkan dana sebesar Rp. 35,295.00. Sedangkan untuk menaikkan 1 skala Qol dengan cara ACT membutuhkan dana sebesar Rp. 14,377.00. Cara ACT membutuhkan dana lebih kecil dibanding PCT. Kesimpulan: Dari hasil tersebut diatas maka dapat diambil kesimpulan akhir bahwa pengobatan TB paru cara ACT lebih cost effective dibanding dengan pengobatan TB paru cara PCT. Dengan demikian, rekomendasi yang diusulkan adalah memberlakukan pengobatan TB Paru dengan cara ACT di Kabu- paten Jember terutama pada wilayah puskesmas yang memiliki karateristik yang sama dengan penelitian ini.