Ema Khotimah
Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Memahami Komunikasi Antarbudaya Khotimah, Ema
Mediator Vol 1, No 1 (2000)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Setiap hari, setiap dari kita berkomunikasi. Tetapi, tidak dengan sendirinya setiap orang akanterampil melakukan komunikasi yang efektifdengan orang lain. Terlebih, bila orang yang terlibat dalam komunikast itu berbeda budaya. Sejarah telah membuktikan, dari masa Ice masa, kesalahpahaman memahami pesan, perilaku .atau peristiwa komunikasi; telah menyebabkan suasana yang tidak diharapkan, mulai dari penilaian yang merendahkan terhadap orang lain, cemoohan; cercaan, isolasi, sampai kepada tindakan-tindakan kekerasan. Bahkan, beberapa peperangan antarbangsa; antamegara, dan antarsuku, diakibatkan perbedaan dan kekeliruan dalam mempersepsi pesan, perilaku, dan peristiwa komunikasi. Oleh karena itu, kajian komunikasi antarbudaya sangat relevan dengan berbagaipersoalan kekinian, di mana setiap orang, disengaja atau tidak; suka atau tidak; akan semakin intensifterlibat dalam kontak sosial dengan orang-orangyang berbeda budaya.
"Bezoek Politik" dalam Perspektif Dramaturgis Khotimah, Ema
Mediator Vol 3, No 2 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia, dengan kekhasan struktur sosial budayanya, memiliki sistem sosial dan budaya komunikasi politik yang khas pula. Bila pada masyarakat modern dan demokratik lainnya, kedudukan media massa elektronik (televisi)-di samping media cetak-menjadi ujung tombak kegiatan propaganda, kampanye. dan periklanan politik; maka, di Indonesia, saluran komunikasi organisasi dan interpersonal telah menjadi saluran utama komunikasi politik selama tiga dasawarsa terakhir. Namun, sejak munculnya televisi swasta, terlebih pascaruntuhnya Orde Baru, televisi dan media massa lainnya menjadi sinergi dalam membangun budaya komunikasi politik dewasa ini. Fenomena iklan politik dan public relations dalam konteks politik, kini mulai akrab digunakan. Para komunikator politik pun mulai menjadikan media massa elektronik sebagai sarana publisitas bagi dirinya dan kubu politiknya.
Ba’asyir dalam Pertarungan Wacana Khotimah, Ema
Mediator Vol 4, No 1 (2003)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Situasi internasional pascatragedi WTC sangat sensitif terhadap gerakan dan kelompok yang dipandang radikal, ekstrem, apalagi yang “berbau” terorisme. Ironisnya, semua keonaran ini telah ditudingkan kepada kelompok Islam garis keras sebagai pelakunya. Media massa secara simultan mem-blow-up relasi Islam dan terorisme dari waktu ke waktu. Bahkan, Indonesia terkena getahnya, negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini pun dikukuhkan oleh media Barat dan didukung oleh media massa nasional sebagai sarang teroris, lalu Abu bakar Ba’asyir dicap sebagai pemimpin teroris di kawasan Asia Tenggara. Meski sampai saat ini tim penyidik belum menemukan bukti keterlibatan Ba’asyir dalam aksi terorisme, Ba’asyir masih mendekam di penjara sampai 1 Maret 2002 sesuai BAP Polri . Di media massa, Ba’asyir dan kelompok Islam cenderung telah terpinggirkan dalam pertarungan wacana. 
Analisis Kritis Wacana Poligami: Praktik Marjinalisasi dan Demonologi Islam dalam Wacana Poligami Khotimah, Ema
Mediator Vol 9, No 1 (2008): Isu Komunikasi Kesehatan yang Ter-”Pojok”-kan
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Polygamy (and also anti-polygamy) always become hot issue in Indonesia. There are at least two national events which reintroduced polygamy discourse: the second-marriage of famous religious leader—KH Abdullah Gymnastiar, and pornographic video depicting sexual relationship between Yahya Zaini—a high political figure—and Maria Eva—a wannabe celebrity. A strong and emotional debate over those two events marginalized the main issue of polygamy itself in the world of Islam. A critical discourse analysis toward polygamy discourse has found that marginalization practices are conducted even by prominent members of Islamic organizations and intellectuals, as well as members of legislative body. It turned out that polygamy discourse was biased and misrepresented.
Analisis Kritis Teori Pembangunan dan Kedudukan Perempuan dalam Perspektif Ekofeminisme Khotimah, Ema
Mitra Gender (Jurnal Gender dan Anak) Volume 1, No. 1 (Januari) Tahun 2018
Publisher : Mitra Gender (Jurnal Gender dan Anak)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/.v1i1.3733

Abstract

Pembangunan yang dilaksanakan oleh negera-negara Dunia Ketiga secara paradigmatik telah banyak dikecam dan dikritisi oleh para peneliti di Negara-negara Selatan dan sejumlah Negara Timur. Mengapa? Karena pembangunan telah banyak menimbulkan dampak social,budaya,politik dan ekologis yang harus ditanggung oleh masyarakat yang dikenai pembangunan tersebut. Selain semua kebijakan pembangunan bersifat top-down juga atas nama pertumbuhan ekonomi telah mengabaikan aspek-aspek lainnya selain ekonomi dalam kehidupan masyarakat tersebut. Kedua, pembangunan menempatkan masyarakat terutama kaum perempuan sebagai objek pembangunan, misalnya jelas terlihat dalam kebijakan program Keluarga Berencana.            Oleh karena secara paradigmatik  teori pembangunan diadopsi sepenuhnya dari konsep pembangunan di negara-negara maju, dengan sendirinya indikator-indikator pembangunan pun menggunakan parameter negera-negara maju tersebut. Bahkan,  saat pertumbuhan ekonomi dijadikan tulang punggung keberhasilan pembangunan, parktik pembangunan ini telah menggunakan kepercayaan pada ilmu ekonomi yang “bebas budaya” dengan sendirinya netral. Resiko yang ditanggung pembangunan dengan titik pandang ini sejak pembangunan dicanangkan hingga saat ini masih menyisakan persoalan yang rumit secara social, ekonomi, politik, budaya, dan ekologis.            Perempuan di Indonesia misalnya,  dengan populasi 49,9% (102.847.415) berdasarkan sensus Penduduk 2000 dari total 206.264.595  penduduk Indonesia masih menangggung marjinalisasi dalam bidang pendidikan,kesehatan, dan akses secara politis. Padahal, salah satu tolok ukur  Indeks Pembangunan Manusia yang ditetapkan oleh UNDP adalah indeks kesehatan dan pendidikan. Sehingga tidak mengherankan bilaIndonesiadari 117 negara yang disurvey untuk Indeks Pembangunan Manusia ini menempati urutan ke 111. Kaum Ekofeminisme menuduh mengejar pembangunan hanya menempatkan perempuan sebagai “korban” (objek) pembangunan ketimbang subjek yang ikut serta aktif berpartisipasi dalam proses pembangunan.            Berangkat dari fakta tersebut, tulisan ini berusaha melakukan analisis kritis secara paradigmatis atas teori-teori pembangunan dan kedudukan perempuan dalam pembangunan dalam perspektif  Ekofeminisme.  Juga, menawarkan alternatif kerangka paradigmatik teori pembangunan yang sensitif gender dan berbasis budaya yang selama ini diabaikan dalam paradigma pembangunan lama. Karena rendahnya perempuan dalam akses pendidikan , kesehatan dan politik diIndonesiajuga menjadi penyebab rendahnya Indeks Pembangunan ManusiaIndonesia.Â