Safitri Wikan Nawang Sari
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

TANGGUNG JAWAB PIDANA PELAKU KDRT BERSTATUS SUAMI DI KALIMANTAN SELATAN DALAM HUKUM INDONESIA Safitri Wikan Nawang Sari
Qistie Jurnal Ilmu Hukum Vol 12, No 2 (2019): Qistie: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31942/jqi.v12i2.3133

Abstract

Fenomena kasus KDRT terhadap perempuan (istri) sebagai korban dari pelaku (suami) dapat terjadi kepada siapapun dari berbagai lapisan masyarakat baik dari kalangan rumah tangga bawah, menengah dan atas serta bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan dalam keadaan apapun. Penelitian ini merupakan jenis yuridis normatif bertipe kualitatif bersifat interpretatif . Penelitian kualitatif ini meliputi kegiatan penyusunan dan perancangan penelitian, pengumpulan data dan pengolahan data serta melakukan analisis terhadap data – data yang telah terkumpul untuk kemudian disusun dalam suatu laporan penelitian. Metodenya studi kasus (case study) dengan data kualitatif yang diarahkan untuk menghimpun data, mengambil makna dan memperoleh pemahaman dari kasus tersebut melalui pengumpulan data yang mendalam melibatkan berbagai sumber informasi majemuk. Hasilnya ditemukan bahwasanya, sepanjang Tahun 2018 telah menemukan 214 kasus KDRT di wilayah Kalimantan Selatan, kasus terbanyak ditemukan diwilayah Banjarbaru ada 37 kasus KDRT terhadap perempuan dan anak yang dilakukan suami atau bapak dari anak tersebut. Salah satu sample diambil di kampung sayur carakajaya desa Landasan ulin utara lianganggang yang dilakukan di bulan Juni 2018 selama 1 minggu , yang didasarkan pada adanya obyek penelitian yaitu istri yang menerima KDRT dari suaminya namun tetap bertahan dalam ikatan pernikahannya karena konsep kepemimpinan superioritas laki-laki dalam rumah tangga dalam budaya patriaki serta interpretasi filosofi keagamaan yang sempit berbias gender yang menimbulkan ketundukan istri terhadap kehendak suami atas segala keputusan suami sehingga dijadikan pembenar adanya dominasi suami dalam rumah tangga. Regulasi Hukum Nasional Indonesia KUHP dan UU No. 23 Tahun 2004 tidak dapat menyentuh pelaku KDRT (suami) karena tidak adanya keberanian (bravery) dan kesadaran (awareness) dari korban (perempuan sebagai istri) melaporkan segala jenis KDRT yang dilakukan pelaku (laki-laki sebagai suami) kepada penegak hukum (law enforcer) dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Kata Kunci : Tanggung Jawab, Pidana, KDRT, Suami, Kalimantan Selatan, Hukum Indonesia.
RELEVANSI PERLINDUNGAN KORBAN PENIPUAN DAN PENGGELAPAN OLEH OKNUM POLRI DENGAN PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK PROPESI POLRI Safitri Wikan Nawang Sari; Eroy Aryadi
Badamai Law Journal Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v4i1.6045

Abstract

Adanya korban yang perlu dilindungi hak-haknya dalam perkara yang  melibatkan oknum Anggota Polri Polres Banjarbaru berinisial AIPTU M, yang melakukan suatu tindak pidana penipuan dan penggelapan sesuai pasal 372 dan 378 KUHP. Tujuan dari penulisan ini adalah : (1) Sebagai pedoman dan keseragaman administrasi Penyidik Propam Polri dalam menjalankan tugasnya melakukan penyidikan perkara pelanggaran disiplin, pidana dan kode etik sesuai dengan Standar Operasional Prosedur; (2) Memberikan kejelasan tentang Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003 yang bersinergi dengan Surat Edaran Kapolri Nomor 6 Tahun 2014 sehingga para penyidik Propam mampu bertindak secara professional, Modern dan Terpercaya.        Hasil penelitian ini adalah : (1) korban An. NOERANA diarahkan agar melaporkan pengaduannya ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polres Banjarbaru terhadap perkara Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri yang dilakukan oknum berinisial Aiptu M terhadap dirinya dikarenakan ditemukan unsur pidana dalam pelanggaran yang dilakukannya, namun yang bersangkutan tidak mau melaporkan kasus pidananya dan hanya berharap disidangkan disiplin saja untuk dapat diselesaikan secara damai yang menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution); (2) Oknum Polri berinisial AIPTU M dihadapkan pada sidang disiplin dan dijatuhi hukuman mutasi yang bersifat demosi.  terkait adanya korban lain yang melaporkan permasalahan yang sama melalui jalur perkara pidana, sampai dengan sekarang Sat Reskrim Polres Banjarbaru masih melakukan penyidikan.
EFEKTIVITAS PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Safitri Wikan Nawang Sari
Jantera Hukum Bornea Vol. 5 No. 01 (2022): Januari 2022
Publisher : Fakultas Hukum UVAYA Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (404.37 KB)

Abstract

Ketika seorang pelaku kejahatan teknologi diperiksa dalam hal penyelesaian perkara, KUHAP belum mengatur secara jelas mengenai pengaturan alat bukti elektornik sebagai alat bukti yang sah dalam melakukan pembuktian. Keefektifan pembuktian alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam sistem peradilan pidana menjadi tanggung jawab bersama para penegak hukum terutama penyidik dalam proses penyidikan sebagai garda terdepan dalam identifikasi alat bukti dalam sistem peradilan pidana. Penulisan penelitian ini mengkaji pokok permasalahan melalui metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundanng-undangan (Statute Approach) untuk menganalisis kasus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) untuk menjelaskan dan mengaitkan dengan teori-teori yang relevan yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang atau menurut ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, makalah, artikel, literatur, serta hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. KUHAP belum mengatur secara tegas mengenai alat bukti elektronik yang sah. Mengacu pada ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP, harus ada alat penguji terhadap alat bukti elektronik sebagaimana yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 Jo UU No. 19 Tahun 2016 agar alat bukti tersebut dapat dinyatakan sah dan berlaku efektif di persidangan, sejajar sebagaimana alat bukti lainnya yang sah menurut KUHAP
HAK MASYARAKAT MENDAPATKAN KEPASTIAN DAN KEADILAN DI PENGADILAN PERIKANAN Safitri Wikan Nawang Sari; Devi Sara'i
Jantera Hukum Bornea Vol. 5 No. 02 (2022): Juli 2022
Publisher : Fakultas Hukum UVAYA Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (597.301 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam mengenai konsep-konsep tindak pidana perikanan serta menguraikan terkait hak masyarakat mendapatkan kepastian dan keadilan di Pengadilan Perikanan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dalam penyelesaian tindak pidana perikanan. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan teknik pengumpulan melalui studi kepustakaan (library research) kemudian bahan hukum diolah dan dianalisa melalui editing, coding, reconstructing, systematizing dan dianalisa dan disajikan secara kualitatif deskriptif . Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Pemerintah Indonesia telah membentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana perikanan yang berkedudukan di Pengadilan Negeri dalam perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan negara RI baik yang dilakukan oleh WNA maupun WNI; (2) Sebagai suatu kebijakan dan penanggulangan sengketa hukum atau konflik hukum dalam tindak pidana perikanan yang akan menjadi landasan dalam kebijakan aplikasi maupun eksekusi maka UU No. 31 Tahun 2004 Jo UU No. 45 Tahun 2009 sebagai UU perikanan telah memuat regulasi/ formulasi baik mengenai hukum acara pidana maupun tindak pidana perikanan sepanjang di dalam hukum acara pidana umum yang berlaku di Indonesia (KUHAP/ UU No. 8 Tahun 1981) belum mengaturnya walaupun selama ini pengadilan perikanan belum optimal memberikan perlindungan, mengingat terdapat faktor-faktor penghambat yang bisa membuat masyarakat tidak bisa maksimal dalam mendapatkan akses kepastian dan keadilan.