Syamsul Kurniawan
Program Pascasarjana (PPs.) STAIN Pontianak.

Published : 12 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

DIKOTOMI AGAMA DAN ILMU DALAM SEJARAH UMAT ISLAM SERTA KEMUNGKINAN PENGINTEGRASIANNYA Kurniawan, Syamsul
FIKRAH Vol 1, No 1 (2013): Fikrah
Publisher : FIKRAH

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Secara historis-filosofis kajian ini mendeskripsikan tentang bagaimana dikotomi agama dan ilmu sedang terjadi dalam perjalanan sejarah umat Islam dan seberapa besar kemungkinan ia dapat kembali diintegrasikan. Kajian ini dilakukan berangkat dari kegelisahan penulis dalam menanggapi pemikiran Islam yang dikotomistik antara agama dan ilmu. Hal ini mengakibatkan umat Islam berada dalam kondisi yang terpuruk yaitu mengalami kemunduran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itulah usaha integrasi perlu dilakukan umat Islam dengan tidak mendikotomi agama dengan ilmu. Manfaat dari kajian ini secara teoritis adalah adanya tuntunan teoritis bagi umat Islam dalam memandang agama dan ilmu secara integratif, sehingga berikutnya muncul kesadaran untuk melakukan reinterpretasi terhadap ilmu termasuk adanya semangat mengkaji ilmu yang didasarkan pada nilai-nilai agama Islam. Kata Kunci: Dikotomi, Integrasi, Agama, Ilmu
PANTANG LARANG AND THE ENVIRONMENTAL WISDOM OF SAMBASNESS MALAY IN THE SEPINGGAN VILLAGE Kurniawan, Syamsul
KALAM Vol 12, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3507.418 KB) | DOI: 10.24042/klm.v12i1.1882

Abstract

Based on the research, Sambasness Malay in Sepinggan Village recoqnize pantang larang (prohibition/taboo) as moral norms or unwritten rules dealing with their activities as Malay. it is called pantang larang  because it contains prohibition. If someone breaks the rules of pantang larang, he or she will get bad or scary thing. At sepinggan village,pantang larang developed as a strategy for malay in educating character building indeed since early childhood. The environmental wisdom is one of things which reflected in Sambasness Malays pantang larang at Sepinggan Village. It has been known for a long time from desecent untill now and internalized assimilated in their activities as moeslims. it is descriptive research. it describes objective and contextual that information source gains from the field observation.
DIKOTOMI AGAMA DAN ILMU DALAM SEJARAH UMAT ISLAM SERTA KEMUNGKINAN PENGINTEGRASIANNYA Kurniawan, Syamsul
FIKRAH Vol 1, No 1 (2013): Fikrah
Publisher : Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, Jurusan Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/fikrah.v1i1.309

Abstract

Secara historis-filosofis kajian ini mendeskripsikan tentang bagaimana dikotomi agama dan ilmu sedang terjadi dalam perjalanan sejarah umat Islam dan seberapa besar kemungkinan ia dapat kembali diintegrasikan. Kajian ini dilakukan berangkat dari kegelisahan penulis dalam menanggapi pemikiran Islam yang dikotomistik antara agama dan ilmu. Hal ini mengakibatkan umat Islam berada dalam kondisi yang terpuruk yaitu mengalami kemunduran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itulah usaha integrasi perlu dilakukan umat Islam dengan tidak mendikotomi agama dengan ilmu. Manfaat dari kajian ini secara teoritis adalah adanya tuntunan teoritis bagi umat Islam dalam memandang agama dan ilmu secara integratif, sehingga berikutnya muncul kesadaran untuk melakukan reinterpretasi terhadap ilmu termasuk adanya semangat mengkaji ilmu yang didasarkan pada nilai-nilai agama Islam. Kata Kunci: Dikotomi, Integrasi, Agama, Ilmu
PERSPEKTIF UMAT ISLAM TENTANG AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN: Dari Dikotomi ke Integrasi Kurniawan, Syamsul
Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Penelitian Sosial Keagamaan Vol 19, No 1 (2019)
Publisher : LP2M IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/dinamika.2019.19.1.145-166

Abstract

This article examines debates among Muslim on the relation between science and religion and its current debates that shifts from dichotomy perspective towards more integrated ones. As many argue, the dichotomy between science and religion, between Islamic science and secular ones, between eastern and western sciences has been hegemonic since hundred centuries. This article tries to examine why this dichotomist approach has been dominant in Islamic histories and what are the consequences of the separation between science and religion. On the other hand, this article argues that Islam never develop such dichotomist approach between science and religion. Keyword: Religion, Science, Dichotomy, Integration Fokus tulisan ini adalah tentang perspektif umat Islam tentang agama dan ilmu pengetahuan, dari kecenderungan mendikotomikan sampai ada kesadaran untuk kembali mengintegrasikan keduanya. Hal ini berangkat dari kenyataan sejarah umat Islam, yang mana hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan pernah berada dalam hubungan yang tidak harmonis, mengalami dikotomi, bahkan selama beberapa dekade tidak pernah berhenti dan selalu dihadapkan pada pembedaan antara apa yang disebut “ilmu Islam” dan “ilmu non Islam”, “ilmu barat” dan “ilmu timur”. Bahkan lebih parah ketika dikotomi tersebut menjalar sebagai satu bentuk dikotomi antara ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, tulisan ini ingin menjawab beberapa pertanyaan sesuai fokus, yaitu mengapa dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan terjadi, padahal Islam tidak pernah mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa saling terkait) antara ilmu-ilmu agama dan umum? Apa konsekuensi yang dialami umat Islam sebagai akibat dari dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan?; Serta, bagaimana integrasi antara agama dan ilmu pengetahuan itu dapat dilakukan, dan apa urgensitasnya?. Kata Kunci: Agama, Ilmu Pengetahuan, Dikotomi, Integrasi
Globalisasi, Pendidikan Karakter, dan Kearifan Lokal yang Hybrid Islam pada Orang Melayu Kalimantan Barat Kurniawan, Syamsul
Jurnal Penelitian Vol 12, No 2 (2018): JURNAL PENELITIAN
Publisher : LP2M IAIN kUDUS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/jp.v12i2.4899

Abstract

Pada era globalisasi, seperti saat ini, di mana jati diri sebuah bangsa sedang diuji, membangun karakter menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini menjadi alasan pentingnya pendidikan karakter diberikan tidak hanya di rumah atau sekolah, tetapi juga di masyarakat. Khususnya masyarakat, dapat menjadi pusat pendidikan karakter oleh sebab di dalam keseharian masyarakat memiliki kearifan lokal yang dapat digali sebagai basis pendidikan karakter. Seperti orang Melayu Kalimantan Barat, yang mempunyai kearifan lokal, yang masih digenggam kuat dalam keseharian mereka sebagai Melayu. Kearifan lokal yang dianut oleh orang Melayu Kalimantan Barat sangat dekat dengan Islam, mengingat keterhubungan antara identitas Melayu dan Islam. Kearifan lokal ini lahir, bertumbuh dan berkembang di kalangan orang Melayu Kalimantan Barat dan berwarnahybrid, karena terjadi perpaduan kearifan lokal dengan nilai-nilai Islam. Di antara variannya yang dibahas dalam artikel ini, yaitu hukum adat Melayu, pantang larang, dan upacara adat.
PROFESIONALISME GURU PAI DI ERA MILINEAL (Profesionalisme Guru PAI dalam Membangun Karakter dan Melakukan Integrasi-Interkoneksi Keilmuan pada Pelajaran PAI) Kurniawan, Syamsul
EDUKASIA Vol 14, No 2 (2019): EDUKASIA
Publisher : Program Studi Pendidikan Agama Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/edukasia.v14i2.4227

Abstract

THE challenge of islamic education teachers in the millennial era is how they are able to build student character professionally  and the other side they also can integrate and interconnect between islamic education lessons and general knowledge (science and technology) and social humaniore studies. Moreover, based on the statistics of islamic education teachers in the academic year 2018/2019, the number of islamic education teachers in Indonesia is huge in numbers and spread throughout among all provinces in Indonesia, namely 224,403 islamic education teachers, so it is the potential exists in Islamic education that is able to build character through an integrative-interconnect paradigm , as the theory formulated by expert of M. Amin Abdullah. So, the focus of this article: first, why is the professionalism of Islamic education teachers still an important thing in islamic education learning in this millennium era?; second, how should be a professional islamic education teacher in building the character of his students who live in the millennial era?; third, how should be a professional  islamic education teacher in integration and interconnection between Islamic studies and general science in islamic education learnin ?; and fourth, how can a teacher explore his professional capacity in milenial era?. The approach used in this paper is a descriptive approach, that is only describing or analyzing the professionalism of islamic education teachers in the millennial era, especially in building character and conducting scientific integration and interconnection during islamic education learning.
Globalisasi, Pendidikan Karakter, dan Kearifan Lokal yang Hybrid Islam pada Orang Melayu Kalimantan Barat Kurniawan, Syamsul
Jurnal Penelitian Vol 12, No 2 (2018): JURNAL PENELITIAN
Publisher : LP2M IAIN kUDUS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/jp.v12i2.4899

Abstract

Pada era globalisasi, seperti saat ini, di mana jati diri sebuah bangsa sedang diuji, membangun karakter menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini menjadi alasan pentingnya pendidikan karakter diberikan tidak hanya di rumah atau sekolah, tetapi juga di masyarakat. Khususnya masyarakat, dapat menjadi pusat pendidikan karakter oleh sebab di dalam keseharian masyarakat memiliki kearifan lokal yang dapat digali sebagai basis pendidikan karakter. Seperti orang Melayu Kalimantan Barat, yang mempunyai kearifan lokal, yang masih digenggam kuat dalam keseharian mereka sebagai Melayu. Kearifan lokal yang dianut oleh orang Melayu Kalimantan Barat sangat dekat dengan Islam, mengingat keterhubungan antara identitas Melayu dan Islam. Kearifan lokal ini lahir, bertumbuh dan berkembang di kalangan orang Melayu Kalimantan Barat dan berwarnahybrid, karena terjadi perpaduan kearifan lokal dengan nilai-nilai Islam. Di antara variannya yang dibahas dalam artikel ini, yaitu hukum adat Melayu, pantang larang, dan upacara adat.
SERAPAH DALAM MASYARAKAT MELAYU KAMPUNG SAIGON KOTA PONTIANAK Kurniawan, Syamsul
Religi: Jurnal Studi Agama-agama Vol 9, No 1 (2013): Kompetisi Damai dalam Keragaman
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/rejusta.2013.0901-06

Abstract

Serapah for the Malay people of Kampung Saigon, Pontianak, is believed to have magical powers with several purposes such as to protect themselves and property, weaken the enemy, conquer women and so forth. This study therefore aims to describe the actual prac- tice of Serapah spell as observed by the Malay of Kampung Saigon. In reality, animism and dynamism have contributed to a strong conviction about the efficacy of Serapah in the everyday life of Malay people of Kampung Saigon. Such a conviction in turn allows oral development of  Serapah from one generation to another. Serapah as practice of incantations which are growing in this place, not only shows an old cultural phenomenon alive today, but also displays a form of religious expression in the Malay community. There is even a provision that the Serapah must be started with reading Basmallah (Bismillah) and closed with the phrase “Berkat doa Laailahaillallah Muhammadar rasulullah”.
Communal Conflicts in West Kalimantan: The Urgency of Multicultural Education Kurniawan, Syamsul; Miftah, Muhammad
Dinamika Ilmu: Jurnal Pendidikan Dinamika Ilmu Vol 21 No 1, June 2021
Publisher : IAIN Samarinda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21093/di.v21i1.2934

Abstract

Communal conflicts between ethnic groups in West Kalimantan still leave a post-conflict residue which is problematic to this day. For example, in Sambas, although at present it can be said that the relationship between ethnic Sambas Melayu and Madurese outside Sambas seems to be subsiding, the research findings showed that it is not the real fact in Sambas. Even in the community, there is still a stigma about Sambas as an unsafe area for the Madurese ethnicity. This social fact shows that the efforts of a dialogue forum to reconcile the two ethnicities only succeeded in resolving conflicts on the surface, but it failed to resolve the core of the conflict, namely stereotyping. Although it is not as complicated as in Sambas, inter-ethnic stereotypes are also a problem for two other post-conflict areas, namely Sanggau Ledo and Pontianak. Because education is considered to have a strategic role in building multicultural awareness and correcting stereotypes, in this context, multicultural education is considered relevant to be developed in schools in West Kalimantan. It is the focus of this study. This study is the result of qualitative research, whose data is obtained by the authors from observations, interviews, and documentation. The informants in this study were people in post-conflict areas in West Kalimantan, namely in Sanggau Ledo, Sambas, and Pontianak with ethnic backgrounds of Malay, Dayak, and Madura. In this study, the authors used an interactive data analysis method which included data reduction, data presentation, and conclusion/verification proposed by Miles, Huberman, and Saldaña.
The Madrasa in Indonesia (Authority, Knowledge and Discourse Surrounding its Development) Kurniawan, Syamsul; Miftah, Muhammad
EDUKASIA Vol 15, No 2 (2020): EDUKASIA
Publisher : Program Studi Pendidikan Agama Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/edukasia.v15i2.7998

Abstract

 The focus of this paper is the madrasa in Indonesia and its development which is examined from the perspective of Michel Foucault regarding their authority, knowledge and discourse. The madrasa’s performance, which is still relatively low and unable to compete with public schools or pesantrens (Islamic Boarding Schools), will be examined from this perspective. This paper departs from the study of literature with a historical-sociological approach. The sources of the data come from the literature related to the history and development of madrasas. From Foucoult's perspective, the performance of the madrasa--which in its development shows a decline trend and is of relatively low quality and less competitive compared with general schools or pesantrens-- is closely related to power, knowledge and discourse factors. My argument is supported by the evidence that there is no an established “blueprint” for the supervision and development of madrasas in Indonesia, in contrast to schools or pesantrens. Likewise, the problem of interplay of madrasa policies in the integration of the national education system has put the madrasa in the midst of domination of schools and pesantrens, especially in the midst of society since the appreciation and level of community participation in the madrasa are not very encouraging. In addition, there is an opinion among the public which perceives the madrasa as the second educational institution after schools or pesantrens. This opinion is, of course, supported by empirical data, such as research from Nur Hamzah (2017) and Sukino (2017) which examined the madrasas in West Kalimantan Province, and revealed the poor quality of some madrasas in this area, which in my opinion is the "top of the iceberg" of the madrasa, especially in the outermost, interior and underdeveloped areas of Indonesia.