Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Penanganan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara yang Tersimpan dalam Waktu Lama di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Anugrah SH; Muhammad Basri; Hijrah Adhyanti Mirzana
Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam Vol 8 No 1 (2021)
Publisher : Jurusan Hukum Acara Peradilan dan Kekeluargaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/al-qadau.v8i1.18498

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui Kewenangan Rupbasan dalam mengelola benda sitaan dan untuk mengetahui pertanggungjawaban Rupbasan terhadap benda sitaan yang tersimpan dalam waktu yang lama. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian empiris. Bahwa kewenangan Rupbasan dalam mengelola benda sitaan yaitu sebagai tempat penyimpanan segala macam benda sitaan negara maupun barang rampasan negara sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara dan Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pertanggungjawaban Rupbasan terhadap benda sitaan yang tersimpan dalam waktu yang lama yakni melakukan proses pengelolaan fisik dan administrasi benda sitaan maupun barang rampasan negara yang meliputi: (1)penerimaan; (2)registrasi; (3)pengklasifikasian dan penempatan; (4)penyimpanan; (5)pengamanan; (6)pemeliharaan; (7)penyelamatan; (8)penggunaan basan; (9)pemutasian; (10)penghapusan; (11)pengeluaran; (12)pelaporan.
TELAAH KETENTUAN PIDANA KEKARANTINAAN KESEHATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 BAGI KESEHATAN NOTARIS DAN MASYARAKAT ERA PANDEMI COVID-19 M. Aris Munandar; Audyna Mayasari Muin; Hijrah Adhyanti Mirzana
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 5, No 1 (2021): Februari
Publisher : Universitas Islam Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (361.716 KB) | DOI: 10.33474/hukeno.v5i1.9316

Abstract

 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hukum pidana yang menghambat penerapan status darurat kesehatan masyarakat pada saat diselenggarakan kekarantinaan kesehatan dan menganalisis sistem pemidanaan yang ideal untuk diterapkan bagi pelaku tindak pidana kekarantinaan kesehatan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teoretis kebijakan hukum pidana dalam darurat kesehatan masyarakat sulit untuk diterapkan. Substansi Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan memuat 2 (dua) jenis delik, yaitu delik formil dan delik materiel. Namun, terdapat penggunaan kata yang masih abstrak di antaranya: perbuatan “menghalang-halangi” serta menempatkan “kedaruratan kesehatan” sebagai “sebab” dalam peraturan tersebut merupakan sebuah kerancuan. Seharusnya rumusan kausalitas pidana dalam sebuah produk hukum pidana dirumuskan sesuai dengan konsepsi awalnya. Oleh karena itu, rumusan delik yang abstrak atau luas akan menghasilkan ketidakpastian hukum, berpotensi tidak dapat diterapkan, dan bertentangan dengan penafsiran yang menyatakan bahwa hukum pidana harus ditafsirkan secara sempit. Merujuk pada keadaan tersebut, maka sistem pemidanaan yang ideal diterapkan ketika terjadi pelanggaran penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, yaitu sistem pemidanaan yang bersifat restoratif dan integratif.Kata kunci: Pandemi Covid-19, Kekarantinaan Kesehatan, Kebijakan Hukum Pidana AbstractThis study aims to determine the legal policy policies that apply Law Number 6 of 2018 concerning Health Quarantine and analyze the ideal punishment system to be applied to health quarantine crimes. The research method used, namely normative research through an invited approach (statute approach). The results show that legal policies in public health emergencies are difficult to implement. The substance of Article 93 of the Health Quarantine Law contains 2 types of offenses, namely formal offenses and material offenses. However, there is a use of the word which is still abstract beside: the act of "obstructing" and placing "health emergency" as "cause" in the regulation is a confusion. The formulation of criminal causality in a criminal law product should be formulated in accordance with its initial conception. Therefore, the abstract or broad formulation of offenses will provide legal uncertainty, which cannot be applied, and contradicts the interpretation which states that criminal law must be interpreted narrowly. Referring to this situation, the ideal punishment system is applied when implementing health quarantine, namely a restorative and integrative system of punishment.Keywords: Covid-19 Pandemic, Health Quarantine Act, Penal Policy
Peran Kepolisian dalam Penanggulangan Kejahatan Seksual yang Dilakukan oleh Anak di Kota Makassar Andi Agung Gunawan; Dara Indrawati; Hijrah Adhyanti Mirzana
Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam Vol 9 No 1 (2022)
Publisher : Jurusan Hukum Acara Peradilan dan Kekeluargaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/al-qadau.v9i1.23831

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran kepolisian dalam menanggulangi kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak di kota makassar dan upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian. Penelitian ini dilakukan secara normatif empiris yang dilakukan melalui undang-undang dan asas-asas yang berlaku maupun studi lapangan dengan melihat fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa peran kepolisian dalam menanggulangi kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak di kota Makassar dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) upaya yaitu Upaya Pre-emtif, Upaya Preventif, dan upaya Represif. Dalam menjatuhkan sanksi kepada anak yang menjadi pelaku kejahatan seksual kepolisian selalu mengupayakan Restorative Justice dalam penyelesaian perkara dimana polisi selalu memperhatikan kepentingan anak, bukan hanya anak sebagai korban tapi juga anak sebagai pelaku.
KEBIJAKAN KRIMINALISASI PERS DALAM UNDANG-UNDANG PERS DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Hijrah Adhyanti Mirzana
LAW REFORM Vol 2, No 1 (2006)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6145.099 KB) | DOI: 10.14710/lr.v2i1.12232

Abstract

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). Namun demikian dalam pelaksanaannya, hak ini tentu harus mendapat pembatasan dari rambu-rambu hukum (dalam hal ini hukum pidana) agar hak tersebut tidak mengganggu kepentingan integritas teritorial dan keamanan publik, tidak meningkatkan kekacauan dan kejahatan, pengungkapan informasi yang dirahasiakan, melanggar otoritas dan kebebasan kekuasaan kehakiman, melanggar hak-hak reputasi manusia lainnya serta melindungi kesehatan dan moral publik. Kriminalisasi pers dalam UU Pers maupun dalam KUHP sudah bukan merupakan masalah, karena perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut juga diatur dan dapat dikriminalisasikan oleh ketentuan-ketentuan Internasional dan UU Pers atau KUHP negara lain. Oleh karena itu, untuk pembaharuan hukum pidana dimasa mendatang, perlu dilakukan pengkajian mengenai kebijakan formulasi delik. Kebijakan formulasi delik ditempuh dengan secara tegas menyebutkan pembatasan yang bersifat represif bagi kebebasan pers, yaitu berupa aturan-aturan dan penciptaan delik-delik pers serta harus menetapkan kualifikasi delik dari tindakan-tindakan yang dikriminalisasikannya, sehingga apabila terjadi pelanggaran UU Pers, ketentuan pidana tersebut dapat dioperasionalkan. Kebijakan formulasi delik juga dapat ditempuh dengan melakukan rumusan ulang (rephrase) terhadap delik pers dalam KHUP, sebagaimana KUHP Belanda yang melakukan harmonisasi rumusan delik dengan ketentuan-ketentuan Internasional. Kata Kunci : Kebijakan Kriminalisasi Pers, Undang-Undang Pers, Kitab Undang-Undang Hukum pidana
Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Penguntitan Berbasis Elektronik untuk Tujuan Seksual Aldias Agung Liawi; Andi Muhammad Sofyan; Hijrah Adhyanti Mirzana
Alauddin Law Development Journal (ALDEV) Vol 5 No 2 (2023): ALDEV
Publisher : Law Department, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/aldev.v5i2.35504

Abstract

Problems regarding the regulation of electronic-based sexual violence crimes are unclear and require more detailed elaboration, especially in the case of stalking crimes. The research method is normative legal research and applies two approaches, namely, the Comparative and Conceptual approaches. The results showed that understanding the law itself, especially comparisons that aim to assume equality (there are similarities in various legal systems), has a definite goal that is of course related to the formal way of building the system (reviewing); moreover, it aims to unite one law because it is related to cyberstalking; it is universal and can be reached from various regions, not only in Indonesia. Law enforcement for cyberstalking cases in Indonesia can be linked to provisions in the Criminal Code, the ITE Law, and the Pornography Law. So that the provisions in the TPKS Law that regulate electronic-based stalking for sexual purposes have not yet been implemented.
THE AUTHORITY OF MEDICAL ORGANIZATIONS IN DETERMINING THE OCCURRENCE OF MEDICAL MALPRACTICE Andi Aulia Panangngari; Audyna Mayasari Muin; Hijrah Adhyanti Mirzana
Al-Risalah VOLUME 23 NO 1, MAY (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/al-risalah.vi.37373

Abstract

This study aimed to examine and analyze the authority of medical organizations in determining the occurrence of medical malpractice and to examine and analyze the judge's consideration of Decision Number 1441/Pid/Sus/2019/PN Mks. This study used a normative juridical research method with a statute approach and a case approach. The data analysis employed descriptive qualitative analysis, which was correlated with concepts and theories from various literary sources. The results of the study revealed that the Indonesian Medical Association (IMA), through Honorary Council for Medical Ethics (HCME), was authorized to determine the occurrence of medical malpractice. This authority was manifested through the revocation of the license of the doctor who became the defendant, even though the judge's decision stated that no malpractice was found by the defendant. Regarding Decision Number 1441/Pid.Sus/2019/PN. Mks, the acquittal for Mrs. Dr. Elizabeth Susana M. Boing was right. Many opinions confirmed that the incident was a result of medical risks rather than medical malpractice committed by Mrs. Dr. Elizabeth. However, it was considered a work accident that resulted in a medical risk, which basically did not result in criminal sanctions.