Darmawan Darmawan
Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Distribution of Poh Roh Asset Due to Divorce in Gayo Lues Community Aceh Lifa Datun Nisa; Darmawan Darmawan; Muhammad Adli
AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial Vol. 14 No. 2 (2019)
Publisher : Faculty of Sharia IAIN Madura collaboration with The Islamic Law Researcher Association (APHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/al-lhkam.v14i2.2203

Abstract

This research was conducted in Kute Lintang Village, Blangkejeren Sub-district of Gayo Lues Regency, which discussed the poh roh assets, according to the Gayo Lues customary law, a discussion about the distribution of poh roh assets in the Gayo Lues community. This research applied descriptive method with a normative juridical approach to obtain secondary data, sociological juridical approach, and field research.  The distribution system of poh roh assets due to divorce can be done in 2 (two) ways, namely by consensus and carried out through jeuma opat. The conciliation process carried out by divorced husband and wife ussually carried out by way of deliberations involving family relatives from both huband and wife. Whereas dispute resolution through jeuma opat emphasizes family aspects through deliberations to reach consensus, so none from the husband or wife feels defeated or won and jeuma opat knows about the origin of the assets obtained during their marriages, which are inherited assets, where inheritance is obtained from heirs of husband and wife and where are the poh roh assets, then simplify jeuma opat in terms of dividing the poh roh assets if there is a divorce because it already knows the origin of the divorced husband and wife's assets. Legal Consequences if the poh roh assets not shared After the divorce in Gayo Lues is the status of the poh roh assets will be not clear, it means that the husband and wife can no longer separate which is inherited from poh roh assets, even between the inheritance and the poh roh assets has been mixed, so it is very it is difficult to determine the status of property in a marriage.
Pembagian Harta Bersama Setelah Perceraian (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 597K/Ag/2016) Melia Melia; Muzakkir Abubakar; Darmawan Darmawan
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 7, No 3 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5470.172 KB) | DOI: 10.29303/ius.v7i3.665

Abstract

Harta bersama merupakan suatu akibat hukum setelah terjadinya perceraian. Kedudukan harta bersama setelah perceraian diatur menurut hukumnya masing-masing, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UU Perkawinan. Berdasarkan Pasal 97 KHI apabila putus perkawinan karena perceraian maka harta bersama dibagi dua. Namun dalam kenyataannya berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 597 K/Ag/2016, hakim memutukan bagian yang diterima oleh  bekas isterinya lebih besar dari bekas suaminya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam pembagian harta bersama setelah perceraian, dan pemenuhan prinsip keadilan dan kepastian hukum terhadap pembagian harta bersama setelah perceraian berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 597 K/Ag/2016. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim Agung dalam putusannya Nomor 597 K/Ag/2016 berdasarkan asas keadilan dan sosial justice tidak membagi ½ (seperdua) bagian harta bersama untuk bekas suami dan untuk bekas isteri, bahkan hakim Agung memutuskan pembagian harta bersama 2/3 untuk bekas isteri dan 1/3 bagian untuk bekas suami dengan pertimbangan bekas isteri lebih berkontribusi dalam menghasilkan harta bersama. Keputusan hakim Agung yang mengenyampingkan Pasal 97 KHI, dimana hakim Agung berpendapat kurang adil dan tidak sependapat dengan Hakim Mahkamah Syariah Aceh mengingat porsi andil isteri lebih besar dalam perolehan harta bersama dalam perkawinan.
Akibat Hukum Terhadap Akta Jual Beli Yang Cacat Hukum Imam Surya Saputra; Ilyas Ismail; Darmawan Darmawan
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 8, No 2: August 2020 : Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ius.v8i2.758

Abstract

Akta Jual Beli dibuat oleh pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun kenyataannya di lapangan banyak pelanggaran prosedur yang telah ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan PPAT dalam pembuatan akta jual beli dan apa akibat akta jual beli yang dinyatakan cacat hukum oleh putusan No. 32/Pdt.G/2011/PN.BNA. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan PPAT dalam pembuatan akta jual beli yaitu melaksanakan sebagian dari kegiatan pendaftaran tanah dengan tugas pembuatan akta otentik sebagai bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu di daerah kerjanya yang ditentukan dan untuk pelanggaran undang-undang yang terdapat pada Putusan No. 32/Pdt.G/2011/PN.BNA mengakibatkan akta jual beli tersebut cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Kedudukan Perjanjian Perkawinan Terhadap Pemisahan Harta Bersama Setelah Dilaksanakan Perkawinan Kaitannya Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tentang Waktu Pembuatan Perjanjian Perkawinan Sarizal Sarizal; Darmawan Darmawan; Mahfud Mahfud
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 2: Agustus 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (418.531 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i2.12168

Abstract

Menurut ketentuan Pasal 29 UU No 1 tahun 1974 Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian tertulis kedua belah pihak atas persetujuan  bersama, yang dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan  Salah satu bentuk perjanjian perkawinan yaitu perjanjian mengenai kedudukan harta dalam perkawinan mengenai pemisahan harta pencaharian masing-masing. Namun, Pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 terkait dengan ekstensifikasi waktu pembuatan perjanjian perkawinan, telah memberikan implikasi terhadap pelaku perkawinan yang pada awal pernikahan belum memiliki perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat dibuat kapan saja meskipun telah berlangsungnya perkawinan. Oleh karena itu, Putusan MK tersebut dapat mempengaruhi status yang sebelumnya sebagai harta bersama beralih menjadi harta masing-masing suami istri. Penelitian ini bertujuan mengetahui kedudukan perjanjian perkawinan terhadap pemisahan harta bersama setelah dilaksanakan perkawinan pasca Putusan MK. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Hasil penilitian menunjukkan bahwa Kedudukan perjanjian perkawinan terhadap pemisahan harta bersama yang dibuat setelah dilaksanakan perkawinan pasca putusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat sejak perkawinan dilangsungkan atau sejak dibuatnya perjanjian perkawinan dalam masa perkawinan. Perjanjian perkawinan tersebut mengikat baik bagi harta bersama yang telah diperoleh dalam masa perkawinan maupun terhadap harta bersama yang akan diperoleh dikemudian hari. Disarankan adanya jaminan dan perlindungan hukum terhadap harta bersama yang telah dipisahkan menjadi harta pribadi masing-masing suami istri agar tidak terjadi permasalahan dikemudian hari dengan pihak lainnya.According to the provisions of Article 29 of Act Number 1 of 1974 The Marriage Agreement is a written agreement between the two parties on a joint agreement made at the time or before the marriage was held and approved by the marriage registrar. One form of marriage agreement is an agreement regarding the position of property in marriage regarding the separation of their respective livelihoods. However, after the Constitutional Court Decision Number 69 / PUU-XIII / 2015 related to the extensification of the marriage agreement, it has implications for the marriages who did not have a marriage agreement at the beginning of the marriage. Marriage agreements can be made at any time despite a marriage. Therefore, the Constitutional Court's decision can affect the status previously as a joint asset to become the property of each husband and wife. This study aims to determine the position of the marriage agreement on the separation of joint assets after the marriage was held after the Constitutional Court Decision. This study uses normative research methods. The results of the research show that the marriage agreement position on the separation of joint assets made after the marriage is carried out after the Constitutional Court's decision has binding legal force since the marriage took place or since the marriage agreement was made in marriage. The marriage agreement is binding both on joint assets that have been obtained during the marriage period and against the joint property that will be obtained in the future. It is suggested that there are guarantees and legal protection for joint assets that have been separated into the personal property of each husband and wife so that there will be no problems in the future with other parties.
Peralihan Harta Bersama Melalui Hibah Tanpa Izin Salah Satu Pihak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Agustina Dewi Putri; Darmawan Darmawan; Teuku Muttaqin Mansur
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 1: April 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (279.467 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i1.12369

Abstract

Menurut Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Adanya ketentuan Pasal tersebut di atas, menunjukkan bahwa jika seorang suami atau isteri, bermaksud melakukan perbuatan hukum yang objeknya terkait dengan harta bersama (misalnya menjual, menghibahkan dan lain-lain), baik itu berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, maka perbuatan hukum tersebut harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak (suami dan isteri). Untuk mengetahui dan menjelaskan akibat hukum dari peralihan harta bersama melalui hibah tanpa izin dari salah satu pihak. Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif dan Ketiadaan persetujuan baik suami atau isteri memberi akibat hukum bahwa peralihan harta bersama tersebut menjadi batal demi hukum.As for article 36 paragraph (1) mentions that anything regarded to the shared-property should be with the consent of both parties. It is in line with Article 92 about Compilation of Islamic Law which mentions that either husband or wife without any consent of the other partner is not allowed to sell or transfer the ownerships of the shared-property. Provisionsof the article indicate that if the husband or wife intends to carry out a legal act whose object is related to a common asset (for example selling, granting, etc). whether it is movable or immovable property, the legal action must be based on agreement of both parties (husband and wife). To figure out and explain the legal consequences of share assets transfer throght a grant without permission from one of the parties. Research method used in this is normative juridical legal research. To find out and explain the comparison of provisions on the transfer of property with husband and wife based on Law Number 1 Year 1974 and Compilation of Islamic Law Absence of approval from both husband and wife gives legal consequences that transfer of shared property becomes null and void by law.