Elin Yulinah Sukandar
Pharmacology-Clinical Pharmacy Research Group, School of Pharmacy, Institut Teknologi Bandung, Indonesia

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Evaluasi Penggunaan Obat Tuberkulosis pada Pasien Rawat Inap di Ruang Perawatan Kelas III di Salah Satu Rumah Sakit di Bandung Elin Yulinah Sukandar; Sri Hartini; Hasna Hasna
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol. 37 No. 4 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyebab kematian utama yang diakibatkan oleh infeksi. Ditemukan drug-related problems pada 86 pasien tuberkulosis rawat inap di ruang perawatan kelas III di salah satu rumah sakit di Bandung. Ketidaksesuaian dosis sebesar 19,82% dengan kejadian dosis yang berada di bawah rentang normal adalah 18,15% dan dosis yang berada di atas rentang normal 1,67%. Potensi kejadian interaksi obat sebesar 84,88% dengan tipe interaksi kuat (29%), sedang (63,92%), dan lemah (7,08%). Reaksi obat merugikan (ROM) yang dicantumkan sebagai diagnosis pasien yaitu sebesar 6,98% dengan ROM tipe A sebesar 4,65% dan ROM tipe B sebesar 2,33%. Indikasi tidak tertangani sebesar 13,96% dengan 2 kategori yaitu pasien dengan 1 indikasi tidak tertangani (10,47%) dan pasien dengan 2 indikasi tidak tertangani (3,49%). Medikasi tanpa indikasi sebesar 11,63%. Tidak ditemukan kegagalan menerima medikasi dan seleksi obat tidak sesuai.Kata kunci: tuberkulosis, evaluasi penggunaan obat, drug-related problems.Tuberculosis is one of infection disease which causes mortality. There were drug-related problems in 86 tuberculosis hospitalized patients in the third class ward in one of hospital in Bandung. Inappropriate doses incidence was 19.82% with dose under normal range was 18.15% and dose above normal range was 1.67%. Potential drug interactions incidence was 84.88% with each type of drug interactions are major (29%), moderate (63.92%), and minor (7.08%). Adverse drug reactions (ADR) incidence was 6.98% with ADR type A was 4.65% and ADR type B was 2.33%. Untreated indications incidence was 13.96% with 2 category that was patient with 1 untreated indication (10.47%) and patient with 2 untreated indications (3.49%). Medication use without indication incidence was 11.63%. This research didn't find failure to receive medication incidence and improper drug selections incidence.Keywords: tuberculosis, drug use evaluation, drug-related problem.
Antipsychotic Use Evaluation on First Episode Schizophrenic Patients at Jambi Psychiatric Hospital Rifani Bhakti Natari; Elin Yulinah Sukandar; Joseph Iskendiarso Sigit
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol. 37 No. 4 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Patients with first episode schizophrenia need relatively lower effective antipsychotic doses, had higher sensitivity toward side effects and symptoms free response were easier to achieve compared to multi episode schizophrenic patients. This episode is the critical stage that will affect further development of the disease. Antipsychotic use evaluation was needed to achieve an optimal therapy for first episode schizophrenic patients. Study was conducted using retrospective method. The data were taken from medical records, nurse monitoring forms and consultation with health care professionals. The study showed that the most prescribed antipsychotic was the combination of chlorpromazine and haloperidol (37.12%), risperidone was the most prescribed antipsychotic as single therapy (35.71%) and there were 34.29% therapeutic regiments that higher than recommended dose. The most prescribed drug that added to the antipsychotic therapy was trihexyphenidyl (69.29%). There were 97 drug interaction cases with six pharmacokinetic interaction cases which dosage adjustment was needed. There were seven patients (17.07%) that had continued therapy until 10 months and four cases of relapse ought to alcohol consumption (one case) and therapeutic non adherence (three cases). The pharmacotherapy guideline for first episode schizophrenia patients in Jambi Psychiatric Hospital is needed to be revised ought to some differences between prescribed antipsychotic and recommended guidelines.Keywords: Drug Use Evaluation, Antipsychotic, First-Episode SchizophreniaPasien dengan serangan skizofrenia pertama biasanya membutuhkan dosis antipsikotik yang lebih rendah, sensitifitas yang lebih tinggi dalam memperoleh efek samping dan lebih mudah mencapai respon bebas dari gejala dibandingkan dengan pasien dengan serangan skizofrenia yang berulang. Serangan ini merupakan tahapan kriitis yang dapat memengaruhi perkembahan penyakit pasien. Evaluasi penggunaan antipsikotik dibutuhkan untuk mencapai terapi yang optimal pada pasien dengan skizofrenia serangan pertama. Penelitian ini dibentuk menggunakan metode retrospektif. Data penelitian didapatkan dari rekam medik, formulir pemantauan suster dan konsultasi dengan tenaga kesehatan profesional. Penelitian ini menunjukkan bahwa antipsikotik yang paling banyak diresepkan yaitu kombinasi antara klorpromazin dan haloperidol (31,12%), risperidon merupakan antipsikotik yang paling banyak diresepkan pada terapi tunggal (35,71%), dan didapatkan 34,29% regimen terapi yang berada di atas rentang dosis yang direkomendasikan. Obat tambahan yang paling sering diresepkan pada terapi bersama dengan antipsikotik yaitu triheksifenidil (62,29%). Pada penelitian ini terdapat 97 kasus interaksi obat dengan 6 kasus interaksi farmakokinetik yang mana memerlukan penyesuaian dosis. Pada penelitian ini juga ditemukan 7 orang pasien (17,07%) yang melanjutkan terapi hingga 10 bulan dan 4 kasus kambuhan akibat pengonsumsian alcohol (satu kasus) dan ketidakpatuhan terapi (3 kasus). Algoritma terapi pada pasien skizofrenia serangan pertama di Rumah Sakit Psikiatrik jambi perlu ditinjau ulang karena adanya perbedaan peresepan antipsikotik yang dilakukan dengan algoritma yang disarankan.Kata kunci : Evaluasi Penggunaan Obat, Antipsikotik, Skizofrenia Serangan Pertama
Uji Efek Penurunan Tekanan Darah Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata L.) pada Tikus Wistar Jantan Elin Yulinah Sukandar; Joseph Iskendiarso Sigit; Noviana Puspita Dewi
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol. 39 No. 1 & 2 (2014)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia. Salah satu tanaman yang digunakan masyarakat luas untuk menurunkan tekanan darah adalah daun sirsak (Annona muricata L.). Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek penurunan tekanan darah dari ekstrak etanol daun sirsak dengan dosis 25 mg/kg bb, 50 mg/kg bb, dan 100 mg/kg bb. Uji efek penurunan tekanan darah dilakukan dengan dua metode, yaitu uji diuretik dan saluretik dengan obat pembanding furosemid, serta pengukuran tekanan darah secara noninvansif dengan AD Instrument menggunakan obat pembanding atenolol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun sirsak mulai dosis 25 mg/kg bb memiliki efek diuretik lemah dibandingkan dengan furosemid dan tidak memiliki efek saluretik. Ekstrak etanol daun sirsak mulai dosis 25 mg/kg bb juga dapat menghambat peningkatan tekanan darah sistol setelah induksi adrenalin pada pemberian secara oral terhadap tikus Wistar jantan.Kata Kunci: antihipertensi, daun sirsak, diuretik, sistolAbstractHypertension is one of the high prevalence disease in Indonesia. Soursop (Annona muricata L.) leaves has been known by people can decrease systolic blood pressure. The objective of this research is to test the effect of soursop leaves extract doses of 25 mg/kg bw, 50 mg/kg bw, and 100 mg/kg bw as antihypertension agent in male rats Wistar. In this research, antihypertensive effect carried out by two methods, the diuretic test with furosemide as a comparator drug and blood pressure measurements with the AD Instrument with atenolol as a comparator drug. From this research it is known that soursop leaf ethanol extract doses of 25 mg/kg bw has a weak diuretic effect compared with furosemide and have no mechanism of sodium ion excretion in the urine. Soursop leaf ethanol extract doses of 25 mg/kg bw also can inhibit an increase in systolic blood pressure after administration of adrenaline to male Wistar rats.Keywords: antihypertensive, soursop leaves, diuretic, systole
Penyakit Kulit Terinduksi Obat pada Pasien di Bagian Penyakit Kulit di Salah Satu Rumah Sakit di Kota Bandung Elin Yulinah Sukandar; Sri Hartini; Putri Rizkita
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol. 38 No. 1 (2013)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penyakit kulit terinduksi obat atau disebut juga drug eruption merupakan reaksi toksik yang menyebabkan gangguan pada kulit setelah penggunaan obat. Drug eruption merupakan reaksi obat yang paling umum ditemukan. Obat yang banyak menginduksi reaksi ini adalah antibiotik dan AINS (antiinflamasi non-steroid). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola kejadian penyakit kulit terinduksi obat, menentukan obat yang paling banyak diduga sebagai penyebab, dan menentukan jenis penyakit kulit terinduksi obat yang paling banyak terjadi pada tahun 2009-2011 di salah satu rumah sakit pemerintah di Kota Bandung. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan mendata laporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) dan rekam medik pasien rawat inap kelas III bagian kulit. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pada periode 2009"“2011 terdata 250 kasus drug eruption dengan adanya peningkatan jumlah setiap tahunnya. Obat yang paling banyak diduga menjadi penyebab adalah antibiotik terutama amoksisilin (oral) dan jenis penyakit kulit terinduksi obat yang banyak terjadi adalah drug eruption yaitu reaksi kulit dengan manifestasi klinik berupa kemerahan dan makulopapular.Kata kunci: penyakit kulit terinduksi obat, drug eruption, amoksisilin, studi retrospektifAbstractDrug induced skin disease or also known as drug eruption is a toxic reaction that causes skin disorder after drug administration. Drug eruption is the most common drug reaction. Antibiotic and NSAID (non-streoidal anti-inflammatory drug) were drugs that often induce this reaction. This study was made to identify the pattern of drug eruption incidence, to determine the most suspected drug, and to determine the most occurred type of drug eruption in year 2009-2011 in one of the government hospital in Bandung. This study was done retrospectively by using MESO report and medical records of dermatology patients in third class wards. According to this study, it can be concluded that in year 2009 "“ 2011, there were 250 drug induce skin disease cases with the increasing number every year. The most common suspected drug was antibiotic especially amoxicillin (oral) and the most occurred type of drug induced skin disease is drug eruption which clinical manifestation is redness and maculopapular.Keywords: Drug Induced Skin disease, drug eruption, amoxicillin, retrospective study.
Pemicu Hematemesis Melena pada Pasien Rawat Inap Kelas III Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Salah Satu Rumah Sakit di Kota Bandung Tavinda Inggried Anindya; Elin Yulinah Sukandar; Sri Hartini
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol. 38 No. 3 (2013)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hematemesis adalah muntah berdarah atau material seperti bubuk kopi, sedangkan melena adalah feses hitam seperti ter serta berbau busuk. Hematemesis melena merupakan kejadian gawat darurat di rumah sakit yang dapat menyebabkan kematian sebesar 8-14%. Beberapa bahan dan obat-obatan dapat memicu terjadinya hematemesis melena jika digunakan dalam dosis tinggi atau jangka waktu lama oleh pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai pemicu hematemesis melena dan jenisnya yang paling banyak. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan pendataan rekam medik pasien hematemesis melena yang dirawat inap selama periode 1 Januari "“ 31 Desember 2011, dilanjutkan dengan percobaan menggunakan metode kromatografi lapis tipis. Hasil menunjukkan bahwa dari keseluruhan pasien hematemesis melena, terdapat 70,0% kasus yang diketahui pemicunya, sedangkan 30% sisanya tidak diketahui. Sumber perdarahan hematemesis melena tersebut antara lain: varises esofagus (32,5%); gastropati hipertensi portal (5,0%); ensefalopati hepatikum (7,5%); varises esofagus dan gastropati hipertensi portal (25,0%); varises esofagus dan ensefalopati hepatikum (10,0%); varises esofagus, gastropati hipertensi portal, dan ensefalopati hepatikum (2,5%); varises esofagus, gastropati hipertensi portal, dan ulkus duodenum (5,0%); ulkus peptikum (7,5%); serta gastritis erosif berdarah (5,0%). Kemungkinan pemicu hematemesis melena adalah AINS "“ ibuprofen (5,0%), jamu pegal linu (30,0%), jamu nyeri otot (5,0%), jamu rheumatoid arthritis (5,0%), jamu yang tidak diketahui jenisnya (10,0%), dan alkohol (15,0%). Kemungkinan pemicu hematemesis melena terbanyak adalah jamu pegal linu, yaitu sebesar 30,0%.Kata kunci: hematemesis, melena, gastrointestinal, jamu pegal linu, studi retrospektif.AbstractHematemesis is the vomitus of bright red blood or "coffee-ground" material. Melena is black and tarry stool which is foul smelling because of the prescence of partially digested blood products. Hematemesis melena is a very common hospital emergency that still carries hospital mortality for 8-14%. Some drugs and substances may induce the occurence of hematemesis melena. These drugs and substances are usually used for a long time by the patients. This study was made by the aim to identify kinds of inductors and the most inductor of hematemesis melena. This study was done retrospectively using medical records of hospitalized hematemesis melena patients period by January 1 until December 31, 2011, followed by lab experiment using thin layer chromatography method, in. Result showed that there were 70.0% cases of total hematemesis melena patients with known inductors, while the 30% were unknown. Causes of hematemesis melena sources were esophageal varices (32.5%); gastropathy of portal hypertension (5.0%); hepatic encephalopathy (7.5%); esophageal varices and gastropathy of portal hypertension (25.0%); esophageal varices and hepatic encephalopathy (10.0%); esophageal varices, gastropathy of portal hypertension, and hepatic encephalopathy (2.5%); esophageal varices, gastropathy of portal hypertension, and duodenal ulcer (5.0%); peptic ulcer (7.5%); and bleeding erosive gastritis (5.0%). Based on the results of this study, hematemesis melena was possibly induced by NSAID "“ ibuprofen (5.0%), jamu (traditional herbal medicine) for stiffness (30.0%), jamu for muscle pain (5.0%), jamu for rheumatoid arthritis (5.0%), jamu for unknown indication (10.0%), and alcohol (15.0%). The most possible inductor of hematemesis melena was jamu for stiffness, that was 30.0%.Keywords: Hematemesis, melena, gastrointestinal, jamu for stiffness, retrospective study.
Uji Efek Antikram Kinin dan O-Desmetil Kinin dengan Rute Pemberian Oral dan Topikal pada Mencit Swiss Webster Betina Elin Yulinah Sukandar; I Ketut Adnyana; Yohanna Christanti; Finna Setiawan
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol. 38 No. 3 (2013)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kinin adalah senyawa alkaloid dari kulit batang Cinchona sp. yang digunakan sebagai antimalaria. O-desmetil kinin (C19H22N2O2) adalah senyawa turunan kinin baru yang diperoleh dengan menghilangkan gugus metil pada kinin. Selain sebagai antimalaria, kinin juga dapat digunakan untuk mengobati kram kaki. Karena efek samping yang besar, FDA (2009) melarang penggunaan kinin oral dalam pengobatan kram kaki. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menguji efek kinin dan pada rute pemberian oral dan topikal serta mengetahui efek o-desmetil kinin pada terapi kram kaki. Mencit dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok normal, kelompok kinin oral dosis 26 mg/kg bb, kelompok kinin topikal dosis 52 mg/kg bb, kelompok o-desmetil kinin oral dosis 26 mg/kg bb, dan kelompok o-desmetil topikal dosis 52 mg/kg bb. Mencit diletakkan di atas rotarod dengan kecepatan 10-16 rpm selama 4 menit. Waktu yang dapat ditempuh mencit selama berada di atas rotarod diukur. Perlakuan yang sama diulang dengan durasi 45 menit selama 4,5 jam. Setelah menit ke 180, kelompok uji mengalami peningkatan waktu ketahanan di atas rotarod sedangkan kempok normal mengalami penurunan. Pada menit 270, kelompok oral dan topikal memberikan perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan kelompok normal. Pemberian kinin dan odesmetil kinin pada rute pemberian oral dengan dosis 26 mg/kg bb dan topikal dengan dosis 52 mg/kg bb sebagai antikram memberikan hasil yang bermakna dibandingkan dengan kelompok normal (p<0,05). O-desmetil kinin memberikan efek yang tidak berbeda bermakna dari kinin base (p<0,05).Kata kunci: kram kaki, kinin, o-desmetil kinin, rotarod.AbstractQuinine is an alkaloid from the bark of Cinchona sp. as an anti-malaria. O-desmethyl quinine (C19H22N2O2) is the new quinine derivative, by losing its methyl. Beside the function as anti-malaria, quinine is used for leg cramps treatment. Because of the great side effects, FDA (2009) banned the use of quinine oral for leg cramps therapy. Therefore, this study was aimed to determine the effect of quinine by oral and topical administration and to determine o-desmethyl quinine's effect for leg cramps therapy. Mice were divided into normal group, quinine oral dose 26 mg/kg bw, quinine topical dose 52 mg/kg bw, o-desmethyl quinine oral dose 26 mg/kg bw, and o-desmethyl topical dose 52 mg/kg bw. Mice were taken on the rotarod at 10-16 rpm for 4 minutes. Time to remain on the rotarod was measured. The same treatment was repeated after 45 minutes for 4.5 hours. Over the 180 minutes, the endurance of the test groups were increased on the contrary, the normal group is decreased. After 270 minutes of observations, the oral and topical groups have significant difference compared by the normal group. The administration of quinine by oral dose 26 mg/kg bb and topical dose 52 mg/kg bb as an anti-cramps showed significantly difference compared to the normal group (p<0.05). O-desmethyl quinine has no significantly difference compared by quinine (p<0.05).Keywords: leg cramps, quinine, o-desmethyl quinine, rotarod.