Mahpudin Mahpudin
Pusat Litbang Hasil Hutan, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ministry of Environtment and Forestry of Indonesia)

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

KUALITAS ARANG 6 JENIS KAYU ASAL JAWA BARAT SEBAGAI PRODUK DESTILASI KERING Hastuti, Novitri; Pari, Gustan; Setiawan, Dadang; Mahpudin, Mahpudin; Saepuloh, Saepuloh
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 33, No 4 (2015): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.2015.33.4.337-346

Abstract

Enam jenis kayu asal Jawa Barat yaitu ki hiur (Castanopsis acuminatissima A.DC.), tunggeureuk (Castanopsis tunggurut), huru pedes (Cinnamomum iners Reinw.Ex Bl.), huru koja (Litsea angulata Bl.), ki kanteh (Ficus nervosa Heyne)  dan kelapa ciung(Horsfieldia glabra Warb) di destilasi kering pada suhu 450°C -500°C selama 5 jam di retort destilasi. Destilat dari destilasi kering berupa arang, ter dan asap cair dihitung rendemennya. Hasil penelitian menunjukkan kualitas arang dari 6 jenis kayu memenuhi standar Indonesia tentang arang kayu dan briket arang kayu dengan nilai kalor berkisar 6743-6795 kal/g, kadar karbon terikat berkisar 79,42%-82,37%. Rendemen arang berkisar 27,43%-33.55%.  Hasil analisis korelasi Pearson atas kadar lignin dan berat jenis kayu terhadap nilai kalor arang menunjukkan bahwa kadar lignin memiliki korelasi yang signifikan terhadap nilai kalor arang. 
PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPSMELALUI PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN AUDIO-VISUAL DI SD NEGERI MAKMURJAYA IV KARAWANG mahpudin, mahpudin
Jurnal Cakrawala Pendas Vol 2, No 1 (2016)
Publisher : Jurnal Cakrawala Pendas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Artikel didasarkan pada hasil penelitian yang dilatarbelakangi oleh masih rendahnya hasil belajar IPS di sekolah dasar. Kondisi ini banyak dipengaruhi oleh proses belajar mengajar yang kurang efektif, pada saat menyampaikan materi ajar, guru terlalu banyak menggunakan metode ceramah sehingga timbul verbalisme pada diri siswa. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah alternatif yang dapat meningkatkan mutu pembelajaran IPS di SDN Makmurjaya IV. Penggunaan media audio-visual menjadi alternatif yang ditawarkan untuk memperbaiki permasalahan tersebut. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas dengan desain Kemmis Mc. Taggart yang terdiri dari tiga siklus dengan setiap siklus terdiri dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, refleksi. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah terjadinya peningkatan hasil belajar siswa pada materi kegiatan ekonomi di Indonesia setelah menggunakan media audio-visual. dengan menggunakan media audio-visual, materi yang diajarkan menjadi lebih konkrit dan memberikan pengalaman yang mendekati pengalaman nyata pada diri siswa sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi pelajaran.Kata Kunci: Media audio-visual, Hasil Belajar, IPS
Demokrasi dan Kebangkitan Politik Identitas: Refleksi Perjalanan Demokrasi Indonesia Pasca Orde Baru Mahpudin, Mahpudin
ijd-demos Volume 1 Issue 1, April 2019
Publisher : HK-Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (267.698 KB) | DOI: 10.37950/ijd.v1i1.1

Abstract

Tulisan ini merupakan sebuah refleksi tentang perjalanan demokrasi di Indonesia pasca orde baru Soeharto dengan menggunakan perspektif society. Sejauh mana demokrasi Indonesia yang berlangsung selama 20 tahun sejak digulirkan pada masa reformasi tahun 1998 dan apa faktor yang menghambat tumbuh kembangnya demokrasi menjadi pertanyaan besar yang hendak dijawab dalam tulisan ini. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini menggunakan teori tentang politik identitas yang digagas oleh beberapa ahli. Metode penelitian menggunakan kualitatif–deskriptif, sementara pengumpulan data dilakukan melalui kajian literatur. Hasil kajian menyimpulkan bahwa Kebangkitan politik identitas di Indonesia pasca Soeharto menyebabkan pejalanan demokrasi di Indonesia selama dua dekade tidak berjalan maju ke arah demokrasi substansial. Demokrasi Indonesia pada akhirnya masih terjebak pada demokrasi prosedural yang hanya berkelindan soal urusan pemilu dan proses pergantian elit. Namun dalam praktik kehidupan warga negara masih belum menunjukkan kehidupan yang demokratis. Berbagai kasus kekerasan dan intoleransi serta menguatnya sentimen identitas atas dasar etinisitas dan agama telah menimbulkan praktik diskriminasi dan pengeksklusian terhadap kelompok identitas lain yang berbeda. Kondisi ini sering kali dimanfaatkan oleh elit politik yang memainkan peran penting dalam mempertajam sentimen identitas dan agama untuk mendapatkan kekuasaan, terutama memasuki masa pemilu. Hal ini membuat demokrasi mengalami regresi. This paper is a reflection of the journey of democracy in Indonesia after Suharto's new order using the perspective of society. To what extent has Indonesia's democracy lasted 20 years since it was rolled out during the 1998 reform period and what factors have hindered the growth of democracy are a big question to be answered in this paper. To answer this question, this paper uses theories about identity politics initiated by several experts. The research method uses qualitative-descriptive, while data collection is done through a literature review. The results of the study concluded that the rise of identity politics in Indonesia after Soeharto caused the journey of democracy in Indonesia for two decades not to progress towards substantial democracy. Indonesian democracy in the end is still trapped in procedural democracy which is only intertwined with electoral matters and the process of changing elites. But in practice the lives of citizens still do not show a democratic life. Various cases of violence and intolerance and the strengthening of identity sentiments based on ethics and religion have led to the practice of discrimination and exclusion of other different identity groups. This condition is often exploited by political elites who play an important role in sharpening identity and religious sentiment to gain power, especially entering the election period. This makes democracy regress.
The Rise of Student Social Movement: Case Study of #GejayanCalling Movement in Yogyakarta Mahpudin, Mahpudin; Kelihu, Ardiman; Sarmiasih, Mia
ijd-demos Volume 2 Issue 1, April 2020
Publisher : HK-Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37950/ijd.v2i1.2

Abstract

This paper discusses the rise of student social movements in response to the presence of a crisis of public legitimacy triggered by the failure of the government to carry out the functions of the state and failure to realize the welfare of society. The climax when the government and the parliament agreed to revise the rules regarding the authority of the Corruption Eradication Commission (Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK) which was considered by many elements of civil society as weakening the KPK. This issue became the dominant discourse and triggered the presence of other issues and demands. The focus of this study is the #GejayanCalling movement initiated by a number of students in Yogyakarta who successfully attracted the sympathy and support of thousands of students and various elements of civil society to take to the streets. This paper uses qualitative research methods with a case study approach. The data collection is done through primary data through interviews with key informants and secondary data through literature studies. The results of the study revealed that the #GejayanCalling movement became massive and significant through the consolidation and political compromise undertaken by students in managing the movement to respond to public unrest marked by a crisis of public legitimacy towards the government. The protest was able to attract thousands of students because of the emphasis on the issue by overriding the role of certain figures, actors or organizations. Emphasis on issues rather than actors becomes an effective strategy in creating shared goals and collective action. Besides that, the use of social media as a repertoire of movements in framing issues is very contributing to strengthen demonstration. Penelitian ini membahas kebangkitan gerakan sosial mahasiswa sebagai tanggapan terhadap adanya krisis legitimasi publik yang dipicu oleh kegagalan pemerintah untuk menjalankan fungsi negara dan kegagalan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Puncaknya ketika pemerintah dan parlemen sepakat untuk merevisi aturan mengenai kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap oleh banyak elemen masyarakat sipil sebagai pelemahan KPK. Masalah ini menjadi wacana dominan dan memicu kehadiran isu dan tuntutan lainnya. Fokus penelitian ini adalah gerakan #GejayanCalling yang diprakarsai oleh sejumlah siswa di Yogyakarta yang berhasil menarik simpati dan dukungan ribuan siswa dan berbagai elemen masyarakat sipil untuk turun ke jalan. Makalah ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui data primer melalui wawancara dengan informan kunci dan data sekunder melalui studi literatur. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa gerakan #GejayanMemanggil menjadi masif dan signifikan melalui konsolidasi dan kompromi politik yang dilakukan oleh siswa dalam mengelola gerakan untuk menanggapi keresahan publik yang ditandai oleh krisis legitimasi publik terhadap pemerintah. Protes ini mampu menarik ribuan siswa karena penekanan pada masalah ini dengan mengesampingkan peran tokoh, aktor atau organisasi tertentu. Penekanan pada masalah daripada aktor menjadi strategi yang efektif dalam menciptakan tujuan bersama dan tindakan kolektif. Selain itu, penggunaan media sosial sebagai repertoar gerakan dalam membingkai isu sangat berkontribusi untuk memperkuat demonstrasi.
Hak Warganegara Yang Terampas: Polemik Kebijakan Sistem Zonasi dalam Pendidikan Indonesia Mahpudin, Mahpudin
Jurnal Transformative Vol 6, No 2 (2020): September
Publisher : Faculty of Social and Political Science Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.transformative.2020.006.02.2

Abstract

Tulisan ini membahas kebijakan sistem zonasi yang menuai banyak polemik di tengah masyarakat. Kebijakan sistem zonasi merupakan aturan pemerintah terkait proses penerimaan siswa baru dengan mempertimbangkan jarak tempuh antara domisili rumah siswa dengan sekolah. Tujuan pemerintah menerapkan kebijakan ini untuk mengatasi masalah kesenjangan mutu pendidikan. Hasil penelitian mengungkap bahwa kebijakan sistem zonasi gagal mengatasi masalah kesenjangan mutu pendidikan karena kegagapan pemerintah dalam mendefinisikan akar permasalahan. Kebijakan sistem zonasi hanya mengotak-atik distribusi siswa bukan mengatasi fasilitas sekolah dan kualitas guru yang masih menjadi permasalahan dalam dunia pendidikan. Pemerintah seharusnya menjadikan kebijakan zonasi sebagai kebijakan dihilir bukan dihulu. Karena itu, perlu dilakukan redefinisi masalah sebagai alternatif kebajikan. Dimana kesenjangan fasilitas pendidikan dan distribusi guru yang belum merata harus menjadi prioritas utama pemerintah.
ETHNOMATHEMATICS AN ALTERNATIVE IN THE DEVELOPMENT OF MULTICULTURAL EDUCATION AT THE PRIMARY SCHOOL Mahpudin, Mahpudin; Sunanto, Liyana
Social, Humanities, and Educational Studies (SHEs): Conference Series Vol 1, No 2 (2018): 3rd National Seminar on Educational Innovation (SNIP 2018)
Publisher : Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.997 KB) | DOI: 10.20961/shes.v1i2.26872

Abstract

Classical mathematics learning leads to a false view of students who think that mathematics is a separate field of science from their daily lives. Learning mathematics by using ethnomathematics can bring mathematical concepts closer to students' daily lives so that students can better understand and interpret the learning outcomes they get. In addition, ethnomathamatics can further develop multicultural competencies in students. Students can better know and appreciate cultural diversity.