Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui dan menganalisis tentang pemanggilan anggota DPR RI melalui persetujuan tertulis Presiden dalam penyidikan dari perspektif asas equality before the law dan konsekuensi hukum yang akan timbul terhadap pemanggilan anggota DPR RI yang diduga melakukan tindak pidana dalam penyidikan dengan persetujuan tertulis Presiden. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi sehingga diperoleh argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah. Eksistensi legis yang mengharuskan adanya persetujuan tertulis dari Presiden terhadap pemanggilan anggota DPR RI untuk dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka dalam proses penyidikan adalah bertentangan dengan asas equality before the law. Hal ini secara tegas telah dijelaskan dalam konstitusional, yaitu pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa secara defacto dan dejure Indonesia telah mencantumkan prinsip equality before the law dalam konstitusinya, dan sebagai konsekuensi logisny harus dilaksanakan, direalisasikan dan diakomodir asas ini dalam peraturan perundang-undangan dan kehidupan bernegara. Perlakuan istimewa anggota DPR itu telah memiliki legalitas melalui UU No. 17 Tahun 2014 (UU MD3) dan diperkuat lagi dengan Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014. Di dalam proses penyidikan akan menimbulkan konsekuensi hukum dan berpotensi akan mengalami hambatan-hambatan, seperti mengganggu independensi peradilan, terjadinya penundaan pemeriksaan dan keraguan penyidik dalam menindak lanjuti penyidikan tanpa adanya surat persetujuan tertulis dari presiden.