Putro, Yaries Mahardika
Student, LLM Program Of The European And International Business Law, Faculty Of Law, University Of Debrecen, Hungary

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Challenges and Opportunities of the Establishment ASEAN Open Skies Policy Dodik Setiawan Nur Heriyanto; Yaries Mahardika Putro
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 6, No 3 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Open skies policy is a concept of free market of airline industry. It eliminates single government’s influence in regulation and management of aviation industry. As implemented by the ASEAN Single Aviation Market (ASEAN-SAM) per 2015, the open skies policy aims to increase regional connectivity and regional economic growth by permitting airline industries from each ASEAN member states to fly above the Southeast Asian region without any barriers or restrictions. This policy has raised pros and cons from each ASEAN member state. Indonesia and some other states are still reluctant to adopt the open skies policy. By entering into commercial agreement to open their airspace, each member states will challenge their state sovereignty over the airspace above a state’s territory. This study argues that regional open skies policy provides greater economic advantages for the consumers of airline industry. However, this policy does not parallel to the basic principles of ASEAN. State sovereignty must be preserved in the liberalization that open skies represents. ASEAN Way, though inflexible, assigns member states with full sovereignty, which does not limit open skies policy implementation. This study, then, proposed legal framework through model of regional agreement to compromise between the state sovereignty principles and the regional open skies policy.Tantangan dan Peluang dalam Pembentukan Kebijakan Ruang Udara Terbuka ASEANAbstrakKebijakan Udara Terbuka adalah konsep pasar bebas untuk industri penerbangan. Kebijakan ini menghilangkan pengaruh pemerintah dalam mengatur dan mengelola industri penerbangan. Seperti yang diterapkan oleh Pasar Penerbangan Tunggal ASEAN (ASEAN-SAM) pada 2015, Kebijakan Udara Terbuka ditujukan untuk meningkatkan konektivitas regional dan ekonomi regional dengan mengizinkan industri penerbangan dari anggota ASEAN untuk terbang bebas di kawasan Asia tenggara tanpa hambatan. Kebijakan ini telah menimbulkan pro dan kontra dari masing-masing negara anggota ASEAN di mana Indonesia dan beberapa negara masih enggan untuk sepenuhnya mengadopsi Kebijakan Udara Terbuka. Dengan mengadakan perjanjian komersial untuk membuka wilayah udara mereka, setiap negara anggota akan menyerahkan kedaulatan di wilayah udara mereka. Studi ini berpendapat bahwa Kebijakan Udara Terbuka regional memberikan keuntungan ekonomi khususnya bagi konsumen industri penerbangan. Namun, kebijakan ini tidak sejalan dengan prinsip dasar ASEAN. Selain itu, berkurangnya kedaulatan di wilayah udara demi liberalisasi akan merugikan negara. ASEAN Way, meskipun tidak fleksibel, memberikan kedaulatan penuh kepada negara anggota untuk menguasai wilayahnya sehingga tidak memberikan peluang sekecil apa pun untuk mengimplementasikan Kebijakan Udara Terbuka regional. Studi ini mengusulkan suatu kerangka hukum melalui model perjanjian untuk mencari titik temu antara prinsip kedaulatan negara dengan Kebijakan Udara Terbuka.Kata kunci: ASEAN, Kebijakan Udara Terbuka, Kedaulatan Negara.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v6n3.a3
Mars Colonization Plan: The Possibility And Scheme For Appropriation On Mars Yaries Mahardika Putro
Prophetic Law Review Vol. 2 No. 2: December 2020
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol2.iss2.art2

Abstract

In the dawn of space era, State-driven and monopolized the space activities. This was exacerbated by high cost, military interference and the uncertain possibilities of civilian use. Nevertheless, as space technology grew, the enormous benefits created by space activities gradually motivated private companies to spend more capital and to use space for commercial purposes. Recently, two major of private space firms, SpaceX and Mars One reportedly has released their mission to Mars in order to conducted Mars Colonization Plan. On the other hand, the Outer Space Treaty and the rest of Corpus Juris Spatialis clearly prohibits to do appropriation on the Moon and the other Celestial Bodies, including Mars. It will be a new challenge for all legal actors, especially in the sense of the outer space regime, to explore this concept. This study applies normative legal research methodology. This study found: the current Outer Space Treaty particularly related to the non-appropriation principle is not relevant to the development of space technology and activities. Then, in this study the non-appropriation principle will be revisited based on the customary international law mechanism. Second, this study found the suitable scheme of appropriation during Mars Colonization Plan by establishing an Independent entity which authorize and organize the activities and also by implementing several stages in appropriating the Martian areas. Third, this study then proposed legal framework through amending and modernizing the Outer Space Treaty in order to compromise between the non-appropriation principle and the development of space commercialization.Keywords: Corpus Juris Spatialis; Mars Colonization; Non-AppropriationRencana Kolonisasi Mars: Kemungkinan Dan Skema Pengambilalihan Di MarsAbstrakDi awal era keantariksaan, kegiatan keantariksaan digerakkan dan dimonopoli oleh negara. Ini diperburuk dengan adanya biaya tinggi, campur tangan militer, dan kemungkinan penggunaan oleh sipil yang tidak pasti. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi ruang angkasa, manfaat besar yang diciptakan oleh aktivitas keantariksaan secara bertahap memotivasi perusahaan swasta untuk menghabiskan lebih banyak modal dan menggunakan ruang tersebut untuk tujuan komersial. Baru-baru ini, dua perusahaan keantariksaan besar swasta, SpaceX dan Mars One, dikabarkan telah merilis misi mereka ke Mars dalam rangka melakukan Rencana Kolonosasi Mars (Mars Colonization Plan). Di sisi lain, Outer Space Treaty dan Corpus Juris Spatialis lainnya secara jelas melarang untuk melakukan perampasan di Bulan dan Benda-benda Langit lainnya, termasuk Mars. Ini akan menjadi tantangan baru bagi semua aktor hukum, terutama dalam arti rezim keantariksaan, untuk mendalami konsep ini. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian hukum normatif. Studi ini menemukan: Traktat Luar Angkasa saat ini khususnya terkait dengan prinsip non-apropriasi tidak relevan dengan perkembangan teknologi dan kegiatan keantariksaan. Kemudian, dalam penelitian ini, prinsip non-apropriasi ditinjau kembali berdasarkan mekanisme hukum kebiasaan internasional. Studi ini juga menemukan, skema apropriasi yang sesuai selama Rencana Kolonisasi Mars adalah dengan membentuk entitas Independen yang menguasai dan mengatur kegiatan dan juga dengan menerapkan beberapa tahap dalam mengambil alih wilayah Mars. Studi ini kemudian mengusulkan kerangka hukum melalui amandemen dan modernisasi Traktat Luar Angkasa untuk mengompromikan antara prinsip non-apropriasi dan pengembangan komersialisasi ruang angkasa.Kata kunci: Corpus Juris Spasialis, Kolonisasi Mars, non-Apropriasi.