Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

PEMENUHAN GANTI KERUGIAN ANAK SEBAGAI KORBAN PEMERKOSAAN DALAM KASUS JINAYAT ACEH Rizkal Rizkal; Mansari Mansari
INTERNATIONAL JOURNAL OF CHILD AND GENDER STUDIES Vol 5, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/equality.v5i2.5587

Abstract

Secara yuridis, korban pemerkosaan berhak meminta restitusi (ganti kerugian) kepada kepada pelaku, namun fakta empiris menunjukkan masih adanya pihak korban maupun keluarganya yang belum menuntut restitusi. Beberapa contoh putusan yang tidak diberikan ganti kerugian yaitu Nomor 0003/JN/2016/MS.Ttn. di mana perempuan tidak diberikan restitusi kepadanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan restitusi dalam penanganan kasus jarimah pemerkosaan bagi anak, apa faktor-faktor yang menghambat perealisasian ganti kerugian bagi korban dan perlindungan hukum bagi anak sebagai korban dalam kasus pemerkosaan di Aceh?. metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris yakni mengkaji penerapan aturan restitusi dalam kenyataan empiris. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan hakim yang pernah mengadili perkara pemerkosaan. Penelitian dilakukan di Mahkamah Syar’iyah Takengon dan Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan restitusi dalam Qanun Hukum Jinayat kurang memprioritaskan kepentingan korban, karena korban harus meminta terlebih dahulu baru bisa dikabulkan oleh hakim dan berkoordinasi lebih lanjut dengan JPU. Faktor penghambat perealisasian restitusi yaitu kesadaran hukum rendah, penegak hukum kurang teliti memahami konsep restitusi, korbannya anak-anak, stigma merendahkan martabat perempua dan kelemahan finansial pelaku. Perlindungan hukum bagi anak korban yaitu adanya restitusi, anak didampingi oleh P2TP2A, dan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku berupa penjara agar pelaku tidak bertemu lagi dengan anak korban.
SENSITIVITAS HAKIM TERHADAP PERLINDUNGAN NAFKAH ISTERI PASCA PERCERAIAN Mansari Mansari; Moriyanti Moriyanti
INTERNATIONAL JOURNAL OF CHILD AND GENDER STUDIES Vol 5, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/equality.v5i1.5377

Abstract

Hakim memiliki peran strategis terhadap perlindungan nafkah ‘iddah dan nafkah madhiah (nafkah masa lalu) pasca perceraian. Hal ini dikarenakan perempuan seringkali terabaikan nafkahnya pada saat masih berada dalam ikatan perkawinan. Sensitivitas hakim terhadap perempuan di persidangan sangat penting agar putusan bermanfaat dan mengakomodir hak isteri mendapatkan nafkah ‘iddah dan nafkah madhiah pasca perceraian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sensitivitas hakim terhadap nafkah isteri pasca perceraian, peran hakim dalam merealisasikan nafkah isteri dan alasan hakim tidak memberikan nafkah isteri dalam putusan. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum yuridis empiris dengan lokasinya di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh dan Mahkamah Syar’iyah Aceh Tamiang. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif kemudian dideskripsikan secara sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim memiliki sensitivitas perlindungan nafkah iddah dan madhiah pasca perceraian. Sensitivitas tersebut dinilai dengan dua indikator yaitu upaya hakim dalam merealisasikan nafkah dengan menggunakan hak ex officio (kewenangan karena jabatannya) meskipun tidak diminta oleh isteri dalam gugatannya dan perealisasian nafkah yang ditetapkan dalam putusan dengan menunda prosesi ikrar talak sebelum dilunasi nafkah baik nafkah iddah maupun nafkah madhiah dalam putusan. Peran hakim terhadap perlindungan nafkah isteri yaitu Memberikan Gambaran tentang Hak-Hak Perempuan, melakukan sosialisasi terhadap hak-hak isteri, alasan hakim tidak memberikan nafkah kepada isteri disebabkan oleh dua factor yaitu intetenal dan eksternal: factor internal disebabkan Perempuan Tidak Mengetahui haknya, hanya meminta surat cerai, Isteri Marah Berlebihan suaminya, biaya eksekusi mahal, Anggapan Materialistik, Isteri Ingin Hidup Bersama Bukan Uangnya. Faktor eksternal yaitu hakim bersifat pasif, biaya eksekusi mahal dan aturan hokum tidak memberi kewenangan menggunakan hak ex officio (kewenangan karena jabatan) bagi hakim untuk memberikan nafkah madhiah bagi isteri.
Partisipasi Perempuan Dalam Penyusunan Reusam Perlindungan Anak Di Tingkat Gampong Di Aceh Besar Mansari Mansari
Muwazah Vol 10 No 2 (2018)
Publisher : UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28918/muwazah.v10i2.1780

Abstract

Women's participation in the preparation of gampong reusam (village rules) that regulate child protection is relatively small compared to men. Whereas the participation of women has an important role so that the rules produced can represent their role. Without the involvement of women implicate the reusam that does not berperspektif gender. The research aimed to answer the problems about women's mechanism and participation in the formulation of gampong reusam in Kabupaten Aceh Besar, and the process of involvement of women in the preparation of village reusam. This empirical research was conducted in Aceh Besar District in three gampongs, namely Gampong Lambirah Kecamata Suka Makmur, Gampong Neusok Darul Kamal Subdistrict and Gampong Neuheun District Mesjid Raya. The research data was obtained through interviews with keuchik gampong, female characters and Tuha Peut Gampong. The results showed that the mechanism of compilation of reusam was done by way of deliberation in meunasah and balee (balai) pengajian by involving various elements in society, especially gampong, women and children figures also involved. Involvement of women is usually done by invited by loudspeakers in meunasah and also delivered orally by Keuchik (Village Head). The presence of women has not been maximized in the process of preparing the reusam gampong because the arrangement is done at night, time to rest, keeping the children at home, the weather is not supportive because of the rain. The role of women in the village reusam has been represented in the context of the handling of children against the law
PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PENYELESAIAN HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN DI BANDA ACEH Faizah Faizah; Rizkal Rizkal; Mansari Mansari; Zahrul Fatahillah
SYARIAH: Journal of Islamic Law Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : STIS Nahdlatul Ulama Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55721/sy.v3i1.299

Abstract

This study seeks to discuss the role of women's non-governmental organizations (NGOs) in resolving post-divorce custody of children. This is because the problem of post-divorce custody is always a struggle between father and mother. Sometimes custody is given to the mother in the decision of the Syar'iyah Court judge, but the empirical facts are taken by the father. This study aims to determine the roles, efforts and challenges faced by women's NGOs in resolving post-divorce custody of children. This type of research includes empirical juridical research. The primary legal materials used are Law Number 1 Year 1974, secondary legal materials and tertiary legal materials. Primary data obtained through interviews with respondents who carry out tasks in NGOs. Data analysis was carried out in a prescriptive manner which attempted to provide an explanation of primary data and secondary data and primary and secondary legal materials. The results showed that women's NGOs have a strategic role in resolving post-divorce custody issues, because most mothers resolve custody issues through women's NGOs. The efforts taken are: First, assisting them to the Police or Polres level to make a report to the Police. Second, assisting in reporting the case to P2TP2A. Third, bringing together the mother and father of the child in order to find the right solution for the maximum development of the child. Fourth, assist and represent the mother of the child in handling the cases currently being faced at the Syar'iyah Court. The challenges faced are: First, the lack of human resources at NGOs for Women and Children. Second, it is difficult to reconcile the father and mother of the child. Third, the whereabouts of the child and the father are unknown. Fourth, some mothers just gave up because they no longer fought for custody again.
Analisis Kepentingan Terbaik Bagi Anak dalam Hukum Jinayat Aceh Salman Abdul Muthalib; Mansari Mansari; Mahmuddin Mahmuddin; Muslim Zainuddin; Hasnul Arifin
Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 9, No 02 (2021): Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30868/am.v9i02.1621

Abstract

Qanun Jinayat tidak hanya diberlakukan bagi orang dewasa, bagi anak yang telah berumur 12 tahun dan belum sampai 18 tahun atau telah melangsungkan perkawinan dapat dikenakan sanksi jinayat bila melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Kajian ini menganalisis secara komprehensif dengan metode kontens analisis ketentuan yang diatur dalam Qanun Hukum Jinayat berkaitan dengan kepentingan terbaik bagi anak. Kajian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menjadi Qanun Hukum Jinayat sebagai bahan hukum primernya. Analisis data dilakukan kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Qanun Hukum Jinayat belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan terbaik bagi anak. Aspek yang belum terakomodir yaitu: Pertama, penyelesaian anak berhadapan dengan jinayat menggunakan system peradilan pidana anak, adanya restitusi bagi korban pemerkosaan, independensi hakim dalam menjatuhkan ‘uqubat  ,’uqubat   Bagi Anak 1/3 dari Orang Dewasa, Hukuman Bagi Pelaku yang Korbannya Anak Lebih Tinggi, Anak Memungkinkan Dijatuhi ‘uqubat   Tindakan. Aspek yang belum mencerminkan kepentingan terbaik bagi anak meliputi, anak dapat memungkinkan dijatuhkan hukuman cambuk, batasa usia anak, restitusi harus diminta oleh korban pemerkosaan anak, hakim terikat pada Qanun Hukum Jinayat, adanya peluang bagi hakim menjatuhkan hukuman cambuk dalam kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Peranan Hakim dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Anak: Antara Kemaslahatandan Kemudharatan Mansari Mansari; Rizkal Rizkal
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 4, No 2 (2021): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v4i2.10219

Abstract

Hakim Mahkamah Syar’iyah memiliki peranan strategis dalam upaya pencegahan perkawinan anak, karena setiap orangtua yang ingin menikahkan anak di bawah umur harus mendapatkan dispensasi perkawinan dari Mahkamah Syar’iyah. Kajian ini berusaha untuk menganalisis peran dan tantangan yang dihadapi hakim dalam mencegah perkawinan usia anak di Mahkamah Syar’iyah serta pertimbangan dalam menerima maupun menolak dispensasi kawin. Jenis penelitian yang digunakan yuridis empiris dengan tujuan mendeskripsikan peranan hakim mencegah perkawinan anak. Sumber data primer diperoleh melalu wawancara langsung dengan hakim. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim memiliki peranan strategis dalam upaya mencegah praktik perkawinan usia anak, hal ini disebabkan setiap perkawinan anak harus memperoleh izin Mahkamah Syar’iyah. Wujud peranan hakim dikonkritkan dengan mendorong orangtua tidak melanjutkan permohonan dispensasi kawin dengan memberikan nasehat-nasehat serta dampak yang muncul pasca perkawinan baik psikologis, mental maupun pendidikan anak. Tantangan yang dihadapi hakim dalam mengadili perkara dispensasi adalah pemahaman masyarakat terhadap bahaya perkawinan anak belum tersosialisasikan dengan baik dan harus menghadirkan saksi yang memadai agar latar belakang keinginan menikah dapat didalami secara komprehensif. Pertimbangan hakim mengabulkan permohonan dispensasi dengan mempertimbangkan aspek kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) dan adanya bukti yang menunjukkan bahwa pernikahan suatu hal yang mendesak dilakukan berdasarkan fakta di persidangan.
ENFORCEMENT OF JINAYAT LAW FOR NON-MUSLIMS IN ACEH Mahmuddin Mahmuddin; Mansari Mansari; Khairuddin Khairuddin; Ahmad Fikri Oslami; Mul Irawan
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/jhp.11.1.2022.21-42

Abstract

Law enforcement against non-Muslims who commit violations of jinayat law tends to use the penalties stipulated in the Qanun Hukum Jinayat compared to other criminal statutory provisions. This phenomenon is interesting to study because non-Muslims who commit criminal acts (Jarimah) are given the choice of choosing to use Qanun or other Criminal Law which is regulated outside the Qanun. This study aims to analyze how the enforcement of jinayat law against Jarimah is carried out by non-Muslims, why non-Muslims are more likely to choose jinayat law than the provisions of other criminal laws and regulations outside of the Qanun and which penalties are imposed more dominantly by syar'iyah court judges. The author uses the empirical juridical research method with the aim of describing concrete facts about jinayat law enforcement for non-Muslims. The primary legal materials used are Qanun Hukum Jinayat Qanun Hukum Procedural Jinayat. Secondary legal materials, namely through books, journals and research results. Primary data was obtained through interviews with non-Muslims who had been sentenced according to qanun, judges and Wilayatuh Hisbah (WH). The results showed that enforcement of jinayat law for non-Muslims must first seek approval from the suspect to use qanuns or criminal laws other than qanuns. Then the investigator takes action according to the choice set by the suspect. Non-Muslims tend to choose qanuns due to several factors: first, the punishment is more instantaneous than the KUHP which carries a prison sentence. Second, the people who witnessed the execution of the caning were not all citizens who knew him. The more dominant punishments handed down by judges were ta'zir flogging and actions in the form of revoking their business license.
KEPASTIAN HUKUM PENGASUHAN ANAK PASCA PERCERAIAN AKIBAT PENOLAKAN GUGATAN REKONVENSI Mansari Mansari; Yuliati Yuliati
Al-Ahkam: Jurnal Syariah dan Peradilan Islam Vol. 1 No. 1 (2021)
Publisher : FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM UNIVERSITAS ISKANDARMUDA BANDA ACEH

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (261.541 KB)

Abstract

Majelis hakim yang mengadili putusan Nomor 7/Pdt.G/2020/MS.Bna. menolak gugatan rekonvensi yang diajukan termohon yang meminta agar hakim memberikan hak asuh kepadanya. Konsekuensi yuridis penolakan tersebut adalah memunculkan ketidakpastian hukum terkait pengasuhan bagianak. Penelitian ini berusaha menjawab apa pertimbangan hakim menolak gugatan rekonvensi dalam putusan Nomor 7/Pdt.G/2020/MS.Bna. dan kepastian hukum terhadap pengasuhan anak. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang berusaha mengkaji kaidah dan konsep-konsep dalam ilmu hukum. Bahan hukum primer yang digunakan adalah UU Perkawinan dan putusan Nomor 7/Pdt.G/2020/MS.Bna. Analisis data dilakukan secara preskriptif dengan tujuan untuk memberikan penilaian terhadap putusan tersebut dalam perspektif ilmu hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim menolak gugatan rekonvensi yang diajukan oleh termohon secara lisan adalah dikarenakan tidak pernah hadir lagi pada tahap replik, duplik, pembuktian dan kesimpulan di persidangan sehingga ibu tidak menguatkan alasan-alasannya meminta anak tersebut. Akibat hukumnya adalah adanya ketidak pastian hukum pengasuhan bagi anak pasca perceraian dalam putusan Nomor 7/Pdt.G/2020/MS.Bna. sehingga berpeluang terjadi konflik baru di masa yang akan dating dalam memperebutkan hak asuh anak.
KEWENANGAN HAKIM MELAKSANAKAN MEDIASI PADA PERKARA ISTBAT NIKAH DALAM RANGKA PENYELESAIAN PERCERAIAN Salman Abdul Muthalib; Mansari Mansari; M. Ridha
Al-Ahkam: Jurnal Syariah dan Peradilan Islam Vol. 2 No. 2 (2022): Al-Ahkam Jurnal Syariah dan Peradilan Islam
Publisher : FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM UNIVERSITAS ISKANDARMUDA BANDA ACEH

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (233.787 KB)

Abstract

Salah satu alasan pengajuan istbat nikah menurut KHI adalah karena adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. Persoalannya adalah di satu sisi istbat nikah bukanlah perkara yang wajib dimediasi, di sisi lain perkara perceraian menjadi salah satu perkara yang wajib dimediasi. Penelitian bertujuan untuk menganalisis apakah hakim berwenang melakukan mediasi terhadap istbat nikah dengan alasan perceraian dan bagaimana perspektif asas peradilan cepat serta biaya ringan dalam mengadili perkata istbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian. Kajian menggunakan metode penelitian hukum yuridis empiris. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan hakim dan advokat. Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari UU Perkawinan, KHI dan Perma Nomor 1 Tahun 2016. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim berwenang melaksanakan mediasi dalam perkara istbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian. Perkara pokok dari istbat nikah dalam rangka perceraian adalah perceraiannya sehingga menurut Perma Nomor 1 Tahun 2016 dapat dilaksanakan mediasi karena perkara perceraian merupakan salah satu kasus yang dapat dimediasikan oleh hakim. Permohonan isbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian mengakomodir asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan karena tidak memerlukan pembuktian yang sulit. Pembuktian dapat dilakukan sekaligus dengan menghadirkan saksi yang menyaksikan terpenuhinya rukun dan syarat sah perkawinan menurut hukum Islam serta telah terjadinya perselisihan secara terus menerus di antara pasangan suami isteri.
SENSITIVITAS HAKIM TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ISTERI DALAM KASUS CERAI GUGAT (Analisis Putusan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Nomor 157/Pdt.G/2020/Ms.Bna) Hanik Harianti; Mansari Mansari; Rizkal Rizkal
Jurnal Mediasas Media Ilmu Syari'ah dan Ahwal Syakhsiyyah Vol 4, No 1 (2021)
Publisher : STAI SYEKH ABDUR RAUF ACEH SINGKIL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (321.787 KB) | DOI: 10.58824/mediasas.v4i1.263

Abstract

Pasca lahirnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor.137/K/AG/2007 memberikan warna baru terhadap hak isteri pasca cerai gugat.Yakni isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dan mut’ah dari bekas suami.Namun fakta empiris membuktikanaturan tersebut belum terwujud dalam putusan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Nomor. 157/Pdt.G/2020/MS.Bna.Oleh karena itu dibutuhkan sensitivitas dan kepekaan seorang hakim terhadap perlindungan hak-hak isteri pasca perceraian.Adanya aturan tersebut merupaan bentuk perlindungan terhadap hak-hak isteri pasca percerain.Tujuan dilakukanya penelitian ini untuk mengetahui sensitivitas hakim terhadap hak isteri dalam kasus cerai gugat serta mengetahui alasan hakim tidak memberikan nafkah tersebut.Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-empiris dengan jenis data primer dan data sekunder.Sumber data dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan studi dokumentasi kepustakaan.Data tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwahakim di Mahkamah Syar’iyahtelah berupaya memiliki nilai sensitivitas terhadap perlindungan perempuan pasca perceraian.Sensitivitas tersebut dinilai menggunaka dua indikator pertama upaya hakim dalam pemenuhan nafkah mut’ah dan iddah terhadap isteri dalam kasus cerai gugat.kedua perealisasian terhadap hak-hak isteri pasca penetapan putusan Mahkamah Syar’iyah. Faktor yang menyebabkan hakim tidak menetapkan nafkah dalam putusan tersebut diantaranya: Hakim masih menggunakan dasar KHI, isteri tidak mengetahui haknya serta hanya meminta akta cerai.