Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

GUGATAN CERAI PEREMPUAN KORBAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Suatu Penelitian di Mahkamah Syar‟iyah Kota Banda Aceh) Mansari Mansari; Dahlan Dahlan; Mahfud Mahfud; Martunis Martunis
INTERNATIONAL JOURNAL OF CHILD AND GENDER STUDIES Vol 4, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/equality.v4i1.4483

Abstract

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) khususnya terhadap isteri terus muncul dan meningkat di berbagai wilayah Indonesia termasuk Aceh. Di Aceh, ekses dari kondisi ini mendorong tingginya angka gugatan cerai di Mahkamah Syar‟iyah oleh isteri sebagai upaya keluar dari lingkaran kekerasan dengan persentase mencapai 83%. Penelitian ini ingin menjawabpertanyaan bagaimana perlindungan hukum atas perempuan dalam kasus gugat cerai akibat tindak KDRT di Mahkamah Syar‟iyah dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah hukum Kota Banda Aceh. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), serta pendekatan kasus (Case Approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama,tindak pidana KDRT tidak dituntut secara pidana melainkan secara perdata, karenanya hakim tidak dapat memberi putusan pidana lebih dari apa yang dimohon oleh Penggugat dalam petitum-nya. Sehingga bentuk perlindungan hukum bagi perempuan dilakukan melalui beberapa hal; mempercepat proses persidangan danmengabulkan gugatancerai untuk menghindarkan isteri dari kemungkinan terulangnya tindak KDRT dan menjauhkannya dari trauma.Kedua, Hakim Mahkamah Syar‟iyah Kota Banda Aceh belum mengintegrasikan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT sebagai acuan maupun dalil dalam putusan. Sebaliknya, hakim mendasarkan putusannya pada pertimbangan: (1) Ketidakberhasilan proses mediasi;(2) Penolakan Penggugat atas nasehat majelis hakim untuk membatalkan gugatan cerai;(3) Ketidakhadiran pihak Tergugat dalam proses mediasi (Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008) dan dalam persidangan sehingga perkara tersebut diadili secara verstek (Pasal 149 R.Bg. ayat (1));(4) Perselisihan yang terus menerus terjadi antara kedua pihak telah memenuhi syarat dan alasan hukum dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo Pasal 65 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 dan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam;(5) Keyakinan majelis hakim bahwa kedua pihak tidak mungkin lagi dipertahankan sebagai suami isteri; (6) Kaidah-kaidah maslahat dalam hukum Islam. Ketiga, Putusan Mahkamah Syar‟iyah Kota Banda Aceh dalam penyelesaian perkara cerai gugat akibat KDRT adalah mengabulkan gugatan cerai secara verstek akibat ketidakhadiran pihak suami (tergugat) dalam proses mediasi dan persidangan, dan menjatuhkan putusan talak satu ba‟in sughra Tergugat atas Penggugat. Hal ini menunjukkan bahwa putusan hukum di Mahkamah Syar‟iyah Kota Banda Aceh sudah sesuai dengan konsep hukum perlindungan korban tindak pidana KDRT di mana hakim mempertimbangkan nasib korbandalam putusan hukum.Namun tidak semua butir-butir dapat diimplementasikan karena isteri menganggap putusan cerai dari suaminya sudah cukup.
PERAN TUHA PEUT DALAM PERLINDUNGAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI ACEH BESAR Mansari Mansari
Aceh Anthropological Journal Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v2i1.1147

Abstract

Reusam which usually regulates public behavior about habits undertaken by the public in an unwritten form, is now beginning to be written in written form. The formation of gampong reusam was formed by Tuha Peut Gampong which was discussed together with the keuchik and community leaders of the gampong. This research aims to find out how the process of reusam formation of child protection in Aceh Besar and how the role of tuha peut in determining the direction of development of child protection reusam in Aceh Besar. This research uses qualitative research with data source from primary data obtained through interview with Keuchik, Tuha Peut Gampong and Female Woman. The results showed Tuha Peut has an important role in the development of a gampong reusam that adopts local and applicable local values in Aceh. These values are deliberation, mediation and the use of adat sanctions for child offenders in cases that occur, such as Advice, Warning, apology, fines, compensation, returned to the family, Establishment of Child Protection Committees dealing with law and engagement government agencies.
Penerapan Dwangsom Terhadap Biaya Pemeliharaan Anak Pascaperceraian di Mahkamah Syar’iyyah Sigli Mansari Mansari; Soraya Devi
Media Syari'ah Vol 21, No 2 (2019)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v21i2.2287

Abstract

Abstrak: Penerapan dwangsom (uang paksa) dalam putusan yang memberikan biaya pendidikan dan penghidupan anak pasca perceraian sering diabaikan. Padahal tidak sedikit anak tidak mendapatkan biaya tersebut setelah perceraian meskipun telah ditetapkan dalam putusan hakim. Putusan tanpa adanya dwangsom memberikan peluang bagi ayah mengabaikan segala kewajiban yang telah ditetapkan kepadanya. Kondisi demikian akan merugikan bagi anak yang berakibat pada gagal mendapatkan hak-hak yang seharusnya didapatkan dari orangtuanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi hakim tidak menetapkan dwangsom dalam putusan dan bentuk perealisasian nafkah anak pasca perceraian tanpa dwangsom. Penelitian yuridis empiris ini dilakukan di Mahkamah Syar’iyah Sigli dengan mewawancarai hakim dan panitera yang bertugas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang melatarbelakangi hakim tidak menerapkan dwangsom dalam putusan yaitu: tidak adanya permintaan dari ibu, hakim bersifat pasif, ibu menginginkan perkara cepat berakhir, pengetahuan hukum masyarakat rendah. Perealisasian nafkah anak tanpa dwangsom dapat dilaksanakan apabila ayah memiliki kesadaran akan tanggungjawabnya. Untuk mewujudkan itu, makan perlu diberikan pemahaman keagamaan bagi dirinya. Selain itu, kontribusi aparatur gampong dan masyarakat juga sangat diperlukan untuk mengawasi dan memastikan terealisasikan biaya pemeliharaan anak dengan baik.Abstract: The application of dwangsom (forced money) in decisions that provide the cost of education and the livelihood of children after divorce is often ignored. Though not a few children do not get these costs after the divorce even though it has been established in the judge's decision. The verdict in the absence of dwangsom gives an opportunity for my father to ignore all the obligations that have been assigned to him. Such conditions will be detrimental to the child resulting in the failure to obtain the rights that should be obtained from his parents. This study aims to determine the factors behind the judge did not set dwangsom in the decision and the form of realization of the child's income after divorce without dwangsom. This empirical juridical study was conducted at the Syar'iyah Sigli Court by interviewing the judges and the assigned clerks. The results showed that the factors behind the judge did not apply dwangsom in the decision that is: the absence of request from the mother, the judge is passive, the mother wants the case to end quickly, the knowledge of community law is low. The realization of a child's income without dwangsom can be implemented if the father has an awareness of his responsibilities. To realize that, eating needs to be given a religious understanding for himself. In addition, the contribution of gampong and community apparatuses is also needed to monitor and ensure the realization of the cost of child care well.