This Author published in this journals
All Journal Mediator
Dewan Redaksi MediaTor
Fikom Unisba

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Salam MediaTor, Dewan Redaksi
Mediator Vol 1, No 1 (2000)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mediator ialah sebuah alat. Mengikuti dalil teknologi, Mediator menjadi sarana pengungkit posisi kami, para dosen di Fikom Unisba, untuk menaiki jenjang keilmuan. Dalam perspektif tertentu, sebuah alat juga merupakan bantuan. Bagi kami, Mediator membantu kami untukmengurus jenjang karir pengajaran. Seperti telah digariskan peraturan, kami memerlukan media yang dapat dicatat oleh kelembagaan pendidikan di Indonesia, bahwa kami telah berbuat bagi pengembangan wacana pemikiran. Melalui Mediator, kami mencoba menyampaikan berbagai hal yang telah menjadi perhatian, concern, bahkan ambisi untuk menjelaskan masalah yang dianggp harus dijelaskan. Tentu saja, dalam konteks ini, terkait dengan keilmuan komunikasi – yang, di dalam Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba, terbagi ke dalam tiga bidang kajian: Ilmu Hubungan Masyarakat, Ilmu Jurnalistik, dan Manajemen Komunikasi. Pada ketiga bidang kajian tersebut, para dosen mendapatkan pemenuhan kebutuhannya, untuk melanjutkan bahan pemikirannya ke dalam wacana teks. Tapi, seperti telah diminta oleh Dekan kami di dalam sambutannya, Mediator bukan hanya tertuju kepada para dosen Fikom Unisba. Mediator juga mengharapkan sumbangan tulisan dari berbagai pihak yang terkait, atau punya perhatian terhadap keilmuan komunikasi.Dari para kontributor di luar fakultas, kami ingin menimba ilmu yang tentu akan berlainan perspektif, persepsi, malah mungkin konvensi, di dalam ilmu komunikasi. Ketiga bidang kajian Fikom Unisba hendak tidak menjadi pembatas. Akan tetapi, justru menjadi pemicu untuk meluangkan wacana komunikasi ke dalam literatur-literatur yang berbeda. Sebagai sebuah “Salam” pembuka, pengantar ini tak hendak menyatakan bahwa ini adalah hasil karya final. Pengantar yang baik, tentu saja, harus menyediakan diri bagi sumbangsaran para pembaca. Sesuai pepatah “tak ada gading yang tak retak”, pengantar ini justru hendak mengajak para pembaca ikut serta dalam diskusi yang kami hantarkan di tiap terbitan kami.Terima kasih.Redaksi
Salam MediaTor, Dewan Redaksi
Mediator Vol 2, No 1 (2001)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

“Publish or Perish!”Jurnal—yang secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sebentuk publikasi ilmiah khusus yang memuat artikel-artikel di satu bidang ilmu tertentu—seharusnya memang memperoleh tempat yang layak di lingkungan lembaga perguruan tinggi sekarang ini. Keberadaan sebuah jurnal, seperti pernah dikatakan Hernowo (1999), mencerminkan kedinamisan dan kebergairahan masyarakat kampus dalam menemukan hal-hal baru sekaligus menyongsong era baru. Malah, lebih jauhnya lagi, keberadaan jurnal ilmiah disebabkan kebutuhan nyata masyarakat ilmiah, untuk: (1) memperoleh kritikan, saran, dan masukan lainnya bagi karyanya, (2) pengakuan keilmuan dan promosi jabatan, (3) rujukan terbaru, (4) ide aktual untuk kajian lanjutan, dan (5) mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi(Indrawan, 2000).  Sayangnya, seiring dengan kian pesatnya perubahan yang terjadi di segala bidang dan semakin bertambah kompleksnya problem masyarakat, kehidupan jurnal semakin merana. Karena itu, saat ini, untuk kasus di Indonesia, kesinambungan jurnal ilmiah sangat tergantung pada kuatnya komitmen organisasi profesi dan lembaga perguruan tinggi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.Data kasar yang ada, sebagaimana dikemukakan Hernowo, menunjukkan bahwa, pertama, pada saat ini betapa sulitnya menemukan sebuah jurnal yang memiliki otoritas sekaliber Prisma (bila majalah ini dapat digolongkan sebagai jurnal yang ngepop) yang pada tahun-tahun 1970-an menjadi wadah sekian pemikiran hebat, terutama berkenaan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial. Kedua, ada memang beberapa jurnal menarik yang masih beredar di pasar bebas, namun keadaan beberapa jurnal itu kadang amat mengenaskan: dalam segi fisik tidak dapat bersaing dengan publikasi nonjurnal yang sudah sampai ke taraf “gila-gilaan” dalam memanfaatkan kemampuan desktop publishing, dan dalam segi isi materi kadang sulit menjaga kekonsistenan kualitas dan daya tarik intelektualnya. Ketiga, setiap jurnal yang diterbitkan pada masa kini, senantiasa memendam dilema: tidak dapat memadukan secara seimbang antara idealitas (kesungguhan menyajikan jurnal secara prima) dengan komersialitas (dapat mendatangkan uang yang cukup untuk menggaji para pengelolanya secara memuaskan). Data ketiga inilah, menurut Hernowo, yang membuat jera sebuah lembaga penelitian atau penerbitan ilmiah di universitas untuk benar-benar menggarap secara serius sebuah jurnal.Sebetulnya, khazanah literatur Islam Indonesia, pernah diperkaya oleh penerbitan pelbagai jurnal ilmiah, terutama pada dasawarsa 1990-an. Sebut saja, misalnya, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an (1991-1997), Islamika (1993), Pesantren (1988-1995) dan Al-Hikmah (1992). Namun, ternyata umur jurnal-jurnal tersebut rata-rata tidaklah panjang — jika tidak hendak dikata seumur jagung. Ulumul Qur’an (UQ) yang dikomandani Prof. M. Dawam Rahardjo, hanya bertahan sekitar enam tahun. Padahal, isinya yang beragam, yang oleh Usep Romli (Pikiran Rakyat, 6 November 2000) disebut-sebut kaya dengan karya-karya budaya (sastra dan lukis) cukup menampilkan nuansa tentang cakupan kekayaan ilmu-ilmu Islam. Jurnal ilmiah ini, konon, seperti dikemukakan pemimpin redaksinya — Dawam Rahardjo, ingin bersikap terbuka, sekalipun terhadap penulis non-Muslim. “Jika kami menginginkan sebuah tulisan tentang agama lain dalam rangka perbandingan agama dan saling apresiasi, maka UQ akan mengundang penulis dari agama yang bersangkutan,” katanya. “Kami juga menerima tulisan pemikir non-Muslim yang melakukan kritik terhadap pandangan pemikir Muslim. Misalnya tulisan Romo Magnis-Suseno. Kritik itu sangat berguna dan merupakan bahan introspeksi. Haluan UQ memang membina saling pengertian dan kerukunan antarumat bergama,” jelas Dawam (Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV Th. 1993, hlm. 2). Jurnal Dialog Pemikiran Islam Islamika hanya terbit beberapa nomor. Jurnal yang dimotori Haidar Bagir, didukung para pakar dunia Islam seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra, Dr. Din Syamsuddin, Dr. Komaruddin Hidayat, M. Riza Sihbudi, dan Satrio Arismunandar ini mengutamakan pembahasan masalah dunia Islam, misalnya tentang “Bahasa Politik Islam” (No. 5, 1994) dan “Nalar yang Terpasung: Media Massa di Dunia Islam” yang ditulis Abdelwahab El-Affendi, serta “Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Semangat Keagamaan” karangan Nurcholish Madjid (Islamika, No.6, 1995).Jurnal Pesantren yang diterbitkan P3M — sebuah LSM di lingkungan NU, di bawah pimpinan cendekiawan muda NU, Masdar Farid Mas’udi, berusia singkat pula. Setelah enam tahunan memuat tulisan-tulisan yang mencoba mentransformasikan dan memformulasikan nilai-nilai pesantren, melalui tulisan-tulisan semi ilmiah, harus surut dari peredaran. Mungkin kini hanya beredar terbatas di lingkungan para pakar NU, atau sama sekali sudah “wassalam”, tak terdengar kabar beritanya (Romli, 2000). Nasib yang tidak jauh beda rupanya harus ditanggung juga oleh Al-Hikmah, Jurnal Studi-Studi Islam. Jurnal pimpinan Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. yang diterbitkan Yayasan Muthahhari dan didukung penerbit Mizan ini hanya sanggup terbit dalam delapan belas edisi, sebelum pergi tanpa pamit. Karena itulah pihak Mizan kemudian berpendapat bahwa penggunaan nama “jurnal”, katanya, secara eksplisit harus dicoba dihindarkan. Mengapa? “Karena masyarakat seperti mengalami trauma (luka berat) bila mendengar kata jurnal,” kata Hernowo (1999).Apakah gejala traumatis mendengar nama jurnal ini juga melanda masyarakat kampus? Jawabannya bisa “ya” bisa “tidak”. Namun, kenyataan yang ada, sebagaimana dikatakan Hernowo, menunjukkan bahwa kegairahan untuk melanggan sebuah jurnal bagi para insan yang bekerja di perpustakaan universitas ternyata tergolong rendah. Para dosen juga tampak kesulitan untuk membangkitkan para mahasiswa atau dirinya sendiri agar mau mengkaji secara serius bahan-bahan yang disajikan oleh sebuah jurnal, padahal dibandingkan bahan-bahan yang berasal dari text book, kadang jurnal lebih up to date dalam melaporkan keadaan. Lihat saja, misalnya Pantau—untuk menyebut satu di antara beberapa nama jurnal komunikasi (media dan jurnalisme) yang digarap secara serius—kajian ihwal peristiwa mutakhir bisa kita telaah lewat setiap edisinya.   Sebagai lembaga ilmiah, pendidikan tinggi (PT) itu tentulah punya tujuan. Tujuannya, jika merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, adalah “Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional”. Hakikat dari landasan normatif keberadaan pendidikan tersebut mengandung makna bahwa PT pada dasarnya memiliki tiga ciri utama, yaitu mengembangkan, menyebarluaskan, dan mengupayakan penggunaan ilmu pengetahuan. Implementasi dari ciri-ciri tersebut melekat pada Tridharma Perguruan Tinggi. Pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan melalui kegiatan penelitian; penyebarluasan ilmu pengetahuan dilakukan melalui publikasi ilmiah; dan penerapannya dilakukan melalui pendidikan-pengajaran serta pengabdian kepada masyarakat. Ketiga ciri tersebut memiliki arti strategis dalam mewujudkan eksistensi suatu PT. Ukuran keberhasilan PT, selain diukur dari mutu lulusannya, juga diukur berdasarkan mutu dan intensitas penerapan ketiga ciri tersebut secara komprehensif dan berkesinambungan.Berdasarkan konstelasi tersebut, maka peran penelitian dan publikasi menjadi bagian yang sangat strategis. Penelitian yang dimaksud dilakukan oleh tenaga akademik (dosen, pustakawan, dan laboran) maupun oleh mahasiswa dalam wujud skripsi, tesis, dan disertasi, serta pengkajian dalam wujud pembahasan bahan-bahan non-empirik. Sedang publikasi ilmiah meliputi antara lain jurnal (ilmiah), prosiding, dan kumpulan abstrak tulisan ilmiah, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Melihat esensi dan urgensi penelitian dan publikasi ilmiah dapat dilihat dalam kriteria penilaian dalam penentuan ranking perguruan tinggi di Asia-Australia tahun 1999 yang dilakukan majalah Asiaweek. Salah satu penilaiannya adalah pada aspek hasil penelitian dan publikasi ilmiah, di mana kriterianya mencakup (1) jumlah artikel (per dosen) yang dirujuk dalam jurnal ilmiah internasional yang direkam oleh Journal Citation Index, (2) jumlah artikel yang diterbitkan di jurnal Ilmiah di Asia, (3) dana penelitian, (4) jumlah dosen bergelar doktor, dan (5) jumlah mahasiswa pascasarjana (Asiaweek, 23 April 1999, dalam Kunaefi, 2000).Pada dasarnya, puncak pengakuan eksistensi PT adalah tercermin pada posisinya dalam komunitas bidang keilmuannya masing-masing, dan ukuran pengakuan tersebut terlihat pada seberapa jauh karya penelitian dan publikasinya diakui dalam komunitas ilmunya. Dan hal itu tergambarkan oleh seberapa banyak anggota sivitas akademika yang memperoleh penghargaan. Semakin tinggi skala pemberi penghargaan, semakin besar pula pengakuan tersebut. Dalam lingkungan PT dan badan litbang (penelitian dan pengembangan), salah satu patokan (kriterium) yang dinilai tinggi bobotnya ialah hasil karya tulis seseorang. Sebagaimana “diramalkan” Prof. Selo Soemardjan (dalam Purbo-Hadiwidjoyo, Kompas, 17 November 1987), pada waktu mendatang peningkatan strata sosial akan dilihat dari hasil karya seseorang untuk bisa dihargai. Pendidikan tinggi tidak akan dihargai, jika tanpa prestasi. Dan di sini prestasi itu akan lebih sering lagi dihubungkan dengan karya yang tertulis, tidak hanya gelar, meskipun gelar itu sudah rangkap. Karena itu, kiranya sungguh tepat bila komitmen pengembangan mutu dosen lewat pemasyarakatan pentingnya publikasi hasil penelitian melalui kebijakan kepegawaian (kenaikan jabatan fungsional). Kesadaran terhadap berlakunya hukum “publish or perish” dalam menjaga eksistensi profesi masyarakat akademik, pada tahap-tahap awal perlu didukung oleh seperangkat aturan yang lebih bersifat memaksa. Meski dalam prakteknya di beberapa negara maju menanggapi pendekatan tersebut cenderung bervariasi, namun fakta lain membuktikan, kuatnya dukungan terhadap komitmen pada penelitian dan publikasi ilmiah melalui kebijakan promosi dosen semacam itu, menjadi salah satu faktor kuat untuk tumbuhnya research university di Amerika Serikat.Kami kira, MediaTor, juga segenap masyarakat ilmu komunikasi, selangkah demi selangkah tetapi pasti, tengah menuju ke sana. Semoga!Redaksi
Salam MediaTor, Dewan Redaksi
Mediator Vol 3, No 1 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Atas Dasar Apa: Mediator Kali iniKebebasan pers memang bukan udara yang bisa dihirup di setiap saat dan di setiap tempat. Bahkan di Amerika, tempat bermula kebebasan pers didengungkan. Ketika AS mengirimkan serangan ke Afghanistan akhir 200 1 lalu, Gedung Putih melarangjaringan TV ABC, CBS, CNN, NBC, dan Fox, menayangkan rekaman video Usamah bin Ladin. Alasan: ditakutkan Usamah akan memanfaatkan tayangan itu untuk memberi kode-kode khusus kepada para pengikutnya. Siaran wawancara radio Voice ofAmerica dengan pejabat Talibanjuga sarna, di-blocking. Media cetak pun dilarang bila memuat transkrip lengkap tayangan tersebut.Atas dasar apa?"Ketakutan yang berlebihan dad pemerintah AS," jelas Awang Ruswandi, stafpengajar Jurusan I1mu Komunikasi, FISIP VI. Ketakutan itu punya umur yang panjang di dalam sejarah pers di negeri - yang terkaget-kaget oleh kehancuran menara kembar World Trade Center (WTC), pada September 200 1. "Sejarah AS memperlihatkan bahwa sebenamya tingkat kebebasan pers ... hanya terjadi pada saat kondisi negara sedang dalam keadaan normal. Tingkat kebebasan pers AS akan berbeda jika negeri ini sedang menghadapi perang atau konflik dengan negara lain." Kisahnya bisa diumt sejak negeri Paman Sam (Uncle Sam) meraih kemerdekaannya (Perang Sipil), lalu dalam PD I dan II, invasi AS ke Kuba, Perang Korea dan Vietnam, invasi ke Grenada (1983), Teluk Persia (1991), sampai dengan serangan ke Afghanistan (2001). Padahal, dari bangsa inilah, kita mengutip Graber (1980) yang berkata, pers ialah mata dan telinga bagi publik, serta watchdog bagi pemerintah. Atau, Thomas Jefferson, pendorong kebebasan pers masuk First Amendment, berseru bahwa di negeri demokratis "pers hams bebas dari pengawasan pemerintah". Namun, dalam kenyataan sejarahnya, hal itu kerap dilanggar.Ruswandi - mengutip Rivers, Peterson, & Jensen (197 1) - dengan amat baik, mencontohkan: Contoh yang ekstrem barangkali terjadi saat Presiden Andrew Jackson berkuasa. Jackson lebih jauh lagi mengatur kehidupan pers. Bahkan ia dijuluki sebagai presiden pertama yang mengatur negeri dengan surat kabar. Karena memang, Jackson dapat "menguasai" jumalis-jumalis kenamaan untuk dijadikanjuru bicaranya. Pada pemerintahan Jackson ini, pemerintah dapat membuatpublic opinion palsu yang seolah-olah ada pendapat umum, padahal pendapat itu "dibuat" oleh jumalisjumalis yang dekat dengan presiden, dan surat kabar-surat kabar di daerah "wajib" memuat pendapat tersebut. Ketika Perang Teluk meletus, 1991, pemerintah malah lebih detil membatasi kebebasan pers. Kekuatan militer AS, berbagai operasi intelejen, dan banyak lagi yang tidak boleh dilaporkan media. The Pentagon Ruled on Media Access to the Persian Gulf War merincikan 12 item yang hams diperhatikan media massa.Atas dasar apa?Tekanan politik dan ekonomi, nilai Ruswandi. Kedua tekanan itu menyebabkan, "tidak ada kebebasan pers secara mumi." Mengutip Melvin deFleur (] 985), yang dari sejak dini telahmengasumsi kelembagaan media massa itu tidak pemah bisa berdiri sendiri. Baik formal ataupun informal, economic andpolitical constraints selalu membayang-bayangi kerjajurnalisme. Karena itulah, "kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi tidak bersifat absolut." Diskusi macam ini memang punya arah tertentu. Arahnya terkait, antara lain, ke hasil reportase wartawan. Vakni, dalam kerja mereka ketika mengungkap hal-hal yang berbau skandal, kasus, atau pelanggaran. Kerja pers jadi menakutkan banyak pihak. Kebebasan pers jadi soal yang sangat perlu diwaspadai.Khususnya, ketika pers mengivestigasi pelbagai peristiwa di masyarakat. Ketika pers menyeruduk ke ruang-ruang gelap, yang sengaja disembunyikan, pelbagai pihak biasanya akan jadi serius menyeleksi arti kebebasan pers. Dan, yang sibuk biasanya pemerintah. "Pelbagai bentuk dari kasus-kasus investigasi itu meliputi permasalahan di antaranya .... biasanya terkait dengan hal yang i1egal, atau pelanggaran moral, penyalahgllnaan kekuasaan," tulis Septiawan. Kisah-kisah jumalisme investigatifpunya ukuran dan keluaran yang tak mudah digeneralisasikan. Ada yang mengukurnya dari pemuatan kisah "seorang korban" (victim), ada pula yang mengaitkannya dengan kelemahan sebuah sistem. Kesemua bahan liputan direkontekstualisasikan ke dalam klasifikasi dan struktur pengisahan, berdasarkan tema dan tipe-tipe spesifikasi kisah. Dari keseluruhan kerja liputan jurnalisme investigatif, pada umumnya ditentukan lInsur-unsur yang dapat dikenali, yang menjadi karakteristik wacana reportase investigatif, antara lain: subjek investigasi, hipotesis riset, sumber sekunder, pikiran dokumentatif, narasumber, teknik riset, dan berpikir wisdom.Ciri-ciri itu kerap memberikan nilai lebih padajumalisme investigatif. Bahkan, dibanding varian jurnalisme lainnya, investigasi dianggap punya nuansa gengsi Pulitzer. Anggapan ini sering membuat pers sendiri jadiinsinuatif. Pers jadi tampil arogan. Dan, parahnya, wartawan jadi alergi dengan kritikan. Apalagi disebut kriminal. Padahal, berbagai kasus liputan banyak berkisah tentang pelanggaran wartawan. Ruang privasi masyarakat terganggu, terintimidasi, dan goyah. Wartawan bukan lagi dianggap mata dan telinga publik, akan tetapi vampire. Pers dinilai mengisap hak pribadi publik untuk, misalnya, tahu bahwa yang dihadapinya adalah benar-benar wartawan. Bukan intel, atau maling (informasi). Etika dan hukum merupakan hal penting yang patut pula diperhitungkan kalangan pers. Hal ini berarti terkait dengan sumber daya kewartawanan. Apa mereka, para pelaku pers, paham dengan utuh tentang etika dan hukum yang mesti diperhatikan di dalam jurnalisme. Terkait dengan itu pula, berarti pendidikan sekolah jumalitik pun punya akses. Sekolah jumalistik memiliki keterkaitan amat penting dengan sumber daya kewartawanan. Dari sekolah tersebut, para wartawan bekerja dengan baik bila mengatasnamakan "mata dan telinga" publik. Sekolah jurnalistik mesti menyiapkan dengan baik kurikulull1 sampai sarana dan prasarana pengajarannya. Bagaimana dengan sekolah jumalistik di Indonesia? Maka itulah, Mediator kali ini menampilkan ulasan Deddy Mulyana berjudul "Mempersiapkan Para Jurnalis Menyongsong Era Global". "Terdapat beberapa syarat mendasar yang hams dimiliki suatu universitas untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Syarat-syarat ini perlu ditekankan lebih jauh lagi mengingat Indonesia sekarang ini hams menghadapi era global," tulisnya. Perguruan tinggi (PT), fakultas,jurusan, atau program studi, mesti diberi otonomi yang luas. Salah satu wujudnya adalah kebebasan PT dalam menyusun kurikulumnya. Kebebasan untuk mengembangkan kajian khas yang dibutuhkan propinsi di mana lembaga pendidikan tinggi itu berada. "Misalnya, UI mungkin istimewa dengan periklanannya, sementara Unpad dengan jumalistik radio dan TV-nya, Unhas boleh jadi terkenal karena komunikasi pembangunannya, sementara Unisba mungkin bangga dengan jurnalistik cetaknya." Jurusan atau program studi ilmu jumalistik dapat merancang seleksi khusus (tambahan) untuk merekrut mahasiswa, misalnya dengan melakukan wawancara bahasa lnggris, tes bahasa lnggris TOEFL atau IELTS.Selain itu, visi dan misi yang jelas. "Bukan sekadar penghias bibir (lip service)". Akan tetapi, dijabarkan melalui komposisi dan keragaman mata kuliahnya serta penyediaan fasilitas (khususnya laboratorium) pendidikan yang relevan. Kurikulum program S1seyogianya menawarkan keahlian yang seimbang antara keahlian teoretis dan keahlian praktis. Idealnya, dalam jangka-panjang, rasio bandingannya mencapai 50:50, antara teori dan praktik. Kurikulum tersebut seyogianya pula memberi pengetahuan sosial yang kuat, termasuk pengantar filsafat (ilmu), sosiologi, psikologi, antropologi, dan ilmu politik, ilmu ekonomi "Dan tentu yang terpenting adalah etika," tegas Mulyana. Ini agar wartawan lulusan sekolahjurnalisme punya integritas moral dan pribadi yang tangguh. Kurikulum yang sudah disusun menurutnya, harus dikaji ulang dan bila perlu direvisi, setidaknya lima tahun sekali. Sekolah jurnalistik di Indonesia, dalam pandangan ini, juga harus mau mengubah ketentuan pembuatan skripsi. "Sebaiknya bersifat pilihan, terutama hanya dianjurkan bagi mereka yang akan melanjutkan studi ke program S2....Sebagai gantinya, mahasiswa membuat suatu proyek akhir, berupa makalah setebal 20-40 halaman, atau tugas .... pembuatan laporan mendalam atas suatu kasus/peristiwa, misalnya tentang pembunuhan terhadap puluhan wanita yang dilakukan seorang dukun, atau membuat paket berita dengan video tentang suatu lembaga pendidikan yang sukses, atau merancang suatu iklan TV," katanya.Di samping semua itu, para dosennya juga mesti berubah. "Para dosen seyogianya terus belajar, meskipun mereka telah mencapai gelar akademik tertinggi. Di samping itu, fasilitas belajar seperti: ruang editing, ruang video, laboratorium foto, laboratorium radio, laboratorium TV, ruang komputer (termasuk sistem internet), dan sisteminformasi (database) berbasis komputer. Pengelolaan sekolahjurnalistik macam itu amat penting. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di Indonesia kini sudah mengenal fenomena surat kabar digital. Surat kabar digital, menurut Muhammad E. Fuady, bukan hanya surat kabar konvensional yang menggabungkan dirinya dengan teknologi internet, media khas seperti portal yang menyediakan informasi secara independen juga merupakan surat kabar digital. Surat kabar digital memadukan teknologi internet dengan kegiatan menyampaikan informasi, hiburan dan penerbitan, dari jurnalistik. Surat kabar digital memiliki karakteristik aktualitas dan universalitas. Tapi, ciri yang paling menonjol ialah sifat interaktifnya."Kekhawatiran akan punahnya eksistensi pers, karena adanya surat kabar digital tidak perlu ditanggapi secara berlebihan," nilai Fuad. Pers tidak perlu menganggap musuh, pers lebih baik menyikapi media baru ini sebagai peluang meningkatkan kualitas pemberitaan. Demikian pula sebaliknya, media pers konvensional dapat menggabungkan dirinya menjadi surat kabar digital tanpa meninggalkan bentuk sebelumnya. Kenyataan itu, sangat signifikan dengan realitas teknologi cyberspace yang kini sudah merasuk ke struktur masyarakat kita. Di Indonesia, pemanfaatan teknologi internet telah menggejalakan komunikasi cyberspace di dalam kehidupan sehari-hari. Cyberspace telah menjadi sarana bertukar pendapat, secara intim, bagi beberapa kelompok sosial di masyarakat. Internet menjadi sarana, dalam bentuk interaksi antarindividu, ketika berkomunikasi. Gejala chatting, misalnya, telah banyak dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Pada titik ini, perkembangan teknologi internet bukan lagi sebagai penyimpan informasi dan data. Akan tetapi, telah menjadi alat bagi perhubungan komunikasi personal. Alat bercakap-cakap bagi masyarakat selain handphone, radio CB (citizen band), ataupun interkom (yang dulu pernah menghangat di perkampungan kota kita). "Bagaimana implikasi perkembangan tersebut pada konteks komunikasi antarpersona....Masih pentingkah komunikasi antarpersona dilakukan? Masih berlakukah paradigma komunikasi antarpersona? Bagaimana aspekaspek psikologis yang terkait dengan komunikasi antarpersona? Mampukah internet pada bola cyberspace ini menggantikan peran komunikasi antarpersona? Berbagai pertanyaan itu diulas Dedeh Fardiah dalam Mediator kali ini . Dalam tilikan komunikasi antarpersona yang jarang dilakukan banyak pengamat, Dedeh mcnguraikan dampak cyberspace ketika menjadi Realitas komunikasi. Dalam tulisannya, ia mengkaji aspck-aspek komunikasi antarpersona, melalui perspcktif komunikasi cyberspace, yang mcncakup esensi komunikasi antarpersona, hubungan antarpersona, dayatarik antarpersona, dan efcktivitas komunikasi antarpersona.Komunikasi antarpersona merupakan satu konteks Komunikasi yang paling sering dilakukan manusia. Di sini, manusia yang terlibat dalam transaksi kotl1unikasi tcrsebut berperan sebagai pcngirim atau penerima secara simultan. Maka itu, Komunikasi antarpersona acapkali disebut dyadic communication (komunikasi dua orang); yang oleh Tubbs dan Moss (1996) - seperti dikutip Dedeh, demikian: "Peristiwa komunikasi dua orang mencakup hampir semua komunikasi informal, dan basa-basi, percakapan sehari-hari yang kita lakukan sejak saat kita bangun pagi sampai kembali ke tempat tidur. Komunikasi diadik juga merupakan komunikasi yang mencakup hubungan antarmanusia yang paling erat". Bagaimana bentukannya ketika diperantarai teknologi cyberspace. Sebuah istilah, yang diciptakan penulis fiksi ilmiah, William Gibson, ketika membayangkan adanya dunia maya atau virtual yang dapat mensimulasikan dunia nyata kita sehari-hari.Dcngan adanya cyberspace, menurut Dedeh, kini kita mendapati dua macam komunikasi antarpersona: komunikasi antarpersona yang bersifat langsung dan komunikasi antarpersona via media (komunikasi cyberspace). "Komunikasi antarpersona yang bersifat langsung amat menekankan pentingnyaface toface .... Sebaliknya dengan komunikasi cyberspace, yang terjadi adalah bentuk komllnikasi tanpa tatap muka dan tanpa keterlibatan manusia secara fisik ... yang telah kehilangan aspek-aspek afeksi psikologis. "Dalam kesimpulanya, Dedeh Fardiah menyatakan, antara lain: "Esensi komunikasi antarpersona dalam perspektif komunikasi cyberspace masih tetap diakui penting keberadaannya.... Ketertarikan individu untuk melakukan komunikasi antarpersona melalui faktor daya tarik fisik, kedekatan, kesamaan, dan komplementer mengalami pergeseran prioritas...." Dengan demikian. teknologi tetaplah alat. Teknologi hanyalah alat untuk memudahkan manusia dalam berhubungan, bekerja, dan seterusnya. Lewat sisi lain, soal perkembangan teknologi informasi ini, disajikan Mediator pula melaluikajian Zulfebriges yang bertajllk "Informasi Dan Organisasi: Perspektif Sistem Informasi Manajemen". Zulfebriges adalah pengajar bidang kajian Manajemen Komunikasi.Tilikannya tentang Sistem Informasi Manajemen (SIM) mewacanai ulasan tentang informasi database - yang kini banyak diaplikasikan berbagai organisasi perusahaan ataupun LSM. Namun, dengan amatan dan referen yang cukup baik - dibanding berbagai ulasan tentang SIM, Zulfebriges menilik secaracukup komprehensif, melalui pendekatan sosial, khususnya untuk pengaplikasiannya di gerak organisasi. Dunia infonnasi, di era milenia ini, memang telah bisa dikeping-kepingkan ke dalam kemasan yang siap saji. Bagi organisasi modern, dengan kebutuhan dan kepentingan manajemen yangcukup kompleks, informasi menjadi sarana gerak kelembagaan yang penting. Berbagai tingkat manajemen, misalnya, membutuhkan mekanisme pasokan dan pengeluaran informasi yang efektif.Tidak hanya cepat, tapi juga tepat. Hal in i berarti memerlukan rancangan sistem infonnasi terapan yang handal: dari proses managing data sampai ke pengaturan database-nya. Oi samping itu, kehadiran administrator. Oalam mengelola pengadmistrasian data dan database, di berbagai tingkat manajemen, memerlukan kehadiran administrator dengan persyaratan tertentu. Maka itulah, penguasaan teknologi informasi - dengan berbagai seluk-beluk perangkatnya, merupakan hal vital bagi pengaturan data yang memenuhi kebutuhan organisasi. Semua itu tertuju kepada pembuatan sistem pemrosesan data yang, menurut istilah Zulfebriges, "handal" dalam memaksimalkan komponen-komponen yang terkait seperti mesin (komputer), program, data, dan manusia; juga, dapat dialokasikan ke dalam struktur organisasi yang efektif."Penyusunan data dalam organisasi dapat dilakukan dengan pendekatan database karena database lebih dari sekadar pengumpulan dan penyimpanan data ke dalam database yang telah terintegrasi," Jelas Zulfebriges. Dalam Iingkungan database, terdapat empat komponen utama, yang terdiri atas: pengguna database, administrator database, aplikasi program, dan sistem manajemen database. Dalam konteks organisasi, manajemen database diperlukan untuk mendukung proses pengambilan keputusan oleh pimpinan. Database menyediakan data yang sangat beragam dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Karena itu, penyusunan dan penyimpanan data menjadi kompleks. SIM memperspektif kegiatan organisasi modem ke dalam tiga level gerak manajemen: Pertama, aktivitas operasional manajemen tingkat bawah; kedua, kegiatan manajemen perencanaan dan pengendalian aktivitas di tingkat menengah; ketiga, kegiatan manaj emen perencanaan strategis dan pembuatan kebijakan di level atas.Data yang dibutuhkan oleh ketiga tingkatan manajemen tersebut harus bisa dilayani dengan baik. "Manajer/pimpinan di semua level menggunakan data yang sarna," tulis Zulfebriges. "Bagian operasi memerlukan data yang segera, tepat, terinci, internal, dan historis. Sedangkan level menengah ke atas memerlukan data internal dan eksternal yang tidak hanya berorientasi ke masa depan, tetapi juga ke masa lalu .... Database organisasi memberikan data untuk modeling dan peramalan bagi manajemen puncak.." Karena itulah, SIM bagi organisasi modem, diperlukan untuk mendukung proses pengambilan keputusan secara efektif; yang dalam perancangannya, memerlukan sistem administrasidatabase yang melibatkan dua komponen, yakni: administrasi (administrator yang kompeten dan punya integritas) dan teknis.Selain jumalisme dan teknologi infonnasi, Mediator kali ini menampilkan pula materi kajian komunikasi lainnya. Lewat tataran perlambangan komunikasi, R. H. A. A. Ojajusman Tanudikusumah, memaparkan tafsiranya tentang demokrasi dan otonomi daerah- yang kini kian jadi kajian ngetrend. Yang menarik, Tanudikusumah menyorotinya dari ritus upacara bendera 17 agustusan, dan menghasilkan kesimpulan ihwal masih kuatnya feodalisme di era reformasi perpolitikan Indonesia. "Peristiwa 17 Agustus adalah momentum akbar dalam berkomunikasi yang memancar ke seluruh penjuru Tanah Air. Tindak komunikasi tersebut mempererat persatuan dan kesatuan Nusantara Indonesia," asumsinya. Sekaligus menjadi lambang bagi kultur politik dijawantahkan. Maka itulah, tata-titi keprotokoleran upacara kenegaraan itu pun melambangkan sesuatu. Misalnya: ketika seorang anggota Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra), setelah menerima bendera dari presiden "harus mundur meniti tangga", melambangkan sesuatu. "Terkesan .... itu adalah pensakralan terhadap atasan tertinggi,"menurut Tanudikusumah. Pemfeodalan perlambangan yang ternyata masih hadir di tengah reformasi demokrasi diberlakukan. "Pensakralan rupanya masih tidak mengalami perubahan. Sisasisa masa lalu, sadar atau tak sadar, diteruskan, tanpa menyelami makna tersebut." "Peristiwa turun dengan jalan mundur setelah menerima bendera, memberi kesan yang lebih khusus lagi, seolah-olah tokoh sakral tidak oleh dibelakangi (dipantati). Kenyatannya, .... Semua yang berada di lapangan, baik Pasukan Pengibar Bendera maupun barisan Merah Putih (dari Akabri atau Paswalpres) semuanya membelakangi/memantati presiden sebagai Inspektur Upacara."Kajiannya dapat dinilai sebagai sebuah Vista Point: "tempat kita hening sebentar untuk berefleksi diri, apa yang perlu kita perbuat lagi. Apa yang dapat dianggap sebagai tindakan positif atau negatif." Upaya vista point itu memang terkait dengan pekerjaan semiotika. Semiotika adalah ranah ilmu yang mengurus pelbagai tanda, simbol, atau lambang. "Dalam bidang semiotika atau ilmu tanda, para ahli telah menemukan berbagai cara urituk memahami suatu teks," menurut Alex Sobur - ketika membahas semiotika dalam judul yang cukup renyah "Bercengkerama dengan Semiotika." Sifat reflektif terkait dalam konteks pemaknaan kita terhadap pelbagai wacana yang bergulir di masyarakat. Lewat kajian semiotika, di antaranya, kita dapat menelusuri "mitos-mitos" yang kerap sudah seperti ideologi, baik lewat kefanatikan penganutnya maupun kemalasan untuk mengkritisinya. Dengan demikian, kita dapat balik menginversi mitos - seperti upacara bendera. Dalam telaahan yang cukup rumit, tapi menarik, Sobur membahas bagaimana semiotika bekerja. Ditulisan ini, ia tampaknya coba menguraikan semiotika sebagai alat pengurai "tanda" dengan santai, setelah membuat buku Analisis reks Media (200 I) yang kini sudah cetak ulang kedua. "Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengenalan singkat, sekadar menguraikan satu sisi, satu kelokan, dari jalan semiotika yang terbentang amat luasnya."Semiotika, atau semiologi (Barthes), pada dasamya mempelajari bagaimana kita sebagai manllsia memaknai pelbagai hal (things) yang bersifat kemanusiaan (humanity). Sebab, melalui "tanda-tanda" sebagai perangkat, kita berusaha mencari jalan "di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia" di dunia ini. Akan tetapi, yang harus diperhatikan adalah "memaknai" (to signify) itu tidak dapat disamakan dengan pekerjaan "mengkomunikasikan (to communicate)". Umberto Eco (1976), kutip Sobur, "jauh-jauh hari sudah menjelaskan bahwa tanda dapat dipergunakan untuk menyatakan kebenaran, sekaligus juga kebohongan". Semiotika, kata Eco (1979), adalah i1mu yang bisa dipakai untuk kepentingan "mendustai, mengelabui, atau mengecoh."Asa Berger (2000a), misalnya, mencontohkan dengan gamblang. Tanda "rambut palsu (wig)" bisa ditandakan sebagai "orang botak/gundul atau seseorang dengan warna rambut yang berbeda". Orang yang memakai "sepatll hak tinggi" adalah "orang pendek yang ingin kelihatan tinggi". Yang parah adalah ketika tanda "teater" digunakan untuk kepentingan "pura-pura berperasaan" di dalam konteks komunikasi tertentu. "Pada umumnya, tanda-tanda yang berisi kebohongan itu relatiftidak merugikan (misalnya rambut pirang kenyataannya coklat atau hitam), namun dalam beberapa kasus (seperti supir truk yang berpurapura sebagai dokter) boleh jadi sangat membahayakan orang lain," ingat Sobur. Maka itulah, "yang perlu digarisbawahi dari pendapat Eco adalahjika tanda dapat digunakan untuk berkomunikasi, tanda juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kebohongan."Lalu, atas dasar apa semiotika itu berkerja? Sobur merujuk berbagai para ahli yang menunjuk dua tokoh penting semiotika, yang menggagas prosedur kerja semiotika. Pertama, adalah pendekatan Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang mengatakan "tanda-tanda disusun dari dua e1emen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan". Kedua, adalah pendekatan tanda dari filsuf dan pemikir Amerika yang cerdas, Charles Sanders Peirce (1839-1914); yang menandaskan bahwa tanda-tanda itu berkaitan dengan objekobjek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Peirce menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional.Untuk lebih menjelaskan uraian tersebut, Mediator kali ini menyertakan uraian Idi Subandy Ibrahim, melalui "Dunia Simbolik dan Gaya Hidup dalam Beragama: Dari Ideologisasi ke Komersialisasi Spiritualitas". Walau perlu ditegaskan di sini, uraian Idi bukanlah tuJisan pesanan yang direncanakan Mediator guna membahas semiotika. Ulasan Idi, seperti yang sudah jadi merek orientasi tulisannya di wacana pop culture, kali ini membahas sisi-sisi gelap dari fenomena keagamaan di masyarakat Indonesia. Teropongan Idi adalah teropongan intelektual muda yang intens dengan kesungguhannya dalam mengamati perkembangan masyarakatnya. Dalam hal "gaya hidup beragama", ia pun dengan amat tajam menyoroti makna-makna tersembunyi di balik maraknya simboJ-simbol keagamaan dipakai masyarakat. "Kini, korupsi terhadap wilayah keberagamaan telah dipraktikkan begitu gamblang di pentas kebudayaan massa," nilai Idi. "Korupsi wilayah keberagamaan ini telah melahirkan dua wajah spiritualitas yang memanifestasikan diri dalam praktik, ritus, dan ritual, serta simbol-simbol yang diyakini sebagai ungkapan kesalehan dan ketakwaan penganutnya."Beberapa faktor penyebab dicatat Idi: Pertama, korupsi spiritualitas yang diakibatkan oleh kuatnya politisasi dan ideologisasi agama. Doktrin, dogma, dan teks-teks agama dipolitisasi dan diideologisasi untuk menciptakan batas kita dan mereka. "Ayat-ayat Tuhan dimanipulasi sedemikian rupa supaya ... bisa menjadi sumber legitimasi penegasian dan bahkan penghancuran penganut ajaran atau keyakinan yang lain." Kedua, korupsi spiritualitas yang diakibatkan oleh komersialisasi pengalaman dan praktik religius. "Komersialisasi agama telah melahirkan fundamentalisme hedonis atau hedonisme spiritual, ... praktik dan ritualisme agama hanya menjadi jalan untuk hura-hura, extravaganza!" Dalam amatan yang amatjeli, Idi mendeskripsikan: "Jangan heran kalau jalan pencarian Tuhan, manusia modem tidak lagi mesti lewat perenungan dalam kesunyian, tapi cukuplah lewat pengajian yang mendatangkan siraman rohani dari dai beken yang di iringi konser nasyiddan disponsori barang-barang konsumsi massa (tennasuk mungkin rokok), serta tak ketinggalan pula disertai door-prize yang menarik." Spiritualitas konsumsi kini bertemu dengan konsumsi spiritualitas. Hasilnya, meminjam sebutan Kuntowijoyo (200 I), ialah generasi "Muslim tanpa Masjid". Dan, setelah mengutip Kuntowijoyo, Idi menilai, "pendakian spiritualitas bukan lagi hanya untuk berperang atas nama surga dan neraka, tetapi juga atas nama surga dan kenikmatan dunia." Kupasan perlambangan diJakukan pula oleh Santi lndra Astuti, melalui analisisnya terhadap buku (novel) Larung karya Ayu Utami. Santi mengupas permasalahan "Seks, Gender, dan Representasi Media, yang terungkap dalam buku tersebut. Dua tipe wacana seks, menurut Santi, diungkap novel Larung. Pertama, seks sebagai jenis kelamin (Ielaki maupun perempuan) dengan stereotype atau nonstereotype masing-masing; kedua, makna hubungan prokreasi pengetahuan seks antarindividu - baik yangbiasa diterima masyarakat, ataupuntidak biasa. Ketidaksetaraan gender - baik berlatar nature ataupun nurture, maupun berlatar biologis atau budaya - menjadi fokus naratif dari plot dan karakter dalam nove) tersebut. "Karya Ayu merepresentasikan kerjajurnalisme: berdiri di sebuah titik netral, dalam taraf obyektivitas tertentu." Walau seks dan gender telah banyak dikupas, tapi dari sisi referen keilmuan komunikasinya, analisis Santi tampaknya memberi perspektif yang memperkaya diskusi. Namun, analisisnya tentang representasi media Larung ditinjau dari pendekatan mediologi, cukup otentik. "Sebagai disiplin baru yang tengah berkembang, mediologi .... memikirkan kemungkinan lain untuk menguak praktik-praktik tersembunyi di balik dua retorika: pertama, retorika yang menopengi prosedurprosedurnya; kedua, retorika yang mengklaim mampu menarik tirai yang memungkinkan kita memandang gerak rahasia sejarah." Namun, untuk mengungkap corak ideologi itu sendiri lebih tepat dilakukan analisis semiotika. Mediologi, menurut Santi, (seperti pemah disampaikan lewat forum Seminar llmiah Intern, Fikom Unisba, 2002, adalah disiplin yang digagas Regis Debray, filosof Prancis kelahiran 1938, yang bersentuhan langsung dengan teorisi semacam Lyotard. Mediologi mengkritisi semiotika dan signifikasi makna yang mendominasi filsafat abad 20. Sebuah ide abstrak tidak akan berubah menjadi ideologi dan ia, jika tidak berada dalam sebuah mediosphere: iklim media yang menunjang penyuburan gagasangagasan dalam sebuah milieu yang fertil. Debray membagi tiga periode sejarah media: logosphere (mencirikan antara lain, fase the age of writing), graphosphere (fase The age ofart: printing), videosphere (fase The age oJvisual: Audio/video broadcasting).Marshall McLuhan, menurut Debray, mereduksi definisi medium sebatas channel. McLuhanmelebih-lebihkan kekuatan teknologi, dan mengabaikan peran pesan dan kode yang diproduksi teknologi tersebut. Para semiotisian sebaliknya, melebih-lebihkan peran kode dalam sebuah milieu yang spesifik. Bukan hanya mediologi, wacana specimen art dari karya Naisbitt dan Phillips High Touch High Tech pun dikutip. Specimen Art, yang identik dengan Body Art, menjadikan tubuh manusia sebagai preparat bam, atau kanvas barn, untuk berolah seni. Hal ini, menurut Santi, direpresentasikan Ayu dalam kepingan deskripsi eksekusi nenek Larung. "Tapi, ideologi apapun yang dibawanya, Larung jelas adalah sebuah novel yang bennain dalam grey area, suatu wilayah yang tennasuk baru dan langka dalam khasanah penceritaan novel-novel Indonesia, lebih-Iebih yang pop, dan menyebal dari tradisi melegitimasi tindakan seseorang dalam dikotomi hitam putih yang kaku, keras, tegas." Ada tiga poin representasi media dalam Larung: Pertama, Larung adalah merepresentasi kerja media yang mendukung ideologi humanisme universal. Kedua, Larung sebagai buku cetakan, berada dalam periode historis graphosphere. Di sini, gagasan berubah menjadi ideologi politis yang bergerak dalam cakupan negara bangsa, berdasar teknologi reproduksi cetak yang maju dengan jaringan pemasaran yang mendukung penyebaran gagasan tersebut. Ketiga, penggalian makna Larung mengimplikasikan kerja memompa gagasan kontemplatif. Fase Graphosphere, di antaranya ialah fase printing dipergunakan, Political ideologies lebih berpengaruh dibanding Theology, Nations lebih berperan dibanding The Kingdom, dan Laws lebih dipakai ketimbag Faith. Ulasan Santi ini diharapkan memberi keluasan kajian media di dalam urusan tafsir-menafsir. Demikianlah, pembaca, atas dasar semua itu, Mediator kali ini terbit.Septiawan Santana K.
Salam MediaTor, Dewan Redaksi
Mediator Vol 3, No 2 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Di Barat, penggunaan metode penelitian kualitatif berkembang mulai tahun 70-an. Di negara kita, metode tersebut datang terlambat. Di Indonesia, buku-buku yang mengupas peneltian kualitatif, meski terus bertambah, hingga kini masih relatif jarang bila dibandingkan dengan buku-buku tentang penelitian kuantitatif. Terlebih lagi, secara khusus, dalam ilmu komunikasi. Yang ada pun masih dinilai sebagian kalangan sulit dipahami. Ketika Barat sudah ‘muak’ mempermasalahkan kedua pendekatan itu, hingga kini kita masih memperdebatkannya. (Mulyana, 2001:ix). Bahkan, bukan sekadar perdebatan, tetapi kadang seperti pertikaian dan debat kusir, satu sama lain saling berebut kebenaran. Dominasi penelitian kuantitatif di Indonesia memang dirasakan sangat kuat, bahkan amat mencengkram. Ketika metode kualitatif mulai hadir, sebagian akademisi kita – dosen, mahasiswa, penelitimerasa asing mengenalinya. Sebagian besar dari kita kurang menyadari bahwa metodologi yang sering kita pelajari di kampus, hanyalah salah satu jendela untuk memahami realitas, dan sayangnya, seakanakan hanya itulah satu-satunya metodologi yang andal yang masuk ke dalam peta kognitif kita. Sehingga, dalam memahami realitas melalui sebuah riset, kita hanya melihat dari satu world of view tertentu. Yang terjadi kemudian adalah para penganut taat metodologi kuantitatif menganggap metodologinyalah yang paling sahih, sambil menyepelekan metodologi kualitatif sebagai hal yang tidak ilmiah; sementara para peganut metodologi kualitatif menyerang habis-habisan metode kuantitatif sebagai metode yang usang, lapuk, dan menjemukan, seraya menyatakan metodenyalah yang akan lebih memberi pencerahan dalam memahami realitas. Jadi, muncul semacam fanatisme. Boleh jadi pertikaian demikian didorong oleh semangat pencarian kebenaran ilmiah yang sangat kuat dengan bekal pemahaman akar filosofis yang dalam, tapi boleh jadi juga hal itu timbul karena pemahaman orang masih sebatas kulit luarnya, ia silau dengan kelebihan dari metodologi yang dianutnya, seraya menonjolkan segudang kelemahan pada metodolog lain yang tidak dianutnya. Dalam situasi seperti itu, tidak mengherankan jika seorang penganut metodologi kuantitatif mengganyang hasil penelititan kualititatif dengan mempertanyakan ada tidaknya hipotesis atau operasionalisasi variabel. Sebaliknya, penganut metodologi kualitatif mengobrak-abrik hasil penelitian kuantitatif dengan mempertanyakan apakah sikap itu dapat diukur dengan angka, mengapa sangat setuju dari jawaban responden diberi skor 5, sedangkan setuju diberi skor 4, dst.? Sebetulnya, apakah penelititan kuantitatif dan kualitatif itu? Sesungguhnya, menurut Dedi N. Hidayat, yang menurunkan tulisan bertajuk “Metodologi Penelitian dalam Sebuah Multi-Paradigm Science”, isu pokok yang sebenarnya bukanlah pembedaan antara penelitian kuantitatif dengan kualitatif, tetapi perbedaan epistemologi, ontologi, dan aksiologi antarparadigma yang ada. Paradigma, untuk pemahaman praktis, sering disamakan dengan pedekatan atau perspektif, atau teori, yakni sebagai cara pandang (world of view), semacam jendela dari mana kita melihat suatu realitas. Ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi, sebenarnya merupakan suatu multi-paradigm science, di mana berbagai paradigma bisa tampil bersama sama dalam suatu era. Para ahli ilmu sosial sangat bervariasi dalam mengelompokkan paradigma: Kinloch (1977) menyebut enam paradigma (perspektif teoretikal), yakni, paradigma organik, paradigma konflik, behaviorisme sosial, fungsionalisme struktur, teori konflik modern, dan paradigm sosial-psikologis; Michael Crotty (1994) mengelompokkan teori-teori sosial ke dalam positivism, interpretivism, critical inquiry, feminism, dan postmodernism; Burrel dan Morgan (1979) mengelompokkan pendekatan pada ilmu-ilmu sosial ke dalam: radical humanist paradigm, radical structuralist paradigm, interpretive paradigm, dan functionalist paradigm. Guba dan Lincoln (1994) mengajukan tipologi yang mencakup empat paradigma: positivism, postpositivism, critical theories et al., dan constructivism, masing-masing dengan implikasi metodologi tersendiri. Paradigma dalam ilmu-ilmu sosial tampak begitu bervariasi. Namun, menurut Hidayat, untuk kepentingan mempermudah bahasan tentang implikasi metodologi dari suatu paradigma, maka teor-iteori dan penelitian ilmiah komunikasi cukup dikelompokkan ke dalam tiga paradigma, yakni: classical paradigm (yang mencakup positivism dan postpositivism), critical paradigm, dan constructivism paradigm. Antarparadigma itu dapat dibedakan atas dasar sejumlah hal mendasar, seperti asumsiasumsi tentang masyarakat, manusia, realitas sosial, keberpihakan moral, dan juga commitment terhadap nilai-nilai tertentu. Secara singkat, dari segi ontologi, paradigma klasik memandang bahwa realitas itu sebagai sesuatu yang objektif, terpisah dari si pengamat, sehingga berlaku umum; paradigma konsrtuktivisme melihat bahwa realitas itu sebagai hasil konstruksi si pengamat (masyarakat pelaku sosial), yang sama sekali tak dapat dipisahkan dari si pengamat, sehingga realitas itu bersifat kontekstual; paradigma kritis berasumsi bahwa realilitas merupakan hasil proses sejarah melalui kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam komunitas masyarakat yang bersangkutan. Masing-masing paradigma ini memiliki pilihan metodenya sendiri-sendiri dengan kriteria kualitas penilaian yang berbeda pula, bahkan di antaranya ada yang saling bertolak belakang. Karena perbedaan-perbedaan tersebut, kata Hidayat, tidak selayaknya kita mempergunakan kriteria yang berlaku dalam paradigma klasik untuk menilai kualitas sebuah penelitian yang berpijak atas paradigma lain, demikian pula sebaliknya. Di manakah posisi (metodologi, metode) penelitian kuantitatif dan kualitatif di antara paradigmaparadigma itu? Ada dua pandangan: pertama, konsep ‘kuantitatif’ dan ‘kualitatif’ itu sekadar sebuah ‘jenis’ atau ‘metode’ penelitian; kedua, konsep ‘kuantitatif’ dan ‘kualitatif’ itu sudah menunjukkan paradigma itu sendiri. Dalam pengertian pertama, penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digunakan dalam berbagai paradigma. Sebagai metode, perbedaan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif dapat dilihat, antara lain, dalam hal data yang digunakan, perbedaan tahap penelitian (tahap eksploratif, deskriptif, dan eksplanatif), atau teknik analisis data. Dalam penelitian kuantitiatif, data utama yang digunakan tentu saja data yang bersifat kuantitatif atau data kualitatif yang dikuantifikasikan; data diolah melalui uji-statistik, baik statistik deskriptif maupun statistik inferensial; penelitian mendeskripsikan variabel per variabel yang diteliti, atau menguji hubungan antarvariabel. Dalam penelitian kualitatif, tidak dikenal kuantifikasi data dan uji statistik. Kekuatan penalaran peneliti dengan keluasan bantuan referensi dan sumber data, di sini, sangat diutamakan dalam mengolah data. Penelitian dalam paradigma klasik tidak semuanya merupakan penelitian kuantitatif, seperti yang sering diasumsikan orang. Kata Hidayat, banyak peneliti klasik yang juga menerapkan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bukanlah monopoli paradigma konstruktivis atau pun kritis. Suatu penelitian kualitatif bisa juga didasarkan atas paradigma post positivism, mempergunakan struktur logika yang sama dengan penelitian-penelitian positivistik pada umumnya Namun demikian, harus diakui bahwa paradigma klasik (misalnya, positivisme), atas dasar asumsiasumsi epistemologis dan ontologis yang dipergunakannya, berorientasi pada suatu metodologi dengan Memilih Pendekatan dalam Penelitian: Kuantitatif atau Kualitatif? goodness criteria (kriteria kualitas) yang lebih memungkinkan dicapai melalui aplikasi metode-metode kuantitatif. Sebaliknya, paradigma konstruktivisme lebih memungkinkan dicapai melalui metode kualitatif. Dalam hal ini, metode kuantitatif dan metode kualitatif hanyalah implikasi dari paradigma yang mendasarinya. Penelitian kuantitatif dan kualitatif sebagai suatu metode, oleh karenanya, dapat dikombinasikan selama berangkat dari paradigma yang sama, baik secara simultan maupun dalam waktu yang terpisah. Hidayat mencontohkan, penelitian mengenai pengaruh televisi terhadap anak bisa diawali oleh sebuah penelitian kualitatif, mempergunakan metode studi kasus, yang bertujuan untuk melakukan eksplorasi terhadap variabel-variabel yang perlu diteliti dalam skala penelitian lebih luas secara kuantitatif, dengan menggunakan metode survey. Atau, sebaliknya, dimulai dari penelitian kuantitatif. Dengan demikian, penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan dapat saling mengisi, melengkapi, dan mempertajam serta memperdalam pemahaman atas hasil penelitian. Tetapi, jika titik awalnya berangkat dari paradigma yang berbeda, keduanya tak dapat dipersatukan. Dalam pengertian yang kedua, perbedaan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif dalam kasus tertentu bisa pula merupakan perbedaan yang paradigmatik yang amat mendasar. Keduanya menyangkut perbedaan dalam elemen-elemen epistemologi, ontologi, dan metodologi. Dalam hal ini, secara sederhana, sering digambarkan bahwa penelitian kuantitatif identik dengan paradigma positivisme, sedangkan penelitian kualitatif identik dengan paradigma konstruktivisme. Atau, dalam garis kontinum, penelitian kuantitatif disamakan dengan pendekatan objektivis yang berada di satu ujung; sedangkan penelitian kualitatif disamakan dengan pendekatan subjektivis yang berada di ujung lainnya. Untuk memahami perbedaan penelitian kuantitaitf dan kualitatitf, kita ambil contoh sederhana, penelitian tentang religiusitas. Dengan pendekatan kuantitatif, si peneliti berangkat dengan alat ukur yang sudah ‘baku’. Dengan alat ukur religiusitas, yang berupa angket, peneliti memotret religiusitas responden yang ditelitinya. Hasil penelitiannya dapat digeneralisasikan untuk populasi, sebagai the truth (kebenaran yang berlaku umum). Bila berangkatnya dari pendekatan kualitatif, si peneliti tidak membawa alat ukur yang dirumuskannya sedari awal, baik hasil penalarannya sendiri maupun atas teori tertentu, tetapi ia akan mengobservasi dan mewawancarai responden terlebih dahulu, apa saja menurut mereka kriteria religiusitas itu. Berdasarkan kriteria menurut responden itulah kemudian si peneliti “mengukur” religiusitas mereka. Peneliti tidak dapat menggeneralisasikan hasil peneltian ini, karena hanya berlaku untuk konteks situasi di mana ia meneliti; ia hanya mencari a truth (sebuah kebenaran spesifik). Harap dicatat, contoh ini sangat disederhanakan. Dalam jurnal edisi ini, diakui memang, hasil penelitian yang ditampilkan masih didominasi oleh metode dan penedekatan kuantitatif. Hal ini dapat dilihat pada tulisan-tulisan Neni Yulianita, Dadan Mulyana, dan Anne Maryani. Sementara itu, yang menggunakan metode kualitatif dapat disimak pada tulisan Atie Rachmiatie. *** Di tengah paradigma ilmu sosial (komunikasi) yang begitu bervariasi, ketika dominasi paradigma klasik masih sangat kuat dalam dunia keilmuan di Tanah Air, penelitian manakah yang akan kita pilih: kuantitatifkah, kualitatifkah? Tentu banyak hal yang perlu kita pertimbangkan: masalah yang akan kita teliti, tujuan penelitian, penguasaan kita atas paradigma ilmu beserta metodologi penelitiannya, permintaan ’pemberi proyek’, kesediaan pembimbing, dsb. Idealnya, kita memahami seluruh paradigma itu. Kata Hidayat, untuk bisa memahami metodologi dari perspektif lain, dan juga untuk mampu bersikap kritis terhadap metodologi klasik, maka pertamatama metodologi klasik itu sendiri harus benar-benar dikuasai atau dimengerti. Peneliti kualitatif dalam kelompok kritis dan konstruktivis yang berkualitas umumnya adalah peneliti yang benar-benar menguasai metode-metode kuantitatif dalam tradisi klasik. Pemahaman yang komprehensif mengenai berbagai paradigma ilmu dapat membuat kita lebih toleran dalam menghadapi keanekaragaman pendekatan, serta dapat menunjukkan titik-titik keunggulan dan kelemahannya secara jernih. Kita dapat menyadari bahwa realitas itu tidak akan dapat ditangkap secara utuh hanya dari satu jendela paradigma ilmu. Bila kita sudah terbiasa dengan cara pandang positivistik, misalnya, perlu membuka diri akan adanya paradigma kritis dan lainnya di luar yang kita anut. Begitu pula sebaliknya, ketika kita menjadi penganut paradigma konstruktivisme, perlu pula membuka ruang diskusi untuk paradigma lainnya. Ilmu akan berkembang dan kaya apabila berbagai gagasan diberi ruang untuk didiskusikan. Sebagai dosen atau pembimbng, misalnya, kalau kita menolak pendekatan penelitian yang disodorkan mahasiswa, seharusnya bukanlah karena arogansi keilmuan, tetapi karena pertimbangan profesionalitas, katakanlah karena kita tidak menguasainya atau pendekatan itu bukan bidang minat kita. Sebagai contoh adalah pengalaman Deddy Mulyana, penulis buku Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, di Monash University, Australia. Seorang dosennya, yang fenomenolog, menolak jadi pembimbing untuk penelitiannya yang menggunakan metode kuantitatif. Sang dosen itu menawarkan pilihan, mencari dosen pembimbing lain yang menguasai metode kuantitatif atau menggunakan pendektatan fenomenologis yang dianut dosen itu. Tentu, sikap dosen tersebut didasarkan pada pertimbangan profesional. Di sebuan PTN di kawasan Jawa bagian tengah, pernah ada mahasiswa S2 yang proposal penelitiannya ditolak mentah-mentah karena menggunakan metode kualitatif. Akhirnya, ia dapat ‘penghiburan’ dari kawannya: “Sebaiknya mengembiklah di kandang kambing jika studi kita ingin lancar!” Apakah penolakannya didasarkan pada profesionalisme? Entahlah .... Kini, keterbukaan terhadap paradigma selain pardigma klasik, di beberapa perguruan tinggi, sudah mulai maju. Minat dan perhatian orang pada penelitian kualitatif, baik sebagai metode maupun sebagai paradigma, semakin meningkat. Bahkan, di sebuah PTN, Jawa Barat, konon proposal penelitian mahasiswa ilmu sosial pada Program Pascasarjananya mulai diarahkan ke dalam penelitian kualitatif. Mahasiswa yang sudah berjalan melakukan penelitian dengan metode kuantitatif pun, di antaranya, ada yang diminta menggantinya dengan metode kualitatif. Namun, cara seperti ini, apakah nantinya tidak terjadi penyeragaman paradigma? Dengan adanya penyeragaman paradigm, bukankah itu malah membunuh kekayaan perkembangan ilmu pengetahuan? *** Tetapi, ada arus lain! Jika di beberapa kalangan yang menggeluti ilmu sosial sudah mulai mengalihkan perhatiannya dari penelitian kuantitatif (pada tradisi klasik) ke penelitian kualitatif (pada pendekatan kritis atau konstuktivis), Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya - Lembaga Penelitan Universitas Indonesia malah sebaliknya. Pada tanggal 13-18 Mei 2002, lembaga tersebut, bekerjasama dengan Pusdiklat BPS Jakarta, menyelenggarakan pelatihan “Metode Penelitian Kuantitatif untuk Ilmu Sosial-Budaya” yang dibuka untuk umum. Alasan penyelenggaraan pelatihan tersebut tampak pada tulisan di brosurnya: “Penelitian dalam ilmu sosial dan budaya selama ini lebih banyak menggunakan metode penelitian kualitatif, sedangkan metode penelitian kuantitatif jarang dan bahkan tidak pernah digunakan. Sementara itu, dalam perkembangan ilmu sosial dan budaya dewasa ini peneliti dituntut tidak saja menguasai metode penelitian kualitatif, tetapi juga diharapkan menguasai Memilih Pendekatan dalam metode kuantitatif. Penguasaan kedua metode itu tidak hanya berguna untuk memperluas wawasan tetapi sekaligus menambah keampuhan analisis dan menafsirkan data. Kenyataan yang banyak dihadapi oleh peneliti ilmu sosial dan budaya adalah kurangnya bekal pengetahuan yang cukup untuk menerapkan metode kuantitatif, sehingga sering menimbulkan persoalan bila dalam penelitiannya dituntut untuk menggunakan analisis statistik atau paling tidak anggapan bahwa penelitian kuantitatif lebih “ilmiah”, karena ciri ilmu pengetahuan harus memiliki objektivitas. Untuk objektif, maka setiap gejala yang diteliti harus dapat dan mampu diukiur dan dikuantifikasi.” Dua macam arah arus peralihan perhatian paradigma penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, sebaiknya kita pandang sebagai bagian dari dinamika perkembangan dan pengayaan khasanah ilmu pengetahuan, bukan untuk arena debat kusir – saling menyalahkan. Penelitian kuantitatif atau penelitian kualitatif, sekali lagi mengutip pendapat Dedy N. Hidayat, bukanlah isu pokok. Yang paling penting adalah pemahaman peneliti atas paradigma yang melatari penelitian itu beserta perangkat metode dan goodness criteria-nya. Redaksi O. Hasbiansyah
Salam MediaTor, Dewan Redaksi
Mediator Vol 4, No 2 (2003)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dari Politik, Media, sampai Lain-Lain Indonesia termasuk ke dalam golongan yang dicurigai menyimpim potensi "born" politik internasional. Berbagai peristiwa teror, macam Born Bali, meledakan sumbu konflik yang terpendam sejak lama. Berbagai tokoh politik Islam Indonesia dianggap tersangkut dengan ledakan 11 September 2001 di Amerika. Abu Bakar Baasyir ialah contohnya. Adakah seperti itu? Adakah Indonesia memang mengandung magma teror seperti itu? Adakah keislaman Indonesia punya daya robek politik seperti itu? Berbagai pertanyaan ini merupakan pertanyaan antara terhadap domain konflik intemasional yang menyangkut Indonesia. Apakah itu terkait dengan representasi keislaman di Indonesia? Di fase reformasi kini, Indonesia dikenal merepresentasikan nilai-nilai ideologis Islam yang kuat. Tapi, apa benar? Teun A. van Dijk, dalam "Discourse, Ideology and Context", menjelaskan tentang ideologi. "Ideologies are also at play when language users engage in the ongoing construction of context as subjective, as well as group-sensitive, interpretations of the social situation," tulisnya. Ia memokuskan telaahannya pada penjadian ideologi yang dibangun melalui kognisi sosial dari representasi kelompok-kelompok sosial. Ideologi menjadi sebentuk social beliefs, dengan mengambil jargon social psychology and political science, dengan strukturisasi pertanyaan-pertanyaan tujuan pengelompokan seperti: (I) Menzbership devices (gender, etnicity, appearance, origin, etc.): Who are we? (2) Actions: What do we do? (3) Aims: Whydo we do this? (4) Norms and Values: What is good or bad? (5) Position: What is our position in society, and how we relate to other groups? (6) Resources: What is ours? What do we want to have/keep at all costs? Sebuah ideologi dipenuhi oleh unsur-unsur knowledge dan attitudes, yang terbentuk mental model (merepresentasikan episodic memory dan people experiences). Dari sanalah, Dijk menegaskan bahwa ideologi tidak selalu merupakan hal yang negatif, bukan selalu sepersis false consciousness". Ideologi mencerminkan konteks dari mental representations, yang bersifat dynamic structures di dalam pengelompokan, tapi sekaligus juga sebagai pengontrol dari model-model konteks pengelompokan, seperti liberal atau konservatif, feminis atau anti-feminis, atau Islam dan nonislam. Rembesan ideologi merniliki banyak representasi di dalam pengelompokan yang bersifat kebangsaan. Dalam kasus Indonesia, hal itu terjadi dengan pemunculan pelbagai permasalahan yang menempel dan menyeruak di berbagai kasus yang terjadi akhir-akhir ini. Tentu saja, tidak semata berbagai konflik dan letupan kekerasan yang tejadi di Indonesia akhir-akhir ini dikarenakan persoalan ideologis. Akan tetapi, berbagai hal laten, dan berpotensi konflik, turut menyertai berbagai persoalan keindonesiaan kita. Deddy Mulyana, dalam "Bridging Islam and the West: Toward the Development of Intercultural Understanding", menjelaskannya dari sisi keislaman dan kultural di Indonesia. Banyak faktor mendorong ketidakselarasan hubungan Indonesia, termasuk kalangan Islamnya, dengan bangsa-bangsa Barat. Dan faktor-faktor itu, di antaranya, dibangun oleh ketidakharmonisan antarkelompok (etnik, ras, agama) di dalam perhubungan kebangsaan. Berbagai konflik antarkelompok, di beberapa tahun terakhir, misalnya, merupakan problem nasional yang mesti diselesaikan. Semua itu, kemudian, mengakumulasi pada persoalan struktural (seperti,jurang sosial kaya-miskin) dan kultural (seperti, antarsuku). Dari sanalah, antara lain, dalam perhubungan dengan Barat, Indonesia memiliki rasa rendah diri dan pengagungan kepada Barat. Maka itulah, dibutuhkan upaya merumuskan kembali identitas nasional dan budaya keindonesiaan berdasar nilai-nilai positif sejarah, budaya (termasuk nilai-nilai agama universal), serta dari sumber budaya mana pun sejauh aspek-aspek budaya tersebut meningkatkan martabat manusia Indonesia. Selain itu, usaha mereorientasi pendidikan nasional melalui pendidikan multibudaya di segala tingkatan serta melalui media massa, disertai usaha untuk mengatasi kendala struktural yang ada. Berangkat dari sana, bisa ditelusuri, antara lain, pemunculan tudingan Barat terhadap gerakan fundamentalisme keagamaan yang berdimensi teror. Fundamentalisme itu, seperti juga yang dimiliki kaum fundamentalisme Kristen di negeri-negeri Barat, membawakan penyelesaian problem nasional keindonesiaan dengan gerakan-gerakan yang radikal- walaupun belum tentu terorisme. Bagi Tim Behrend, dalam "Reading the Myth: Public Teachings ofAbu Bakar Baasyir", Baasyir hanyalah seorang penganut Islam yang taat dan disiplin. Kedua unsur itu memola kiprah penganut dan pengajar keagamaan yang absolut dan simplistis. Model begini tak ubahnya dengan kaum Kristen fundamentalis, yang menyimpan gelegak radikal di dalam logika nalar dan gerak keagamaannya. Dan, tentu saja, sangat rentan bila berhadapan dengan sistem politik yang ingin merengkuh segala jurusan kepentingan. Bukan hanya di wilayah domestik keindonesiaan, penokohan macam itu juga bertabrakan dengan skematik politik western. Dunia western memang tidak lagi diisi dengan kisah-kisah para koboi dan para sherief Dunia western kini sudah berteknologi high tech dengan menyisakan peran-peran sherief internasional ke berbagai belahan dunia yang terpuruk - dan tersungku masalah sosial-ekonomi, macam Indonesia. Dunia western kini telah memakai media massa sebagai cermin mematut para marusia di belantara nilai baik dan buruk. Dan, cermin itu begitu kuat mengungkung peradaban. Mah.. ketika peradaban internasional kini dicengkram oleh warisan post-kolonial, terjadilah pengerangkaan "otak kotak politik dengan banyak dimensi. Dimensi Islam, di antaranya, kembali jadi cermin dunia western mengolah peradaban. Bashy Quraishy, dalam "Islam in the Western Media", mengungkapkan hal itu. Ledakan gedung World Trade Center, AS, memicu wajah buruk Islam di cerminan media western. Dirautlah sebutan terorisme, fundamentalisme, vandalisme, dan lainnya. Dimunculkan realitas-berita demonstran, Quran dan pedang, dan lainnya. Quraishy memotret hal itu cukup intens. Kapitalisme media memang telah menggeser arah visi media sebagai hanya pengungkap kebenaran. Kebenaran "bisnis" media dipenuhi tujuan meraup laba. Para pemilik media menuntut pengelola media menggerakkan pendulum bisnis. Berbagai potensi dasar individu, macam kesenangan pada hiburan, digenjot ke titik-titik nadir. Kehadiran infotainment begitu meruyak. Masyarakat disedot dengan kepuasan hal-hal yang leisure. Dari sanalah, Septiawan Santana K., dalam "Melihat Bias Kapital Media: Asumsi Aksiologis dan Ontologis Sederhana", menunjukkan seringkalinya media mengalami bias: bias kapital, bias kekuasaan, bias kepentingan wartawan sendiri, dan bias-bias lainnya. Pengemasan iklan itu seakan untuk mengelabui pembaca. Hal ini menunjukkan, orientasi media makin lama makin bergeser ke pasar. Kini, paradigma ekonomi menjadi salah satu penentu yang mempengaruhi pertumbuhan jurnalisme, selain nilai-nilai responsibilitas sosial dan pelayanan publik dari demokrasi liberal. Padahal, idealnya media massa menjadi pilar demokrasi, juga mencerahkan dan memberdayakan warga negara. Tapi, dunia iklan bukan hanya milik bisnis media. Dunia politik pun memakainya. Zulfebriges, dalam "Political Advertising: Strategi Partai Politik dalam Pemilu", memaparkan perkembangan periklanan politik, terutama di negara demokrasi, yang mengalami kemajuan yang sangat pesat sejak kemunculannya pada awal tahun 1950 di AS. Efektivitasnya membuat kandidat dan partai politik yang bertarung tidak ragu mengeluarkan biaya jutaan dolar untuk mengungguli lawan politiknya. Berbeda dengan periklanan komersial, periklanan politik sering menyampaikan pesan-pesan politik yang bersifat negatif, mendiskreditkan lawan politik, sebagai cara mudah merebut suara pemilih. Dunia politik pun dipakai media massa untuk membantu penguatan strategi politik partai. Neni Yulianita, dalam "Media Massa: Strategi Partai Politik dalam Menghadapi Pemilu 2004", menunjukkan bagaimana keberhasilan pemilu tidak hanya tergantung pada peran komunikator politik. Media massa kerapkali memainkan peran di dalamnya. Pentingnya aktivitas kampanye melalui media massa telah menyadarkan partai politik peserta pemilu untuk merencanakan dan merancang strategi kampanye yang tepat. Bila ditangani secara serius, akan banyak pengaruhnya terhadap perolehan suaranya dalam pemilu. Politik memang memerlukan upaya komunikasi yang intens. Komunikasi politik adalah salah satu kuncinya. Reza NasruHah, dalam "Komunikasi Politik: Kasus di Jawa Barat", memaparkan bagaimana seluk-beluk praksis komunikasi politik diejawantahkan. Praksis politik mensyaratkan adanya pemahaman mengenai sejumlah konsep kunci komunikasi politik. Bagaimanapun hebatnya interaksi politik yang dilakukan, tujuan akan sulit tercapai jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Pada titik inilah penting sekali pemahaman mengenai konsep-konsep kunci komunikasi politik, di antaranya menyangkut makna input/output bagi sistem politik, kontrol, feedback, dan sistem proses. Studi kasus mengenai sistem komunikasi politik di Jawa Barat menunjukkan bahwa kinerja partai masih jauh dari harapan rakyat selaku konstituen pemilihnya. Kemungkinan besar, ini disebabkan karena macetnya sistem komunikasi politik dan kegagalan partai memanfaatkan saluran kQmunikasi untuk merangkul massanya. Isi MediaTor kali ini juga mengetengahkan berbagai kajian di sekitar komunikasi lainnya.  Askurifai, dalam "Kebudayaan Audio Visual: Telaah terhadap Nilai-Nilai Berita Televisi", menjelaskan tentang budaya audiovisual memunculkan tantangan baru bagi konsumsi dan produksi media massa. Sebelumnya, berita disampaikan dan dicema lewat budaya tulis yang dibawa oleh media cetak. Kini, dengan maraknya televisi, berita ditransfer kepada khalayak dan dikonsumsi melalui budaya audiovisual. Pengamat kebudayaan Neil Postman dan Jerry Mander menilai, bahasa tertulis menghadirkan pengertian yang teratur dan dapat dipercaya. Sementara, konsepsi-konsepsi tentang dunia yang ditawarkan televisi cenderung kacau balau dan tidak masuk akal, dan karenanya berbahaya bagi masyarakat. Ini dibantah oleh pengamat lain. Mengutip Edmund G. Brown, Arswendo Atmowiloto justru mencermati, kehadiran televisi memberi kesempatan bagi semua - satu kelebihan yang tidak bisa ditandingi oleh budaya tulis yang bersifat elitis akibat faktor literacy yang menyertainya. Bagi para praktisi media dan teoretisi komunikasi sendiri, yang paling penting adalah mencermati karakteristik masing-masing medium informasi dan komunikasi massa, serta menyiasati karakteristik tersebut untuk mengoptimalkan fungsinya di tengah masyarakat. Berita televisi memang bisa saja sungguh-sungguh, dan serius. Tapi bisajuga membodohi masyarakat, berpura-pura, dan terbuka untuk dimanipulasi. Di sinilah letak urgensi moralitas-kehadiran moralitas mutlak diperlukan dalam produksi dan sajian berita televisi sehingga khalayak mendapatkan aspek terbaik dari budaya audiovisual. Ike Junita Triwardhani, dalam "Televisi sebagai Media Quantum Learning bagi Anak", menyatakan bahwa televisi, di samping mengundang gugatan karena sejumlah efek negatifnya, juga memiliki banyak sisi positif, antara lain, sebagai media belajar bagi anak.  Melalui metode Quantum Learning, suatu tayangan acara televisi diberi makna sebagai substansi pendidikan yang menyenangkan, metode pengajaran partisipatif, serta suasana Jingkungan yang membuat anak merasa nyaman. Dalam hal ini, " kehadiran orang tua sebagai mitra dialog bagi anak, untuk memberikan makna yang mudah dicerap mengenai suatu acara televisi, sangat diperlukan. Belajar dalam suasana menyenangkan, sebagai prinsip penting dalam metode Quantum Learning, akan memberikan hasil yang lebih optimal. Metode ini berangkat dari keyakinan bahwa manusia temyata memiliki kemampuan luar biasa untuk meloncat di atas kemampuan yang diperkirakan. Ririn Gunawan, dalam "Pengaruh Komunikasi Pemasaran Terpadu terhadap Perilaku Konsumer", mengemukakan komunikasi pemasaran terpadu merupakan salah satu bagian integral dan vital dari kegiatan pemasaran. Ia memainkan peranan penting dalam pertukaranjaringan. Pada tingkat yang dasar, komunikasi pemasaran terpadu dapat menginformasikan dan membuat kesadaran pengguna yang potensial. Komunikasi berusaha mempengaruhi secara langsung kepada konsumer yang potensial sehingga menyebabkan mereka senang melakukan pertukaran hubungan secara loyal. Di dalam komunikasi pemasaran terpadu, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan: faktor persepsi, bauran pemasaran, positioning, dan faktor lingkungan. Selain itu, juga terdapat beberapa premis yang perlu diperhatikan dalam usaha mempengaruhi perilaku konsumer, yakni: konsumer adalah yang berkuasa, motivasi konsumer dan perilakunya dapat dimengcrti melalui penelitian, perilaku konsumer dapat dipengaruhi lewat kegiatan persuasif, dan pcrsllasi tcrhadap konsumer akan bermanfaat sepanjang pengaruhnya layak, legal, dan bermoral. Agung M.S.G., dalam "Mengintip Komunikasi Pemasaran di Matahari Supermarket", menjelaskan bagaimana persaingan yang kian tajam di dunia pemasaran menuntut mental yang kreatif dan inovatif agar dapat mengetahui kebutuhan masyarakat yang kian cerdas dalam menentukan pilihan terhadap suatu produk. Akan tetapi, sebelum menyiasati strategi pemasaran, harus terlebih dahulu meninjauUlang paradigma marketing dan pemasarnya itu sendiri agar selalu terbarukan seiring dengan Perkembangan target pasar. Strategi pemasaran dalam membidik pasar tersebut dilakukan dengan lintas visi, pemanfaatan database, serta memahami marketing plan yang meliputi marketing objective, COlllllll/lzicatioll objective, dan communication strategy. Kiki Zakiah, dalam "Pcngaruh Jaringan Komunikasi Organisasi terhadap Pencapaian Tujuan Badan Komunikasi Wanita Islam", mengemukakan penelitian mengenai kegiatanjaringan komunikasi organisasi yang dilakukan pada Badan Kerjasama Wan ita Islam (BKSWI) Jawa Barat. Penelitiannya menunjukkan hasil efektfinyajalur komunikasi horisontal dan komunikasi informal, dan ketidakefektifan komunikasi vertikal dalam mencapai tujuan organisasi. Abdul Firman Ashaf, dalam "Tema-Tema Dominan dalam Musik Populer Indonesia", menggambarkan tema-tema yang cenderung muncul dalam lirik lagu populer Indonesia. Ia menemukan dominasi tema personal dan cinta, ketimbang tema-tema sosial. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan ckspektasi-ekspektasi realliberalisasi sikap yang menuju hubungan intim laki-Iaki dan perempuan. Antar Venus, dalam "Nonverbal Expectancy Violation Theory: Esensi dan Perkembangannya", mengupas bahwa setiap orang memiliki harapan tertentu pada perilaku nonverbal orang lain. Jika harapan tersebut dilanggar, maka orang akan bereaksi dengan memberikan penilaian positif atau negatif sesuai karakteristik pelaku pelanggaran tersebut. Bila kita menyukai orang tersebut maka besar kemungkinan kita akan menerima pelanggaran tersebut sebagai ~~suatu yang wajar dan menilainya secara positif. Sebaliknya, bila sumber pelanggaran dipersepsi tidak menarik atau kita tidak menyukainya maka kita akan menilai pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang negatif. Rochajat Harun, dalam "Concept and Methodology of Peoples Participation in Agricultural Extension", menguraikan bagaimana penyuluhan pertanian memiliki dimensi-dimensi desentralisasi kcwenangan pelaksanaan dari pusat ke daerah, pergeseran pendekatan dari orientasi komoditas ke orientasi agribisnis yang terintegrasi. Semua itu membantu para petani untuk menolong dirinya sendiri dalam upaya mengatasi berbagai persoalan. Untuk keberhasilan suatu program dalam penyuluhan, diperlukan adanya partisipasi. Partisipasi yang sejati adalah melibatkan masyarakat petani dari perencanaan hingga pengambilan keputusan. Demikianlah MediaTor kali ini menjumpai Anda, sidang pembaca. Septiawan Santana K.
Salam MediaTor, Dewan Redaksi
Mediator Vol 5, No 1 (2004)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Filsafat Itu Ibarat Orang BertanyaFilsafat itu ibarat orang bertanya. Ketika seorang biasa bertanya, apa arti Pancasila? Orang lain kerap memberengut. Buat apa nanya hal aneh? Lebih baik meributkan soal handphone terbaru, gosip kawin-cerai selebritis, atau jalan-jalan ke mall-mall. Ini lebih penting. Filsafat? Wah barang deluxe. Kenapa? Sebab, belajar filsafat, antara lain, ialah belajar bertanya.Bertanya tentang apa saja. Bertanya tentang ini-itu yang seringkali tidak ada hubungannya dengan urusan sehari-hari.Apa iya? Tidak selalu. Ambil contoh Sokrates. Ia, filsuf Yunani, yang banyak disebut orang yang suka bertanya. Filsuf yang memulai pikiran filsafatnya dengan bertanya, bertanya, dan bertanya. Ia adalah seorang guru yang tidak mengajar secara naratif. Ia tidak mendongengkan teori atau rumusrumus dengan deskripsi. Ia mengajar, seringnya, dengan bertanya. Akan tetapi, pertanyaannya tajam dan menusuk. Orang yang ditanya akan terperangah, dan tentu saja (seperti dongeng kehebatan para filsuf) orang yang ditanya akan menemukan Kebenaran, dengan “K”.Sokrates menarik Kebenaran itu bagai seorang bidan menarik bayi keluar dari kandungan. “Kebenaran kutarik dari otak murid-muridku, seperti ibuku yang jadi bidan menarik bayi keluar dari kandungan,” gurau Sokrates. MAW Brouwer mengutip omongan Sokrates ketika menjelaskan apa arti filsafat bagi orang-seorang. “Banyak orang sombong yang menganggap dirinya mengetahui banyak hal, masuk perangkap Sokrates dan mulai gugup, menjadi ragu-ragu, mulai sangsi, dan runtuhlah tembok sempit,” tulis Brouwer, dalam Cahaya Ilahi dan Opera Manusia (2004:116). Dan, bila orang itu punya banyak kerendahan hati, ia akan masuk dunia pemikiran “pasar bebas” tanpa dogmatisme dan sensorisme. Tapi, masalahnya, tidak semua orang mau berlapang dada. Mau menyediakan ruang kemauan yang jembar, luas, untuk memikirkan sesuatu yang sudah galib jadi pikiran umum. Pikiran-pikiran yang telah dipatok oleh sekian banyak orang pintar; sekian dalil yang dipaksa harus dipahami sejak taman kanakkanak; sekian aturan undang-undang yang diwajibkan harus dipatuhi. Apalagi, hidup sehari-hari sudah begitu rumit, melelahkan, dan bikin puyeng. Mereka telah lelap dalam tidur dogmatis atau ideologi instant philosophy. Dan, jika dibangunkan oleh pertanyaan-pertanyaan filsafat, mereka seperti mendengar gonggongan anjing yang berbunyi “waf, waf” – anjing Yunani, menurut Brouwer, menyebut “waf-waf” karena “mereka tak bisa bahasa Indonesia” – mereka akan tersentak, menggerutu, dan bersungut-sungut: “Huh!” Bahkan, mungkin, mereka akan menyebut “provokator, subversif, merusak akhlak dan moral bangsa, harus diinterogasi,....”Semua itu, menurut Alex Sobur dalam “Mitos dan Kenikmatan Filsafat: Pengantar ke Pemikiran Filsafat Komunikasi”, di MediaTor kali ini, dikarenakan filsafat memiliki sejumlah mitos yang sering mengurungkan minat orang mempelajarinya. Filsafat dianggap sebagai barang yang absurd, ruwet, dan sia-sia. Padahal, mempelajari filsafat itu punya manfaat yang cukup signifikan. Bagi kalangan akademisi, misalnya, belajar filsafat dapat meluaskan pandangan, dan menempatkan suatu bidang ilmiah dalam perspektif yang lebih luas; mendorong berpikir kritis dan menganalisis segala masalah secara tajam; segala pemikiran dan cara pengungkapannya dapat diasah dan dipertajam; membuat paham secara lebih mendalam dunia di mana kita hidup; melalui studi etika – salah satu cabang filsafat – dapat menancapkan kesadaran etis dalam jiwa seseorang.Untuk disiplin komunikasi, komunikasi jadi dianalisis kritis dan diakletis. Dari filsafat, peneliti diajak Salam. Filsafat Itu Ibarat Orang Bertanya vi bersikap kritis, tidak berhenti di satu titik dan garis pemikiran, serta siap membongkar pemahaman yang sudah ada lewat diskusi lebih lanjut. Filsafat komunikasi adalah suatu disiplin yang menelaah pemahaman secara fundamental, metodologis, sistematis, analitis, kritis, dan holistis, teori dan proses komunikasi yang meliputi segala dimensi menurut bidangnya, sifatnya, tatanannya, tujuannya, fungsinya, tekniknya, dan metodenya. Filsafat mempersoalkan apakah hakikat manusia komunikan, dan bagaimana ia menggunakan komunikasi untuk berhubungan dengan realitas lain di alam semesta ini. Filsafat melihat posisi komunikasi dalam hubungan timbal balik antara manusia dan alam semesta.Belajar filsafat bahkan membuka ruang diri orang-seorang untuk bersikap emansipatoris. Lewat tokoh bernama Jurgen Habermas, hal itu misalnya ditemukan. Irfan Safrudin, dalam “Etika Emansipatoris Jurgen Habermas: Etika Paradigmatik di Wilayah Praksis”, mengungkapkannya. Berangkat dari latar Teori Kritis, yang mengiblat kepada pendekatan praxis sejarah tertentu, digagas pembebasan terhadap kezaliman nilai dan norma yang mengungkung tanpa terasa. Dasar teori kritis muncul melalui adagium pembebasan manusia dari perbudakan, membangun masyarakat atas dasar hubungan antarpribadi yang merdeka dan pemulihan kedudukan manusia sebagai subjek yang mengelola sendiri kenyataan sosialnya.Habermas menyebut perspektif Teori Kritisnya, yang berangkat dari tradisi-tradisi besar ilmu ilmu sosial, dengan “Teori Tindakan Komunikatif”. Lewat tilikan filosofisnya, ia menolak objektivitas filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang mengandung kepentingan kekuasaan. Etika emansipatoris menuntut suatu keterbukaan, tidak ada dominasi satu keyakinan moral suatu lingkungan tertentu terhadap keyakinan moral lainnya. Lewat upaya kegiatan berpikir filsafat, dalam bidang komunikasi, pula Teguh Ratmanto dalam “Pesan: Tinjauan Bahasa, Semiotika, dan Hermeneutika”, mengulas seluk-beluk “pesan”. Pesan merupakan salah satu unsur penting dalam komunikasi, dan bahasa menjadi wadah pemuat pesan. Ketika orang menyampaikan pesan, dalam bentuk bahasa verbal dan nonverbal, ia sebenarnya sedang merepresentasika  realitas. Dari sanalah, bisa dinilai, bahwa cara berbahasanya juga mencerminkan cara orang memandang realitas. Secara semiotis, pesan yang disampaikan seseorang itu mengandung selingkup tanda yang membawa muatan berbagai konsep dan makna. Secara hermeneutis, berbagai konsep dan makna yang dikandung di dalam sebuah pesan itu dapat ditelusuri asbabun nuzul-nya, baik itu berupa ruang sosial maupun konteks-konteks sosial yang menyertainya.Berbagai pertandaan itu bisa diurut sampai ke penyampaian pesan dalam bentuk iklan. Yasraf Amir Piliang, dalam “Iklan, Informasi, atau Simulasi?: Konteks Sosial dan Kultural Iklan”  menunjukkan bahwa di tiap iklan itu ada unsur jebakan sosial dan kultur manipulatif. Ada penanda (signifier), dan petanda (signified), di dalam iklan, selain objek, konteks, dan teks. Penanda, di dalam iklan, ialah berbagai materi yang diiklankan seperti gambar, foto, atau ilustrasi. Petandanya ialah konsep atau makna di balik tanda tadi. Objek ialah produk yang diiklankan. Konteks ialah gambar-gambar lain di sekitar objek. Dan teks ialah berbagai tulisan, atau keterangan tertulis.Kesemua unsur itulah yang membungkus iklan di dalam pemaknaan tertentu. Kita menerima sebuah iklan karena pemaknaan tersebut. Ketika kita menonton dan mendengar teriakan “hari gini kagak punya handphone”, kita tengah coba memaknai sebuah realitas simulasi. Ada dua kemasan makna yang dilempar sebuah iklan. Makna yang bersifat mirror of reality, yakni pengemasan produk sebuah iklan yang dibuat sesuai dengan realitas sesungguhnya, dan makna distorted mirror of reality, yaitu pengemasan iklan yang produk sesungguhnya tidak sesuai dengan realitas.Masyarakat kini bisa terjebak secara konteks dan kultural oleh manipulasi realitas yang dikemas iklan. Seorang anak sekolah dasar, seperti disinyalir sebuah pemberitaan, berteriak kepada ibunya meminta dibelikan handphone gara-gara teriakan iklan “hari ini gini kagak punya handphone”. Ia didorong oleh realitas semu iklan. Ia diajak terbang menyimulasikan realitas kehidupan seorang anak sekolah dasar sehari-harinya dengan perangkat handphone. Ia bisa jadi tak mampu mengerem antara kebutuhan handphone-nya dengan kepentingan riil lain. Ia terperosok dalam lubang simulasi ketiadaan handphone di zaman sekarang adalah ibarat orang yang hidup di dalam kepompong sosial, di hutan belantara, atau di gunung tinggi para sufis. Ia tidak merasa menjadi anak sekolah dasar bila tidak mempunyai handphone.Ia tidak lagi membeli barang atas dasar fungsi, atau substansi, melainkan makna simbolik Ihwal manipulasi pemaknaan ini, menyentuh bidang kehidupan lainnya. Misalnya, upaya perekaan makna realitas yang diungkapkan seseorang itu dipengaruhi oleh warna ideologis tertentu. Hal ini dicontohkan H. Karomani, dalam “Pengaruh Ideologi terhadap Wacana Berita dalam Media Massa”. Temuan Karomani berangkat dari pemikiran bahwa individu manusia itu tidaklah netral dalam menafsirkan sesuatu. Ia selalu dipengaruhi oleh pelbagai kekuatan ideologi tertentu. Begitupun individu manusia seorang wartawan sebagai pelaku pelaporan peristiwa-berita. Akibatnya, berbagai pemberitaan media massa ternyata memiliki warna ideologis. Realitas peristiwa berita yang dilaporkan kepada masyarakat ternyata merupakan hasil olahan pandangan ideologis wartawan.Tapi, individu manusia itu tentu saja bukan manusia bodoh yang tidak punya niat baik. Nilai nilai keagamaan merupakan dasar penting bagi ekspektasi pencarian pengembangan hidup yang lebih baik. Maka itu, sebagai individu, manusia yang diresidu ideologis tertentu, nilai-nilai keislaman merupakan perangkat yang bisa diejawantahkan ke dalam kosmologi ruang publik. M. Wildan Yahya, dalam “Strategi Dakwah Islam dalam Pengembangan Seni dan Peradaban”, memetakan bagaimana seni menjadi sebuah medium Islam mewarnai peradaban. Seni menjadi sarana individu Muslim mendakwahkan Islam. Hal-hal apa saja yang mendorongnya? Lewat seni, esensi al-Tauhid meluncur jadi cahaya indah di dalam lantunan nada dan syair nasyid. Dengan mengambil buhul seni sebagai pengikat, untuk menjabarkan Islam ke dalam fungsi-fungsi pengingat tauhid, transfigurasi material, transfigurasi struktur, dan keindahan.Nah, jika sudah dikemas ke dalam pemikiran dan warna ideologis macam itu, individu manusia tinggal mengarahkan pemikirannya. Ia minimal memiliki kesadaran untuk tidak begitu saja dimanipulasi simulasi-simulasi realitas semu. Namun, yang terlebih penting, kemauan untuk bertanya. Mau membongkar pikiran, menyingkirkan malas, untuk menyoal pelbagai peristiwa di sekitar kita secara filosofis. Tentu saja, tanpa berkehendak untuk jadi seorang filsuf yang instant philosophy.
Salam MediaTor, Dewan Redaksi
Mediator Vol 5, No 2 (2004)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Seorang Periset yang Baik Mesti Memiliki Sikap EntengSAUL Pett, penulis Associated Press Newsfeature, meraih a feature-writing Pulitzer pada 1983 karena kerja riset-feature-nya tentang federal bureaucracy Amerika yang amat serius. Tulisan featurenya menghabiskan 10.000 kata, berisi fakta-fakta dan bagian-bagian pengisahan yang strukturnya disusun dengan apik, tertib, dan menarik. Pett, menurut Friedlander & Lee, Feature Writing for Newspapers and Magazines (1988:108-109), adalah layaknya penulis feature koran yang tidak diganduli waktu deadlines. Walau begitu, Pett tetap merasa dibayang-bayangi tuntutan redakturnya untuk cepat-cepat menyelesaikan laporan-laporan feature-nya.Gagasan laporan feature-nya, “The Bureaucracy: How Did It Get So Big”, datang dari Jack Cappon, redaktur Pett’s. Pett mula-nya tidak begitu suka dengan gagasan ini, dan menolak penugasan ini. Tugas ini amat merepotkannya, sebab ia harus melakukan riset yang cukup alot. Pett merasa ini bukan tugas yang mudah. Ia agak kehilangan akal untuk meraut sesuatu yang besar dan bercerai-berai macam birokrasi pemerintahan. Tapi, redakturnya ngotot. Akhirnya, Pett menyerah. Ia sepakat, walau tak tahu apa yang mesti dikerjakan. Di soal birokrasi banyak bagian yang mesti digambarkannya. Banyak orang tersangkut dengannya. “Saya mengawalinya dengan apa yang dibutuhkan dari tugas penulisan macam ini: membuat kerangka,” jelas Pett. Ia bergerak. Ia beranjak kesana-kemari, mencari segala sesuatu dengan mendalam, mencari kedalaman soal sampai sedalam-dalamnya. “Ini adalah sebuah kasus yang benar-benar dicari dengan meraba-raba,” jelasnya.Untuk itu, ia memulainya dengan membuat berbagai pertanyaan. Bagaimana sebuah pemerintahan yang besar menjadi besar di hadapan kita? Apa ada kaitannya dengan unsur-unsur seperti tuntutan sejarah yang hendak menceritakan sebuah kekuatan politik yang tumbuh membesar? Bagaimana proses menjadi besar-nya? Bagaimana perangkat-perangkat yang menyertainya? Bagaimana kok bisa menggelikan seperti itu? Apakah yang menjadi gangguan dari kasus ini? Kemana harus mencari perbandingannya?Dari sanalah, Pett lebih jauh lagi masuk ke dalam riset. “Saya bertanya kepada banyak orang, dan membaca. Bertanya kepada orang menjadi penting bagi saya, karena dari merekalah kemudian saya diarahkan untuk membaca berbagai bahan. Itulah sebenarnya yang saya kerjakan.”Ia gelisah bila tidak menemukan buku yang diperlukannya. Ia tidak menemukan majalah yang melaporkan segala sesuatu mengenai birokrasi. Ia bisa saja menemukan berbagai bahan atau bagianbagian tertentu dari sebuah buku, tapi tidak pernah tuntas menjelaskan apa yang hendak dilaporkannya. Tidak ada orang yang pernah melaporkan soal birokrasi ini secara menyeluruh. Tapi, dari sanalah, kemudian ia mulai merasakan: Ia berkemungkinan menjadi orang yang pertama menjelaskan persoalan birokrasi secara komprhensif. Dari sanalah, ia tahu jawaban dari ketidakpuasannya mencari bahan, data, dan fakta di berbagai literatur. Riset untuk laporan feature-nya ini memakan waktu dan tenaga yang cukup melelahkan, sebelum Pett mendapat penghargaan sebagai penulis berita-feature yang begitu lengkap, mendalam, dan menarik minat, serta kuat dalam memaparkan duduk-soal birokrasi tumbuh tambun. Kisah Pett ini mengindikasikan pekerjaan riset yang dilakukan wartawan. LEWAT buku Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya (2002), Deddy Mulyana menguraikan bagaimana meneliti perhubungan orang-perorang, atau kelompok, ketika berkomunikasi. Buku yang ditulisnya itu ialah hasil oleh-olehnya dari perjalanan Fulbright Senior Research Program (2001) di Northern Illinois University, AS. Pendekatan kualitatif yang ditulisnya membuka pentingnya kualitas manusia diteliti (ketika berkomunikasi) tidak hanya dengan angka statistik. Bagi Mulyana, kualitas komunikasi manusia itu memiliki dimensi yang amat ragam. Realitas komunikasi yang dilakukan manusia itu bersifat ganda, rumit, semu, dinamis (mudah berubah), dan selalu relatif “kebenarannya”. Setiap orang yang berkomunikasi itu bersifat aktif, kreatif, dan bebas. Dari dua pihak yang tengah berkomunikasi, akan selalu terjadi interaksi yang saling mempengaruhi. Tidak bisa dinilai, si A mendahului omong dan si B menjawabnya. Ketika si Amengucapkan “selamat pagi”, ia bisa jadi dipengaruhi oleh niat tertentu. Si A berniat, misalnya, jadi pihak yang terbuka untuk diajak berkomunikasi dari sejak malam hari. Ucapan “selamat pagi”-nya kepada si B, diinginkannya menjadi pembuka hubungan positif.Dengan demikian, di dalam peristiwa komunikasi antar-manusia, tidak bisa dinubuat “sebab” akan memunculkan “akibat”. Karena, prosesnya saling merangkai: si “sebab” kemudian bisa jadi “akibat”, dan sebaliknya.Untuk itulah, orang yang tengah mengerjakan riset kualitatif, di bidang komunikasi, harus mau mengamati subyek penelitiannya secara setaraf, penuh empati, akrab, interaktif, timbal balik, saling mempengaruhi, dan tidak hanya satu dua-kali pertemuan (tetapi berjangka waktu cukup lama). Sebab, di sini terkait observasi pada hal-hal yang tak terucapkan, nilai historis, melihat perbedaan antarindividu, sampai membuat penilaian etis atau estetis pada fenomena (komunikasi) yang spesifik. Praktek riset macam itu kini mulai pula digunakan jurnalisme. Namun, tampaknya, bagi media yang hendak membuat laporan berita, tidaklah perlu se-rigid, sekaku, sepersis peneliti akademis. Riset penulis berita depth reporting, atau investigatif, atau feature yang panjang, mungkin tidak mesti melakukan gerakan taat asas dalam menggunakan rincian metode, teknik, prosedur, dan langkah-langkah penelitian akademis. Waktu dan dana riset yang dibutuhkan bisa jadi akan cukup merepotkan bila dipraktekkan sebuah media. Laporan jurnalisme dibatasi waktu deadline tertentu. Fakta-fakta yang mesti disampaikan media tidaklah harus se-persis kerangka data-data ilmiah dengan perhitungan sampel, kuesioner, kuantifikasi data, uji statistik, dan sebagainya.Metoda dan teknik riset dari dunia akademis dipungut media sebagai alat bantu pencarian fakta. Selain itu, bisa juga dipakai sebagai alat pertanggungjawaban media: bahwa berbagai fakta yang dilaporkannya didapat melalui cara kerja yang bisa dipertanggungjawabkan. Metode riset faktanya, misalnya, didapat berdasarkan wawancara, observasi partisipatif, analisis dokumen, studi kasus, studi historis-kritis, atau langkah-langkah lainnya.MediaTor kali ini mengungkapkan berbagai dimensi metodologi penelitian. Berbagai penulis menguraikan pemikirannya. Selain itu, beberapa penulis melaporkan hasil-hasil penelitiannya. Kedua dimensi ini diharapkan memberi masukan kepada Anda, Pembaca.RedaksiSeptiawan Santana K.
Salam MediaTor, Dewan Redaksi
Mediator Vol 6, No 1 (2005): Kontroversi Dakwah dan Politik
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kontroversi Dakwah dan PolitikDalam masyarakat Islam, sudah cukup lama terjadi kontroversi dalam melihat hubungan antara dakwah dengan politik. Pandangan pertama mengatakan, pada dasarnya tidak ada pemisahan antara dakwah dengan politik, sebab politik itu merupakan bagian integral dari agama, sehingga tidak perlu dijauhi, tetapi perlu “digauli”. Disebabkan alasan ini pula, di samping alasan politik tertentu, atau kepentingan dakwah lewat politik, atau bahkan jejaring politik yang sulit mereka hindari, menyebabkan umat Islam banyak tercebur atau menceburkan diri ke kancah politik.Pandangan lainnya mengatakan bahwa politik dan dakwah tidak bisa dicampuradukkan. Dari sisi konseptual maupun praktik, hubungan dakwah dengan politik pada dasarnya bersifat ambiogous atau ambivalent. Dalam kaitan ini, politik hanya dilihat sebagai aktivitas yang tidak terkait langsung dengan dakwah. Bahkan, ada sementara anggapan bahwa politik itu kotor, politik itu hanya untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, sementara dakwah itu suci atau bersih. Jadi, antara yang kotor dengan yang bersih jelas tidak bias digabungkan atau dicampuradukkan. Argumen ini, umumnya mengacu pada al-Quran surat al-Baqarah, ayat 42, yang mengatakan “jangan mencampurkan antara yang hak dengan yang batil”.Pandangan lainnya lagi mengatakan bahwa politik hanya merupakan urusan duniawi. Karena ia hanya mengurusi soal keduniawian saja, maka ia jelas mengindikasikan bahwa politik tak ubahnya seperti permainan saja, “Tiadalah arti kehidupan dunia ini kecuali main-main dan permainan belaka. Atau seperti didendangkan Ahmad Albar, “ dunia ini panggung sandiwara”. Begitulah, pembaca budiman. Kalau dalam rubrik “Salam” kami mencoba membincang soal dakwah, itu jelas karena tiga artikel dalam penerbitan jurnal kita edisi ini membahas ihwal dakwah dengan berbagai problematikanya. Tulisan pertama yang kami sajikan adalah “ Dakwah dalam Perspektif Modernisme Antisipasi menuju Postmodernisme” ditulis Nia Kurniati Syam. Lantas, Syamsul Bachri Day menyoroti persoalan “Hubungan Politik dan Dakwah” ini. Tulisan ketiga, meski tidak harus berurutan, kami sajikan “Pemberdayaan Umat sebagai Subjek Budaya”. Ketiga tulisan itu, dalam perspektif komunikasi, lazim disebut sebagai “komunikasi dakwah”.Dalam sajian berikutnya, kami coba menawarkan aneka tema dan isu-isu global. Januardi lewat analisisnya mencoba membedah “Konflik Palestina dan Israel” dari perspektif komunikasi. Lantas, bahasan kita meloncat ke soal “Jurnalistik Foto di Era Digital: Antara Teknologi dan Etika” yang ditulis Ferry Darmawan. Sementara, Rita Gani, mengulas ihwal “Media Massa dalam Masyarakat Madani,” dan Teguh Ratmanto melengkapinya dengan mengangkat tema “Determinisme Teknologi dalam Teknologi Komunikasi dan Informasi.”Bagaimana “Sikap dan Perilaku Komunitas Warga mengenai Maraknya Pedagang Kaki Lima” dipaparkan oleh kelompok peneliti yang dikomandani Neni Yulianita, dibantu Yenni Yuniati, Atie Rachmiatie, dan M.E. Fuady. “Islamic Images and Terminology Used in the Werstern Media” adalah tulisan kedua Bashy Quraishy yang kami tampilkan di jurnal ini, setelah karya pertamanya, “Islam and the Western Media” pernah kami munculkan pada Mediator, Volume 4, Nomor 2, 2003. Bashy yang dilahirkan di India tetapi dibesarkan dan tinggal di Pakistan serta belajar di Amerika Serikat dan Inggris, tetapi lebih memilih menjadi warga Negara Denmark dan menetap di Denmark ini, telah menulis sedikitnya enam buah buku Kontroversi Dakwah dan Politik Kontroversi Dakwah dan Politik yang bertemakan rasisme, kesetaraan etnis, komunitas orang-orang Pakistan di Denmark, dan ihwal liputan media Barat tentang Islam. Itu sebabnya ia sangat fasih berbicara soal-soal bagaimana media Barat meliput dunia Islam, dan bagaimana Islam dicitrakan di dunia Barat.Pada bagian lain, H.A. Saefudin menyodorkan sebuah bahasan menarik, “Teori Konflik dan Perubahan Sosial: Sebuah Analisis Kritis”. Sebagai mantan Kakanwil Deppen Jabar dan Sekretaris Dirjen PPG, serta Kepala Lembaga Informasi Nasional (LIN) ini, boleh jadi memahami betul bagaimana menawarkan solusi untuk mengatasi konflik. Ia juga cukup berpengalaman dalam melihat bagaimana sebuah perubahan sosial itu terjadi. Merujuk pada pendapat Schramm dan Lerner (1978), ia melukiskan berbagai penyebab yang mendorong terjadinya perubahan. Namun, menurut Saefudin, apa pun penyebabnya, dalam konteks kehidupan sosial, terjadinya “perubahan” dapat mengarah kepada dua keadaan, yakni perubahan kea rah yang lebih baik (progress) dan perubahan ke arah yang lebih buruk (regress). Disebabkan sifatnya yang demikian, maka dalam pandangan Saefudin, tidak mengherankan jika makna perubahan sosial cenderung bersifat netral dan luas. Sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan Redatin Parwadi lewat jurnal kita kali ini menyoroti “Potret Penggunaan Media Televisi pada Kalangan Remaja menuju Dewasa Awal di Yogyakarta”.Salah satu kesimpulan yang ditemukan di lokasi penelitian, ternyata responden yang diteliti termasuk “penonton kelas berat”. Dengan kata lain, mereka menghabiskan waktu untuk menonton televisi ratarata 4,5 jam sehari. Lebih tinggi dari temuan Fadly (1997) dan majalah SwaSembada (1995), yakni sekitar 3,7 jam sehari. Gaya hidup sebagian responden yang diteliti (47,60%) menunjukkan gaya hidup konsumtif, meski mereka berasal dari lingkungan keluarga yang baik dan taat beragama. Selebihnya, bagaimana kesimpulan penelitian tersebut, ada baiknya Anda simak sendiri dalam jurnal ini. “’Focus Group Discussion’(FGD) dalam Paradigma Pembangunan Partisipatif” merupakan tema tulisan yang dipaparkan Dedeh Fardiah. Pada salah satu uraiannya, penulis ini menyatakan, agar mampu menggugah keikutsertaan masyarakat, pendekatan melalui FGD (diskusi kelompok terarah) bisa dijadikan sebagai alternatif dalam pembangunan partisipatif. Di urutan selanjutnya, Santi Indra Astuti lewat “Surya dalam Berita” mencoba mempersoalkan objektivitas dan netralitas pers dalam kode—Ia sebut sebagai kode sakral, yang dalam pandangannya, tak bisa ditawar lagi dalam diskusi seputar profesionalisme pers. Alasannya, pers adalah wujud dari ruang publik yang tak boleh dicampuri oleh kepentingan apapun atau diintervensi oleh pihak manapun yang mengatasnamakan kepentingan publik. Masalahnya, seperti diakuinya sendiri, pers ternyata tidaklah sesteril itu. “Televisi dan Fenomena Kekerasan Perspektif Teori Kultivasi” karya Nova Yuliati menjadi sajian penutup dalam jurnal Mediator kita kali ini. Persepsi tentang dunia ciptaan televisi, sebagaimana dipaparkan Nova, terbentuk melalui lingkungan simbolis dan sebagai alat untuk menelaahnya, kita dapat menggunakan indikator kultural. Apa itu indikator kultural? Jawabannya bisa Anda simak dalam uraian lengkapnya di jurnal ini. Selamat membaca.Penyunting,Alex Sobur
Salam MediaTor, Dewan Redaksi
Mediator Vol 6, No 2 (2005): Bagaimana Kita Menjelaskan Penerapan Teknologi?
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Bagaimana Kita Menjelaskan Penerapan Teknologi?Bagaimana kita menjelaskan penerapan dan penggunaan teknologi? Cukup membingungkan memang. Tapi, Dhanik Sulistyarini dan Baroroh Lestari punya kiat khusus untuk coba menjelaskannya kepada kita, pembaca. Dalam pandangan kedua penulis ini, banyak sekali model yang menjelaskan ihwal penerapan dan penggunaan teknologi, khususnya sejak 1980-an. Untuk jenis penelitian dalam penerapan teknologi, misalnya, technology acceptance model (TAM) merupakan teori yang terkenal dan digunakan sebagai model teori. TAM mampu diterapkan untuk menjangkau teknologi yang cukup canggih. Selain itu, model ini juga mampu memprediksi penggunaan teknologi dan penerapannya oleh individu. Inilah sebagian penjelasan Dhanik dan Baroroh ihwal “Pengaruh Karakteristik Teknologi dan Karakteristik Pekerjaan terhadap Penerapan ‘Collaborations Technology Internet Content Filter’,” yang kami sajikan di nomor ini.Isu-isu lingkungan hidup dan kesehatan kini banyak disajikan sebagai berita penting di halaman muka surat kabar. Mengapa berita soal lingkungan ini mendapat perlakuan istimewa, artinya tidak lagi dijadikan buntut liputan berita? Alex Sobur membahasnya dalam “Peliputan Isu Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan”. Dua tulisan tersebut mengawali perbincangan kita di antara berbagai sorotan lain yang kami hadirkan ke hadapan Anda, pembaca. Tulisan-tulisan lain dengan tema berbeda melengkapi sajian kami kali ini. Redatin Parwadi menghadirkan “Studi Pemanfaatan Ruang Publik pada Komentar ‘Opini Anda’ di RRI Pontianak”. Muthiah Umar mengangkat soal “Propaganda Feminisme dan Perubahan Sosial”. Atie Rachmiatie mengkaji “Keberadaan Radio Komunitas sebagai Eskalasi Demokratisasi Komunikasi pada Komunitas Pedesaan di Jawa Barat.”Beberapa tulisan menarik lainnya perlu pula kita simak. “Ulama dan Jawara: Studi tentang Persepsi Ulama terhadap Jawara di Menes, Banten Selatan” merupakan laporan hasil penelitian yang ditulis Karomani. Ferry Darmawan dan Saefudin meneropong isu yang beda, “Kasus Pembajakan Karya Intelektual di Indonesia”. Sementara, Karim Suryadi, mencoba memokuskan kajiannya seputar “Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Identifikasi Kepartaian: Kasus Partai Kebangkitan Bangsa dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004,” dan M.E. Fuady mengangkat isu “Cybercrime: Fenomena Kejahatan melalui Internet di Indonesia”.Nila Nurlimah, Ida Nuraini, dan Novi Kurnia, masing-masing membahas “Pengaruh Informasi Kesetaraan Gender pada Rubrik Swara ‘Kompas’ terhadap Persepsi Pembaca tentang Kesetaraan Gender,” “Media Pembelajaran sebagai Pembawa Pesan,” dan “Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Media Baru: Implikasi terhadap Teori Komunikasi”. Sebagai penutup, berturut-turut kami ketengahkan karya Dadi Ahmadi dan Aliyah Nuraini, yang menyoroti “Teori Penjulukan”, Manap Solihat menawarkan bahasan ihwal “Komunikasi Orang Tua dan Pembentukan Kepribadian Anak”, dan Ani Yuningsih menutup semua tema Mediator kali ini dengan mengangkat “Corporate Social Responsibility (CSR) Antara Publisitas, Citra, dan Etika dalam Profesi Public Relations”.Akhirnya, kami berharap, semua tulisan yang coba kami sajikan kepada Anda, pembaca budiman, dapat bermanfaat.PenyuntingAlex Sobur
Salam MediaTor, Dewan Redaksi
Mediator Vol 7, No 1 (2006): Nomor Syukur
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Nomor SyukurAlhamdulillah, kami perlu panjatkan syukur ke hadirat Illahirabbi, sebab terbitnya Mediator edisi Volume 7 Nomor 1, Juni 2006 ini, menandai perjalanan jurnal yang sudah menginjak tahun ke-7, yang berarti kami sudah menyajikan nomor penerbitan yang ke-12. Mengapa ke-12 bukannya ke-13? Ini perlu kami jelaskan, sebab pada Volume 1, 2000, kami hanya terbit satu nomor, di penghujung tahun.Meski baru “seumur jagung,” tentu bukan tanpa kendala kalau sekarang Mediator masih bisa terbit. Semuanya mesti dilalui dengan perjuangan panjang dan tak kenal lelah. Persoalan yang kerapkali muncul adalah persoalan klasik yang sebetulnya tidak jauh beda dengan hasil pemantauan, evaluasi, dan monitoring yang dilakukan Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Ditjen Dikti terhadap sejumlah jurnal ilmiah berkala yang diterbitkan oleh kalangan universitas, akademi, institut, serta sekolah tinggi, baik negeri maupun swasta. Di antara persoalan yang kami hadapi, antara lain, meliputi. Pertama, permasalahan yang menyangkut belum membudayanya publikasi karya ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa budaya membaca yang ditindaklanjuti dengan budaya menulis, masih rendah. Ini berarti pula, kami masih kesulitan memeroleh naskah yang layak muat. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, bersamaan pula dengan telah terakreditasinya jurnal ini setahun lalu, kesulitan memeroleh naskah, tidak lagi sesulit saat kami menerbitkan nomor-nomor awal.Kedua, harus pula kami akui, persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan kesiapan pengelola jurnal terbentur oleh kesibukan para anggota pengelola itu sendiri. Ditambah lagi, dengan pergantian struktur kepemimpinan di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Fikom Unisba), yang langsung atau tidak langsung, berimplikasi pada kelancaran pengelolaan jurnal. Bagaimanapun, secara historis, jurnal ini memang diterbitkan di bawah binaan fakultas, sehingga apa yang terjadi di fakultas akan berimbas pula pada kelancaran penerbitan. Begitulah pembaca, ada yang sedikit berbeda pada jajaran pembina jurnal kali ini. Yusuf Hamdan yang baru terpilih sebagai Dekan Fikom Unisba dan Teguh Ratmanto yang diangkat sebagai Pembantu Dekan I, Masing-masing, secara ex-officio, memang diberi amanat untuk membina jurnal ini, menggantikan pejabat terdahulu, Neni Yulianita dan O. Hasbiansyah. Karena itu, melalui penerbitan jurnal Mediator nomor ini, kami segenap pengelola menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Neni Yulianita dan O. Hasbiansyah, yang selama menjadi pembina jurnal ini, masih mencurahkan waktu, tenaga, juga biaya untuk keberlanjutan penerbitan jurnal ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Aziz Taufik Hirzi dan Maman Suherman sebagai pembina awal, di saat jurnal ini pertama kali terbit.Akhirnya, kami pun perlu menyampaikan ucapan terima kasih kepada para kontributor yang telah memberikan sumbangan pemikirannya melalui jurnal komunikasi ini.Nomor Syukur Ucapan terima kasih kami sampaikan pula secara lebih khusus kepada para penulis yang pada nomor penerbitan kali ini berkesempatan muncul ke tengah-tengah pembaca. Terima kasih kepada Abdul Firman Ashaf, Alfitri, Andrik Purwasito, Teguh Ratmanto, Engkus Kuswarno, Ani Yuningsih,Nia Kurniati Syam, Ike Junita Triwardhani, Pien Supinah, Anne Maryani, Ferry Darmawan, Mien Hidayat, Kiki Zakiah dan Muthiah Umar, Delly Mustafa, Rini Rinawati, Agus Sofyandi Kahfi, dan Rita Gani. Moga saja medium ilmiah ini, selain dapat dijadikan ajang berbagi pengetahuan dan pengalaman, sekaligus juga sebagai forum silaturahim antarkita.PenyuntingAlex Sobur