Yulia Iriani, Yulia
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Immature to Total Neutrophil (I/T) Ratio sebagai penunjang Diagnosis Sepsis Neonatorum Bastiana, Bastiana; Aryati, Aryati; Iriani, Yulia
INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY Vol 16, No 2 (2010)
Publisher : Indonesian Association of Clinical Pathologist and Medical laboratory

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24293/ijcpml.v16i2.967

Abstract

Early diagnosis of neonatal sepsis plays an important role in the management of patients. Blood culture, currently used as thegold standard, has several limitations such as time consuming and low positive rate. For this reason, a rapid and accurate diagnosticmethod is required. Manual differential count is a practical, inexpensive method and can support the diagnosis of bacterial infections.A shift to the left in differential white count with a raised immature neutrophil count has been documented in patients with bacterialinfections. This led to the use of I/T ratio as a indicator towards bacterial infections. The aim of this study is to obtain the diagnosticvalue of I/T ratio in diagnosing neonatal sepsis. The study was a prospective and cross-sectional. The subjects were enrolled consecutively,consisting of newborn babies (from birth to 30-days old) admitted to the Neonatal Intensive Care Unit (NICU) of the Dr. SoetomoHospital, Surabaya. Forty and three samples, consisting of 13 sepsis samples and 30 nonsepsis as controls samples were examined. I/Tratio are a ratio between immature neutrophils against total neutrophils in blood smear preparation. For the determination of the whitecell differential count, a total of 100 white cells (granulocytes) were counted. I/T ratio > 0.2 showed an abnormality that suggestaninfection process occur. Blood smear evaluations were done by three (3) independent observers. The result from three (3) observerswere as follows: sensitivity and specificity of I/T ratio in the diagnosis of neonatal sepsis were 69.2%, 92.3%, 61.5% and 50%, 50%,63.3%, respectively. Positive and negative predictive values were 37.50%, 44.44%, 42.10% and 78.94%, 93.75%, 79.16%, respectively.According to Cochran test there was no difference found between the 3 observers (p = 0.086). However, using Kappa test no agreementbetween I/T ratio and sepsis (p = 0.051) differences were found. from this study so far, the value in the diagnosis of neonatal sepsis theI/T ratio showed a low diagnostic.
Ketepatan Uji Tubex TF®dalam Mendiagnosis Demam Tifoid Anak pada Demam Hari ke-4 Mimi Marleni; Yulia Iriani; Wisman Tjuandra; Theodorus Theodorus
JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Manifestasi klinis awal demam tifoid pada anak tidak khas dan bervariasi sehingga sulit untuk menegakkan diagnosis dini.Diagnosis pasti bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan namun banyak kelemahannya sehingga mulai dianjurkan teknik PCR sebagai baku emas dalam mendiagnosis demam tifoid karena sensitivitas dan spesifisitasnya paling mendekati nilai biakan S.typhi. Tubex TF® merupakan tes aglutinasi kompetitif semikuantitatif untuk mendeteksihanya antibodi IgM terhadap antigen lipopolisakarida O-9 S.typhi yang mulai muncul pada hari ke 3-4 demam sehingga dapat dilakukan sebagai deteksi awal demam tifoid. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ketepatan hasil Tubex TF® dalam mendiagnosis demam tifoid pada anak pada demam hari keempat yang dibandingkan dengan nested-PCR. Penelitian ini merupakan uji diagnostik yang dilakukan pada bulan Januari-Agustus 2011 pada RSUP Mohammad Hoesin Palembang. Pengambilan sampel diambil secara consecutive dan sampel darah diambil pada demam hari keempat. Analisa data menggunakan spss 15. Hasil penelitian didapatkan sampel sebanyak 70 subjek. Hasil Tubex TF® dengan nilai 5-10 didapatkan pada 28 subjek dimana 12 subjek (43%) positif uji nested-PCR dan 16 subjek (57%) negatif uji nested-PCR. Sensitivitas dan spesifisitas yang didapatkan adalah 63% dan 69%, nilai duga positif 43% dan nilai duga negatif 83%.Simpulan penelitian ini adalah Tubex TF®tidak dianjurkan untuk digunakan dalam mendiagnosis demam tifoid pada anak pada demam hari ke-4 karena sensitivitas dan spesifisitasnya rendah.     Kata kunci: Tubex TF®, demam tifoid pada anak, uji diagnostik
Profil Lipid pada Fase Akut Demam Berdarah Dengue Sari Mulia; Yulia Iriani; Zarkasih Anwar; Theodorus Theodorus
JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Lipid dan lipoprotein bisa menjadi penentu derajat manifestasi infeksi dengue pada fase awal. Telah dilakukan beberapa penelitian mengenai faktor tersebut, namun hasilnya masih kontroversi.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan profil lipid dengan DBD.Suatu case-control study yang dilakukan dari bulan Maret-September 2011 di tiga rumah sakit dan satu puskesmas di Palembang. Kelompok kasus adalah subjek dengan DBD, dan kontrol adalah subjek non DBD (jumlah dua kali kasus) yang disesuaikan berdasarkan usia dan jenis kelamin. Sampel darah diambil pada hari ketiga demam. Analisis data menggunakan T-test, uji ANOVA atau Kruskal Wallis, chi-squared atau Fisher, dan analisis korelasi Pearson. Analisis bivariat menggunakan SPSS 18.Sebanyak 54 subjek yang terdiri dari 18 subjek DBD sebagai kelompok kasus, dan masing-masing 18 subjek DD dan OFI sebagai kelompok kontrol. Rerata trigliserid pada infeksi dengue  lebih tinggi dibanding non dengue, sedangkan rerata kolesterol, HDL dan LDL pada DBD lebih rendah dibanding non DBD. Terdapat perbedaan bermakna rerata trigliserid (p: 0,041; Kruskal Wallis) dan kolesterol (p:0,013; ANOVA). Uji chi-square menunjukkan adanya hubungan antara kadar lipid dengan manifestasi DBD. Terdapat hubungan yang bermakna antara penurunan kolesterol (OR: 2,227; p: 0,041; Fisher) dan HDL (OR: 3,250; p: 0,003; chi-squared) dengan risiko terjadinya DBD pada kelompok DBD dan OFI, dan terdapat hubungan yang bermakna antara penurunan HDL dengan risiko DBD pada kelompok DBD dan non DBD (OR: 2,600; p:0,043; Fisher).Perubahan kadar lipid merupakan faktor risiko manifestasi DBD.     Kata kunci: profil lipid, DBD, DD, OFI, penelitian case-control
Pola Kuman dan Resistensi Antibiotik di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RS. Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2013 Sari Sari; Yulia Iriani; R.M. Suryadi Tjekyan
JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN Vol 2, No 2 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mayoritas pasien Pediatric Intensive Care Unit (PICU) mendapatkan terapi antibiotik secara empirik. Pemilihan terapi empirik membutuhkan data pola kuman dan resistensi antibiotik sebagai data klinis untuk menentukan terapi antibiotik yang tepat pada pasien PICU.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola kuman dan resistensi antibiotik dari hasil kultur darah, urin dan sekret bronkus pasien Pediatric Intensive Care Unit Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode Januari-Juni 2013. Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan 219 pasien di PICU dari Januari-Juni 2013. Data diperoleh dari rekam medis dan register Laboratorium Mikrobiologi Klinis RSMH Palembang. Dari 219 spesimen kultur darah, urin dan sekret ETT  didapatkan kultur darah (14%), kultur urin (70.1%) dan kultur sekret ETT (94.3%) yang positif. Mikroorganisme terbanyak dari spesimen kultur darah adalah Staphylococcus aureus (3.7%), Enterococcus aeroginosa (2.8%) dan Acinetobacter calcoaciticus (1.9%), kultur urin (29.9%) adalah Klebsiella Pneumonia (9.1%), Escherichia coli (7.8%) dan Enterococcus faecalis (3.9%) dan kultur sekret ETT (94.3%) adalah Acinetobacter calcoaciticus (34.3%). Dari 26 antibiotik yang telah diujikan terhadap semua bakteri gram positif dan gram negatif masih sensitif terhadap amikasin (100%). Bakteri gram negatif sensitif terhadap gentamisin (100%).  Pseudomonas spp dan Enterobacterspp sensitif terhadap kloramfenikol (100%). Bakteri gram positif sensitif terhadap vankomisin (100%). Bakteri gram negatif sensitif terhadap fosfomisin dan meropenem. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua antibiotik yang digunakan di PICU dapat dijadikan sebagai terapi empirik karena adanya perbedaan  sensitivitas terhadap bakteri yang diujikan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Missed Opportunities Vaksinasi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada Anak Berusia Kurang dari Tiga Tahun di Kecamatan Sukarame Palembang Almira Nur Amalia; Yulia Iriani; Hertanti Indah Lestari
Majalah Kedokteran Sriwijaya Vol 49, No 1 (2017): Majalah Kedokteran Sriwijaya
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36706/mks.v49i1.8319

Abstract

Segala kontak dengan pelayanan kesehatan dimana anak tetap tidak mendapatkan vaksinasi yang dibutuhkan padahal anak tersebut memenuhi syarat untuk divaksinasi disebut missed opportunities vaksinasi (MOV). MOV terbukti menjadi salah satu penyebab rendahnya cakupan imunisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya MOV di Kecamatan Sukarame sebagai salah satu kecamatan di Kota Palembang dengan cakupan imunisasi rendah. Penelitian dengan model potong lintang dilakukan di pelayanan kesehatan primer milik pemerintah di Kecamatan Sukarame. Dilakukan wawancara pada 134 orang tua/wali dari anak yang berusia kurang dari 3 tahun yang datang ke pelayanan kesehatan. Kartu imunisasi dilihat untuk menentukan status imunisasi anak. Faktor yang mempengaruhi terjadinya MOV dibagi menjadi tiga, yaitu orang tua, petugas kesehatan, dan sistem imunisasi. Uji chi-square digunakan untuk analisis statistik.  Didapatkan 71(53%) anak berstatus imunisasi lengkap sesuai jadwal, 42 (31,3%) lengkap tidak sesuai jadwal, 15 (11,2%) tidak lengkap, dan 6 (4,5%) belum pernah mendapatkan imunisasi. Lima puluh satu (38,1%) mengalami missed opportunities yang berkaitan dengan faktor sistem imunisasi (47%) dan faktor petugas kesehatan (43%). Anak dengan orang tua yang tidak memiliki akses ke media informasi lebih banyak mengalami missed opportunity dibanding orang tua yang memiliki akses [RP : 2,57(IK95%:1,475-4,431)]. Lebih dari sepertiga anak mengalami MOV. Faktor terbesar yang mempengaruhi MOV adalah sistem imunisasi dan petugas kesehatan. Oleh karena itu, peningkatan sistem imunisasi dan pelatihan tentang imunisasi secara berkala perlu dilakukan agar dapat meningkatkan cakupan imunisasi.
Kadar Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α )Sebagai Prediktor Demam Berdarah Dengue Pada Hari Ketiga Myrna Alia; Yulia Iriani; Zarkasih Anwar; Theodorus Theodorus
Majalah Kedokteran Sriwijaya Vol 46, No 3 (2014): Majalah Kedokteran Sriwijaya
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36706/mks.v46i3.2701

Abstract

Demam berdarah dengue (DBD) pada  fase awal sakit memiliki gejala yang tidak khas dan mirip dengan demam dengue (DD) atau demam karena infeksi lain (other febrile illness/OFI). Adanya perembesan plasma merupakan penanda DBD yang terjadi setelah fase awal ini. TNF-α merupakan salah satu sitokin yang berperan dalam mekanisme perembesan plasma pada DBD. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara TNF-α  dengan DBD. Penelitian ini merupakan suatu case control yang dilakukan pada bulan Maret-September 2011 pada RS Moh Hoesin, RSUD Palembang Bari dan RS Muhammadiyah Palembang dan Puskesmas Pembina. Kelompok kasus terdiri dari subjek dengan DBD dan kelompok kontrol subjek non DBD (DD dan OFI) sebanyak dua kali lipat yang dimatching menurut usia dan jenis kelamin. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan TNF-α dilakukan pada hari ke tiga demam. Sebanyak 54 subjek yang terdiri dari 18 subjek dengan DBD dikelompokkan sebagai kasus dan masing-masing 18 subjek dengan DD dan OFI sebagai kontrol. Rerata kadar TNF-α pada DBD, DD dan OFI adalah 52,71±22,58 pg/mL,  39,79±9,57 pg/mL dan 35,98±8,07 pg/mL dan uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan bermakna (p=0,002; uji Kruskal-Wallis). Titik potong kadar TNF-α yang optimal adalah 37,6 pg/mL. Uji Fisher menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kadar TNF-α dan DBD dibanding DD (p=0,027;OR=8), OFI (p=0,00;OR=28) dan non DBD/DD+OFI (p=0,00; OR=14,145). Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar TNF-α dan DBD.
Ketepatan Skoring McIsaac untuk Mengidentifikasi Faringitis Group A Streptococcus pada Anak Emalia Damayanti; Yulia Iriani; Yuwono Yuwono
Sari Pediatri Vol 15, No 5 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp15.5.2014.301-6

Abstract

Latar belakang. Pemberian antibiotik faringitis Group A Streptococcus (GAS) penting untuk mencegah komplikasi demam rematik dan penyakit jantung rematik. Namun, gambaran klinis saja tidak dapat diandalkan untuk memastikan atau menyingkirkan faringitis GAS. Skoring McIsaac merupakan sistem penilaian klinis untuk memprediksi faringitis GAS yang penggunaannya dapat meningkatkan ketepatan identifikasi kasus faringitis GAS serta kebutuhan akan antibiotik.Tujuan. Menguji ketepatan skoring McIsaac dalam mendiagnosis faringitis GAS anak.Metode. Uji diagnostik yang dilakukan dari bulan Januari-Agustus 2012 pada 96 anak usia 3-14 tahun dengan faringitis akut di RSUP Dr Mohammad Hoesin dan Puskesmas Pembina, Palembang. Skoring McIsaac dihitung berdasarkan empat gejala klinis yang hasilnya dibandingkan dengan rapid antigen detection test (RADT) atau biakan usap tenggorok apabila RADT negatif. Analisis data menggunakan piranti lunak SPSS versi 17.0 dan Stata SE 10.0.Hasil. Ditemukan 13,54% faringitis GAS. Titik potong optimal skoring McIsaac ≥4 dengan sensitivitas 84,62% (IK 95% 54,55-98,08%), spesifisitas 68,67% (IK 95% 57,56-78.41%), nilai duga positif 29,73% (IK 95% 15,87-46,98%), dan nilai duga negatif 96,61% (IK 95% 88,29-99,59%). Untuk nilai 5 mempunyai sensitivitas 38,46% (IK 95% 13,86-68,42%), spesifisitas 98,8% (IK 95% 93,47-99,97%), nilai duga positif 83,33% (IK 95% 35,88-99,58%), dan nilai duga negatif 91,11% (IK 95% 83.23-96,08%).Kesimpulan. Diagnosis faringitis GAS dapat disingkirkan apabila hasil skoring McIsaac <4, memerlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut (RADT atau biakan usap tenggorok) pada hasil skoring 4, dan sangat mungkin (98,8%) untuk hasil skoring 5.
Perbandingan Efektivitas Kombinasi Ceftazidime + Amikasin dan Ceftazidime sebagai Antibiotik Empiris Demam Neutropenia pada Keganasan Agustinus William; Rini Purnamasari; Yulia Iriani; Theodorus Theodorus
Sari Pediatri Vol 16, No 4 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (122.488 KB) | DOI: 10.14238/sp16.4.2014.241-7

Abstract

Latar belakang. Terapi antibiotik empiris spektrum luas merupakan standar pengobatan demam neutropeniapada keganasan karena morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan sepsis bakterial. Pilihanantibiotik empiris awal, tetapi tetap kontroversial.Tujuan. Membandingkan efektivitas kombinasi ceftazidim + amikasin dan ceftazidime dalam mengatasidemam neutropenia pada keganasan di RSMH Palembang.Metode. Uji klinis acak buta ganda dilakukan sejak Desember 2012 hingga Juli 2013 di Bangsal HematologiAnak RSMH Palembang. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapat ceftazidime+ amikacin dan ceftazidime. Pada anak dengan keganasan yang mengalami suhu aksila >38,00C disertaiabsolute neutrophil count <1000/μL, periode bebas demam dalam 3 x 24 jam setelah pemberian regimenantibiotik awal dievaluasi untuk menilai efektivitas terapi. Data dianalisis dengan uji kai kuadrat dan Fisherexact, serta program SPSS 18.0.Hasil. Tigapuluh satu anak berusia 1-15 tahun dengan keganasan yang mengalami 46 episode demamneutropenia terdistribusi homogen pada setiap kelompok (masing-masing 23 episode). Microbiologicallydocumented infection, clinically documented infection dan unexplained fever ditemukan pada 29, 6, dan 11episode demam neutropenia. Proporsi keberhasilan pemberian ceftazidime + amikacin dalam mengatasidemam hingga hari ketiga pemantauan adalah 82,6%, sedangkan ceftazidime 56,5% (p=0,055; IK 95%:0,975-2,190).Kesimpulan. Pemberian kombinasi ceftazidime + amikacin memiliki angka keberhasilan yang lebih baikdibandingkan ceftazidim dalam menurunkan demam hingga hari ketiga, meskipun secara statistik tidak berbedabermakna.
Kadar Immunoglobulin G­Difteri dan Tetanus pada Anak Sekolah Dasar Kelas Satu Yulia Iriani; Carolina Fetri Kaharuba; Dian Puspita Sari; Mutiara Budi Azhar; Wisman Tjuandra; Zarkasih Anwar
Sari Pediatri Vol 14, No 1 (2012)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp14.1.2012.46-51

Abstract

Latar belakang. Pada pertengahan tahun 2000 terjadi peningkatan jumlah kasus difteri dan tetanus yang dirawat di Rumah Sakit Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang. Peningkatan ini diperkirakan karena menurunnya konsistensi pelaksanaan program imunisasi sebagai dampak krisis multi dimensi yang menimpa Indonesia.Tujuan. Mengukur kadar anti toksin antidifteri (IgG difteri) dan antitetanus (IgG tetanus) pada anak SD kelas 1 di Palembang pada bulan Oktober 2008, untuk menggambarkan efektivitas imunisasi DPT pada anak yang lahir antara tahun 2001 – 2003 di Palembang.Metode. Subyek penelitian adalah murid SD kelas 1 dari 5 SD negeri di 5 Kecamatan di Kota Palembang. Kadar IgG antidifteri dan tetanus ditetapkan dengan cara ELISA dan dikelompokkan menjadi terproteksi penuh jika kadar IgG ≥0,1 IU/ml, proteksi dasar jika kadar 0,01 IU/ml - 0,1 IU/ml dan tanpa proteksi jika kadar <0,01 IU/ml. Hasil.Seratus tujuh puluh subyek kelompok difteri dan 164 kelompok tetanus memiliki rentang usia 5 – 8 tahun, status imunisasi dasar lengkap masing-masing 44% dan 43%, dan imunisasi DPT ≥3 kali88% dan 87%. Rerata kadar IgG antidifteri 0,268 IU/ml, IgG antitetanus 0,253 IU/ml. Tingkat proteksi terproteksi penuh terhadap difteri dan tetanus masing-masing terdapat pada 56% dan 60% subyek, proteksi dasar 41% dan 38%, tanpa proteksi 3% dan 1%. Kelengkapan status imunisasi DPT secara bermakna berhubungan dengan tingkat proteksi terhadap difteri (p=0,022; OR=2,97; 95% CI: 1,13 – 7 ,78) dan tetanus (p=0,001; OR=5,64; 95% CI: 1,94 – 16,42). Kesimpulan.Tingkat proteksi terproteksi penuh terhadap difteri dan tetanus masing-masing adalah 56% dan 60%. Tingkat proteksi tersebut dipengaruhi oleh kelengkapan status imunisasi DPT.
Hubungan antara Curah Hujan dan Peningkatan Kasus Demam Berdarah Dengue Anak di Kota Palembang Yulia Iriani
Sari Pediatri Vol 13, No 6 (2012)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (125.635 KB) | DOI: 10.14238/sp13.6.2012.378-83

Abstract

Latar belakang. Dampak curah hujan terhadap prevalensi dengue sangat penting untuk diteliti sebagai alat untuk meramalkan variasi insidens dan risiko yang berhubungan dengan dampak perubahan iklim.Tujuan. Untuk menilai apakah peningkatan curah hujan di Palembang, setelah selang waktu tertentu, berhubungan dengan peningkatan jumlah kasus DBD anak yang dirawat di tiga rumah sakit di Palembang. Kedua, menilai hubungan puncak curah hujan dengan puncak kasus DBD yang dirawat. Jumlah kasus DBD yang dirawat di tiga rumah sakit tersebut diasumsikan mencerminkan tingkat kejadian DBD di Kota Palembang.Metode.Data curah hujan didapat dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika kota Palembang. Prevalensi DBD yang dirawat dikompilasikan dari buku/Data Register. Hubungan peningkatan curah hujan dengan peningkatan jumlah kasus DBD ditelusuri melalui olah statistik. Hubungan puncak curah hujan dengan puncak kasus DBD yang dirawat dinilai berdasarkan selang waktu antara puncak curah hujan dan puncak prevalensi perawatan kasus. Hasil.Terdapat korelasi antara curah hujan dan peningkatan jumlah kasus DBD yang dirawat. Korelasi mulai terjadi satu bulan sebelum puncak curah hujan (r=0,332; p=0,001), meningkat saat puncak curah hujan (r=0,353; p=0,000), dan menurun satu bulan sesudahnya (r=0,262; p=0,008). Bulan serta tanggal curah hujan berhimpitan dengan prevalensi kasus yang DBD yang dirawat. Anomali bulan puncak hujan diikuti perubahan puncak prevalensi DBD. Kesimpulan.1) Curah hujan berkorelasi dengan kejadian DBD, korelasi paling kuat terjadi dengan kasus DBD pada puncak curah hujan; 2) Puncak curah hujan bulanan berhimpitan dengan bulan puncak kasus DBD dan perubahan puncak curah hujan sejalan dengan perubahan puncak kasus DBD