Kristian Kristian
Program Pasca Sarjana Universitas Suryakancana, Cianjur

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

The Comparison of Criminal Acts Formulation of Religion, Religious Life, and Worship Facilities: Draft of Indonesian Criminal Code and the Penal Code United Kingdom Kristian Kristian
UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum Vol 7, No 2 (2020)
Publisher : Universitas Kuningan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25134/unifikasi.v7i2.2409

Abstract

This paper compares the policy formulation/legislation of criminal acts of religion, religious life, and worship facilities based on the new draft of Indonesian Criminal Code (RKUHP) and the Penal Code United Kingdom of 2008. This study was conducted using normative juridical methods and comparative law. The type of data employed in this study focuses on secondary data namely primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. The data were collected through documentation and literary studies. Meanwhile, the data analysis method used in this study is qualitative and descriptive. The findings revealed the religion is fundamental and important in all aspects of human life in Indonesia. The result also showed the policy formulation/legislation of criminal acts of religion, religious life, and worship facilities stipulated on the draft of national criminal code (RKUHP) July 2018 refer to the development of policy formulation/legislation called blasphemy in England. Tulisan ini membandingkan kebijakan formulasi/legislasi mengenai tindak pidana terhadap agama, kehidupan beragama dan sarana ibadah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (RKUHP) yang baru dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Inggris (The Penal Code United Kingdom) tahun 2008. Penelitian ini ditempuh melalui metode penelitian yuridis normatif dan perbandingan hukum. Jenis data yang dipergunakan pada penelitian ini dititkberatkan pada data sekunder yang terbagi dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Adapun pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan studi dokumentasi dan studi kepustakaan sedangkan metode analisa data yang dilakukan pada penelitian ini bersifat kualitatif dan deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa agama merupakan hal mendasar atau hal yang fundamental dan bersifat penting dalam seluruh aspek kehidupan manusia di Indonesia. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa kebijakan formulasi/legislasi mengenai tindak pidana terhadap agama, kehidupan beragama dan sarana ibadah sebagaimana diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) nasional versi bulan Juli tahun 2018 dapat dikatakan mengacu kepada perkembangan kebijakan formulasi/legislasi mengenai “blasphemy” di Inggris
Kebijakan Formulasi Delik Agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Baru Ahmad Hunaeni Zulkarnaen; Kristian Kristian; M. Rendi Aridhayandi
Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum
Publisher : IAIN Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22515/alahkam.v3i1.1338

Abstract

Tulisan ini akan membahas kebijakan formulasi delik agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru yakni dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi tahun 2015. Hal ini menjadi penting karena sila pertama dari Pancasila sebagai falsafah hidup, jiwa, pandangan, pedoman dan kepribadian bangsa Indonesia sekaligus menjadi falsafah bangsa dan Negara serta menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti, Indonesia adalah salah satu negara berTuhan dan memiliki filosofi Ketuhanan yang mendalam serta menempatkan agama sebagai sendi utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kedudukannya sebagai Negara hukum khususnya Negara hukum Pancasila (sebagai religious nation state), agama menempati posisi sentral dan hakiki dalam seluruh kehidupan masyarakat yang perlu dijamin dan dilindungi (tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahkan agama dan kerukunan hidup antarumat beragama (sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan, memperkukuh jati diri dan kepribadian bangsa serta memperkuat kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara) dicantumkan sebagai hal yang penting dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Oleh karena itu, wajar jika Negara memasukan atau menjadikan agama sebagai salah satu delik didalam hukum positifnya. Pengaturan mengenai delik agama ini dipandang penting karena penghinaan (atau cara-cara lainnya) terhadap suatu agama yang diakui di Indonesia dapat membahayakan perdamaian, kerukunan, ketentraman, kesejahteraan (baik secara materil maupun spirituil), keadilan sosial dan mengancam stabilitas dan ketahanan nasional. Agama juga dapat menjadi faktor sensitif yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Atas alasan tersebut juga tulisan ini dibuat sebagai salah satu sumbangsih pemikiran dalam rangka mengetahui rumusan delik agama dan kelemahan-kelemahan yang ada didalamnya sehingga dimasa yang akan datang, dapat dilakukan pembaharuan. Diluar adanya pro-kontra dimasukannya delik agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, Hasil penelitian, menunjukan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengacu kepada perkembangan blasphemy di Inggris atau perkembangan Godslasteringswet di Belanda. Kriminalisasi delik agama di Indonesia didasarkan pada religionsschutz theorie (teori perlindungan agama), gefuhlsschutz theorie (teori perlindungan perasaan keagamaan) dan friedensschutz theorie (teori perlindungan perdamaian atau teori perlindungan ketentraman umat beragama). Dalam RKUHP, delik agama ini dirumuskan dalam 8 pasal yang terbagi menjadi 2 kategori yakni: Tindak Pidana Terhadap Agama (yang mencakup penghinaan terhadap agama dan penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama) dan Tindak Pidana Terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah (yang mencakup gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan dan perusakan tempat ibadah). Kebijakan formulasi delik agama tersebut masih banyak mengandung kelemahan sehingga akan berpengaruh terhadap tahap aplikasi dan eksekusinya dalam praktik berhukum di Indonesia. Dalam kaitannya dengan delik agama, penggunaan sanksi pidana tentu harus memperhatikan rambu-rambu penggunaan pidana dan harus dilakukan dengan tujuan melakukan prevensi umum dan prevensi khusus. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penyempurnaan kebijakan formulasi RKUHP versi tahun 2015 khususnya yang berkaitan dengan delik agama. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder dan dilakukan penafsiran dengan menggunakan pendekatan undang-undang, perbandingan hukum, sejarah hukum, asas hukum dan teori hukum.
Dimension of Human Rights Protection Against Corporate Crimes K. Kristian
Sociological Jurisprudence Journal Vol. 5 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/scj.5.1.2022.32-44

Abstract

The wave of influence of Neoliberalism and globalization with its system of economic capitalism has begun to change the economic ideology by ignoring sound principles in business dealings (there is even a tendency to put forward the “anomie of success” principle), a considerable number of corporations have committed acts in violation to human rights. This paper is going to examine the implementation of human rights-based protection and law enforcement. It has now become significant considering how critical thinking in solving corporate human rights violation problems is urgently needed. The type of approach used by the writer in this research is the Normative Law Research Method. The methods applied will consist of statute approach, case approach and conceptual approach. Research shows that Indonesia is a country of law. By this concept, principles contained in that country must be applied, one of them being the presence of the acknowledgement and protection of basic human rights. In the context of a country with Pancasila as its main law, the effectual supremacy of law in Indonesia must continually be done within a framework which focuses in creating public welfare and social justice for all Indonesian people. In this context, the human potential and dignity have a high and noble position. Regulation governing the protection of human rights may be found in the Universal Declaration of Human Rights, the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and the 1999 Act of the Republic of Indonesia No. 39 concerning Human Rights. These human rights have frequently been violated by corporations while conducting their business activities. In international legal instruments, The United Nations Global Compact (UNGC) exists as an initiative to strategic policies for corporations to make a commitment which will align their policies and strategic operations with the ten universal principles of human rights, labor, environment and anti-corruption, in order to allow sustainable business practices. Within the sphere of human rights, the UNGC states that “business should support and respect the protection of internationally proclaimed human rights” and “make sure that they are not complicit in human right abuses”, along with other alternatives that may be conducted by the corporations. For that, the country has a responsibility to provide devices by utilizing all its resources to create equality, non-discrimination and human rights protection for every citizen. The country has to do its part to calculate every possible way to allow for human rights protection and to facilitate the recovery over losses that may arise from the violation of human rights, especially those done by corporations.