Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

SENGKETA KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI KABUPATEN PONOROGO Layyin Mahfiana
Kodifikasia: Jurnal Penelitian Islam Vol 7, No 1 (2013)
Publisher : IAIN PONOROGO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/kodifikasia.v7i1.780

Abstract

Fungsi dan manfaat tanah sangat penting bagi kehidupan manusia, hal ini dapat dilihat dari banyaknya sengketa tanah yang sejak dahulu telah menjadi realitas sosial dalam setiap masyarakat meskipun dalam bentuk dan identitasnya yang berbeda. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis dengan analisa data menggunakan model interaktif.Hasil penelitian menunjukkan sengketa yang terjadi dimasyarakat bermacam­-macam antara sengketa warisan, hibah dan jual beli tanah; faktor­-faktor yang mengakibatkan terjadinya sengketa tanah secara umum di antaranya nilai ekonomis tinggi; kesadaran masyarakat meningkat; tanah tetap, penduduk ber tambah; kemiskinan. Penyelesai­an sengketa dalam masyarakat secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua macam cara yaitu melalui melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa di luar pengadil­an yang sering dilakukan masyarakat meliputi melibatkan dua atau lebih pihak yang berkepentingan (negoisasi), proses penyelesaian sengketa di mana para pihak yang berselisih memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independen sebagai mediator (penengah) dan melibatkan lebih dari dua pihak yang tugasnya membantu pihak yang berperkara dengan cara mencari jalan keluar secara bersama (fasilitasi).
Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka Anak Sebagai Upaya Untuk Melindungi Hak Asasi Anak: Studi Wilayah Kepolisian Resot Kabupaten Ponorogo Layyin Mahfiana
Kodifikasia: Jurnal Penelitian Islam Vol 5, No 1 (2011)
Publisher : IAIN PONOROGO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/kodifikasia.v5i1.753

Abstract

Abstrak:Kedudukan  anak  dengan  segala  ciri  dan  sifatnya  yang khas  perlu dipertimbangkan  dalam  menghadapi  dan  menanggulangi  perbuatan dan tingkah laku anak nakal. Dalan realitanya kedudukan anak dengan ciri dan sifat yang khas ini seringkali dilanggar oleh penegak hukum, sehingga anak kehilangan hak asasinya. Artikel ini akan menjelaskan: pertama,  proses  penyidikan  guna  melindungi  hak  asasi  anak.  Anak mempunyai  beberapa  hak  di  antaranya  hak  untuk  segera  diperiksa; penyidik  wajib  meminta pertimbangan  atau  saran  dari  pembimbing kemasyarakatan;  penyidik  tidak  memakai  pakaian  dinas;  hak  anak yang dikenakan upaya paksa penahanan, maka tempat tahanan anak harus  dipisahkan  dari  tempat  tahanan  orang  dewasa,  dan  selama anak  ditahan,  kebutuhan  jasmani,  rohani,  dan  sosial  anak  harus tetap dipenuhi; hak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan; hak untuk memberi keterangan dalam keadaan bebas, tidak butuh waktu lama, menggunakan bahasa lugas dan dimengerti anak;  dalam  penyidikan  anak  perlu  dirahasiakan;  dan  lamanya waktu penahanan. Hak-hak tersebut diatas, dalam prakteknya tidak semuanya terpenuhi dengan baik dengan beberapa alasan, diantaranya keterbatasan personel, ruangan yang terbatas, prosedur yang lambat, keterbatasan  dana  dan  kurangnya  kesadaran  dari  penyidik.  Kedua, faktor-faktor yang menjadi penghambat perlindungan hukum terhadap anak. Rata-rata tersangka anak itu adalah anaknya golongan menengah kebawah, sehingga tidak mampu membayar pengacara. Dalam proses penyidikan terkadang penyidik juga susah meminta keterangan kepada anak. Dalam aturan kasus anak harus tertutup tetapi dalam realitanya media selalu mencari berita, akhirnya terekspos. Belum maksimalnya peran PPT (Pusat Pelayanan Terpadu) sehingga visum untuk perbuatan tindak pidana (korban/pelaku) khususnya anak harus bayar sendiri dan hasilnya kadang membutuhkan waktu lama; Ruangan pemeriksaan dan shelter yang terbatas; Belum adanya LSM yang benar-benar konsen menangani masalah anak yang bermasalah dengan hukum; Selama ini PPT terfokus pada perlindungan korban, sedangkan dalam aturan dan prakteknya  juga,  masih  sangat  minim  sekali  perlindungan  terhadap pelaku terutama masalah pelayanan kesehatan.
Konsepsi Kepemilikan dan Pemanfaatan Hak atas Tanah Harta Bersama antara Suami Istri Layyin Mahfiana
BUANA GENDER : Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. 1 No. 1 (2016)
Publisher : UIN Raden Mas Said Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (916.42 KB) | DOI: 10.22515/bg.v1i1.65

Abstract

AbstractArticle 9 paragraph (2) of UUPA gives equality for Indonesian men and women, one of them is related to ownership, utilization of HAT whether for men or women who is given the equality in family by the law.  However in fact the wife often finds difficulties in the ownership and utilization of the land rights, especially the property and its causing factor, such as the gender inequality of the social and cultural values , which commonly gives more priority to the men than the women (patriarchal ideology);  Most of the constitutional regulation still takes the part of one gender, in other words, it does not reflect the gender equality;  Moreover the interpretation of religious lessons that are less comprehensive, contextual and holistic, or inclined to be textual and partially understood also very influence the mindset that the ownership, utilization of HAT  for women is different from the men.Keywords: wives’ rights, HAT & Collective Property Abstrak Pasal 9 ayat (2) UUPA memberi kedudukan yang sama bagi laki-laki maupun perempuan warga negara Indonesia, salah satunya berkaitan dengan kepemilikan, pemanfaatan  HAT baik laki-laki maupun perempuan yang diberi kedudukan sama oleh hukum di dalam keluarga. Tetapi di dalam kenyataannya seringkali isteri kesulitan dalam kepemilikan dan pemanfaatan hak atas tanah khususnya harta bersama faktor penyebabnya, diantaranya kesenjangan gender dalam tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi patriarki). Kebanyakan peraturan perundang-undangan yang ada masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender. Selain itu, penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual dan kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang holistic juga sangat berpengaruh terhadap pola pikir bahwa kepemilikan, pemanfaatan  HAT perempuan memang berbeda dengan laki-laki.Kata Kunci: Hak Istri, HAT & Harta Bersama