Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

Prescription Writing Errors in Clinical Clerkship among Medical Students Raden Anita Indriyanti; Fajar Awalia Yulianto; Yuke Andriane
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (59.885 KB) | DOI: 10.29313/gmhc.v7i1.4069

Abstract

Prescription is an instruction written by a medical practitioner to give a drug or device for a patient. The proper prescription will contribute to speedy recovery or healing process for the patient. Clinical clerkship must have an excellent competency to choose the right medication and prescribe the appropriate drugs or therapy. This study aims to analyze the common error in prescription's writing in clinical clerkship among medical students at their final examination to be a medical doctor. This study used the analytic method to 609 sheets of prescription from 180 clerkship students in their last try out on objective structured clinical examination (OSCE) at the Faculty of Medicine Universitas Islam Bandung in March 2018. Analyzed the component that every prescription should have, which consists of patient identity, superscription, inscription, subscription, and signatures. The result showed that more than half of the clerkship students made an error in subscription (50.25%) and signatures items (55.83%), while most of them had written down properly the patient identity (77.5%), superscription (83.74%), and inscription (78.98%). As a result, with more than half error in a prescription written in subscription and signature item, the failure of giving adequate therapy will cause a low recovery or healing process to the patients. Moreover, it may harm or cause death to the patients. In conclusion, more than half of medical students made common errors in prescription's writing. KESALAHAN PENULISAN RESEP PADA MAHASISWA KOASISTENSI FAKULTAS KEDOKTERANResep merupakan instruksi yang ditulis oleh tenaga medis untuk memberikan obat atau seperangkat alat kepada pasien. Peresepan yang tepat akan membawa proses pemulihan dan penyembuhan terhadap pasien. Mahasiswa kedokteran yang menjalankan masa koasisten harus memiliki kompetensi yang baik untuk memilih dan menuliskan terapi yang sesuai. Penelitian ini bertujuan menganalisis kesalahan umum dalam penulisan resep pada mahasiswa kedokteran yang akan menghadapi ujian akhir untuk menjadi seorang dokter. Penelitian ini menggunakan metode analitik terhadap 609 lembar resep dari 180 mahasiswa kedokteran yang sedang melaksanakan try out akhir objective structured clinical examination (OSCE) di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung pada Maret 2018. Dianalisis setiap komponen yang harus ada dalam penulisan resep, yaitu identitas pasien, superskripsi, inskripsi, subskripsi, dan signature. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah mahasiswa melakukan kesalahan pada item subskripsi (50,25%) dan signature (55,83%), sedangkan sebagian besar sudah menulis dengan baik pada item identitas pasien (77,5%), superskripsi (83,74%), dan inskripsi (78,98%). Akibatnya, dengan lebih dari setengah jumlah kesalahan dalam penulisan item subskripsi dan signature maka kegagalan dalam memberikan terapi yang adekuat dapat menyebabkan angka kesembuhan yang rendah, terlebih lagi dapat menimbulkan bahaya bahkan kematian terhadap pasien. Simpulan, lebih dari setengah mahasiswa kedokteran melakukan kesalahan umum dalam penulisan resep.
Acute Toxicity Test of Unripe Papaya (Carica papaya L.) Aqueous Extract (UPAE) on The Blood Urea and Creatinine Concentration Yuktiana Kharisma; Yuke Andriane; Titik Respati
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (58.232 KB) | DOI: 10.29313/gmhc.v6i2.3794

Abstract

Unripe papaya aqueous extract (UPAE) widely used as lactation stimulator, antidiabetes, antibacterial, and anti-inflammatory. The utilization of papaya is not known for its safety yet, so it is necessary to research its toxicity. The purpose of this study was to investigate the acute toxicity of UPAE on renal function through measurement of blood urea and creatinine levels. This study was conducted in July 2017 in Laboratory of Medical Biology, Faculty of Medicine, Universitas Islam Bandung. This study used pure in vivo experimental design on 11 Swiss Webster mice using the dose of acute toxicity determination based on new recommended methods of 0; 50; 200; 400; 800; 1,000; 1,500; 2,000; 3,000; 4,000; and 5,000 mg/kgBW. After 24 hours, 1 mL blood drawn through the tail examined for blood urea and creatinine levels. The measurement of urea content using kinetic method point and creatinine level using modified Jaffe method. Provision of UPAE at doses of 0, 50, 200, 400, 800, and 1,000 mg/kgBW resulted on blood urea equal to 39, 35, 48, 49, 48, and 32 mg/dL respectively. Blood urea level 23, 22, 28, 34, and 35 mg/dL was obtained at 1,500 UPAE doses; 2,000; 3,000; 4,000; and 5,000 mg/kgBW dosages respectively. After 24 hours of UPAE administration, the creatinine level in various doses using new recommended method of (0–5,000 mg/kgBW) were 0.75, 0.54, 0.53, 0.50, 0.60, 0.54, 0.52, 0.55, 0.42, 0.51, and 0.40 mg/dL. In conclusion, UPAE do not cause acute toxicity on renal function through measurement of blood urea and creatinine levels. TOKSISITAS AKUT EKSTRAK AIR BUAH PEPAYA (CARICA PAPAYA L.) TERHADAP KADAR UREUM DAN KREATININ DARAHEkstrak air buah pepaya muda (EABPM) digunakan secara empiris sebagai laktagogum, antidiabetes, antibakteri, dan antiinflamasi. Tingkat keamanannya belum banyak diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian uji toksisitas akut. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui toksisitas akut EABPM terhadap fungsi ginjal melalui pengukuran kadar ureum dan kreatinin plasma. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2018 di Laboratorium Biologi Medis, Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Bandung. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental murni in vivo terhadap 11 ekor mencit betina galur Swiss Webster dengan penentuan dosis sesuai dengan new recommended method: 0, 50, 200, 400, 800, 1.000, 1.500, 2.000, 3.000, 4.000, dan 5.000 mg/kgBB. Setelah 24 jam, diambil darah melalui ekor mencit sebanyak 1 mL untuk diperiksa kadar ureum dan kreatinin plasma. Pengukuran kadar ureum menggunakan point kinetic method dan kadar kreatinin menggunakan metode Jaffe yang dimodifikasi. Pemberian EABPM pada dosis 0, 50, 200, 400, 800, dan 1.000 mg/kgBB didapatkan kadar ureum plasma 39, 35, 48, 49, 48, dan 32 mg/dL secara berurutan. Kadar ureum plasma 23, 22, 28, 34, dan 35 mg/dL didapatkan pada pemberian dosis EABPM sebanyak 1.500, 2.000, 3.000, 4.000, dan 5.000 mg/kgBB. Kadar kreatinin plasma dalam berbagai dosis (0–5.000 mg/kgBB) adalah 0,75; 0,54; 0,53; 0,50; 0,60; 0,54; 0,52; 0,55; 0,42; 0,51; dan 0,40 mg/dL. Simpulan, EABPM tidak menimbulkan tanda toksisitas akut pada fungsi ginjal melalui pengukuran kadar ureum dan kreatinin plasma.
Determinan Peresepan Polifarmasi pada Resep Rawat Jalan di Rumah Sakit Rujukan Yuke Andriane; Herry S. Sastramihardja; R. Ruslami
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (240.096 KB) | DOI: 10.29313/gmhc.v4i1.2000

Abstract

Resep polifarmasi (≥5 jenis obat/resep) berpotensi meningkatkan interaksi obat, efek samping obat, dan masalah lain. Pasien yang berobat ke rumah sakit (RS) rujukan umumnya berpenyakit kronik, dengan komorbiditas dan komedikasi. Dilakukan penelitian potong silang untuk menganalisis determinan peresepan polifarmasi dari berbagai klinik rawat jalan di RS rujukan di Bandung. Analisis statistik menggunakan uji chi square dan dihitung rasio prevalensi (RP). Selama bulan Oktober 2012 terdapat 2.548 resep dari lima klinik rawat jalan dengan jumlah resep polifarmasi terbanyak. Prevalensi polifarmasi adalah 32% dan median jumlah jenis obat adalah 5 (rentang: 5–11). Terdapat perbedaan karakteristik pasien dalam hal usia ≥60 tahun (59,8% vs 44,8%; p<0,001), jenis kelamin laki-laki (57,1% vs 44,6%; p<0,001), peserta Askes (73,6% vs 56,1%; p<0,001), dan asal poliklinik: kardiovaskular (72,1% vs 33,1%; p<0,001) antara yang menerima resep polifarmasi dan tidak polifarmasi. Faktor dominan terhadap peresepan polifarmasi adalah dari klinik kardiovaskular (RP:8,80; IK95%: 6,35–12,19). Faktor lain dengan risiko polifarmasi >3 kali adalah dari klinik geriatri (RP:6,68; IK95%: 4,43–10,08) dan peserta Askes (RP:6,23; IK95%: 3,49–11,12). Prevalensi polifarmasi resep gabungan beberapa klinik (574 pasien) lebih besar, yaitu 59,8%. Simpulan, prevalensi peresepan polifarmasi di RS rujukan cukup tinggi, terlebih jika pasien menerima resep dari berbagai klinik. Determinan utama peresepan polifarmasi di RS rujukan adalah dari poli kardiovaskular, poli geriatri, dan peserta Askes.DETERMINANTS FOR POLYPHARMACY PRESCRIBING OF THE PRESCRIPTION IN THE OUTPATIENT CLINICS OF REFERRAL HOSPITALPolypharmacy prescription (≥5 drugs in one prescription) potentially increased drug-drug interaction, side effects, and other problems. Patients who come to referral hospital usually were with chronic diseases, comorbidities and comedications. A cross sectional study was performed to analyze the determinants for polypharmacy prescription from clinics in referral hospital in Bandung. Data were analyzed using chi-square test and prevalence ratio (PR) were calculated. During October 2012, there were 2,548 prescriptions from five clinics with highest number of prescription. Prevalence of polypharmacy prescription was 32%, the median number of drugs written were 5 (ranged: 5–11). The characteristics of the patients showed a difference in aged ≥60 years (59.8% vs 44.8%, p<0.001), gender: males (57.1% vs 44.6%, p<0.001), had health insurrance (73.6% vs 56.1%, p<0.001), and origin cardiovascular clinic (72.1% vs 33.1%, p<0.001) between those receiving polypharmacy prescriptions and those receiving non polypharmacy prescription. The dominant factor for polypharmacy prescription was treated at cardiovascular clinic (PR:8.80, 95%CI: 6.35–12.19), followed by treated at geriatry clinic (RP:6.68, 95%CI: 4.43–10.08) and had health insurrance (RP:6.23, 95%CI: 3.49–11.12). Polypharmacy of combined prescriptions (574 patients) was 59.8%. In conclusions, prevalence of polypharmacy prescription in referral hospital in Bandung is high, even higher in patients received combined prescriptions. Main determinants for polypharmacy prescription in referral hospitals are being treated at cardiovascular clinic, geriatry clinic, and having health insurance.
Cogongrass (Imperata cylindrica L.) Ethanol Extract on Sepsis Mice Model Body Weight and Sepsis Score Mirasari Putri; Neni Anggraeni; Raden Aliya Tresna M. D.; Ghaliby Ardhia Ramli; Mia Kusmiati; Yuke Andriane; Eka Hendryanny; Abdul Hadi Hassan; Meta Maulida Damayanti; Nugraha Sutadipura; Mas Rizky A. A. Syamsunarno
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 8, No 3 (2020)
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/gmhc.v8i3.6604

Abstract

Sepsis causes damage for cells, behavioral phenotype regression, and will end in most patients' death. The ethanol extract of cogongrass (Imperata cylindrica L.)  acts as an antioxidant. This study aimed to observe the effect of giving ECGR to body weight (BW) and the sepsis score of the sepsis mice model by lipopolysaccharide (LPS) induction. This study was an in vivo study with a randomized post-test controlled group design at the Animal Laboratory of Universitas Padjadjaran, 2018. We used 4 (four) groups of male mice (Mus musculus) DDY strains. Group 1 as a control, group 2: LPS 10 μL/kgBW, group 3, and 4: LPS+ECGR (90 mg/kgBW, and a dose of 115 mg/kgBW, respectively). This treatment was performed for two weeks. Every three days, we measured their body weight. After two weeks, group 2, group 3, and 4 were injected with LPS for 8 hours to induce sepsis. Next, we measured body weight and sepsis score using murine sepsis score (MSS). Then statistical analysis was performed using ANOVA and the Kruskal-Wallis test. The results showed no differences in body weight were found in the treatment groups (3 and 4) compared with control, suggesting no effect of ECGR in decreasing mice body weight. The sepsis score was more than 21 in groups treated with LPS (2, 3, and 4), suggesting LPS can induce sepsis. There was a slight decrease in scores in-group 3 and 4 compared with group 2. This study concludes that the treatment of ECGR caused no harm to body weight and slightly decreased sepsis score in the sepsis mice model. EKSTRAK ETANOL ALANG-ALANG (IMPERATA CYLINDRICA L.) TERHADAP BOBOT BADAN DAN SKOR SEPSIS MENCIT MODEL SEPSISSepsis menyebabkan kerusakan sel, regresi fenotipe perilaku, dan akan berakhir kematian pada sebagian besar pasien. Ekstrak etanol akar alang-alang (Imperata cylindrica L.) (ECGR) berperan sebagai antioksidan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian ECGR terhadap bobot badan (BB) dan skor sepsis pada mencit model sepsis yang diinduksi lipopolisakarida (LPS). Penelitian ini adalah penelitian in vivo dengan desain randomized post-test controlled group di Laboratoium Hewan Universitas Padjadjaran tahun 2018. Kami menggunakan 4 (empat) kelompok mencit jantan (Mus musculus) strain DDY. Kelompok 1 sebagai kontrol, kelompok 2 diinduksi LPS 10 μL/kgBB, kelompok 3 dan 4 diinduksi LPS+ECGR (dosis 90 mg/kgBB dan 115 mg/kgBB masing-masing). Perlakuan ini dilakukan selama 2 minggu. Setiap tiga hari dilakukan pengukuran bobot badan mencit. Setelah dua minggu, kelompok 2, kelompok 3, dan kelompok 4 diinjeksi LPS selama 8 jam untuk menginduksi sepsis. Selanjutnya, diukur bobot badan dan skor sepsis menggunakan murine sepsis score (MSS). Analisis statistik menggunakan ANOVA dan Uji Kruskal-Wallis. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bobot badan pada kelompok perlakuan (3 dan 4) dibanding dengan kelompok kontrol yang menunjukkan ECGR tidak berpengaruh dalam menurunkan bobot badan mencit. Skor sepsis lebih dari 21 pada kelompok yang diinduksi LPS (2, 3, dan 4) menunjukkan LPS dapat menyebabkan sepsis. Terdapat sedikit penurunan skor pada kelompok 3 dan 4 dibanding dengan kelompok 2. Simpulan penelitian ini, pengobatan ECGR tidak membahayakan bobot badan dan mengakibatkan sedikit penurunan skor sepsis pada mencit model sepsis.
Efek Antimikroba Ekstrak Air Daun Mengkudu (Morinda citrifolia L.) terhadap Bakteri Shigella dysenteriae Secara In Vitro Qyana Al Farisi; Yuke Andriane; Miranti Kania Dewi
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 3, No 1 (2021): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v3i1.7452

Abstract

Kematian akibat infeksi Shigella, terutama Shigella dysenteriae dapat mencapai lebih dari 10% terutama pada anak dan lanjut usia pada kondisi tanpa pemberian terapi yang efektif. Siprofloksasin merupakan lini pertama untuk pengobatan infeksi Shigella, akan tetapi obat ini memiliki beberapa kekurangan di antaranya harga yang mahal dan resistensi. Daun mengkudu merupakan tanaman tradisional yang diduga memiliki efek antimikro dan diharapkan dapat menjadi alternatif terapi antibiotik bagi Shigella dysenteriae yang saat ini sudah banyak mengalami resistensi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek antimikro ekstrak air daun mengkudu (Morinda citrifolia L.) terhadap bakteri Shigella dysenteriae. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium murni. Zona hambat ditentukan melalui metode difusi cakram. Objek penelitian yang digunakan adalah Shigella dysenteriae ATCC nomor 13313. Sampel uji berupa ekstrak air daun mengkudu konsentrasi 100%, kontrol positif (siprofloksasin) dan kontrol negatif (aquadest) dengan 9 kali pengulangan. Hasil uji antimikro dengan metode difusi cakram menunjukkan tidak terbentuk zona hambat pada ekstrak air daun mengkudu konsentrasi 100%. Hal tersebut menunjukkan ekstrak air daun mengkudu konsentrasi 100% tidak memiliki efek antimikro terhadap bakteri Shigella dysenteriae. Kadar flavonoid, tanin, dan alkaloid yang terdapat dalam ekstrak air daun mengkudu konsentrasi 100% pada penelitian ini kemungkinan belum cukup untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Antimicrobial Effect of Water Extract of Noni (Morinda citrifolia L.) Leaves against Shigella dysenteriae In VitroDeath due to infection with Shigella, especially Shigella dysenteriae, can reach more than 10%, especially in children and the elderly in conditions without effective therapy. Ciprofloxacin is the first line for the treatment of Shigella infection, however this drug has several disadvantages including high price and resistance. Noni leaf is a traditional plant that is thought to have antimicrobial effects and is expected to be an alternative antibiotic therapy for Shigella dysenteriae which is currently experiencing a lot of resistance. The purpose of this study was to determine the antimicrobial effect of the water extract of noni leaves (Morinda citrifolia L.) on Shigella dysenteriae bacteria. This research is a pure laboratory experimental study. The zone of inhibition is determined by the disc diffusion method. The research object used was Shigella dysenteriae ATCC number 13313. The test sample was a water extract of noni leaves with a concentration of 100%, positive control (ciprofloxacin) and negative control (aquadest) with 9 repetitions. The results of the antimicrobial test using the disc diffusion method showed no inhibition zone was formed in the water extract of noni leaves with a concentration of 100%. This shows that a water extract of noni leaves with a concentration of 100% did not have an antimicrobial effect against the Shigella dysenteriae bacteria. The levels of flavonoids, tannins, and alkaloids contained in the water extract of noni leaves with a concentration of 100%  in this study may not be sufficient to produce the expected effect.
Scoping Review: Pengaruh Paparan Debu Kayu terhadap Fungsi Paru Pekerja Pengolahan Kayu Raden Sarah Azzahra Nur Arofah; Yuke Andriane; Caecielia Makaginsar
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 3, No 2 (2021): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v3i2.7297

Abstract

Lapangan pekerjaan industri pengolahan, pertambangan, dan pertanian memiliki masalah kesehatan tertinggi di Indonesia. Salah satunya adalah industri pengolahan kayu yang memiliki proses kegiatan penggergajian dan pengamplasan yang dapat menghasilkan debu kayu. Debu kayu mengandung selulosa, poliosa, dan lignin yang dapat terhirup, mengendap, kemudian dianggap benda asing oleh sistem pernapasan sehingga dapat menimbulkan penyakit. Tujuan penelitian ini menganalisis pengaruh paparan debu kayu terhadap gangguan fungsi paru pekerja pengolahan kayu. Metode penelitian ini adalah scoping review dengan mencari artikel yang dipublikasi tahun 2010–2020 pada database ProQuest dan Google Scholar. Sampel penelitian ini berupa artikel penelitian jurnal internasional yang memenuhi kriteria inklusi, eksklusi, dan uji kelayakan berdasar atas PICOS berjumlah empat artikel. Hasil penelitian ini menunjukkan uji fungsi respirasi mengalami penurunan signifikan pada nilai parameter volume ekspirasi paksa dalam satu detik (VEP1) pekerja pengolahan kayu dibanding dengan kontrol. Kapasitas vital paksa (KVP) tidak selalu menurun secara signifikan. Rasio VEP1/KVP dominan mengalami penurunan yang signifikan. Jenis obstruktif lebih sering pada pekerja pengolahan kayu dibanding dengan restriktif. Simpulan penelitian ini adalah paparan debu kayu dapat menurunkan fungsi paru. Mekanisme yang terjadi, yaitu debu kayu mengendap dalam saluran pernapasan sehingga menyebabkan penyempitan aliran udara serta menimbulkan iritasi dan inflamasi. Konsentrasi debu kayu dan masa kerja dapat memengaruhi penurunan fungsi paru. SCOPING REVIEW: THE EFFECT OF WOOD DUST EXPOSURE ON LUNG FUNCTION OF WOOD PROCESSING WORKERSEmployment in the processing industry, mining, and agriculture have the highest health problems in Indonesia. One of them is wood processing which has sawing and sanding activities that can produce wood dust. Wood dust contains cellulose, polyose, and lignin which can be inhaled, precipitated, and recognized as foreign bodies by the respiratory system can cause disease. This study was to analyze the effect of wood dust exposure on the respiratory function of wood processing workers. This research method is a scoping review by searching for articles published from 2010–2020 on the ProQuest and Google Scholar databases. The sample in this study was research articles in international journals that qualify the inclusion, exclusion, and feasibility test criteria based on PICOS were four articles. The results of this study showed that the respiratory function test experienced a significant decrease in the parameter values of forced expiratory volume in one second (FEV1) of wood processing workers compared to controls. Forced vital capacity (FVC) does not always decrease significantly. FEV1/FVC is a dominant significant decrease. The obstructive type was more frequent in wood processing workers than restrictive. The conclusion of this study is exposure to wood dust can reduce lung function. The mechanism that occurs is wood dust settles in the respiratory tract, causing narrowing of the airflow, causing irritation and inflammation. Wood dust concentration and tenure can affect lung function decrease.
Pengaruh Jus Tomat (Solanum lycopersicum L) terhadap Kualitas Sperma Mencit yang Diberi Paparan Asap Rokok Tersier Alfiani Triamullah; Yuke Andriane; Annisa Rahmah Furqaani
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 2, No 2 (2020): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v2i2.5738

Abstract

Rokok menyebabkan ketidakseimbangan antara stres oksidatif dan antioksidan pada endogen testis. Hal ini disebabkan oleh peningkatan ROS sehingga dapat menurunkan antioksidan dan menyebabkan stres oksidatif pada proses spermatogenesis yang dapat memengaruhi kualitas sperma, seperti jumlah, motilitas, dan morfologi. Hal ini dapat dihambat dengan mengurangi oksidan atau mengonsumsi antioksidan alami, berupa likopen yang terkandung dalam tomat. Tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh jus tomat terhadap kualitas sperma mencit yang diberi paparan asap rokok tersier. Metode penelitian bersifat eksperimental murni in vivo dengan rancangan acak lengkap. Subjek penelitian adalah 35 ekor mencit jantan dewasa yang dibagi secara acak dan memenuhi kriteria inklusi. Penelitian ini dibagi menjadi lima kelompok, yaitu kelompok normal (diberi pakan biasa); K (-) (mendapat paparan asap rokok tersier); K1 (diberi jus tomat 0,16 mL/hari dan paparan asap rokok tersier); K2 (diberi jus tomat 0,32 mL/hari dan paparan asap rokok tersier); K3 (diberi jus tomat 0,64 mL/hari dan paparan asap rokok tersier), semua perlakuan ini diberikan selama 14 hari. Akhir penelitian, seluruh mencit dibedah lalu diambil testis untuk melihat kualitas sperma. Uji statistik menggunakan uji parametrik one way ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara rerata jumlah sperma antarkelompok (p>0,05), antara motilitas sperma antarkelompok (p>0,05), dan morfologi sperma antarkelompok (p<0,05). Simpulan penelitian ini jus tomat tidak memengaruhi kualitas sperma, namun tomat dapat meningkatkan jumlah sperma ke batas normal. Pemberian jus tomat yang mengandung likopen cukup tinggi dapat meningkatkan antioksidan sehingga dapat menurunkan ROS dan stres oksidatif. Dalam penelitian ini kerusakan pertama terjadi pada morfologi sperma. THE EFFECT OF TOMATOES JUICE (SOLANUM LYCOPERSICUM L) ON THE QUALITY OF THE MICE SPERMA THAT IS PROVIDED BY TERSIERED CIGARETTE SMOKECigarettes cause an imbalance between oxidative stress and antioxidants in endogenous testes. This is due to an increasing of ROS that can reduce antioxidants and caused oxidative stress in the process of spermatogenesis which affect sperm quality, such as the amount of sperm, motility, and morphology of sperm. Reduction of oxidants or consuming natural antioxidants can inhibit it process by lycopene that contained in tomatoes. The aim of this study was to determine the effect of tomato juice on the sperm quality of mice that expose to tertiary cigarette smoke exposure. The study was in vivo experimental laboratory using completely randomized design of 25 adult male mice that were randomly divided and met the inclusion criteria. This research was divided into five groups, the first group was normal group (given normal feed); the second is K (-) (getting exposure to tertiary cigarette smoke); the sample test groups were expose to tertiary cigarettes smoke exposure and it given tomato juice, K1 (given 0.16 mL/ day tomato juice); K2 (0.32 mL/day tomato juice); K3 (given 0.64 ml tomato juice/day) then all these treatments were given for 14 days. At the end of the study, mice were dissected and the testicles were taken to analyze the quality of sperm. This research using one way ANOVA test and the result showed there was no significant differences amoung mean about the amount of sperm between groups (p>0.05), sperm motility between groups (p>0.05), and sperm morphology between groups (p<0.05). The conclusion of this research is that tomato juice did not affect sperm quality, but it can increase the amount of sperm to the normal limit. The smokers will increase ROS and reduce antioxidants so that resulting oxidative stress. Tomato juice that containing high enough of lycopene could increase antioxidants, so it can reduce ROS and stress. In this research the first damage was sperm morphology.
Pengaruh Fraksi Air Buah Lemon (Citrus limon) terhadap Kadar Glukosa Darah Mencit Tua yang Diberi Pakan Tinggi Lemak Rina Permatasari; Yuke Andriane; Herry Garna; Oky Haribudiman; R.A. Retno Ekowati
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 1, No 1 (2019): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v1i1.4322

Abstract

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah terbesar pada abad 21. Obesitas (terutama obesitas viseral) dan resistensi insulin sering disertai dengan sekelompok kelainan yang disebut sindrom metabolik yang mencakup intoleransi glukosa, trigliserida tinggi, kolesterol HDL rendah, dan hipertensi. Lemon mengandung flavonoid yang dipercaya mempunyai aktivitas menurunkan kadar glukosa darah. Tujuan penelitian ini mengetahui perubahan kadar glukosa darah pada mencit tua yang diberi pakan tinggi lemak setelah pemberian fraksi air buah lemon (Citrus limon). Penelitian dilakukan di Laboratorium Hewan Gedung Farmasi ITB dan Laboratorium Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung pada bulan April−Juni 2018. Metode penelitian ini adalah eksperimental laboratorium murni in vivo dengan desain penelitian rancangan acak lengkap terhadap 28 mencit tua jantan galur DDY yang terbagi dalam lima kelompok, yakni kontrol normal, kontrol negatif, konsentrasi 20,6 mg/20 gBB, 41,2 mg/20 gBB, dan 82,4 mg/20 gBB. Pengukuran glukosa darah puasa dilakukan setelah masa adaptasi, saat perlakuan (hari ke-15), dan setelah perlakuan menggunakan glukosameter. Analisis data menggunakan Uji Kruskall-Wallis dan Uji Friedman. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan median GDP1 antarkelompok yang signifikan (p=0,05), perbedaan median GDP2 yang tidak signifikan (p=0,08), dan perbedaan median GDP3 yang tidak signifikan (p=0,66). Terdapat perbedaan median GDP1−3 yang signifikan antara kelompok konsentrasi fraksi air buah lemon (p=0,04). Simpulan, fraksi air buah lemon memiliki efek menurunkan glukosa darah. EFFECT OF WATER FRACTION OF LEMON (CITRUS LIMON) ON BLOOD GLUCOSE LEVEL OF OLD MICE GIVEN HIGH-FAT DIETDiabetes mellitus is one of the biggest problems of the 21st century. Obesity (especially visceral obesity) and insulin resistance often present with a group of disorders commonly called metabolic syndrome including glucose intolerance, high triglycerides, low HDL cholesterol, and hypertension. Flavonoid compounds in lemon is believed to have blood glucose lowering activity. The purpose of this study was to determine changes in blood glucose level in old mice given a high-fat diet after administration of water fraction of lemon (Citrus limon). This study was held at Animal Laboratory of Pharmacy ITB and Animal Laboratory of Faculty of Medicine Bandung Islamic University in April to June 2018. The method of this study was pure in vivo laboratory experiment with a completely randomized design to 28 old male DDY strain mices divided into five groups; normal control, negative control, concentration 20.6 mg/20 gBW, 41.2 mg/20 gBW, and 82.4 mg/20 gBW. Fasting blood glucose measurements were performed after adaptation, ongoing treatment (day 15), and after treatment using glucosemeter. Data analysis used Kruskall-Wallis test and Friedman test. The results showed that there was a significant GDP1 median difference of each groups (p=0.05), a nonsignificant GDP2 median difference (p=0.08), and GDP3 median difference were not significantly different (p=0.66). There was a statistically significant difference between median GDP1−3 between each water fraction of lemon concentration groups (p=0.04). Conclusion, the water fraction of lemon has the effect of lowering blood glucose.
Potensi Interaksi Obat Antituberkulosis dan Anti Diabetes terhadap Efek Samping Obat pada Pasien Tuberkulosis-Diabetes Melitus di RSUD Al-Ihsan Bandung Rahma Ratu Halima; Santun Bhekti Rahimah; Asep Saefulloh; Yuke Andriane; Endang Suherian
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 1, No 1 (2019): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v1i1.4323

Abstract

Pengobatan tuberkulosis (TB) dengan diabetes melitus (DM) pada pasien TB-DM membutuhkan waktu yang cukup lama dan beragam sehingga memiliki risiko tinggi menyebabkan potensi interaksi obat  dan menimbulkan efek samping obat. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan potensi interaksi obat antituberkulosis dengan obat antidiabetes pada pasien TB dengan DM di Poli DOTS RSUD Al-Ihsan pada periode April–Mei 2018. Penelitian ini dilakukan dengan metode analitik observasional menggunakan pendekatan cross-sectional, pengambilan data obat yang terdapat pada rekam medik dan kuesioner yang telah dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Data potensi interaksi obat diolah dengan memasukkan data obat yang dikonsumsi pasien menggunakan software pada Lexi-Interact. Subjek berjumlah 30 responden dipilih secara total sampling. Hasil penelitian menunjukkan frekuensi tertinggi potensi interaksi obat antituberkulosis-obat antidiabetes pada derajat berat sejumlah 12 dari 30 pasien. Efek samping yang terjadi pada pasien dengan frekuensi tertinggi adalah derajat ringan sejumlah 10 dari 30 pasien. Analisis dengan uji chi-square tidak memiliki nilai kemaknaan antara potensi interaksi obat dan efek samping obat (p=0,146). Simpulan, tidak terdapat hubungan potensi interaksi  obat dengan efek samping yang timbul pada pasien TB dengan DM di Poli DOTS RSUD Al-Ihsan periode April–Mei 2018. POTENTIAL INTERACTIONS BETWEEN ANTI TUBERCULOSIS DRUG AND ANTI DIABETES DRUG WITH SIDE EFFECTS ON TUBERCULOSIS-DIABETES MELLITUS PATIENTS IN RSUD AL-IHSAN BANDUNGThe medication of tuberculosis (TB) with diabetes mellitus (DM) on TB-DM patients requires quiet a long and diverse time, so it has a high risk to potentially causing a medicine interaction and produce side effects. The research aimed to know the relation of potential interactions between anti tuberculosis medicine and anti diabetes drug with side effects on TB-DM patients in Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) outpatient clinic of RSUD Al-Ihsan Bandung in April–May 2018. This research was done by cross sectional approach method by taking the drug data in the medical records and questionnaires which have been tested for validity and reliability. Data of potential drug interactions is processed by entering data of drug consumed by patient using software on Lexi-Interact. The subjects were 30 respondents, selected by total sampling. The results showed the highest frequency of potential anti-tuberculosis drug anti-diabetic drug interactions on severe degree 12 of 30 patients. The results also showed that the side effects occurring in patients with highest frequency were mild degrees of 10 of 30 patients. The analysis obtained by chi square test between potential drug interaction with side effect of drug is not having any meaning value with (p=0.146).  In conclusion, there is no relation between potential drug interaction and side effect on TB-DM patients in Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) outpatient clinic of RSUD Al-Ihsan Bandung in April–May 2018.
Hubungan Lama Pengobatan dan Jenis Obat Antiepilepsi dengan Derajat Depresi pada Pasien Epilepsi Meita Nurfitriani Saefulloh; Ratna Dewi Indi Astuti; Waya Nurruhyuliawati; Yuke Andriane; Miranti Kania Dewi
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 1, No 2 (2019): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v1i2.4344

Abstract

Epilepsi merupakan kelainan otak kronik yang ditandai dengan kecenderungan terjadi bangkitan epileptik. Terapi epilepsi dilakukan dalam jangka waktu yang lama untuk mengurangi kejadian bangkitan sehingga dapat meningkatkan kemungkinan terjadi efek samping di antaranya depresi. Depresi pada pengobatan epilepsi berhubungan dengan jenis obat antiepilepsi dan lama pengobatan. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan lama pengobatan dan jenis obat epilepsi dengan derajat depresi pada pasien epilepsi. Metode penelitian ini merupakan observasi analitik dengan rancangan potong lintang. Subjek penelitian adalah 74 pasien epilepsi di Poli Saraf RSUD Al-Ihsan periode Maret–Mei 2018 yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien yang sudah meminum obat antiepilepsi generasi pertama monoterapi minimal satu bulan. Sampel dipilih secara purposive sampling dan telah mengisi kuesioner Beck Depression Inventory II. Data penelitian dianalisis dengan uji statistik menggunakan Uji Fischer Exact. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah pasien epilepsi yang mengalami depresi derajat minimal paling banyak ditemukan dan tidak terdapat hubungan lama pengobatan dan jenis obat antiepilepsi dengan derajat depresi pada pasien epilepsi. Kejadian depresi pada pasien epilepsi selain dipengaruhi jenis obat dan lama pengobatan juga dipengaruhi oleh keadaan epilepsi (frekuensi kejang dan jenis epilepsi), faktor iatrogenik (obat antiepilepsi), dan faktor psikososial. ASSOCIATION OF DURATION MEDICATION AND TYPES OF ANTI EPILEPTIC DRUGS WITH DEGREE OF DEPRESSION IN PATIENT WITH EPILEPSYEpilepsy is a chronic disorder of brain which characterized episode of epileptic seizures. Duration treatment of epilepsy is in quite long period to reduce the incidence of seizure, this condition can increase the risk of side effects such as depression. Depression in patients with epilepsy is associated with the type of anti-epilepsy drugs and the duration of treatment. This study was to determine the relationship between the duration of treatment and the type of epilepsy drug with the degree of depression in patients with epilepsy. This research was an analytic observation with cross sectional design. Subjects were 74 epileptic patients in the Nerve Outpatient of Al-Ihsan General Hospital in the period March—May 2018 which met the inclusion criteria who had taken anti epileptic drugs first generation monotherapy for at least 1 month. The sample was chosen by purposive sampling and has filled out the Beck Depression Inventory II questionnaire. Research data were analyzed by statistical test using Fischer Exact test. The results in this study patients with epilepsy who has minimal degree of depression is most common and there was no relationship between treatment duration and type of anti-epileptic drugs with degrees of depression in epilepsy patients. The incidence of depression in patients with epilepsy not only caused by the type of drug and duration of treatment but can also caused by epilepsy condition itself (seizure frequency and type of epilepsy), iatrogenic factors (anti-epileptic drugs) and psychosocial factors.