Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Ragam Kendangan Jogedan dalam Wayang Wong Golek Menak Gaya Yogyakarta Lakon Bedhahing Ambarkustub: Garap dalam Iringan Tari anon suneko
PROMUSIKA Vol 6, No 1 (2018): April 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/promusika.v6i1.2300

Abstract

Penelitian ini ini bertujuan untuk mengungkap beberapa hal dan permasalahan mengenai ragam kendangan jogedan wayang wong menak gaya Yogyakarta mengingat bahwa kemunculannya memiliki latar belakang  yang berhubungan dengan adanya 16 tipe karakter dalam wayang golek menak gaya Yogyakarta. Penelusuran dilakukan melalui  pengamatan yang detail terhadap intonasi, artikulasi, aksentuasi dan sekaran pada masing-masing jenis kendangan wayang golek menak dalam hubungannya identifikasi karakter tokoh beserta koreografinya. Bedhahing Ambarkustub merupakan salah satu pethilan cerita wayang golek menak yang digunakan sebagai sample penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sifat kualitatif dalam penelitian ini adalah untuk memaparkan adanya ragam kendangan jogedan beksa golek menak gaya Yogyakarta melalui penelusuran yang berdasarkan data-data yang otentik sekaligus menguji seberapa jauh garap kendangan jogedan dalam mendukung presentasi pertunjukan seni tari khususnya tari klasik gaya Yogyakarta. Kegiatan observasi akan mengungkap gambaran sistematis terhadap objek yang dipilih yakni wayang wong menak lakon Bedhahing Ambarkustub. Hasil penelusuran ini diharapkan dapat memperluas kajian ilmu karawitan khususnya gending beksan atau karawitan tari. Penulis berharap bahwa melalui penelitian secara mendalam tentang pakem kendangan jogedan menak gaya Yogyakarta ini, maka kelestarian dan perkembangan iringan wayang golek menak dapat berlangsung lebih dinamis This study aims to reveal a number of issues and problems regarding the variety of Yogyakarta-style wayang wong constraints given that its emergence has a background that relates to the existence of 16 types of characters in the puppet show that resemble the Yogyakarta style. The search was carried out through detailed observations of the intonation, articulation, accentuation and current in each type of fearful wayang golek in relation to identifying the character of the character and the choreography. Bedhahing Ambarkustub is one of the great examples of puppet stories used as a sample of this study. The method used in this research is qualitative method. The qualitative nature of this study is to explain the variety of jogedan beksa golek constraints that are Yogyakarta style through search based on authentic data while testing how far the jogedan ride is worked in supporting the presentation of dance performances, especially Yogyakarta style classical dance. Observation activities will reveal a systematic picture of the object chosen, namely the wayang wong, the play of Bedhahing Ambarkustub. These search results are expected to expand the study of karawitan science, especially music beksan or karawitan dance. The author hopes that through in-depth research on the design of the jogedan vehicle to be of the Yogyakarta style, the preservation and development of the great puppet show can take place more dynamically
GATI LAMBANGSIH LARAS SLENDRO PATHET MANYURA SEBAGAI KARYA INOVASI KARAWITAN GAYA YOGYAKARTA: KAJIAN MUSIKALITAS DAN KARAKTER GENDING Anon Suneko; Trustho Trustho; Salsa Bila
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 21, No 2 (2021)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33153/keteg.v21i2.4100

Abstract

Gati Lambangsih laras slendro pathet manyura is one of the Yogyakarta musical styles which was created during the reign of Sri Sultan Hamengku Buwono X. This new creation in the ladrang format complements Beksan Bedaya's aesthetic Lambangsari, which was held at the Uyon-Uyon Hadiluhung event on December 28, 2020, at Kagungan Dalem Ward Srimanganti. Unlike other gending Gati, Gati This symbol is presented with a slendro-barreled gamelan in collaboration with brass section western wind music. Of course, the new taste of Gending Gati cannot be separated from the motivation and concept of its creation. However, musically, working and blending Gamelan and brass sections require carefulness in achieving harmony in the musical presentation. 
Kaderisasi dan Peningkatan Kemampuan Pelatih Karawitan di Kelompok Seni Ngudi Laras, Watu Lumbung, Kadiluwih Salam, Magelang Anon Suneko; Agung Sutrisno
Jurnal Pengabdian Seni Vol 2, No 1 (2021): MEI 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jps.v2i1.5732

Abstract

Seni budaya Indonesia yang beragam dalam perkembangannya membutuhkan penguatan, pengembangan, dan inovasi agar tetap diterima dan berkembang kepada generasi penerus bangsa. Pelestarian budaya diupayakan melalui berbagai kegiatan, salah satunya adalah penyuluhan seni karena dalam penyuluhan terdapat proses yang melibatkan langsung antara pemangku kepentingan, akademisi, dan masyarakat secara langsung. Karawitan menjadi salah satu kesenian yang  tumbuh dan berkembang dalam tradisi yang khas dan menarik. Tujuan dari penyuluhan seni di bidang karawitan dengan objek kelompok seni Ngudi Laras melalui kaderisasi pelatih, peningkatan kemampuan pelatih, pendampingan dan pelatihan kerawitan, serta publikasi kegiatan sanggar. Metode penyuluhan seni ini menggunakan metode penyuluhan langsung (direct communications), yang digunakan pada waktu berhadapan muka ke muka dengan sasarannya dan berdialog dengan pelatih dan anggotanya. Metode yang langsung ini dianggap lebih efektif, meyakinkan, dan mengakrabkan hubungan antara penyuluh dan sasaran. Penyuluhan seni dengan tajuk “Kaderisasi dan Peningkatan Kemampuan Pelatih Karawitan di Kelompok Seni Ngudi Laras, Watu Lumbung, Kadiluwih, Salam, Magelang”  memberikan penerangan atau informasi agar hal-hal yang tadinya belum diketahui ataupun dipecahkan kaitannya dengan problematika di dalamnya agar segera menemukan jalan keluar yang terbaik sehingga kesinambungan aktivitas sanggar tersebut bisa berjalan secara terus-menerus dan mengalami peningkatan yang signifikan.
Cendayam: Interpretasi Cengkok Ayu Kuning dalam Komposisi Karawitan Gangsar Yogi Armansyah; Anon Suneko; Setya Rahdiyatmi Kurnia Jatilinuar
EKSPRESI Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1175.081 KB) | DOI: 10.24821/ekp.v7i1.7075

Abstract

AbstrakMusik karawitan Jawa mengenal istilah cengkok. Cengkok adalah abstrak yang tidak terdengar maupun terwujud sedangkan cengkok yang terwujud dinamakan wiled. Cengkok yang berasal dari nada vokal salah satunya adalah Ayu Kuning. Cengkok Ayu Kuning memiliki lagu yang menonjol seperti nada lagu tinggi kemudian ke rendah. Cengkok ini memiliki ciri khas tersendiri pada garap sindhen, gender, maupun rebab dibanding cengkok lain. Penelitian ini mengunakan metode Practice as Research through Performance (praktik sebagai penelitian melalui pertunjukan) yang terdiri dari pragarap (observasi, studi pustaka, analisis sumber terkait, wawancara, diskografi, konteks musikal), garap (instrumentasi musikal, tafsir garap, presentasi musikal), dan pascagarap. Karya ini juga menggunakan medium tradisi dan idiom baru. Penelitian ini bertujuan untuk  menafsirkan dan memaknai cengkok Ayu Kuning dalam karya komposisi karawitan. Karya komposisi “Cendayam” yang diciptakan merupakan karya komposisi karawitan yang mengambil subtansi dasar karawitan tradisi sebagai ide dasar dan konsep penciptaan karya. Karya ini menginterpretasikan dan mengembangkan cengkok Ayu Kuning sebagai tema penciptaan dan menggunakan pola garap kreasi baru dengan mengolah aspek harmoni dan unsur-unsur dalam musik seperti melodi, ritme, dan dinamika. Cengkok Ayu Kuning juga dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dasar cengkok Ayu Kuning yang biasa digunakan dalam karawitan dan pemaknaan dari epistimologi kata Ayu Kuning. Kata kunci : cengkok, Ayu Kuning, wanita, pengembangan, pemaknaan, interpretasi AbstractJavanese karawitan music has cengkok term. Cengkok is an abstract that is neither heard nor manifested while the manifested one is called "wiled." Cengkok comes from a vocal tone, one of which is Ayu Kuning. Cengkok Ayu Kuning has a unique song with a high and then a low tune. This cengkok has its characteristics in working on sindhen, gender, and fiddle compared to other cengkok. This study uses the Practice as Research through Performance method which consists of pragarap (observation, literature study, analysis of related sources, interviews, discography, musical context), garap (musical instrumentation, interpretation of garap, musical presentation), and pascagarap. This work also uses the medium of tradition and new idioms. This study aims to interpret and interpret the cengkok Ayu Kuning in musical composition works. The compositional work "Cendayam" is a musical composition work that takes the basic substance of traditional music as the basic idea and concept of creating the work. This work interprets and develops the Ayu Kuning cengkok as the theme of creation and uses a new creation work pattern by processing aspects of harmony and elements in music such as melody, rhythm, and dynamics. Cengkok Ayu Kuning is also seen from two points of view, namely the basis of the Cengkok Ayu Kuning which is commonly used in karawitan, and the meaning of the epistemology of the word Ayu Kuning. Keywords : cengkok, Ayu Kuning, women, develompment, meaning, interpretation
Mantra Musicalization: Cowongan Rituals Ideas for Creating Instruction Karawitan Compositions | Musikalisasi Mantra: Ritual Cowongan sebagai Ide Penciptaan Komposisi Karawitan Yofan Dwi Irawan; Anon Suneko; I Ketut Ardana
GHURNITA: Jurnal Seni Karawitan Vol 2 No 3 (2022): September
Publisher : Pusat Penerbitan LPPMPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Banyumas has a cowongan that aims to invoke fertility and prosperity to Dewi Sri. Ritual cowongan uses mantras as an absolute requirement in its implementation. However, as the times progressed, the mantra experienced dissection, so it was necessary to revitalize the mantra into a musicalization model in order to maintain the existence of the mantra. This research uses the research method of practice as research through performance which goes through pre-work, working on and post-work stages to get the best data about the works of art that will be created. The performance of a musical composition with the title Sirêng uses the cowongan as inspiration in creating works of art. Based on the results of the analysis on the cowongan , three elements were found, namely subject, object and activity. These three elements are packaged and implemented into the cowongan which is the workflow of Sirêng's composition. The addition of spells is done to complement the existing spells and complete the workflow. Mantras that are usually spoken simply can be transformed into a musicalization of mantras. The musical elements used to transform the mantra are tempo, melody, time, dynamics and harmony. The packaging of spells into musical performances has a plot and is dramatic. Therefore, the spell will be easier to enjoy and can meet today's tastes.