Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search
Journal : JUMPA (Jurnal Masalah Pastoral)

Peningkatan Kualitas Guru Pendidikan Agama Katolik (PAK) Melalui Penerapan Model Rekrutmen dan Seleksi Berbasis Kitab Hukum Kanonik 1983 Donatus Wea
Jurnal Masalah Pastoral Vol 7 No 1 (2019): Jurnal Masalah Pastoral (JUMPA)
Publisher : STK St. Yakobus Merauke

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu strategi yang harus dilakukan oleh penyelenggara sekolah agar memperoleh calon-calon guru yang berkualitas adalah penerapan rekrutmen dan seleksi sesuai dengan aturan yang berlaku. Demikian halnya dengan guru-guru pendidikan agama katolik (PAK). Jika prosedur rekrutmen dan seleksi guru PAK diikuti dengan baik, maka kebutuhan akan guru-guru PAK yang bermutu, yang menjadi kerinduan setiap sekolah dapat dijawab. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan model rekrutmen dan seleksi calon guru PAK yang diterapkan selama ini di kabupaten Merauke, dengan berbagai dampak. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif, yakni serangkaian prosedur penelitian yang menghasilkan data secara deskriptif baik secara lisan maupun tertulis dari sumber atau perilaku orang yang dapat diamati. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa selama ini rekrutmen dan seleksi calon guru PAK tidak mengikuti prosedur standar yang lazim berlaku, dengan salah satu konsekwensinya adalah masih adanya beberapa guru PAK di sekolah-sekolah dengan kompetensi yang kurang memadai. Agar persoalan ini dapat diatasi, maka dibutuhkan model rekrutmen dan seleksi yang khusus, yang menjadi kekhasan dalam Gereja katolik, yakni yang berbasis Kitab Hukum Kanonik 1983. Dengan menerapkan model ini, maka hanya calon-calon guru PAK yang bermutulah, yang akan ditempatkan di sekolah-sekolah, dan yang akan berpengaruh terhadap pendidikan iman dan moral peserta didik.
Implementasi E-Learning dan Komitmen Profesional Afektif Guru Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas Di Papua Selatan Wea, Donatus; Wula, Paulina
Jurnal Masalah Pastoral Vol 9 No 2 (2021): JUMPA (Jurnal Masalah Pastoral)
Publisher : Sekolah Tinggi Katolik Santo Yakobus Merauke

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh implementasi e-learning dan komitmen professional afektif guru terhadap peningkatan prestasi belajar siswa sekolah menengah atas di Papua Selatan. Data primer diperoleh melalui kuesioner yang dibagikan kepada 60 guru yang berkarya di sekolah-sekolah lanjutan atas yang tersebar di daerah pedalaman dan pinggiran kota di Papua Selatan. Tiga hipotesis diuji dengan analisis structural equation model (SEM) dan terbukati signifikan. Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa prosentase yang tertinggi untuk variabel yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa adalah komitmen professional afektif guru. Pengaruh variable implementasi e-learning terhadap prestasi belajar siswa lebih rendah dibandingkan dengan komitmen professional afektif guru. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yakni kondisi geografis Papua Selatan dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi, keterbatasan media komunikasi, sikap dan tanggapan para guru serta siswa terhadap penggunaan e-learning, kondisi ekonomi keluarga, ruang lingkup penggunaan media komunikasi dan rumitnya pengelolaan e-learning. Meskipun pengaruh e-learning terhadap prestasi belajar siswa lebih rendah jika dibandingkan dengan komitmen professional afektif guru, tetapi tetap menunjukkan pengaruh yang positif.
Simulatio Partialis Contra Bonum Coniugum Sebagai Salah Satu Pokok Sengketa Pembatalan Perkawinan Donatus Wea; Fransiskus Homenara
Jurnal Masalah Pastoral Vol 6 No 2 (2018): Jurnal Masalah Pastoral (JUMPA)
Publisher : STK St. Yakobus Merauke

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Qui facit matrimonium adalah sebuah pertanyaan sentral perihal apa sesungguhnya yang membuat perkawinan itu ada, yang telah digumuli oleh para teolog dalam Gereja katolik selama sekian abad. Dalam penggalian para teolog itu, sampailah pada sebuah kesimpulan yang merupakan sintensa dari berbagai aspek kajian, bahwa yang membuat perkawinan itu ada adalah konsensus yang saling diberikan, oleh para pihak yang akan menikah, secara bebas, sadar, dan penuh tanggung jawab. Apa sesungguhnya konsensus itu sehingga menjadi unsur dasar terbentuknya sebuah institusi perkawinan? Secara yuridis konsensus, sebagaimana ditegaskan dalam norma kanon 1057 § 2, adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Meskipun konsensus menjadi unsur utama terbentuknya lembaga perkawinan, namun karena sesuatu dan lain hal, konsensus bisa saja menjadi cacat, yang berakibat pada tidak validnya sebuah perkawinan, walaupun perkawinan itu diteguhkan dengan itikad luhur oleh para pasangan. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab cacatnya konsensus para pasangan nikah untuk membangun sebuah keluarga; salah satunya adalah simulasi. Secara umum, simulasi dapat dirumuskan sebagai penyimpangan kesadaran antara kehendak batiniah dan pernyataan lahiriah seseorang. Dalam kasus ini boleh jadi bahwa dalam kenyataannya, seseorang secara lahiriah mengungkapkan syarat-syarat yang dituntut untuk suatu pernikahan sebagai ungkapan kehendak, namun dalam hatinya yang terdalam ia tidak mau melangsungkan pernikahan itu sendiri. Jadi simulasi berarti ketidakcocokan antara pernyataan lahiriah dengan kehendak yang sebenarnya yang ada di dalam batin. Gereja selalu mengandaikan bahwa kehendak yang dinyatakan dalam kata dan perbuatan sungguh merupakan ekspresi nyata dari kehendak batiniah. Jika hal yang diandaikan itu tidak ada, maka sesungguhnya terjadi simulasi atau kepura-puraan (bersandiwara).
Model Pendidikan Iman Anak Dalam Keluarga Berbasis Anjuran Apostolik Familiaris Consortio Dalam Menumbuhkan Perilaku Altruistik Donatus Wea; Agustinus Kia Wolomasi
Jurnal Masalah Pastoral Vol 10 No 1 (2022): Jurnal Masalah Pastoral (JUMPA)
Publisher : STK St. Yakobus Merauke

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The purpose of this research is to find out the actual model of children's faith education in the family in the Salib Suci Gudang Arang parish, to study and analyze it as a reference to produce a new model. The model that is suitable for children's faith education for the growth of altruistic behavior is the one based on the Familiaris Consortio of Pope John Paul II. Primary data were obtained through observation and interviews with 30 informants consisting of parents, children, the family commission of the Archdiocese of Merauke, the parish family section and senior families who are examples (role models). The findings are that parents do not play their main role in educating children's faith because they do not know the pattern and do not get the assistance that is their right as a provision to educate children's faith. For that we need a model that can help them in educating children's faith. The finding in this model is the involvement and responsibility of Church authorities in planning, implementing, monitoring and evaluating through the relevant commissions or sections. In this way, Catholic families will be able to carry out their roles well as first and foremost educators for children's faith so that their altruistic behavior grows which is resulted in sincere sharing, solidarity and self-sacrifice.
MODEL PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA BERBASIS ANJURAN APOSTOLIK FAMILIARIS CONSORTIO DALAM MENUMBUHKAN PERILAKU ALTRUISTIK Donatus Wea; Agustinus Kia Wolomasi
Jurnal Masalah Pastoral Vol 10 No 1 (2022): JUMPA (Jurnal Masalah Pastoral)
Publisher : Sekolah Tinggi Katolik Santo Yakobus Merauke

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitan ini adalah untuk mengetahui model aktual pendidikan iman anak dalam keluarga di paroki Salib Suci Gudang Arang, mengkaji dan menganalisisnya sebagai acuan untuk menghasilkan sebuah model yang baru. Adapun model yang cocok untuk pendidikan iman anak demi bertumbuhnya perilaku altruistik adalah yang berbasis Familiaris Consortio dari Paus Yohanes Paulus II. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan 30 informan yang terdiri atas orangtua, anak-anak, komisi keluarga keuskupan Agung Merauke, seksi keluarga paroki dan keluarga senior yang menjadi contoh (panutan). Hasil temuan adalah bahwa para orangtua tidak menjalankan peran utamanya dalam mendidik iman anak karena mereka tidak mengetahui polanya dan tidak mendapatkan pendampingan yang menjadi hak mereka sebagai bekal untuk mendidik iman anak. Untuk itu diperlukan sebuah model yang dapat membantu mereka dalam mendidik iman anak. Temuan dalam model ini adalah adanya keterlibatan dan tanggungjawab otoritas Gereja dalam merencanakan pendampingan, mengimplementasi, memonitor dan mengevaluasi melalui komisi atau seksi terkait. Dengan cara ini keluarga-keluarga katolik akan dapat menjalankan perannya secara baik sebagai pendidik pertama dan utama bagi iman anak sehingga bertumbuh perilaku altruistiknya yang dibuahkan dalam keikhlasan berbagi, solider dan rela berkorban.
KEKERASAN SIMBOLIK DI MIMBAR SABDA: PELECEHAN TERHADAP KELUHURAN LITURGI EKARISTI Yan Yusuf Subu; Donatus Wea
Jurnal Masalah Pastoral Vol 10 No 2 (2022): JUMPA (Jurnal Masalah Pastoral)
Publisher : Sekolah Tinggi Katolik Santo Yakobus Merauke

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menemukan bukti bahwa kekerasan simbolik di mimbar sabda merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap keluhuran liturgi ekaristi. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara yang dibagikan kepada 10 informan yang adalah anggota paroki yang tersebar di dua paroki di kawasan pinggiran kota Merauke (Wendu dan Kuper). Hasil pengolahan data, dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, menunjukkan bahwa kekerasan simbolik kerap dilakukan oleh otoritas Gereja di mimbar sabda, tanpa disadari, dan berdampak pada pelecehan terhadap keluhuran liturgi ekaristi yang merupakan satu kesatuan yang integral yang dimulai dengan ritus pembuka dan berakhir dengan ritus penutup. Apalagi liturgi sabda, yang berpusat di mimbar sabda, merupakan persiapan amat penting untuk masuk ke dalam perayaan misteri keselamatan yang dipuncaki oleh liturgi ekaristi, yang berpusat di atas altar suci. Selain melecehkan keluhuran liturgi ekaristi, kekerasan simbolik oleh otoritas Gereja di mimbar sabda juga membawa dampak terhadap ketidaknyamanan umat secara batiniah ketika mengikuti perayaan ekaristi dan juga terhadap imam itu sendiri sebagai pemimpin perayaan ekaristi. Temuan ini menyadarkan setiap otoritas Gereja untuk menggunakan mimbar sabda sesuai dengan fungsinya yang kudus. Selain itu, imam sebagai peimpin liturgi ekaristi perlu berhati-hati dan bijaksana dalam menggunakan kata-kata untuk menjelaskan sabda Allah kepada umat beriman melalui homili di mimbar sabda supaya dapat dimengerti dan dipraktekkan dalam kehidupan mereka setiap hari.
Sahkah Perkawinan Yang Diteguhkan Oleh Seorang Pendeta Protestan Donatus Wea
Jurnal Masalah Pastoral Vol 2 No 1 (2013): Jurnal Masalah Pastoral (JUMPA)
Publisher : STK St. Yakobus Merauke

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kecenderungan untuk tidak mengikuti dan menerapkan sebagaimana mestinya setiap regulasi tentang perkawinan yang justru menjadi pedoman dan acuan demi validitas perkawinan itu, yang selanjutnya terarah dan bermuara pada bonum comune sebuah komunitas keluarga, semakin menggejala. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyak alasan, misalnya karena kurangnya pemahaman yang tepat dari masing-masing pihak terhadap setiap produk aturan perkawinan, atau dengan tahu dan mau melanggarnya, lantaran tidak ada lagi jalan alternatif yang dapat dipilih untuk keluar dari permasalahan yang dihadapi. Salah satu bentuk pelanggaran, yang tidak lagi disebut kasuistik, adalah peneguhan perkawinan oleh pendeta di gereja protestan, khususnya perkawinan campur beda Gereja. Seluhur dan sewajar apapun alasan yang dikemukakan oleh pasangan, bahkan sekalipun dalam situasi darurat bahaya mati, tidak dapat membuat sah perkawinan yang diteguhkan itu, jika tidak mendapat dispensasi dari otoritas gerejawi yang berwenang, sebagaimana diatur dalam norma kan. 1078–1080 (dalam situasi normal adalah wewenang uskup diosesan, dan dalam situasi luar biasa dapat diberikan oleh pastor paroki, para imam dan diakon yang mendapat delegasi dan bapak pengakuan). Bentuk peneguhan perkawinan yang iregulir ini (karena cacat forma) bertentangan dengan ketentuan normatif yang diatur dalam kan. 1108, yang menetapkan bahwa perkawinan dikatakan valid jika diteguhkan di hadapan petugas resmi Gereja dan dua orang saksi. Di luar dari ketentuan forma canonica (dalam arti menggunakan forma yang lain), yang didukung dengan tidak adanya dispensasi, perkawinan yang telah diteguhkan itu menjadi tidak sah sejak awal. Menghadapi fakta invaliditas perkawinan para anggotanya, Gereja tidak tinggal diam. Solusi yuridis, yang membantu pasangan untuk kembali ke rel aturan yang sebenarnya, diberikan oleh Gereja yakni pengesahan perkawinan dengan penyembuhan pada akar (sanatio in radice). Hal ini didasari oleh jiwa dari setiap produk hukum yang diterapkan dalam Gereja yakni kasih yang diejawantahkan dalam tujuan setiap produk hukum Gereja yakni keselamatann jiwa-jiwa.
Pemakaman Gerejawi: Penghormatan Terhadap Keluhuran Tubuh Manusia (Kan. 1176 – 1185) Donatus Wea
Jurnal Masalah Pastoral Vol 3 No 1 (2014): Jurnal Masalah Pastoral (JUMPA)
Publisher : STK St. Yakobus Merauke

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mengapa seseorang yang sudah dibaptis menjadi katolik, dan kemudian dengan alasan yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan memeluk agama lain, tidak dapat dilayani pemakaman secara katolik, padahal mayoritas anggota keluarganya beragama katolik? Mengapa Gereja katolik tidak melayani penguburan jenazah yang bukan katolik secara gerejawi atas permintaan keluarga yang katolik; bukankah keluarga yang katolik berhak untuk dilayani permintaannya, karena mereka adalah juga anggota jemaat? Mengapa Gereja katolik tidak mengizinkan misa requiem bagi anggotanya yang meninggal karena bunuh diri, padahal semasa hidupnya si meninggal tersebut sungguh-sungguh memberi kesaksian sebagai orang katolik yang baik? Itulah sederetan pertanyaan, yang dilontarkan oleh orang katolik sendiri, perihal kebijakan Gereja katolik terhadap pemakaman para anggotanya. Pertanyaan-pertanyaan itu ada yang bertujuan untuk mendapat kejelasan informasi seputar pemakaman gerejawi (karena memang tidak semua umat katolik memahami dengan baik hal ikhwal yang berkaitan dengan pemakaman gerejawi), ada juga yang mengekspresikan ketidakpuasan, kekecewaan dan kritik atas aturan yang ditetapkan oleh otoritas Gereja katolik, yang oleh sebagian kalangan dinilai terlalu kaku, legalistis dan ketinggalan zaman. Pertanyaan-pertanyaan dengan modus yang bervariasi itu perlu ditanggapi dan disikapi oleh otoritas Gereja dengan berpijak pada aturan-aturan baku yang berlaku resmi di dalam Gereja. Tulisan sederhana ini mencoba mengklarifikasi secara yuridis, apa yang menjadi perdebatan dan pergumulan di kalangan umat bahkan jika tidak diarahkan secara benar dapat menimbulkan ambiguitas bagi umat katolik sendiri, baik menyangkut aturan-aturan maupun praksis pastoralnya.
Program Sm3t Dan Ppg Sebagai Persyaratan Bagi Para Calon Guru Untuk Mengikuti Rekrutmen Dan Seleksi Sebagai Pegawai Negeri Sipil Di Indonesia Donatus Wea
Jurnal Masalah Pastoral Vol 4 No 1 (2016): Jurnal Masalah Pastoral (JUMPA)
Publisher : STK St. Yakobus Merauke

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Setiap negara memiliki regulasi tersendiri dalam merekrut dan menyeleksi para calon guru untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil PNS. Demikian halnya dengan Indonesia. Selama sekian tahun (mulai dari masa orde lama hingga reformasi) Indonesia menerima para calon guru untuk menjadi pegawai negeri sipil melalui proses rekrutmen dan seleksi yang kurang ketat dan ada yang mengabaikan aturan baku yang berlaku, sehingga masih dijumpai guru-guru yang berstatus PNS yang kurang berkualitas di sekolah-sekolah, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pada jenjang pendidikan menegah atas. Kondisi ini membawa dampak yang lebih lanjut terhadap kualitas pengetahuan yang harus dimiliki oleh para peserta didik dan prestasi belajar mereka. Realitas ini mendorong pemerintah melalui instansi dan pejabat yang terkait untuk menemukan suatu model persiapan sebelum para calon guru mengikuti proses rekrutmen dan seleksi untuk menjadi PNS. Adapun model yang sudah disosialisasikan dan diterapkan selama beberapa tahun terakhir ini di bawah koordinasi kementerian pendidikan dan kebudayaan dan hasilnya cukup signifikan adalah dalam bentuk suatu program yang disebut program SM3T dan PPG. Program SM3T dan PPG menjadi persyaratan bagi para calon guru untuk mengikuti rekrutmen dan seleksi sebagai PNS.
Sinode Para Uskup Dan Sagki Tentang Keluarga Dan Implikasinya Bagi Pastoral Anulasi Perkawinan Donatus Wea
Jurnal Masalah Pastoral Vol 4 No 2 (2016): Jurnal Masalah Pastoral (JUMPA)
Publisher : STK St. Yakobus Merauke

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prosentase keluarga yang hidup dalam ikatan perkawinan baru yang irregular, karena masih ada ikatan perkawinan yang terdahulu, semakin meningkat. Menghadapi realitas yang ada Gereja tidak tinggal diam. Sebaliknya Gereja menawarkan berbagai solusi mulai dari pendampingan secara rohani melalui pastoral keluarga hingga pada upaya pembatalan perkawinan terdahulu melalui proses yudisial, agar ikatan perkawinan irregular yang tengah dijalani oleh para pasangan dengan berbagai alasan yang masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan, bisa disahkan. Wujud nyata keterlibatan dan tanggungjawab Gereja terhadap permasalahan perkawinan yang melanda keluarga-keluarga katolik adalah dengan mengadakan sinode luara biasa dan sinode biasa di Roma (tahun 2014 dan 2015), di bawah pimpinan Paus Fransiskus dengan tema tentang keluarga. Hasil pergumulan para bapak sinode menjadi masukan yang sangat berarti bagi Paus Fransiskus untuk melakukan amandemen terhadap beberapa kanon dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 tentang proses anulasi perkawinan dalam Motu Proprio Mitis Iudex Dominus Iesus. Motu proprio ini menjadi salah satu solusi untuk membantu para pasangan yang hidup dalam ikatan perkawinan saat ini secara irregular (kohabitasi), yakni melakukan anulasi atas perkawinan mereka yang terdahulu melalui proses yang lebih sederhana dan singkat, tapi tetap didasarkan atas prinisp keadilan, keyakinan moral dan sesuai dengan aturan serta tuntuan hukum yang berlaku. Pastoral anulasi perkawinan menjadi salah satu fokus perhatian yang harus dijalani dengan serius oleh para fungsionaris tribunal demi membantu membebaskan dan menyelamatkan keluarga-keluarga yang telah sekian lama terbelenggu oleh masalah perkawinan mereka.