Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

PENYIAPAN LAHAN TANPA BAKAR (ZERO BURNING) DALAM PEREMAJAAN TANAMAN KARET DI PERKEBUNAN KOMERSIAL Nugroho, Priyo Adi
Perkebunan dan Lahan Tropika Vol 2, No 2 (2012): PERKEBUNAN DAN LAHAN TROPIKA
Publisher : Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (325.358 KB) | DOI: 10.26418/plt.v2i2.3506

Abstract

Ramalan harga karet alam dunia yang masih akan tetap baik hingga tahun 2025 menyebabkan usaha agribisnis perkebunan karet di Indonesia masih sangat menjanjikan dalam beberapa tahun ke depan. Pada perkebunan yang sudah established umumnya laju peremajaan (replanting) adalah sebesar 5-10% per tahun. Pada tahap penyiapan lahan dalam peremajaan dilakukan secara mekanis disertai pembakaran yang bertujuan untuk mengurangi sumber inokulan penyakit jamur akar putih (JAP). Sejak diterbitkannya UU Perkebunan No. 18 tahun 2004, mau tidak mau perkebunan komersial harus mulai berfikir untuk beralih ke teknik penyiapan lahan tanpa pembakaran (zero burning), walaupun hal tesebut bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Zero burning di satu sisi memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah ramah lingkungan, namun di sisi lain zero burning memliliki beberapa kelemahan yaitu sisa hasil tebangan sangat berpotensi menjadi inokulan penyakit JAP, pelapukan sisa hasil tebangan yang cukup lama dan menyulitkan dalam pengerjaan pengolahan tanah. Namun demikian beberapa perkebunan di Sumatera Utara telah beralih ke penyiapan lahan zero burning yang diikuti dengan perlakuan-perlakuan tertentu pada sisa hasil tebangan. Dukungan riset yang memadai masih sangat diperlukan agar jangan sampai penerapan zero burning justru menciptakan masalah baru bagi perkebunan. Terdapat dua upaya alternatif dalam memecahkan permasalahan sisa hasil tebangan dalam penyiapan lahan zero burning yaitu ; (1). Mempercepat dekomposisi sisa hasil tebangan, melalui reduksi ukuran sisa hasil tebangan menggunakan alat perajang dan dengan menginokulasikan mikroorganisme pelapuk yang efektif, (2). Meningkatkan nilai tambah sisa hasil tebangan menjadi sumber energi (briket arang dan gas bakar), sebagai bahan pengawet, penghilang bau malodor serta koagulan lateks (asap cair), yang secara tidak langsung akan menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar perkebunan terutama dalam produksi briket arang dan asap cair. Kata kunci :Hevea brasiliensis, penyiapan lahan, replanting, zero burning,
PENILAIAN BEBERAPA SISTEM EVALUASI LAHAN YANG TELAH EKSISTING UNTUK TANAMAN KARET Nugroho, Priyo Adi; Istianto, Istianto
Jurnal Penelitian Karet JPK : Volume 31, Nomor 2, Tahun 2013
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22302/ppk.jpk.v31i2.136

Abstract

Keberhasilan pengembangan agribisnis karet ditentukan oleh persyaratan teknis yaitu kesesuaian lahan yang sangat dibutuhkan sebelum pengambilan keputusan. Beberapa sistem evaluasi lahan telah dikembangkan Pusat Penelitian Karet diantaranya oleh Pangudijatno tahun 1983 (GP), Sugiyanto tahun 1987 (SG), Sugiyanto et al. tahun 1998 (SE) dan Thomas tahun 2008 (TW). Penelitian ini membandingkan beberapa sistem evaluasi lahan berdasarkan data sekunder dari Pusat Penelitian Karet pada delapan lokasi di seluruh Indonesia. System yang dibandingkan terdiri dari lima system empat diantaranya yang dikembangan oleh Pusat Penelitian Karet dan satu dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat yang dikembangkan pada tahun 1997 (PT). Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa PT vs. GP dan PT vs. TW menunjukkan korelasi sedang dengan nilai koefisien 0.27 dan 0.44. Korelasi yang kuat terjadi pada PT vs. SG, PT vs. SE, GP vs. SE, GP vs. TW and SE vs. SG dengan koefisien korelasi berturut-turut 0.54, 0.63,0.63, 0.72 dan 0.73. Uji korelasi antara SG vs. GP, TW vs. SG dan TW vs. SE menunjukkan korelasi yang sangat kuat dengan nilai koefisien 0.76, 0.77 dan 0.82. Dari seluruh uji korelasi antar beberapa sistem tersebut hanya uji korelasi GP vs SG, SG vs TW dan SE vs TW yang menunjukkan hasil yang signifikan (P < 5%). Diterima : 29 April 2013; Disetujui : 5 September 2013  How to Cite : Nugroho, P., & Istianto. (2013). Penilaian beberapa sistem evaluasi lahan yang telah eksisting untuk tanaman karet. Jurnal Penelitian Karet, 31(2), 88-101. Retrieved from http://ejournal.puslitkaret.co.id/index.php/jpk/article/view/136
PEMBANGUNAN RORAK DAN APLIKASI TANKOS DI AREAL PERKEBUNAN KARET (THE STUDY OF SILT PITS ESTABLISHMENT AND EMPTY FRUIT BUNCH APPLICATION IN RUBBER PLANTATION) Priyo Adi Nugroho
Inovasi Vol 14 No 2 (2017): Jurnal Inovasi Oktober 2017
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (413.878 KB)

Abstract

Rubber tree (Hevea brasiliensis) is almost widely distributed throughout Indonesia which has varieties in soil and climate. Hence the modifications of rubber cultivation technique occur for adapting to the varieties of location. In low rainfall area water conservation become important to meet the plant water requirement during the dry season. Otherwise in high rainfall and hilly area, soil conservation is the main focus in order to reduce the declining of soil fertility. Silt pit or infiltration pit is a common conservation practice in perennial crop plantation area in Indonesia. Several studies reported that silt pit improved soil water capacity and delayed soil dryness for 3.5 months. Silt pit shortened the length of slope thus, the surface run-off decreased until 23.3% which in turn the depletion potency of land quality by soil degradation could be avoided. The effectivity of fertilizer that is applied on pit becomes more efficient so that give the positive impact on girth increment and rubber yield. In order to optimize the effect for the tree, silt pit can be combined with plantation waste i.e. empty fruit bunch (EFB). Numerous researchers said that EFB recommended to be applied in plantation area due to its advantage on improving the soil characteristics and raising the rubber root volume. Whether both silt pit and EFB application will be established in rubber plantation, EFB can be placed on pit bed (1-2 layer), with a notification that silt pit size should be deepened. Technically the more of number of pits the better (>150 pits/ha) for run-off and soil erosion reduction. However, it will be better if the number of pits that will be established considering the planter’s financial and the situation of specific location. The role of related technical bureau, extension officer, research institute and university is also necessary for getting the best result. Keywords: Hevea brasiliensis, infiltration pits, empty fruit bunch, erosion
PERFORMA TANAMAN KARET DI LAHAN GAMBUT KONVERSI DARI TANAMAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KAMPAR, RIAU Nugroho, Priyo Adi; Junaidi, Junaidi
Jurnal Penelitian Karet JPK : Volume 37, Nomor 1, Tahun 2019
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22302/ppk.jpk.v37i1.627

Abstract

Pengembangan tanaman karet di lahan gambut dalam skala luas masih jarang di Indonesia. Pengusahaan karet di lahan gambut umumnya dilakukan oleh milik petani dalam skala kecil. Evaluasi performa tanaman karet yang di tanam di lahan gambut telah dilakukan di salah satu perkebunan karet skala komersial di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Evaluasi performa tanaman meliputi (1) Kecukupan hara daun yang dilakukan pada areal TBM 3, TBM 6, dan TM 1, (2) Pertumbuhan tanaman (pada areal TBM 6) dan, (3) Produktivitas tanaman pada TM 1. Hasil analisis daun menunjukkan kadar hara N, P, dan K di areal penelitian tergolong rendah sedangkan Mg tergolong sangat tinggi. Kadar hara N berkisar 2,24 - 2,37%, hara P, K, dan Mg masing - masing berkisar 0,16 - 0,18% , 0,62 - 0,75%, dan 0,40 - 0,60%. Pola status hara hasil analisis daun memperlihatkan pola yang serupa dengan ketersediaan hara tanah gambut di lokasi penelitian. Keseragaman dan pertumbuhan tanaman pada TBM 6 sangat bervariasi (CV=17,88-42,61%) sebagai akibat tingginya persentase tanaman sisipan. Produktivitas awal tanaman menunjukkan rata-rata 25,38 + 6,76 g/p/s, tidak berbeda nyata dibanding produktivitas awal tanaman di lahan mineral (p = 0,4938). Lahan gambut cukup potensial dikembangkan menjadi perkebunan karet jika tata kelola air dan teknis budidaya dilakukan secara baik dan benar serta tersedianya bahan tanam sisipan yang cukup.
KAJIAN PENGGUNAAN MIKROORGANISME TANAH UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI PEMUPUKAN PADA TANAMAN KARET Yan Riska Venata Sembiring; Priyo Adi Nugroho; Istianto Istianto
Warta Perkaretan Vol. 32 No. 1 (2013): Volume 32, Nomor 1, Tahun 2013
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.525 KB) | DOI: 10.22302/ppk.wp.v32i1.31

Abstract

Tanah perkebunan yang umumnya miskin hara menyebabkan pentingnya penambahan hara dari luar melalui pemupukan. Ketersediaan pemupukan kimia yang terbatas seringkali menjadi kendala dalam kegiatan pemupukan. Penggunaan pupuk kimia yang berkelanjutan juga dapat menurunkan kesuburan biologi tanah. Mikroorganisme tanah memiliki peranan penting dalam penyediaan kebutuhan hara tanah. Namun pemanfaatan mikroorganisme tanah ini belum banyak digunakan untuk mendukung perkebunan karet khususnya dalam penyediaan kebutuhan hara dan efisiensi dalam pemupukan. Beberapa mikroroganisme yang memiliki kemampuan adalah mikroorgnaisme penambat nitrogen, pelarut fosfor (P), bakteri endofitik, mikoriza, dan mikroorganisme pemantap agregat. Berbagai jenis mikroorganisme yang menguntungkan bagi tanaman ini dapat dikemas sebagai salah satu pilar nutrisi tanaman melalui pupuk hayati.
DINAMIKA HARA KALIUM DAN PENGELOLAANNYA DI PERKEBUNAN KARET Priyo Adi Nugroho
Warta Perkaretan Vol. 34 No. 2 (2015): volume 34, Nomor 2, Tahun 2015
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (797.274 KB) | DOI: 10.22302/ppk.wp.v34i2.260

Abstract

Kalium merupakan salah satu hara penting pada tanaman karet. Defisiensi kalium akan menyebabkan lemahnya jaringan batang dan kerusakan tanaman oleh bakteri, jamur, serangga, nematoda dan virus. Kalium berperan dalam regenerasi kulit pada bidang sadap, kestabilan lateks, mengatur keseimbangan magnesium (Mg) dan meningkatkan produksi. Dalam kaitannya dengan kekeringan, aktivitas stomata dan laju transpirasi tanaman karet dengan kalium yang cukup akan menurun seiring dengan meningkatnya stres kelembaban tanah. Kalium juga berperan dalam meningkatkan ketahanan terhadap penyakit. Kalium dalam ekosistem kebun karet merupakan suatu daur/siklus yang terbuka. Sumber hara utama kalium adalah pelarutan mineral, dekomposisi bahan organik, air hujan, pencucian kanopi dan pemupukan. Hara kalium yang berada di dalam tanah sebagian terimmobilisasi di dalam jaringan tanaman karet dalam bentuk kayu maupun diserap oleh tanaman kacangan penutup tanah (LCC). Erosi dan pemanenan merupakan penyebab utama kehilangan hara. Di Indonesia tanaman karet umumnya dibudidayakan pada tanah-tanah masam terutama yang tergolong ke dalam ordo Inceptisol, Ultisol dan Oxisol.Secara inheren tanah tersebut memiliki tingkat kesuburan tanah yang kurang baik termasuk kandungan Kalium yang rendah. Beberapa teknologi telah diterapkan oleh pekebun karet dalam mengelola kesuburan tanah yaitu melalui pemupukan kalium, penggunaan zat aditif (slow release agent) untuk efektifitas pemupukan, pengolahan tanah dan penanaman LCC sebagai bahan organik dan pencegah erosi.
APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) PADA PERKEBUNAN KARET Priyo Adi Nugroho
Warta Perkaretan Vol. 31 No. 1 (2012): Volume 31, Nomor 1, Tahun 2012
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1243.211 KB) | DOI: 10.22302/ppk.wp.v31i1.264

Abstract

Sistem informasi Geografis (SIG) merupakan suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografi  dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografi. Teknologi SIG memungkinkan dukungan kegiatan bidang perkebunan karet secara efektif dan efisien. Terdapat beberapa keunggulan pada teknik penginderaan jauh antara lain (1) perekaman berulang, (2) faktual, dan (3) format berbentuk digital. Melihat penggunaannya di bidang lain yang cukup luas, maka pada bidang perkebunan karet berpeluang untuk diaplikasikan,antara lain untuk keperluan digitalisasi peta analog, penentuan luasan areal hiaten, penentuan tindakan kultur teknis pada berbagai kondisi topografi dan penapisan sebaran Penyakit Jamur Akar Putih (JAP)  dan status hara daun.
POTENSI PENGEMBANGAN KARET MELALUI PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Priyo Adi Nugroho
Warta Perkaretan Vol. 31 No. 2 (2012): Volume 31, Nomor 2, Tahun 2012
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (890.676 KB) | DOI: 10.22302/ppk.wp.v31i2.271

Abstract

Tingginya minat investor untuk mengusahakan komoditas karet tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan di wilayah tradisional karet. Selain di areal HGU, pengusahaan tanaman karet berpeluang untuk dilakukan pada areal-areal dengan status kawasan hutan yang diakomodasi dalam Hutan Tanaman Industri (HTI). Sebagai salah satu tanaman kehutanan, karet mempunyai keunggulan di antaranya sebagai penghasil kayu, penambat CO2 dan penghasil O2, serta sebagai tanaman konservasi. Selain itu, pengembangan perkebunan karet pada areal-areal HTI yang berhimpitan dengan pemukiman masyarakat juga dapat dijadikan alternatif untuk mencegah konflik  antara perusahaan dengan masyarakat sekitar. Namun demikian untuk pengembangan agribisnis karet di areal HTI perlu dipertimbangkan beberapa hal terutama terkait dengan kelayakan lahan yang akan diusahakan, kesesuaian klon yang akan digunakan dan kultur teknis yang diterapkan, serta ketersediaan tenaga kerja setempat.
KARATERISTIK TANAH SALIN DENGAN PEMBERIAN BOKASHI DAN KESESUAIANNYA UNTUK MEDIA TANAM Priyo Adi Nugroho; Sakiah Sakiah; Ingrid SITOMPUL
Jurnal Penelitian Karet JPK : Volume 39, Nomor 1, Tahun 2021
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22302/ppk.jpk.v39i1.777

Abstract

Pengembangan usaha agribisnis perkebunan saat ini mengarah ke lahan-lahan sub optimal. Keterbatasan topsoil dalam penyiapan bibit polibeg merupakan salah satu konsekuensinya. Penggunaan tanah salin sebagai media pengisi polibeg di lahan pasang surut tidak terlepas dari permasalahan salinitas/DHL dan pH yang alkalis. Penelitian pengaruh aplikasi 3 taraf dosis bokashi limbah kelapa sawit (200, 400, 600 g) dan masa inkubasi (1, 2, 3 bulan) pada media tanam tanah salin telah dilakukan di kampus ITSI, Medan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh kedua faktor tersebut terhadap konsentrasi N, P, Na, Cl, pH, dan DHL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi dosis bokashi secara signifikan memengaruhi perubahan konsentrasi natrium (p-value < 0,01) dan DHL (p-value < 0,05). Kandungan N dan P yang cukup tinggi pada bokashi tidak berbanding lurus dengan kandungan N dan P pada tanah dengan perlakuan bokashi. Menurunnya kinerja mikroorganisme karena kondisi lingkungan yang salin diduga menjadi penyebab melambatnya proses dekomposisi bokashi dan mineralisasi N dan P. Terdapat korelasi yang signifikan antara N dan P (r = 0,69, p-value < 0,01) yang membuktikan bahwa konsentrasi kedua hara tersebut erat kaitannya dengan performa mikroorganisme. Namun demikian, perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini belum dapat memodifikasi kandungan hara N dan P agar sesuai untuk pembibitan karet dan kelapa sawit.