Henny Saida Flora
Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP IMIGRAN ILLEGAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN Henny Saida Flora
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 1 Nomor 1
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (925.391 KB) | DOI: 10.54367/fiat.v1i1.904

Abstract

Law Enforcement is essentially the upholding of ideas or concepts as well as an effort to realize the ideas of people's expectations to become reality. Law enforcement against criminal acts of abuse of residence permit in the immigration environment is carried out by the Civil Servant Investigator. In enforcing the law against perpetrators of misuse of residence permits, Civil Servants of immigration can coordinate with domestic law enforcement agencies, namely the Indonesian National Police, prosecutors and judges. The reality in the field often results in problems in the criminal investigation process carried out by the National Police and Civil Servant Investigators (PPNS) always experiencing ups and downs. The ups and downs can take the form of an incomplete investigation or an incomplete investigation such as the completion of a filing. Many cases of abuse of residence permit only go to the stage of administrative action. Enforcement of criminal law against illegal immigrants entering and entering Indonesian territory without going through immigration checks, namely that in resolving cases or law enforcement criminal acts against illegal immigrants entering and entering Indonesian territory are carried out in two ways namely administrative immigration actions (outside the criminal justice system) and actions projustitia (justice process) included in the criminal justice system (Criminal Justice System).
FUNGSI STATISTIK KRIMINAL DALAMPENANGGULANGAN KEJAHATAN Henny Saida Flora
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 1 Nomor 2
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (11288.588 KB) | DOI: 10.54367/fiat.v1i2.1151

Abstract

Pada dasarnya statistik kriminal  disusun berdasarkan kriminalitas yang tercatat, kriminalitas ini terdiri dari kejahatan-kejahatan yang sampai kepada petugas-petugas yang berwenang, baik karena laporan masyarakat maupun karena diketahui dalam patroli polisi, dan kemudian dicatat oleh petugas-petugas tersebut. Arti statistik kriminal ini tidak hanya sekedar angka melainkan sebuah makna yang sangat mendalam, bahwa kejahatan dapat diprediksikan.  Statistik kriminal adalah data tentang kriminalitas yang disusun menurut bentuk kejahatan, frekuensi kejadian dari masing-masing bentuk kejahatan, wilayah kejadian dan tahun kejadian. Statistik kriminal dihasilkan melalui interaksi antara masyarakat (korban) yang melapor, petugas polisi yang menerima laporan, petugas polisi yang ada di lapangan dalam kegiatan mencari penjahat. Hasil akhir dari penggunaan keleluasaan oleh mereka tersebut adalah statistik kriminal atau secara umum dapat dikatakan sebagai gambaran dari kejahatan dan penjahat untuk suatu daerah atau masyarakat tertentu. 
PEMBINAAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI PEMBEBASAN BERSYARAT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PEMASYARAKATAN Henny Saida Flora
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 2 Nomor 1
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (162.02 KB) | DOI: 10.54367/fiat.v2i1.1424

Abstract

Pembebasan Bersyarat merupakan salah satu bentuk pembinaan untuk warga binaan Pemasyarakatan yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidana yang telah dijalankan. Maksud dari pembebasan bersyarat adalah sebagai salah satu upaya untuk memulihkan hubungan warga binaan pemasyarakatan dengan masyarakat dan memperoleh serta meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam menyelenggarakan pemasyarakatan. Adanya model pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi warga binaan pemasyarakatan yang menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara warga binaan pemasyarakatan dengan masyarakat selanjutnya pembinaan warga binaan pemasyarakatan diharapkan agar warga binaan pemasyarakatan mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya
KEWENANGAN PERADILAN MILITER DALAM PENYELESAIAN PERKARA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA Henny Saida Flora
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 2 Nomor 2 Tahun 2022
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (360.023 KB) | DOI: 10.54367/fiat.v2i2.1766

Abstract

Kewenangan Pengadilan Militer untuk mengadili anggota Tentara Nasional Indonesa yang melakukan tindak pidana sangatlah terbatas sesuai dengan Pasal 40 Undang-Undang No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Proses Penyelesaian perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia dalam prakteknya harus mendapat surat perintah/tugas dari pimpinan karena tanpa adanya surat perintah ini maka penyidikan menjadi tidak sah. Kewenangan peradilan militer dalam persidangan perkara penyalahgunaan narkotika oleh anggota Tentara Nasional Indonesia dimana hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika mempertimbangkan jumlah barang bukti dan mempertimbangkan kualitas (golongan dari narkotika) dari barang bukti yang dimiliki oleh terdakwa tindak pidana narkotika. Adapun kewenangan hakim mengenai kualitas barang bukti dalam kasus narkotika baik lingkup peradilan umum dan militer sangat berpengaruh dalam penentuan penjatuhan pidana, karena kualitas barang bukti menentukan pasal yang akan diterapkan dan sanksi yang akan dijatuhkan kepada terdakwa
MODUS OPERANDI TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA SOSIAL ONLINE Henny Saida Flora
Journal Justiciabelen (JJ) Vol 2, No 02 (2022): July
Publisher : Univeristas Suryakancana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35194/jj.v2i2.2115

Abstract

ABSTRAK Prostitusi online adalah pembaharuan dari tindak pidana prostitusi konvensional. Jika prostitusi konvensional hanya menggunakan sarana satu tempat, satu bangunan untuk menjalankan bisnis haramnya. Sebaliknya, prostitusi online hanya menggunakan sarana teknologi, internet yang mempermudah calon pengguna dengan pria/wanita penjaja seks komersial (PSK) ataupun antara calon pengguna dengan muncikari, perantara jasa PSK. Faktor penyebab terjadinya prostitusi online yaitu faktor internal berupa faktor dari keluarga dan pergaulan pertemanan dan  Faktor eksternal berupa menghindari pelacakan petugas dan faktor ekonomi untuk memperoleh uang dalam jumlah banyak tapi cepat. Modus yang digunakan ialah menggunakan sarana pertukaran informasi elektronik, pertukaran foto, video hingga akhirnya bertemu di satu tempat untuk melakukan hubungan intim dan melakukan pembayaran atas jasa tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif  dan  menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan fenomena hukum, prostitusi online sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.ABSTRACTOnline prostitution is a renewal of conventional prostitution. If conventional prostitution only uses one place, one building to run its illegitimate business. On the other hand, online prostitution only uses technological means, the internet which makes it easier for potential users and male/female commercial sex workers or between potential users and pimps, intermediaries for prostitution services. Factors causing online prostitution are internal factors in the form of factors from family and friendships and external factors in the form of avoiding tracking officers and economic factors to get large amounts of money quickly. The mode used is to use electronic information exchange facilities, exchange photos, and videos and finally meet in one place to have sex and make payments for these services. The method used in this research is normative juridical and analyzes the applicable laws and regulations regarding the legal phenomenon, of online prostitution as regulated in Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions. 
AKIBAT HUKUM BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG MENGHALANGI PENANGGULANGAN WABAH PADA PEMAKAMAN JENAZAH COVID -19 Henny Saida Flora
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 3 Nomor 1 Tahun 2022
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.087 KB)

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi serta untuk mengetahui upaya dalam mempertahankan hak konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan metode penelitian normatif-empiris dengan fokus pada pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif pada penyelesaian sengketa konsumen. Data atau keterangan diperoleh dari BPSK Medan. berupa catatan-catatan dan keterangan tentang penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK Kota Medan berbeda dengan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1989 tentang Perlindungan Konsumen dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/ MPP/ Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK. Sengketa diselesaikan oleh para pihak dengan didampingi oleh majelis konsiliator yang ditunjuk oleh pimpinan BPSK. Setelah para pihak memperoleh kesepakatan, kemudian dilaporkan ke BPSK yang selanjutnya dituangkan dalam perjanjian perdamaian yang akan dikuatkan dengan Putusan BPSK. Kenyataannya sengketa konsumen diselesaikan oleh para pihak di luar BPSK setelah BPSK menyelenggarakan pertemuan pertama, dan selanjutnya penyelesaian akhir tidak dilaporkan sehingga BPSK tidak dapat membuat keputusan untuk memperkuat perdamaian yang dicapai oleh para pihak.
Restorative Justice in the New Criminal Code in Indonesia: A Prophetic Legal Study Henny Saida Flora
Rechtsidee Vol 11 (2022): December
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21070/jihr.v11i0.836

Abstract

The existence of Law No. 1 of 2023 concerning the Criminal Code (UU KUHP) as the new Criminal Code (KUHP) in Indonesia seeks to apply the legal ideals of Restorative justice is one of the concepts substantively constructed in the newly ratified Criminal Code. This study aims to analyze the existence and implications of restorative justice after ratifying the Draft Criminal Code (RKHUP) as a law. This research is normative legal research with statutory and conceptual approaches. The results of the study confirm that the existence of the concept of restorative justice from a prophetic law perspective fulfills the three fundamental values of prophetic law, namely: divinity, humanity, and justice. So, that the application of restorative justice in a prophetic law perspective strengthens the substance of the legal state of Indonesia as a nation-state based on the Godhead. Almighty. The implications of restorative justice after the ratification of the RKUHP became the Criminal Code Law in the perspective of prophetic law; that is, the substance of restorative justice has been facilitated in the Criminal Code Law and is spread across various articles. One of the affirmations in the Criminal Code Law is that punishment must not demean human dignity, which means protecting human dignity is God's commandment and a person who ignores the dignity of fellow human beings is a person who transgresses limits. Thus, who can conclude that the substance of restorative justice facilitated in the Criminal Code Act is relevant to prophetic law.
PERLINDUNGAN HAK PASIEN SEBAGAI KONSUMEN DALAM PELAYANAN KESEHATAN DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Henny Saida Flora
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 3 Nomor 2 Tahun 2023
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54367/fiat.v3i2.2531

Abstract

Setiap orang harus mengetahui hak dan kewajiban perlindungan konsumen dalam layanan kesehatan. Pasien selaku konsumen perlu mengetahui segala sesuatu yang berkenaan dengan hal perlindungan pasien demi menjamin kesehatan dirinya sendiri. Di dalam praktik kedokteran, dokter memberikan jasa upaya untuk mengobati dan merawat pasien, bukan menjanjikan hasil pengobatan atas kondisi yang diderita pasien. Oleh karena itu, pasien dan keluarga harus paham bahwa praktik kedokteran adalah pelayanan jasa dalam upaya dokter untuk memberikan pengobatan dan perawatan sesuai kebutuhan pasien, bukan terpaku pada hasil akhir dari pelayanan yang didapat. Perlindungan konsumen kepada pasien juga mencakup hak pasien untuk mendapatkan layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional yang telah ditentukan pemerintah. Hak lain pada pasien yang dijamin oleh undang-undang adalah mendapatkan layanan yang efektif dan efisien sehingga terhindar dari kerugian fisik, emosional, dan materi.Pasien juga berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginan mereka, namun dengan tetap harus mengikuti peraturan yang berlaku di rumah sakit.
Eksistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Pasca Disahkannya Undang-Undang Penetapan Perpu Cipta Kerja Yohanes Suhardin; Henny Saida Flora
JURNAL USM LAW REVIEW Vol 6, No 1 (2023): APRIL
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v6i1.6307

Abstract

This study aims at analyzing the existence of Constitutional Court Ruling No. 91/PUU-XVIII/2020 (Job Creation MK Decision) after Law No. 6 of 2023 concerning Job Creation. This research is a normative legal research by prioritizing case approaches, concepts, and legislation. The results of the study confirmed that the existence of the Job Creation MK Decision after the passage of the Job Creation Law was as if the Job Creation MK Decision was between "there and not". It is said that there is because it is used as a juridical basis in the Job Creation Law, however substantively the Decision of the Job Creation MK, especially the constitutional order to substantively improve the Job Creation Law by involving meaningful community participation, has not been implemented. Because, the government (in this case the President) actually uses the Job Creation Law instrument which substantively denies the Job Creation MK Decision. The legal implications of the Job Creation MK Decision after the Job Creation Law was passed is that the Job Creation Law has actually violated the substance of the Job Creation MK Decision. It can be seen that the Job Creation MK Decision orients the reformulation of the Job Creation Law through meaningful participation involving all components of society. The existence of disobedience to the Job Creation Law against the Decision of the Job Creation MK has the potential to cause a phenomenon of disregard for the constitution (constitutional disobedience). Therefore, in the future it is necessary to formulate the forms and types of sanctions against the Constitutional Court's Decision and also be oriented to the Constitutional Court being able to review a Law or UU that contradicts the Constitutional Court's Decision. Penelitian ini bertujuan pada analisis atas eksistensi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK Cipta Kerja) pasca disahkannya UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan mengedepankan pendekatan kasus, konsep, dan perundang-undangan. Hasil penelitian menegaskan bahwa eksistensi Putusan MK Cipta Kerja pasca disahkannya UU Cipta Kerja seolah-olah Putusan MK Cipta Kerja adalah antara “ada dan tiada”. Dikatakan ada karena dijadikan landasan yuridis dalam UU Cipta Kerja akan tetapi secara substantif Putusan MK Cipta Kerja khususnya perintah konstitusional untuk memperbaiki UU Cipta Kerja secara substantif dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna, justru tidak dilaksanakan. Pemerintah (dalam hal ini Presiden) justru menggunakan instrumen UU Cipta Kerja yang secara substantif mengingkari Putusan MK Cipta Kerja. Implikasi hukum Putusan MK Cipta Kerja pasca disahkannya UU Cipta Kerja adalah bahwa UU Cipta Kerja sejatinya telah melanggar substansi dari Putusan MK Cipta Kerja. Hal ini dapat dilihat bahwa Putusan MK Cipta Kerja mengorientasikan perumusan ulang UU Cipta Kerja melalui partisipasi yang bermakna dengan melibatkan segenap komponen masyarakat. Adanya ketidaktaatan UU Cipta Kerja terhadap Putusan MK Cipta Kerja berpotensi membuat adanya fenomena pengabaian terhadap konstitusi (constitutional disobedience). Oleh karena itu, ke depan perlu diformulasikan bentuk dan jenis sanksi terhadap Putusan MK serta diorientasikan pula MK dapat melakukan pengujian terhadap suatu undang-undang atau UU yang bertentangan dengan Putusan MK.   
Keadilan Restoratif dalam Melindungi Hak Korban Tindak Pidana Cyber: Manifestasi dan Implementasi Henny Saida Flora; Tiromsi Sitanggang; Berlian Simarmata; Ica Karina
Jurnal Ius Constituendum Vol 8, No 2 (2023): JUNE
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/jic.v8i2.6365

Abstract

The purpose of this study is to analyze the application of restorative justice in cyber crime, especially for victims of cyber crime. This research is a normative legal research with a concept and statutory approach. The results of the study confirm that the manifestation of protecting the rights of victims of restorative justice-based cyber crime can actually be carried out by providing assistance, facilitation, and compensation which are considered more relevant and essential to fulfilling victims' rights. This is considered more relevant when compared to the orientation to catch perpetrators of cyber crimes which tend to be more difficult and on the one hand are also not able to fulfill the rights of victims who are reduced as a result of a cyber crime. Therefore, restorative justice efforts that emphasize recovery and compensation for victims are relevant to efforts to ensure the protection of the rights of victims of cyber crime. The implementation of the protection of the rights of victims of restorative justice-based cyber crimes can be carried out by revising the ITE Law and its amendments by adding a restorative justice orientation as the first step to provide protection for the rights of victims of cyber crimes. Apart from that, revisions also need to be made to the PDP Law, especially in the absence of provisions for a time limit for the establishment of implementing regulations for compensation mechanisms. In addition to revising the PDP Law to provide a time limit for the formation of implementing regulations, the President can also immediately pass Government Regulations related to technical compensation for cyber crimes. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis penerapan keadilan restoratif dalam tindak pidana cyber khususnya bagi korban tindak pidana cyber. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan konsep dan perundang-undangan. Analisis dilakukan secara kualitatif-preskriptif yang hasil akhirnya berupa solusi hukum atas isu hukum yang dikemukakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menegaskan bahwa manifestasi perlindungan hak korban tindak pidana cyber berbasis keadilan restoratif sejatinya dapat dilakukan dengan memberikan pendampingan, fasilitasi, serta ganti rugi dianggap lebih relevan dan esensial untuk memenuhi hak-hak korban. Hal ini dianggap lebih relevan jika dibandingkan dengan orientasi untuk menangkap pelaku tindak pidana cyber yang cenderung lebih sulit serta di satu sisi juga tidak secara substantif dapat memenuhi hak-hak korban yang tereduksi akibat suatu tindak pidana cyber. Oleh karena itu, upaya keadilan restoratif yang menekankan pemulihan dang anti rugi bagi korban relevan dengan upaya untuk menjamin perlindungan hak korban tindak pidana cyber. Implementasi perlindungan hak korban tindak pidana cyber berbasis keadilan restoratif dapat dilakukan dengan melakukan revisi atas UU ITE beserta perubahannya dengan menambahkan orientasi keadilan restoratif sebagai langkah awal untuk memberikan perlindungan hak korban tindak pidana cyber. Selain itu, revisi juga perlu dilakukan pada UU PDP, khususnya dengan tidak terdapatnya ketentuan limitasi waktu dibentuknya peraturan pelaksana mekanisme ganti rugi. Selain merevisi UU PDP untuk memberikan limitasi waktu dibentuknya peraturan pelaksana, Presiden juga dapat secepatnya mengesahkan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan teknis pemberian ganti rugi atas tindak pidana cyber.