Women in literary works were often presented as a representation of resistance to the their social, cultural and traditional backgrounds. This could also be seen in the novel Tonggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari. This study discussed the resistance of the female character in the novel to her patron-client practices. Using Scott’s patron-client theory, it was revealed that the resistance made by Srintil’s character as ronggeng against her patron, Ki Kartareja, was a rule from the ronggeng tradition that shackles her freedom as a human and a woman. Patron-cient relationships that initially worked out eventually led Srintil to fight back. The rules and prohibitions on falling in love, the desire to marry and having children ordered by Kartareja as a ronggeng shaman benefitted only for the men (the patriarchal culture) legitimated by culture led Srintil to rebel and resist in her own way. Perempuan dalam karya sastra sering dihadirkan sebagai representasi perlawanan terhadap kondisi sosial, budaya dan tradisi yang melatarbelakanginya. Hal tersebut juga terlihat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Penelitian ini akan membahas resistansi yang dilakukan tokoh perempuan dalam novel tersebut terhadap praktik patron-klien yang dijalaninya. Dengan menggunakan teori patron-klien dari Scott, terungkap bahwa resistansi yang dilakukan tokoh Srintil sebagai ronggeng terhadap patronnya, Ki Kartareja, merupakan penolakan Srintil terhadap aturan dari tradisi ronggeng yang membelenggu kebebasannya sebagai manusia dan perempuan. Relasi patron-klien yang awalnya berjalan dengan baik pada akhirnya menuntun Srintil untuk melawan. Aturan berupa larangan jatuh cinta, menikah, dan memiliki anak yang didengungkan oleh Kartareja sebagai dukun ronggeng hanya menguntungkan laki-laki yang terlegitimasi budaya. Hal tersebut membuat Srintil berontak dan melakukan resistansi dengan caranya sendiri.