Kedaulatan rakyat sebagai cerminan demokrasi di Indonesia menekankan bahwa rakyat harus secara langsung untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD Kabupaten/Kota yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) merupakan lembaga negara yang menyelenggarakan Pemilihan Umum di Indonesia yang ditegaskan dalam Pasal 22E UUD 1945 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan beberapa peraturan Perundang-undangan. Sebagai akibat dari berbagai persoalan dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada dalam satu dekade terakhir, muncul berbagai pendapat agar sistem Pemilu kembali di evaluasi, dengan alasan agar efektifitas sistem Presidensial dan efisiensi penyelenggaraan Pemilu Nasional perlu untuk digabung. Terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi Melalui Putusannya tersebut Nomor 14/PUU-XI/2013 telah memutuskan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. Demikian pula dengan pemilihan Kepala Daerah dan wakil kepala daerah, juga diusulkan untuk diselenggarakan secara serentak.           Salah satu dari lima kesepakatan dasar Perubahan UUD 1945 adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Penyelenggaraan Pileg dan Pilpres secara serentak merupakan bagian dari rancangan sistem pemerintahan Presidensial yang ingin lebih dipertegas. Dalam norma “presidential thresholdâ€Â, yaitu batas ambang seseorang dinyatakan sebagai Presiden terpilih pada sistem Pemilu dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 6A ayat (3), bukan pada ayat (2), yang menyatakan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap Provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah Provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presidenâ€Â. Adapun Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umumâ€Â. Pasal ini menegaskan bahwa kriteria partai politik atau gabungan partai politik yang berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik yang dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum, tanpa embel-embel persyaratan ambang batas lainnya. Padahal MK tidak pernah mengharuskan dilakukannya sistem proporsional terbuka. dimana MK hanya menghilangkan syarat 30 persen Bilangan Pemilih Pembagi (BPP) yang ada pada UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Dalam Pasal 214 menyebutkan bahwa anggota DPR terpilih ditetapkan berdasarkan urutan suara terbanyak di antara calon-calon legislatif yang memperoleh suara 30 persen atau lebih dari BPP. Syarat 30 persen itu, dibatalkan oleh MK karena dianggap tidak adil dan menimbulkan ketidakpastian bagi para pemilih. Kemudian idealnya Pemilu serentak 2019 yang akan datang dilaksanakan dalam dua tahap yaitu Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah atau Lokal. Pemilihan Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dengan pemilihan DPRD Kabupaten/kota sudah berbeda. Maka, wajar jika Pemilu serentak 2019 dibagi atas Pemilu Nasional serta Pemilu daerah atau lokal. Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden masuk ke Pemilu Nasional. Setelah itu diikuti oleh pemilihan anggota DPRD Provinisi, Kabupaten/kota. Ini kan jelas dari segi institusi itu terpisah dari sebelumnya. Pengaturan pelaksanaan Pemilu Nasional dan lokal pada Pemilu serentak 2019 tersebut bisa saja dijadikan norma dalam UU Pemilu kedepannya. Hal ini juga perlu pengujian di Mahkamah Konsitusi, agar MK memiliki ruang untuk memberikan interprestasi baru untuk Pemilu Nasional dan Pemilu lokal. Sehingga dengan sistem pembagian ini agenda Nasional di tingkat pusat akan lebih mudah diikuti di tingkat daerah. Jika keduanya digabungkan, maka dibutuhkan tenaga ekstra dalam pelaksanaanya Pemilihan Umum secara serentak tersebut