Claim Missing Document
Check
Articles

Found 24 Documents
Search

PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI SOLUSI ATAS FENOMENA MCDONALISASI PENDIDIKAN DALAM ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0. Pius Pandor
Psiko-Edukasi Vol 18, No 1 (2020): Psiko Edukasi
Publisher : Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Revolusi industri 4.0 menekankan ketrampilan penggunaan teknologi modern dalam semua aspek termasuk dalam bidang pendidikan. Penggunaan teknologi dalam dunia pendidikan membuat segala sesuatu yang berkaitan dengan pembelajaran menjadi efektif, terkontrol, dan efisien.  Namun relasi termediasi ini sering membuat subjek didik mengalami dehumanisasi. Dehumanisasi merupakan konsekuensi dari cara pandang terhadap fungsi teknologi pembelajaran yang didesain untuk menciptakan homogenisasi, keseragaman, dan otomatisasi. Dehumanisasi ini didukung oleh merebaknya fenomena McDonalisasi dalam dunia pendidikan yang menekankan efisiensi, daya prediksi, daya kontrol, dan keseragaman. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah pendekatan fenomenologi terhadap praksis pendidikan. Dari pendekatan fenomenologi, penulis menemukan bahwa pendidikan karakter merupakan solusi terhadap McDonalisasi pendidikan.
Transformasi Tiga Pilar Demokrasi Modern dalam Populisme Menurut Nadia Urbinati Pius Pandor
Studia Philosophica et Theologica Vol 19 No 2 (2019)
Publisher : Litbang STFT Widya Sasana Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/spet.v19i2.191

Abstract

Populism is an old phenomenon but a new phenomenon that was brought up in power politics. Because it is something new, understanding the phenomenon of populism is also diverse. Some see it as a political movement that threatens constitutional democracy, but there are also those who see it as a movement to rejuvenate democracy. Urbinati, author of the book Me The People. How Populism Transforms Democracy, sees populism as a movement for power. According to her, populism changed the three pillars of modern democracy, namely the people (rakyat), the principle of majority (prinsip mayoritas), and the system of representation (sistem perwakilan) by reinterpreting the three. People are no longer understood as people who have sovereignty but people as masses who are united based on party, religion, ideology, and so on. The principle of majority is no longer understood procedurally to gain power but as control of others. Representation is not understood as an envoy but as ownership, whichis the embodiment of the people who have absolute power over the people. With these three transformations, according to the author, populism is a product of the failure of the malfunctions of party’s democracy
Esser per l’altro: Fundamenti di etica Filosofica pius pandor
Studia Philosophica et Theologica Vol 15 No 2 (2015)
Publisher : Litbang STFT Widya Sasana Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Buku ini bertitik tolak dari pertanyaan-pertanyan fundamental yang diasalkan pada pengalaman moral manusia terkait usaha untuk hidup baik bersama dan dengan yang lain. Pertanyaan-pertanyaan fundamental itu adalah apa itu kebaikan? Mengapa kita harus hidup baik? Bagaimana kita mengupayakan hidup baik itu? Dengan siapa kita mengupayakan hidup baik? Bagaimana cita-cita hidup baik itu dihadapan paham modern tentang kehidupan yang berorientasi pada upaya pencarian akan kebaikan individualis-privatlistik dan utilitaristik? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat kita baca dalam catatan pendahuluan bab I berjudul Introduzionemetaetica /Pengantar Metaetika.
Kontribusi Teori Ujaran Dan Tindakan Bahasa Dalam Filsafat Analitik John Langshaw Austin Terhadap Bahasa Pewartaan Pius Pandor
Seri Filsafat Teologi Vol. 28 No. 27 (2018)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Disinyalir bahwa bahasa pewartaan Gereja terkadang sulit dipahami terutama bagi generasi zaman now. Dikatakan demikian karena bahasa pewartaan Gereja merupakan hasil olahan kebudayaan Barat, khususnya zaman abad pertengahan, dengan latar belakang budaya Yunani-Romawi. Bagi generasi zaman now yang tidak mengetahui latar belakang tersebut, tentu akan kesulitan menangkap pesan yang terkandung dalam bahasa pewartaan yang disampaikan lewat budaya itu. Perbedaan logika berpikir itulah yang sering kali menyebabkan isi iman yang termuat dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) sulit dipahami oleh generasi zaman now. Dalam situasi ini, terobosan Paus Benediktus XVI yang pernah mengupayakan penulisan You Cat, Katekismus Populer, menurut saya merupakan salah satu solusi bagaimana mengolah bahasa pewartaan sehingga dapat dipahami oleh generasi zaman now. Dengan cara tersebut, diharapkan banyak generasi zaman now yang tertarik untuk mengetahui (to know), menyebarkan (to share) dan mewujudkan (to express) isi iman yang termuat dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan gagasan dasar di atas, dalam tulisan ini akan ditampilkan tema ”Kontribusi teori ujaran dan tindakan bahasa dalam Filsafat Analitik John Langshaw Austin terhadap bahasa pewartaan”. Pertama-tama akan ditampilkan riwayat hidup John Langshaw Austin yang memperlihatkan minatnya pada filsafat bahasa. Uraian dilanjutkan dengan membahasFilsafat Bahasa John Austin yang berkonsentrasi pada ujaran dan tindakan bahasa. Setelah itu menguraikan kontribusi teori ujaran dan tindakan bahasa Austin terhadap bahasa pewartaan. Tulisan akan diakhiri dengan kesimpulan.
Menghadirkan Wajah Gereja Berparas Kemanusiaan: Potret Gereja Menjadi Pius Pandor
Seri Filsafat Teologi Vol. 25 No. 24 (2015)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kehadiran agama (Gereja Katolik) memainkan salah satu peran kunci untuk ikut merasa dan terlibat dalam “duka dan kecemasan, harapan dan kegembiraan” dunia dan masyarakat. Namun kehadirannya berwajah ganda seperti wajah dewa Janus dari mitologi Romawi kuno yang darinyalah kata Januari berasal. “Satu sisi melihat ke masa depan, siap menyongsong yang tak terduga dan yang sedang datang tetapi di sisi lain memandang ke belakang yaitu ke masa lalu, seakan tak mau meninggalkan yang silam.”2 Persis seperti bulan Januari kita sadar bahwa hari-hari baru sudah tiba, tapi kenangan pada yang silam tetap enggan beranjak. Seperti dewa Janus itu pula wajah gereja dalam dunia dan masyarakat dewasa ini. Pada satu sisi dalam gambaran ideal, Gereja menampilkan sinar pembebasannya, karena ia merupakan tempat di mana orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup, harapan yang kokoh, dan kehidupan yang dipenuhi semangat kasih dan kerendahan hati. Namun di sisi lain, dalam wajah aktualnya, struktur dan regulasi Gereja, seringkali dipakai untuk melakukan diskriminasi, sarang korupsi, dan dijadikan sebagai justifikasi untuk melanggengkan status quo. Kita sendiri menyaksikan dan sejarah mencatat betapa besar andil agama (Gereja Katolik) dalam membakar kebencian, menimbulkan skandal, meniupkan kecurigaan, membangkitkan salah pengertian dan mengundang konflik.
Menyoal Persahabatan Sebagai Problem Relasionalitas: Sebuah Kontruksi Atas Konsep Alteritas Emanuel Levinas Dan Pluralitas Hannah Arendt Pius Pandor
Seri Filsafat Teologi Vol. 30 No. 29 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v30i29.20

Abstract

Alterity, plurality, and relationship are the three key words which summarize the whole content of this article. The first key word is the core of Emanuel Levinas’ Ethics, the second key word is the summary of Hannah Arendt’s the essence of politics, and the third is from the construction on the concepts of alterity and plurality. From the attempt to construct the two concepts, the writer assumes that alterity and plurality are the basis to understand friendship as the problem of a relationship. The method used in this article is hermeneutics on the inter-subjectivity based on Emanuel Levinas’ Ethics and Hannah Arendt’s thought on politics. The findings on this construction is that friendship which is based on the principles of relationship is the solution of the egology – self-enhancement and ‘heterophobia’ – the phobia to other people in the daily life these days.
Trilogi Gerak Belas Kasih: Dosa, Pertobatan Dan Pengampunan (Sebuah Penelitian Fenomenologis Atas Karya Belas Kasih Romo Paul Jansen, Cm) Pius Pandor
Seri Filsafat Teologi Vol. 26 No. 25 (2016)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Fenomenologi adalah sebuah cara mendekati realitas yang pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh Edmund Husserl. Orientasi dasarnya adalah menjadikan fenomenologi sebagai ilmu tentang kesadaran (science of consciousness). Seturut orientasi dasarnya ini fenomenologi merupakan sebuah cara untuk memahami realitas sebagaimana dialami dari sudut pandang orang pertama. Dalam tataran ini, fenomenologi terkait dengan pengalaman subjektif manusia atas sesuatu. Dengan demikian, fenomenologi merupakan sebuah cara untuk memahami kesadaran yang dialami seseorang atas dunianya melalui sudut pandangnya sendiri atau dari sudut pandang orang pertama. Namun fenomenologi juga tidak mau terjatuh pada deskripsi perasaan semata karena yang ingin dicapainya adalah pemahaman akan pengalaman konseptual yang melampaui pengalaman inderawi itu sendiri. Pemahaman akan pengalaman tersebut mengantar kita untuk masuk dalam salah satu gagasan kunci dalam fenomenologi yaitu terkait makna (mean- ing). Setiap pengalaman manusia selalu memiliki makna. Manusia selalu memaknai pengalamannya akan dunia. Inilah yang membuat kesadarannya akan pengalaman yang unik atau khas. Dalam proses memaknai sesuatu, orang bersentuhan dengan dunia sebagai sesuatu yang teratur dan dapat dipahami. Dalam tataran ini, dunia dalam kajian fenomenologis merupakan sebuah kombinasi antara realitas yang dialami (dunia objektif) dengan proses orang memaknai realitas tersebut (dunia subjektif).
Menakar Peranagama Di Tengah Merebaknya Patologi Ruang Publik Pius Pandor
Seri Filsafat Teologi Vol. 27 No. 26 (2017)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Diskursus terkait peran agama dalam ruang publik, merupakan sebuah diskursus paradoksal. Dikatakan paradoksal karena peran dan kehadiran agama yang sering kali berwajah ganda seperti wajah dewa Janus dari mitologi Romawi kuno yang darinyalah kata Januari berasal. Satu sisi melihat ke masa depan, siap menyongsong yang tak terduga dan yang sedang datang tetapi di sisi lain memandang ke belakang yaitu ke masa lalu, seakan tak mau meninggalkan yang silam.1 Persis seperti bulan Januari kita sadar bahwa hari-hari baru sudah tiba, tapi kenangan pada yang silam tetap enggan beranjak. Seperti dewa Janus itu pula wajah agama dalam ruang publik. Pada satu sisi agama menampilkan sinar pembebasannya karena ia merupakan tempat di mana orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan yang kokoh. Namun di sisi lain, agama dipakai untuk melakukan diskriminasi, dijadikan sebagai ideologi politik, dan digunakan sebagai justifikasi atas tindakan kekerasan, bahkan sampai pada pembunuhan. Kita sendiri menyaksikan dan sejarah mencatat betapa besar andil agama dalam membakar kebencian dan meniupkan kecurigaan, membangkitkan salah pengertian, dan mengundang konflik.
Paradoks Kebahagiaan Dalam Diskursus Filosofis Pius Pandor
Seri Filsafat Teologi Vol. 24 No. 23 (2014)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kebahagiaan merupakan lencana semua suku bangsa (Anonim).Afirmasi di atas mengingatkan penulis akan silogisme klasik berikut ini:Semua manusia ingin bahagia.Sokrates adalah manusia.Sokrates ingin bahagia.Tiga proposisi di atas merupakan bentuk silogisme yaitu seni penalaranyang menetapkan bahwa yang partikular selalu mengikuti yang universal.Pernyataan “semua manusia ingin bahagia” merupakan premis mayor,sebagai kenyataan pertama. Premis mayor biasanya bersifat universal.Pernyataan kedua, “Sokrates adalah manusia” merupakan premis tengah,sebagai kenyataan baru, yakni ada seorang manusia bernama Sokrates.Pernyataan ketiga, “Sokrates ingin bahagia” merupakan kesimpulan yangditarik dari silogisme bahwa Sokrates sebagai bagian dari manusia juga inginbahagia.
Aktualisasi Spiritualitas Pasionis Di Tengah Orang-Orang Tersalib Zaman Ini Pius Pandor
Seri Filsafat Teologi Vol. 24 No. 23 (2014)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mengejar kebahagiaan merupakan idaman setiap orang. Tidak adamanusia yang dalam hidupnya tidak ingin bahagia. Dengan berbagai caramanusia berusaha untuk menggapainya. Dalam upaya untuk menggapaikebahagiaan tersebut, salah satu kata yang sering dihindari adalah penderitaan.Namun semakin dihindari justru ia terus menggerogoti manusiazaman ini. Di sini terdapat sebuah ironi, di tengah kebahagiaan terdapatlautan penderitaan yang luas. Ironi ini selanjutnya terwujud dalam tindakan.Kebahagiaan terus dikejar sedangkan penderitaan dihindari dan bahkanharus dihapus dari ingatan manusia. Namun ketika manusia berusahamenghindarinya, penderitaan justru datang menjemput. Dalam konteks ini,upaya menggapai kebahagiaan ternyata harus dibarengi dengan penderitaan.Di tengah situasi tersebut, spiritualitas Pasionis yang berpusat pada sengsaraYesus sebagai tindakan kasih terbesar Allah menjadi aktual untuk dibicarakan,terutama bagi mereka yang “kalah” atau sengaja “dikalahkan” dalammenggapai kebahagiaan. Mereka inilah yang disebut sebagai orang-orangtersalib zaman ini.