Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

MENYIBAK TABIR POLITIK OTENTIKARENDTlAN: SEBUAH PEMBACAAN DARI PERSPEKTIF ETIKA POLITIK Pius Pandor
Arete Vol 2, No 1 (2013)
Publisher : UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (714.148 KB)

Abstract

In philosophical discussions, politics is one of the most interesting, deep but also slippery topics. It is interesting because it aims to make life in society more humane, deep because it involves a variety of interests, and slippery because it is a discussion between citizens on various issues in a public space. This interesting, deep and slippery discourse is analysed by Hannah Arendt by clearly distinguishing between what is political and what is apolitical. In what is political, there are freedom and plurality. This becomes evident in the arena called "public space". On the other hand, what is apolitical can be defined as forcing the citizens into uniformity. According the Arendt, authentic politics has to be vivified by freedom, supported by plurality among human beings and strengthened by interlocution [communication] among citizens in public space.
Fenomenologi Agama Menuju Penghayatan Agama Yang Dewasa Pius Pandor
Arete Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (650.744 KB)

Abstract

One of research methods to analyze religion is phenomenology. This method begins with the phenomenon that appears in consciousness. Experience of religion from teh perspective of phenomenology means that we get into a discourse about subject’s consciousness in the phenomenon which enable someone to get eidos or the essence of religion. From this point of view, subject could distinguish which one constitutes essence or eidos and which one is mere manifestation. This ability is succeeding subject to understand the religion properly. Subject that understands religion properly usually have an ability to accept and celebrates diversity. Besides, subject will always realize that his existence is always in a relation with others’, so that his existence remains as co-existence. This awareness of co-existence at the end leads subject to grow up in the paradigm of pro-existence. It is so crucial a moment amid several violence that takes place in the name of religion in Indonesia that co-existence must be promoted.
PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI SOLUSI ATAS FENOMENA MCDONALISASI PENDIDIKAN DALAM ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0. Pius Pandor
Psiko-Edukasi Vol 18, No 1 (2020): Psiko Edukasi
Publisher : Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Revolusi industri 4.0 menekankan ketrampilan penggunaan teknologi modern dalam semua aspek termasuk dalam bidang pendidikan. Penggunaan teknologi dalam dunia pendidikan membuat segala sesuatu yang berkaitan dengan pembelajaran menjadi efektif, terkontrol, dan efisien.  Namun relasi termediasi ini sering membuat subjek didik mengalami dehumanisasi. Dehumanisasi merupakan konsekuensi dari cara pandang terhadap fungsi teknologi pembelajaran yang didesain untuk menciptakan homogenisasi, keseragaman, dan otomatisasi. Dehumanisasi ini didukung oleh merebaknya fenomena McDonalisasi dalam dunia pendidikan yang menekankan efisiensi, daya prediksi, daya kontrol, dan keseragaman. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah pendekatan fenomenologi terhadap praksis pendidikan. Dari pendekatan fenomenologi, penulis menemukan bahwa pendidikan karakter merupakan solusi terhadap McDonalisasi pendidikan.
Strengthening Student Character with Local Cultural Metaphors: Messages Exploration from the Tiba Meka Dance Sebastianus Menggo; Pius Pandor; Sabina Ndiung
Lingua Cultura Vol. 15 No. 2 (2021): Lingua Cultura
Publisher : Bina Nusantara University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21512/lc.v15i2.7340

Abstract

The research aimed to analyze the metaphor constructions and pedagogic values in the tiba meka dance. Students’ character building through metaphor construction in traditional dance had not been widely investigated; meanwhile, the metaphors used in this dance contain great values for encouraging students’ positive attitudes. Metaphor construction had a fundamental role for the students to have creative thought and deepen their understanding of its nature and role as a real communication language. The proper metaphor’s construction encouraged a student to be a catalyst in cross-cultural communication and appreciated the values contained in the metaphor delivered. The research was carried out between February and December 2019 and involved 30 respondents. The instruments used in collecting data were a set of stationery, questionnaire, interview, documentation, field notes, and recordings. These data were analyzed qualitatively through the phenomenological method. The findings show that the tiba meka dance is inseparable from the use of metaphors, namely bird, vegetation, body, sun, and water metaphors that have great pedagogic values, such as honesty, responsibility, and disciplin that contribute to the character building for students. The ideologies that underline tiba meka dance are morals, identity, and economy. 
Transformasi Tiga Pilar Demokrasi Modern dalam Populisme Menurut Nadia Urbinati Pius Pandor
Studia Philosophica et Theologica Vol 19 No 2 (2019)
Publisher : Litbang STFT Widya Sasana Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/spet.v19i2.191

Abstract

Populism is an old phenomenon but a new phenomenon that was brought up in power politics. Because it is something new, understanding the phenomenon of populism is also diverse. Some see it as a political movement that threatens constitutional democracy, but there are also those who see it as a movement to rejuvenate democracy. Urbinati, author of the book Me The People. How Populism Transforms Democracy, sees populism as a movement for power. According to her, populism changed the three pillars of modern democracy, namely the people (rakyat), the principle of majority (prinsip mayoritas), and the system of representation (sistem perwakilan) by reinterpreting the three. People are no longer understood as people who have sovereignty but people as masses who are united based on party, religion, ideology, and so on. The principle of majority is no longer understood procedurally to gain power but as control of others. Representation is not understood as an envoy but as ownership, whichis the embodiment of the people who have absolute power over the people. With these three transformations, according to the author, populism is a product of the failure of the malfunctions of party’s democracy
Esser per l’altro: Fundamenti di etica Filosofica pius pandor
Studia Philosophica et Theologica Vol 15 No 2 (2015)
Publisher : Litbang STFT Widya Sasana Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Buku ini bertitik tolak dari pertanyaan-pertanyan fundamental yang diasalkan pada pengalaman moral manusia terkait usaha untuk hidup baik bersama dan dengan yang lain. Pertanyaan-pertanyaan fundamental itu adalah apa itu kebaikan? Mengapa kita harus hidup baik? Bagaimana kita mengupayakan hidup baik itu? Dengan siapa kita mengupayakan hidup baik? Bagaimana cita-cita hidup baik itu dihadapan paham modern tentang kehidupan yang berorientasi pada upaya pencarian akan kebaikan individualis-privatlistik dan utilitaristik? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat kita baca dalam catatan pendahuluan bab I berjudul Introduzionemetaetica /Pengantar Metaetika.
Membangun Societas Dialogal-Negosiatif dalam Menangkal Radikalisme Agama Berdasarkan Perspektif Filsafat Relasionalitas Armada Riyanto Hyronimus Ario Dominggus; Pius Pandor
Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama (JISA) Vol 5, No 1 (2022)
Publisher : Prodi Sosiologi Agama FIS Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30829/jisa.v5i1.10316

Abstract

Artikel ini mendiskripsikan gagasan societas dialogal-negosiatif Armada Riyanto dan relevansinya terhadap penangkalan radikalisme agama di Indonesia.  Radikalisme agama adalah salah satu pergerakan yang memungkinkan terganggunya konstelasi politik di Indonesia. Saya mengamini bahwa fenomena ini sangat mengganggu tatanan hidup bersama. Perbedaan paham bisa menjadi kedok meruntuhkan persatuan bangsa. Untuk itu sangat penting adanya dialog yang berciri negositaif satu sama lain dalam kehidupan bersama. Dengan adanya dialog, masyarakat diajak saling menerima dan terbuka satu sama lain. Itulah makna dari societas dialogal-negosiatif. Riset ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yakni studi pustaka dengan pendekatan fenomenologis dan ditinjau dari perspektif Filsafat Relasionalitas Armada Riyanto. Dari riset ini, saya menemukan aktualitas gagasan societas dialogal-negosiatif dalam menangkal radikalisme agama di Indonesia. Dengan menjadi manusia yang berdialog, masyarakat Indonesia akan sehati dan sejiwa menjaga keutuhan Bangsa Indonesia.
Menyoal Persahabatan Sebagai Problem Relasionalitas: Sebuah Kontruksi Atas Konsep Alteritas Emanuel Levinas Dan Pluralitas Hannah Arendt Pius Pandor
Seri Filsafat Teologi Vol. 30 No. 29 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v30i29.20

Abstract

Alterity, plurality, and relationship are the three key words which summarize the whole content of this article. The first key word is the core of Emanuel Levinas’ Ethics, the second key word is the summary of Hannah Arendt’s the essence of politics, and the third is from the construction on the concepts of alterity and plurality. From the attempt to construct the two concepts, the writer assumes that alterity and plurality are the basis to understand friendship as the problem of a relationship. The method used in this article is hermeneutics on the inter-subjectivity based on Emanuel Levinas’ Ethics and Hannah Arendt’s thought on politics. The findings on this construction is that friendship which is based on the principles of relationship is the solution of the egology – self-enhancement and ‘heterophobia’ – the phobia to other people in the daily life these days.
Kontribusi Teori Ujaran Dan Tindakan Bahasa Dalam Filsafat Analitik John Langshaw Austin Terhadap Bahasa Pewartaan Pius Pandor
Seri Filsafat Teologi Vol. 28 No. 27 (2018)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Disinyalir bahwa bahasa pewartaan Gereja terkadang sulit dipahami terutama bagi generasi zaman now. Dikatakan demikian karena bahasa pewartaan Gereja merupakan hasil olahan kebudayaan Barat, khususnya zaman abad pertengahan, dengan latar belakang budaya Yunani-Romawi. Bagi generasi zaman now yang tidak mengetahui latar belakang tersebut, tentu akan kesulitan menangkap pesan yang terkandung dalam bahasa pewartaan yang disampaikan lewat budaya itu. Perbedaan logika berpikir itulah yang sering kali menyebabkan isi iman yang termuat dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) sulit dipahami oleh generasi zaman now. Dalam situasi ini, terobosan Paus Benediktus XVI yang pernah mengupayakan penulisan You Cat, Katekismus Populer, menurut saya merupakan salah satu solusi bagaimana mengolah bahasa pewartaan sehingga dapat dipahami oleh generasi zaman now. Dengan cara tersebut, diharapkan banyak generasi zaman now yang tertarik untuk mengetahui (to know), menyebarkan (to share) dan mewujudkan (to express) isi iman yang termuat dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan gagasan dasar di atas, dalam tulisan ini akan ditampilkan tema ”Kontribusi teori ujaran dan tindakan bahasa dalam Filsafat Analitik John Langshaw Austin terhadap bahasa pewartaan”. Pertama-tama akan ditampilkan riwayat hidup John Langshaw Austin yang memperlihatkan minatnya pada filsafat bahasa. Uraian dilanjutkan dengan membahasFilsafat Bahasa John Austin yang berkonsentrasi pada ujaran dan tindakan bahasa. Setelah itu menguraikan kontribusi teori ujaran dan tindakan bahasa Austin terhadap bahasa pewartaan. Tulisan akan diakhiri dengan kesimpulan.
Menakar Peranagama Di Tengah Merebaknya Patologi Ruang Publik Pius Pandor
Seri Filsafat Teologi Vol. 27 No. 26 (2017)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Diskursus terkait peran agama dalam ruang publik, merupakan sebuah diskursus paradoksal. Dikatakan paradoksal karena peran dan kehadiran agama yang sering kali berwajah ganda seperti wajah dewa Janus dari mitologi Romawi kuno yang darinyalah kata Januari berasal. Satu sisi melihat ke masa depan, siap menyongsong yang tak terduga dan yang sedang datang tetapi di sisi lain memandang ke belakang yaitu ke masa lalu, seakan tak mau meninggalkan yang silam.1 Persis seperti bulan Januari kita sadar bahwa hari-hari baru sudah tiba, tapi kenangan pada yang silam tetap enggan beranjak. Seperti dewa Janus itu pula wajah agama dalam ruang publik. Pada satu sisi agama menampilkan sinar pembebasannya karena ia merupakan tempat di mana orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan yang kokoh. Namun di sisi lain, agama dipakai untuk melakukan diskriminasi, dijadikan sebagai ideologi politik, dan digunakan sebagai justifikasi atas tindakan kekerasan, bahkan sampai pada pembunuhan. Kita sendiri menyaksikan dan sejarah mencatat betapa besar andil agama dalam membakar kebencian dan meniupkan kecurigaan, membangkitkan salah pengertian, dan mengundang konflik.