Muslim Djuned
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Published : 12 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

PERLINDUNGAN FINANSIAL ZAKAT ANAK JALANAN DALAM ALQURAN: Studi Tafsir Tematik Maqâṣidî ibn Sabîl Andri Nirwana; Muslim Djuned; Muhammad Ikhsan
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis Vol 8, No 1 (2020): Juni
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24235/diyaafkar.v8i1.5972

Abstract

The purpose of this study was to determine the interpreters of the commentators on Ibn Sabil. Ibn Sabil is one of the objects of the distribution of legal alms, in addition to other objects. This research used maudhu’i of tafsir method. The data sources used were primary data and other supporting data relating to the main problem. Based on the data analysis, the conclusion that can be obtained is that Ibn Sabil is said to be entitled to receive zakat if he travels far and runs out of provisions, even though he is a rich man in his native place, and his journey has a goal for beneficence  or goodness, whether  individuals or  groups.
Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Hidup menurut Perspektif Al-Qur’an Muslim Djuned
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol 18 (2016): Edisi Khusus
Publisher : Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/substantia.v18i0.8983

Abstract

Human relations and the environment are symbiotic mutualism, but environmental conflicts occur when people interact in it. Damage to the environment is one of the greatest threats to the survival of modern humans. Generally, environmental damage and pollution caused by the behavior and impact of human activity to global warming, the B3 waste, climate change, pollution, flooding, eroded, and ozone depletion. The environment needs protection and preservation of the damage. Because it needs to be a systematic attempt to inhibit the rate of damage and pollution. Based on the analysis of the verses on the theme of environmental protection and preservation, the ruling is required as an obligation to protect the pillars of Islamic law, namely: al-din al-nafs al-nasl, al-mal, al-'aql and al -bî'ah. Punitive sanctions against the perpetrators of environmental crimes according to the Qur'an is the maximum punishment, such as stoning or crosses, and the minimum punishment, namely punishment of hand amputation ta'zir. AbstrakRelasi manusia dan lingkungan hidup bersifat simbiosis mutualisme, namun konflik lingkungan terjadi ketika manusia berinteraksi di dalamnya. Kerusakan lingkungan hidup merupakan salah satu ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup manusia modern. Umumnya kerusakan dan pencemaran lingkungan disebabkan oleh perilaku dan aktivitas manusia yang berdampak terjadinya pemanasan global, limbah B3, perubahan iklim, polusi, banjir, longsong, dan penipisan ozon. Lingkungan hidup membutuhkan perlindungan dan pelestarian dari kerusakannya. Karena itu perlu upaya sistematis untuk menghambat laju kerusakan dan pencemarannya. Berdasarkan analisis terhadap nash-nash al-perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup hukumnya adalah wajib sebagaimana kewajiban melindungi pilar-pilar hukum Islam, yaitu: al-dîn, al-nafs, al-nasl, al-mâl, al-‘aql dan al-bî’ah. Sanksi hukuman terhadap pelaku tindak kejahatan lingkungan hidup menurut al-Qur’an adalah hukuman maksismal, yaitu rajam atau salib, dan hukuman minimal, yaitu hukuman potong tangan ta’zir.
Makna Ahli Kitab dalam Tafsir Al-Manar Muslim Djuned; Nazla Mufidah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (411.159 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v1i1.8065

Abstract

Ahl al-Kitab is a term for those who believe and adhere to a religion that has a holy book that comes from Allah other than the Qur'an. In understanding the designation of the people of the book in the Qur'an, the scholars agree that they are Jews and Christians. However, they differ in terms of the scope of the meaning of the people of the book, some say that the people of the book are Jews and Christians of the descendants of the Children of Israel only, while others say that the people of the book are Jews and Christians whenever and wherever they are. This discussion will be examined using the maudhu'i method, in the form of library research, with descriptive data analysis. Based on the results of the study, the authors found the disclosure of the word expert in the book in the Qur'an as many as 11 forms, can be grouped as follows; first, the direct disclosure of the scribes; second, the same disclosure with the scribes; third, disclosure that is directed to the people of the book. Regarding the meaning of the people of the book, Rashid Rida agrees with the number of scholars, it's just that his opinion about the scope of the people of the book is wider than the previous scholars. In Tafsir al-Manar, the scope of the people of the book is not only limited to Judaism and Christianity but also includes other religions such as the Magi, Shabi'in, idol worshipers in India, China, and anyone who is similar to them. According to him, all these religions can be included in the scope of the people of the book because initially all religions adhered to monotheism. Ahli kitab adalah sebutan bagi yang mempercayai dan berpegang pada agama yang memiliki kitab suci yang berasal dari Allah selain al-Qur'an. Dalam memahami sebutan ahli kitab dalam al-Qur'an, para ulama sepakat bahwa mereka adalah Yahudi dan Nasrani. Namun mereka berbeda dalam hal cakupan makna ahli kitab, sebagian mengatakan ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani keturunan Bani Israil saja, sementara yang lain mengatakan bahwa ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani kapan pun dan di manapun mereka berada. Pembahasan ini akan diteliti menggunakan metode maudhu’i, berupa riset kepustakaan, dengan analisis data deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian, penulis mendapatkan pengungkapan kata ahli kitab dalam al-Qur'an sebanyak 11 bentuk, dapat dikelompokkan sebagai berikut; pertama, pengungkapan ahli kitab secara langsung; kedua, pengungkapan yang sama dengan ahli kitab; ketiga, pengungkapan yang tertuju kepada ahli kitab. Mengenai makna ahli kitab, Rasyid Ridha sepakat dengan jumhur ulama, hanya saja pendapatnya tentang cakupan ahli kitab lebih luas dari ulama sebelumnya. Dalam Tafsir al-Manar, cakupan ahli kitab tidak hanya sebatas Yahudi dan Nasrani, tetapi juga mencakup agama-agama lain seperti Majusi, Shabi'in, penyembah berhala di India, Cina dan siapa saja yang serupa dengan mereka. Menurutnya, semua agama tersebut bisa dimasukkan dalam cakupan ahli kitab karena pada awalnya semua agama menganut tauhid.
Konsep Keluarga Ideal dalam Al-Qur’an: Kajian Tafsir Tematik Muslim Djuned; Asmaul Husna
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12507

Abstract

Marriage is a noble act and the dream of every normal human being, with the aim of becoming a sakinah, mawaddah, and rahmah family. The Qur’an commands Muslims to create harmony in the family, and the Qur’an has also explained that the ideal family in Islam is a family that upholds the rights and obligations of family members. It's just that in reality, not everyone succeeds in achieving this goal, some even end in failure and divorce. Based on the problems above, this paper will examine the interpretation of the scholars regarding the verses related to the family and observe the criteria for the ideal family in Islam. This research includes library research using the mawdhu'i data analysis method, namely by collecting Qur'anic verses that have relevance to the ideal family. The data sources in this study are the Book of Tafsir al-Mishbāh, Tafsir al-Nūr, and the Book of Tafsir fī ilālil al-Qur'ān. The results of the study show that, first: the Qur’an instructs Muslims to settle down and look after their families. Second: The harmony of a family is largely determined by the moral values of each family member. Third: Fostering an ideal family requires awareness among each family member about the rights, obligations, and responsibilities of each family member. Fostering an ideal family is part of maintaining the tranquility and integrity of society and the realization of the Qur'anic generation. Berumah tangga termasuk perbuatan mulia dan dambaan setiap insan yang normal, dengan tujuan menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Alquran memerintah kepada umat Islam untuk menciptakan keharmonisan dalam keluarga, dan Alquran juga telah menjelaskan bahwa keluarga yang ideal dalam Islam adalah keluarga yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban anggota keluarganya. Hanya saja dalam realitasnya tidak semua orang berhasil mencapai tujuan tersebut, bahkan ada yang berakhir dengan kegagalan dan perceraian. Berdasarkan permasalahan di atas, maka tulisan ini akan menelaah tentang penafsiran para ulama tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan keluarga serta melihat kriteria-kriteria keluarga ideal dalam Islam. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan dengan metode analisis data secara mawdhu’i, yaitu dengan menghimpun ayat-ayat Alquran yang memiliki relevansi dengan keluarga ideal. Sumber data dalam kajian ini adalah Kitab Tafsir al-Mishbāh, Tafsir al-Nūr, dan Kitab Tafsir fī Ẓilālil al-Qur’ān. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama: Alquran memerintahkan umat Islam untuk berumah tangga dan memelihara keluarganya. Kedua: Keharmonisan suatu keluarga sangat ditentukan oleh nilai-nilai akhlak yang dimiliki setiap anggota keluarga. Ketiga: Membina keluarga ideal perlu adanya kesadaran antara setiap anggota keluarga tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga. Membina keluarga yang ideal merupakan bagian dari menjaga ketenangan dan keutuhan masyarakat serta terwujudnya generasi qurani.
Perilaku Negatif Manusia dalam Al-Qur’an Muslim Djuned; Miss Yameelah Hayeesamae
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v3i2.13274

Abstract

Humans are creatures who have the highest perfection because they are prepared to accept burdens and responsibilities, become humans who have a positive attitude, strong personality, physical and spiritual potential as well as intellectually develop optimally. But in reality, not all humans behave well, many become arrogant and arrogant, he forgets the teachings of Allah, and only remember Allah when experiencing unpleasant conditions such as being hit by a disaster. From the above reality, to know human behavior, it is necessary to study the negative human traits mentioned in the Qur'an. The results show that humans are indeed close to Allah with a sincere heart at times when calamity befalls them, but after Allah saves them from the calamities they face, they return to doing injustice and mistakes, not being grateful to Allah, but committing deception by opposing and denying Allah SWT. Manusia merupakan makhluk yang memiliki kesempurnaan tertinggi karena dipersiapkan untuk menerima beban dan tanggung jawab, menjadi manusia yang memiliki sikap positif, berkepribadian kuat, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal. Tetapi dalam kenyataannya, tidak semua manusia berperilaku baik, banyak yang menjadi sombong dan angkuh, dia lupa akan ajaran Allah, dan  hanya mengingat Allah ketika mengalami kondisi yang tidak menyenangkan seperti tertimpa musibah. Dari realitas di atas, untuk mengetahui perilaku manusia, perlu dikaji tentang sifat-sifat negatif manusia yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manusia memang bertabiat dekat kepada Allah dengan hati yang ikhlas pada waku yang ditimpa musibah, tetapi setelah Allah menyelamatkan mereka dari musibah yang dihadapi, mereka kembali melakukan kezaliman dan kesalahan, tidak bersyukur kepada Allah, tetapi melakukan tipu daya dengan menentang dan mendustakan Allah swt. 
Penafsiran Ayat–Ayat Amar Ma’ruf Nahi Munkar menurut Muhammad Fethullah Gülen Muslim Djuned; Pinar Ozdemir
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.13179

Abstract

Amar ma'rūf nahi munkar is the command of Allah swt. to invite to the good things and prevent the bad for society. Many interpreters have explained the meaning of the verses amar ma'rūf nahi munkar. Fethullah Gülen is a character who tries to give an interpretation of the verse by relating it to the reality of people's lives. This paper discusses the verses of amar ma'ruf nahi munkar interpreted by Muhammad Fethullah Gülen and issues surrounding the position of enforcing amar ma'rūf nahi munkar. This research is a descriptive literature study, wanting to describe the figure of Gulen who wants to be researched based on facts from existing news, books, and magazines. The results showed that Gülen classified the interpretation of the verses of amar ma'ruf nahi munkar in 3 parts. First, amar ma'rūf nahi munkar as the goal of life. Second, amar ma'ruf nahi munkar as a sign of a believer. Third, enforce the commandments of ma'rf nahi munkar in accordance with nature. According to Gülen, people who carry out this sacred task well, then they will be protected by Allah from all disasters that come from heaven or earth, even though the number of people who carry out this task is not much. Meanwhile, those who forget this task are feared to die in a state of hypocrisy, for neglecting the task that Allah has assigned to every Muslim. Amar ma’rūf nahi munkar merupakan perintah Allah swt. untuk mengajak kepada hal-hal yang baik dan mencegah yang buruk bagi masyarakat. Banyak penafsir yang telah menjelaskan makna ayat-ayat amar ma’rūf nahi munkar. Fethullah Gülen merupakan seorang tokoh yang mencoba memberi penafsiran ayat tersebut dengan mengaitkannya pada realitas kehidupan masyarakat. Tulisan ini membahas ayat-ayat amar ma’ruf nahi munkar yang ditafsirkan oleh Muhammad Fethullah Gülen dan persoalan seputar kedudukan menegakkan amar ma’rūf nahi munkar. Penelitian ini bersifat kajian kepustakaan yang bersifat deskriptif, ingin menggambarkan sosok Gulen yang ingin diteliti berdasarkan fakta dari berita, buku, dan majalah yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gülen mengklasifikasikan penafsiran ayat-ayat  amar ma’ruf nahi munkar dalam 3 bagian. Pertama, amar ma’rūf nahi munkar  sebagai tujuan hidup. Kedua, amar ma’ruf nahi munkar sebagai tanda orang mukmin. Ketiga, menegakkan amar ma’rūf nahi munkar sesuai dengan fitrah. Menurut Gülen, masyarakat yang melakukan tugas suci ini dengan baik, maka mereka itu akan dilindungi Allah dari segala bencana yang datangnya dari langit atau bumi, meskipun jumlah orang yang menjalankan tugas ini tidak banyak. Sedangkan yang melupakan tugas ini, dikhawatirkan akan meninggal dalam keadaan munafik, karena melalaikan tugas yang dibebankan Allah kepada setiap orang Muslim.
Penakwilan Ayat-Ayat Sifat menurut Imam Fakhruddin Al-Razi Muslim Djuned; Makmunzir Makmunzir
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11288

Abstract

One of the most controversial themes in the history of the interpretation of the Qur'an is the interpretation of the verses of the Qur'an related to the attributes of Allah SWT. Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ was a commentator who interpreted the verses of nature. This study aims to determine the interpretation and approach used by Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ in interpreting the verses of nature. The adjective verses that are the author's focus here are the pronunciation of istawȃ’ QS. Ṭhȃhȃ: 5, yad on QS. al-Fatḥ: 10, wajh on QS. al-Rahmȃn: 27, ‘ain on QS. Hȗd: 37, and sȃq on QS. al-Qalam: 42. These words were chosen because they were widely discussed by scholars in their works, especially in the treasures of Qur'anic Studies. The conclusions that can be drawn from this study are: First, Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ tends to use takwȋl in understanding the verses of nature that are not to interpret the meaning of a sentence with the meaning that is apparent because there are arguments that prevent it from being interpreted with the meaning. Second, it tends to use language and logic approaches in interpreting adjective sentences. Salah satu tema yang kontroversial dalam sejarah penafsiran al-Qur`an adalah pentakwilan terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah Swt. Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ adalah seorang mufassir yang melakukan pentakwilan terhadap ayat-ayat sifat. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan penafsiran dan pendekatan yang digunakan al-Rȃzȋ dalam mentakwilkan ayat-ayat sifat. Ayat-ayat sifat yang menjadi fokus penulis di sini adalah lafaz istawā pada QS. Thȃhȃ: 5, lafaz yad pada QS. al-Fath: 10, lafaz wajh pada QS. al-Rahmȃn: 27, lafaz ‘ain pada QS. Hȗd: 37, dan lafaz sāq pada QS. al-Qalam: 42. Lafaz-lafaz tersebut dipilih karena banyak dibahas para ulama dalam karya-karya mereka terutama dalam khazanah Ilmu al-Qur`an dan Tafsir. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan (library reaseach), sedangkan metode pendekatannya menggunakan metode tafsir maudhu’i, yaitu dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tema  dan penyusunannya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat, selanjutnya di analisis secara deskriptif serta sampai mengambil kesimpulan. Hasil penelitian ini adalah: Pertama, Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ cenderung menggunakan takwil dalam memahami ayat-ayat sifat yakni tidak memaknai makna sebuah lafaz ayat dengan makna yang zahirnya, hal itu disebabkan adanya dalil yang mencegah untuk dimaknai dengan makna zahir. Kedua, ia cenderung menggunakan pendekatan bahasa dan logika dalam menakwil ayat-ayat sifat.
Zihar dalam Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah Arif Munandar; Muslim Djuned
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (378.822 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v2i1.8072

Abstract

Zihar is a greeting from a husband to his wife who resembles his wife's back with her mother's back. Saying zihar during the period of ignorance is used by husbands who intend to forbid having intercourse with their wives so that the result is that the wife becomes unlawful for the husband forever. Islam stipulates that it is forbidden to say zihar. However, Allah (swt) gave relief to the people and set kafarat in it as education so as not to repeat these words and attitudes. The problem of zihar arises when a woman makes a complaint to the Prophet about her husband. Then the verse in QS. al-Mujadilah regarding Aus bin Shamit when he visited his wife Khaulah bint Tsa'labah. This paper aims to reveal the thoughts of Sayyid Qutb in Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an and M. Quraish Shihab in Tafsir al-Mishbah regarding the issue of zihar. The author uses library research using the maudhu'i and comparative methods. Sayyid Qutb in his commentary concludes that zihar is a husband's saying to his wife that resembles the wife's back with the husband's mother's back, so it must be forbidden like a mother. Meanwhile, Quraish Shihab argues that zihar is a word of a mukallaf to a woman who is lawful to have intercourse with (wife) that the woman is the same as someone who is forbidden to have intercourse, either because of blood relations, marriage, breastfeeding, or for other reasons. Zihar adalah ucapan suami kepada istri yang menyerupakan punggung istri dengan punggung ibunya. Ucapan zihar pada masa jahiliah digunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan untuk menyetubuhi istri sehingga berakibat istri menjadi haram bagi suami untuk selamanya. Islam menetapkan haram hukumnya ucapan zihar. Namun, Allah Swt memberi keringanan bagi umat dan menetapkan kafarat di dalamnya sebagai pendidikan agar tidak mengulang perkataan dan sikap tersebut. Permasalahan zihar muncul ketika seorang perempuan membuat pengaduan kepada Rasul Saw mengenai suaminya. Lalu turun ayat dalam QS. al-Mujadilah berkenaan dengan Aus bin Shamit ketika menzihar istrinya Khaulah binti Tsa’labah. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap pemikiran Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an dan M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah yang berkenaan dengan permasalahan zihar. Penulis menggunakan penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode maudhu’i dan komparatif. Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya menyimpulkan bahwa zihar adalah ucapan suami kepada istri yang menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, sehingga ia mesti diharamkan seperti ibu. Sedangkan Quraish Shihab berpendapat bahwa zihar adalah ucapan seorang mukallaf kepada wanita yang halal digaulinya (istri) bahwa wanita tersebut sama dengan salah seorang yang haram digauli, baik karena hubungan darah, perkawinan, penyusuan, maupun oleh sebab lain.
Konsep Ikhlas dalam Al-Qur‘An Miss Rosidah Haji Daud; Salman Abdul Muthalib; Muslim Djuned
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v2i2.13635

Abstract

The Qur'an is the holy book of Muslims which is the guide and guidance of human life both as individuals and in groups. One of the solutions offered by the Qur'an in living life is with a sincere attitude, sincerity is the basis for accepting human deeds. While a phenomenon in this modern era, many people are found who tend to view that life is not free, there is always a fee to be paid, this makes them always take into account profit and loss in all aspects of their work, and this situation leads to the difficulty of an action. that humans do sincerely. Therefore, the study of sincerity has its own urgency, so humans do not always measure success with the material they receive. This research is a literature study that wants to explain the meaning of sincerity contained in the Qur'an and the Prophet's hadith. Data was collected through thematic methods and analyzed descriptively. The results of the study indicate that sincerity is an act based on motivation to gain the pleasure of Allah swt. Sincerity is the main condition for the acceptance of an act of worship. Without sincerity, any amount of worship will not reach Allah and even be classified as a useless charity. Al-Qur‘an adalah kitab suci umat Islam yang menjadi pedoman dan tutunan hidup manusia baik sebagai individu maupun berkelompok. Salah satu solusi yang ditawarkan al-Qur‘an dalam menjalani hidup adalah dengan sikap ikhlas, ikhlas merupakan dasar diterimanya amal perbuatan manusia. Sementara fenomena di era modern ini, banyak ditemukan manusia yang cenderung memandang bahwa hidup ini tidak ada yang gratis, selalu ada biaya yang harus dibayar, hal ini yang menjadikan mereka selalu memperhitungkan untung rugi dalam segala aspek pekerjaannya, dan keadaan ini mengarah kepada sulitnya suatu perbuatan yang dilakukan manusia secara ikhlas. Oleh karena itu, kajian tentang ikhlas memiliki urgensi tersendiri, sehingga memuat manusia tidak selalu mengukur keberhasilan dengan materi yang dia terima. Penelitian ini bersifat kepustakaan yang ingin menjelaskan makna ikhlas yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Data yang dikumpulkan melalui metode tematik dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikhlas merupakan perbuatan yang berlandaskan motivasi untuk memperoleh keridhaan Allah swt. Ikhlas adalah syarat utama diterimanya sebuah amal ibadah. Tanpa keikhlasan, amal ibadah sebesar apapun tidak akan sampai kepada Allah dan bahkan tergolong sebagai amal yang sia-sia.
Hijab dalam Kewarisan Islam Berdasarkan Hadis Muslim Djuned; Ikhsan Nur
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v1i1.14280

Abstract

Textually, Islamic inheritance law is the most detailed law mentioned in the Qur'an, but in the settlement of the distribution of inheritance, it often requires re-ijtihad by the scholars. One of the important things in inheritance issues is the hijab issue, which is a barrier for heirs to get inheritance rights due to priority elements or other reasons. Based on the problems above, it is necessary to study in depth about the hijab issue, especially related to the hadith arguments used by scholars as the basis for ijtihad in the hijab issue. This research includes a literature review, while the way it works uses the thematic-correlative method, namely by setting the theme to be discussed and explained based on the theme. The main data used are maqbul hadiths about the hijab of heirs' rights contained in the al-sittah pole. The traditions will be analyzed chronologically based on the thematic-correlative method. The results of the study show that there are several types of hijab in Islamic inheritance that must be applied to prevent disputes between fellow heirs. According to the hadith of the Prophet Muhammad, hijab is a system that reduces or aborts all shares of the inheritance of certain heirs because there are other heirs who are more prioritized or influenced by a forbidden nature attached to the heirs so as to prevent them from obtaining the inheritance. Secara tekstual hukum kewarisan Islam termasuk hukum yang paling rinci disebutkan Alquran, namun dalam penyelesaian pembagian harta warisan sering membutuhkan ijtihad ulang para ulama. Salah satu hal yang penting dalam persolan warisan adalah persoalan hijab, yaitu penghalang bagi ahli waris untuk mendapatkan hak warisan karena unsur prioritas atau alasan lainnya. Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dikaji secara mendalam tentang persoalan hijab, terutama terkait dengan dalil-dalil hadis yang digunakan para ulama sebagai dasar ijtihad dalam persoalan hijab. Penelitian ini termasuk kajian kepustakaan, sedangkan cara kerjanya menggunakan metode tematis-korelatif, yaitu dengan menetapkan tema yang akan dibahas dan dijelaskan berdasarkan tema. Data utama yang digunakan adalah hadis-hadis maqbul tentang hijab hak ahli waris yang terdapat dalam kutub al-sittah. Hadis-hadis akan dianalisis secara kronologi berdasarkan metode tematis-korelatif. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa macam hijab dalam ilmu kewarisan Islam yang harus diterapkan untuk mencegah terjadinya sengketa antara sesama ahli waris. Menurut hadis Rasulullah saw, hijab merupakan suatu sistem yang mengurangi atau menggugurkan seluruh saham harta warisan ahli waris tertentu karena terdapat ahli waris lain yang lebih prioritas atau dipengaruhi suatu sifat terlarang yang melekat pada ahli waris sehingga mencegahnya untuk memperoleh harta warisan.