Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Pidana Denda sebagai Alternatif Pemidanaan pada Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga Ana Indah Cahyani; Yulia Monita; Elizabeth Siregar
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9560

Abstract

ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengaturan sanksi pidana dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga berikut dan  implementasi pidana denda sebagai alternatif pemidanaan pada tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Dengan menggunakan metode yuridis empiris, penelitian menunjukkan bahwa pidana denda sebagai alternatif pemidanaan pada tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga belum terlaksana. Pidana denda sebagai alternatif pidana penjara pada tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga perlu dikembangkan. Karena pidana denda mampu memberikan efek jera dan selaras dengan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, pidana denda lebih mengutamakan keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera guna mengurangi kemungkinan perceraian. Maka dari itu pada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak terlalu berat perlu diterapkan pidana denda sebagai alternatif dari pidana penjara agar terciptanya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan terutama bagi masyarakat, korban dan terpidana itu sendiri. ABSTRACT The objectives to be achieved in this study are: 1) to know and understand the regulation of criminal sanction in cases of domestic violence according to the Law Number 23 Year 2004 Elimination of Domestic Violence. 2) to find out the implementation of criminal fine as an alternative punishment in the crime of domestic violence. Using the empirical juridical method, the study has found that criminal fines as an alternative to criminal acts in domestic violence have not been implemented. Criminal fines as an alternative to imprisonment in domestic violence should be developed because it is able to provide a detterent effect and are aligned with the aim of eliminating domestic violence. Criminal fines prioritize the integrity of a harmonious and prosperous household in order to reduce the possibility of diorce. Therefore in cases of domestic violence that are not too severe it is necessary to apply criminal fines as an alternative to imprisonment in order to create justice, certainty and benefits especially for the community, victims and convicts themselves.
Tinjauan Yuridis Terhadap Tugas dan Kewenangan Jaksa sebagai Penyidik dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Vani Kurnia; Sahuri Lasmadi; Elizabeth Siregar
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 3 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i3.11084

Abstract

ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana tugas dan kewenangan jaksa sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi dan menganalisis bagaimana tugas dan kewenangan jaksa sebagai penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi di masa yang akan datang. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini adalah 1)Bahwa dari segi yuridis, jaksa memiliki wewenang dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, namun kewenangan masing-masing sub sistem dalam sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi harus diperjelas karena sangat menentukan sekali agar kepastian hukum dan kesebandingan hukum dapat tercapai. 2)Bahwa kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dimiliki oleh jaksa saat ini berbenturan dengan sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia. Jika kewenangan penyidikan oleh kejaksaan masih dipertahankan maka terkesan tidak adanya koordinasi antar lembaga penegak hukum karena hampir dalam setiap tahapan penegakan hukum tindak pidana korupsi yaitu tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi, dimiliki oleh lembaga kejaksaan. ABSTRACT This article aims to find out and analyze how the duties and powers of prosecutors as investigators in criminal acts of corruption and analyze the duties and powers of prosecutors as investigators in corruption in the future. The research method used is normative juridical. The results are 1) Whereas from a juridical perspective, the prosecutor has the authority to carry out investigations into criminal acts of corruption, however, the authority of each sub-system in the criminal justice system for corruption must be clarified because it is very decisive so that legal certainty and legal equivalence can be achieved. 2) Whereas the prosecutor's current authority to investigate criminal acts of corruption clashes with the criminal justice system in force in Indonesia. If the investigative authority is maintained by the prosecutor's office, it seems that there is no coordination between law enforcement agencies because almost every stage of law enforcement on corruption, namely the investigation, investigation, prosecution and implementation of court decisions or executions, is owned by the prosecutor's office.
Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Pelanggaran Lalu Lintas yang Dilakukan oleh Anak Ahsanul Rauf; Nys. Arfa; Elizabeth Siregar
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 2 No. 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v2i1.12686

Abstract

This article aims to determine and analyze the application of sanctions against traffic violations committed by children at the Tanjung Jabung Barat Police and to identify and analyze the constraints of implementing sanctions for traffic violations committed by children at the Tanjung Jabung Barat Police. This research is a type of empirical juridical research. The results showed that the form of sanctions against motor vehicle traffic violations committed by children at the Tanjung Jabung Barat Police was divided into 5 (five) forms of action sanctions. The number of traffic violations subject to action sanctions is not specifically pegged for any violations, the form of sanctions given is submitted to members of the Tanjabbar Police Traffic Unit, but generally the sanctions for action are in the form of push ups and being called by their parents and then making a letter of agreement or statement not to repeat again . Constraints in implementing sanctions for traffic violations committed by children at the Tanjung Jabung Barat Police are limited facilities and infrastructure and financial position to be allocated for the application of these sanctions that have not been budgeted for by the government besides its application requires policies and SOPs that must be standardized first through regulatory regulations. legislation. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis penerapan sanksi tindakan terhadap pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Polres Tanjung Jabung Barat dan untuk mengetahui dan menganalisis kendala penerapan sanksi tindakan terhadap pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Polres Tanjung Jabung Barat. Penelitian ini merupakan tipe penelitian yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk sanksi tindakan terhadap pelanggaran lalu lintas kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak di Polres Tanjung Jabung Barat terbagi atas 5 (lima) bentuk sanksi tindakan. Jumlah pelanggaran lalu lintas yang dikenakan sanksi tindakan tidak dipatok khusus untuk pelanggaran apa saja, bentuk sanksi yang diberikan diserahkan kepada pihak anggota Satlantas Polres Tanjabbar, tetapi pada umumnya sanksi tindakan berupa push up dan dipanggil orang tuanya dan kemudian membuat surat perjanjian atau pernyataan tidak mengulangi lagi. Kendala dalam penerapan sanksi tindakan terhadap pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Polres Tanjung Jabung Barat yaitu keterbatasan sarana dan prasarana dan kedudukan keuangan untuk dialokasikan untuk penerapan sanksi tindakan ini belum dianggarkan oleh pemerintah selain penerapannya memerlukan kebijakan dan SOP yang harus dibakukan dulu melalui regulasi peraturan perundang-undangan
Perbandingan Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Malaysia Rizky Amalia; Hafrida Hafrida; Elizabeth Siregar
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 2 No. 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v2i2.13334

Abstract

This article aims to know the comparison between two laws in Indonesia that use Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga and Malaysia which uses the Kanun Keseksaan Malaysia (Akta 574) and Akta Keganasan Rumah Tangga 1994 (Akta 521). This type of research is normative. The results of this study are the arrangements and sanctions for physical violence in households in Indonesia and Malaysia have similarities and differences. Conclusion: In the Undang-Undang PKDRT and Kanun Keseksaan Malaysia (Akta 574) and Akta Keganasan Rumah Tangga 1994 (Akta 521) have similarities which include the concept of physical violence, classification of victims, formulation of criminal sanctions and patterns of imprisonment. Meanwhile, the differences include the number of articles that regulate, the classification of serious injuries, types of crimes, the formulation system of crimes, the amount of criminal threats and types of offenses. Suggestion: hopefully there will be a criminal law reform against the PKDRT Law related to the classification of serious injuries, the criminal formulation system and the amount of the threat of imprisonment. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara dua hukum di Indonesia yang menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Malaysia yang menggunakan Kanun Keseksaan Malaysia (Akta 574) dan Akta Keganasan Rumah Tangga 1994 (Akta 521). Tipe Penelitian ini adalah normatif. Hasil Penelitian ini adalah pengaturan dan sanksi kekerasan fisik dalam rumah tangga di Indonesia dan Malaysia memiliki persamaan dan perbedaan. Kesimpulan: Dalam Undang-Undang PKDRT dan Kanun Keseksaan Malaysia (Akta 574) serta Akta Keganasan Rumah Tangga 1994 (Akta 521) memiliki persamaan yang meliputi konsep kekerasan fisik, klasifikasi korban, rumusan sanksi pidana dan pola ancaman pidana penjara. Sedangkan perbedaannya meliputi jumlah Pasal yang mengatur, klasifikasi luka berat, jenis pidana, sistem perumusan pidana, besar ancaman pidana dan jenis delik. Saran: diharapkan adanya pembaharuan hukum pidana terhadap Undang-Undang PKDRT terkait klasifikasi luka berat, sistem perumusan pidana dan besar ancaman pidana penjara.
Pelaksanaan Lelang Terhadap Barang Rampasan Ralia Fitria; Elizabeth Siregar; Erwin Erwin
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i1.17789

Abstract

The purpose of this study was to determine the feasibility procedure for the auction of the booty carried out by the Jambi District Attorney and to find out the obstacles in the implementation of the booty auction and the efforts to overcome it. The results of the research are: The execution process of the looted goods carried out by the Jambi District Attorney is carried out in 3 (three) stages, namely: 1) Pre Auction, namely before the sale of the booty auction, it is necessary to obtain a permit. 2) The implementation of the auction as well as the auction of the confiscated goods can be carried out and does not conflict with the applicable laws and regulations. 3) After the auction, as must be done steps to deposit and report the results of the auction and make minutes of the meeting. The obstacle that often occurs in the execution of the AGO's execution auction is the issuance of a permit for the auction of looted goods carried out by the Indonesian Attorney General's Office which needs consideration. Efforts that can be made in dealing with the problem of the length of time for issuing permits to conduct auctions and determining the limit price of confiscated goods require quick and decisive action from the Attorney General's Office of the Republic of Indonesia. ABSTRAK  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui  prosedur kelayakan pelaksanaan pelelangan barang rampasan yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jambi dan untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaan pelelangan barang rampasan tersebut dan upaya untuk mengatasinya. Hasil penelitian adalah: Proses eksekusi terhadap barang rampasan yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jambi dilakukan dengan 3 (tiga) tahap, yaitu: 1)Pra Lelang yaitu sebelum dijual lelang barang rampasan perlu mendapatkan izin. 2)Pelaksanaan Lelang sebagaimana pelaksanaan lelang terhadap barang rampasan tersebut dapat dilaksanakan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3)Pasca Lelang sebagaimana harus dilakukan langkah penyetoran dan laporan hasil lelang dan membuat risalah rapat. Kendala yang sering terjadi dalam pelaksanaan lelang eksekusi Kejaksaan adalah pengeluaran surat izin lelang barang rampasan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung RI yang perlu pertimbangan. Upaya yang dapat dilakukan dalam menangani masalah lamanya waktu pengeluaran izin pelaksanaan lelang dan penentuan harga limit barang rampasan perlu adanya tindakan yang cepat dan tegas dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Urgensi Penyerapan Nilai Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Pengaturan Tindak Pidana Perzinaan Usman Usman; Sri Rahayu; Elizabeth Siregar
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.1.125-157

Abstract

Reflecting on the impact of adultery, adultery is a despicable act that deserves to be criminalized. Even so, the prohibition on adultery in Article 284 of the Criminal Code does not cover every form of adultery as in the view of the law that lives in society as reflected in Islamic and customary laws. The model for the formulation of the criminal act of adultery in the 2019 Criminal Code Bill has adopted the definition of adultery from the law that lives in society, although it does not yet view the perpetrator's marital status and pregnancy as burdensome elements. Likewise, it does not criminalize women who with their consent commit adultery because of trickery, and lightly penalize the perpetrators of living together as a family without being married. Therefore, the model for the formulation of the criminal act of adultery in the upcoming Criminal Code Bill should take into account: a) the marital status of the perpetrator and pregnancy as elements that are burdensome for the crime; b) a woman who with her consent commits adultery because of a trick is both a victim and a perpetrator so that she can be convicted; c) persons who live together as husband and wife outside of marriage should receive a heavier punishment than the basic form of adultery. Abstrak Bercermin dari dampak perzinaan, maka perzinaan merupakan perbuatan tercela yang pantas dikriminalisasi. Meskipun demikian, larangan perzinaan dalam Pasal 284 KUHP belum mencakup setiap bentuk perzinaan sebagaimana dalam pandangan hukum yang hidup dalam masyarakat yang tercermin dari hukum Islam dan hukum adat. Model perumusan tindak pidana perzinaan dalam RUU KUHP tahun 2019 telah mengadopsi definisi zina dari hukum yang hidup dalam masyarakat, meskipun belum memandang status perkawinan pelaku dan kehamilan sebagai unsur yang memberatkan. RUU juga tidak mengkriminalisasi perempuan yang dengan persetujuannya melakukan perzinaan karena tipu muslihat, dan memidana ringan pelaku hidup bersama sebagai keluarga tanpa nikah. Oleh karena itu model pengaturan tindak pidana perzinaan dalam RUU KUHP mendatang sebaiknya memerhatikan: a) status perkawinan pelaku dan kehamilan sebagai unsur yang memberatkan pidana; b) perempuan yang dengan persetujuannya melakukan perzinaan karena tipu muslihat merupakan korban sekaligus pelaku sehingga dapat dipidana; c) orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan seharusnya mendapat pidana lebih berat dibanding jenis perzinaan dalam bentuk pokok.
THE ROLE OF THE COMMUNITY IN THE FRAMEWORK OF PREVENTION AND ERADICATION OF CORRUPTION IN THE PERSPECTIVE OF LAWS IN INDONESIA Yulia Monita; Elizabeth Siregar; Dheny Wahyudi
Berumpun: International Journal of Social, Politics, and Humanities Vol 2 No 2 (2019): Berumpun : International Journal Of Social, Politics, and Humanities
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences University of Bangka Belitung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (604.075 KB) | DOI: 10.33019/berumpun.v2i2.19

Abstract

Law Enforcement Problems including corruption, both prevention and eradication of corruption are not only the duty of law enforcers, but the duties of all parties including the public, community participation in the prevention and eradication of corruption have been regulated in many laws and regulations in Indonesia, this matter is interesting in detail, whether the regulation of community participation is still not appropriate so that the public does not know it or still needs a deeper analysis of the provisions of the articles on community participation so that the community is more optimal in playing an active role in efforts to prevent and eradicate corruption. Based on the explanation, the problem in this research is: How are the Settings and Forms of Community Participation in the Prevention and Eradication of Corruption in the Perspective of Laws in Indonesia? To answer this problem, the type of research used in this study is the type of normative legal research that is a type of research that examines matters that are theoretical, principles, conceptions, legal doctrines and legal norms relating to community participation in the framework of prevention and combating corruption in the perspective of legislation in Indonesia. While the legal materials used are primary, secondary and tertiary legal materials. The results of this study will analyze legally the rules and forms of community participation in the prevention and eradication of criminal acts of corruption in various laws and regulations in Indonesia. There are several regulations that still need to be improved in the formulation of norms so that they can be more understood and understood by the public. Recommendations from this research are the arrangement and forms of community participation in the prevention and eradication of criminal acts of corruption in various laws and regulations in Indonesia must have a good norm formulation and need to be socialized to the public so that people know and participate, so the formulation of norms in the legislation is not only contained in legislation but can be applied by the community in the context of preventing and eradicating criminal acts of corruption in the perspective of legislation in Indonesia.
Kajian Normatif Tentang Penyitaan Barang Bukti Dalam Tindak Pidana Korupsi Yulia Monita; Hafrida Hafrida; Nys Arfa; Elizabeth Siregar
Jurnal Sains Sosio Humaniora Vol. 5 No. 2 (2021): Volume 5, Nomor 2, Desember 2021
Publisher : LPPM Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Masih banyaknya permasalahan yang terjadi berkenaan dengan penyitaan barang bukti dalam Tindak pidana korupsi, baik mengenai pengaturan maupun implikasi dari penyitaan barang bukti dalam Tindak pidana korupsi. Hal ini penting untuk di teliti, karena pengaturan akan membawa dampak dari keabsahan alat bukti tersebut. Keabsahan alat bukti ini akan berpengaruh untuk hakim dalam pertimbangan hukum dan memutuskan suatu putusan dari suatu kasus Tindak pidana korupsi. Hal ini harus jelas untuk memberikan kepastian hukum berkaitan prosedur penyitaan barang bukti dalam tindak pidana korupsi, agar alat bukti yang di sita tersebut memang dilakukan sesuai ketentuan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Namun ada persoalan jika penyitaan dilakukan tidak sesuai prosedur atau bahkan melanggar ham, tapi alat bukti tersebut tetap dijadikan alat bukti dipersidangan dan tetap dipertimbangakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah perangkat hukum untuk penyitaan barang bukti dalam tindak pidana korupsi sudah cukup memandai, termasuk impilkasi keabsahan dari barang bukti tindak pidana korupsi tersebut. Apakah masih diperlukan aturan hukum lainnya untuk pengaturan penyitaan barang bukti dalam tindak pidana korupsi. Berdasarkan paparan tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah Pengaturan penyitaan barang bukti dalam tindak pidana korupsi ? Bagaimana implikasi penyitaan alat bukti dalam tindak pidana korupsi terhadap keabsahan alat bukti dalam sistem peradilan pidana Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian hukum normatif yaitu suatu tipe penelitian yang mengkaji hal-hal yang bersifat teoritis, asas, konsepsi, doktrin hukum serta kaidah hukum yang berhubungan dengan penyitaan barang bukti dalam tindak pdiana korupsi. Sedangkan bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tertier beserta sumbernya. Dari hasil penelitian menjawab semua permasalahan yang ada dengan cara menganalisis secara yuridis yang dapat memberikan kontribusi berupa pemikiran-pemikiran secara hukum mengenai pengaturan dan implikasi penyitaaan alat bukti dalam tindak pidana korupsi tersebut.
Sosialisasi E-Sertifikat Tanah Dalam Rangka Mewujudkan Kepastian Hukum Di Indonesia Rosmidah Rosmidah; Elizabeth Siregar; Dony Yusra Pebrianto
Jurnal Karya Abdi Masyarakat Vol. 5 No. 3 (2021): Volume 5, Issue 3, Desember 2021
Publisher : LPPM Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (424.874 KB)

Abstract

Pendaftaran tanah merupakan kegiatan pemerintah dalam rangka mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah. Oleh karena itu berdasarkan Pasal 19 UUPA Pemerintah mengatur Pendaftaran tanah melalui PP No.10 Tahun 1961 dan PP No. 24 tahun 1997. Dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan pada masa covid, maka pemerintah meningkatkan layanan pertanahan dengan suatu kebijakan berupa kemudahan dalam pemberian hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yakni melalui layanan pertanahan yang dilakukan dengan sistem digital melalui elektronik. Pemanfaatan teknologi digital ini menjadi perhatian/sorotan khusus terkait dengan dikeluarkannya aturan baru yakni sertipikat tanah asli milik masyarakat akan ditarik mulai tahun 2021 dengan terbitnya Permen Agraria dan Tata Ruang No. 1 Tahun 2021. Hal ini menjadi kekhawatiran dan permasalahan bagi masyarakat, Oleh sebab ini maka diadakan penyuluhan hukum di Desa Petanang Kecamatan Kumpeh Ilir Kab. Muaro Jambi. Penyuluhan ini dihadiri Kepala desa dan sekretaris, anggota BPD, ibu Ketua PKK Desa dan warga masyarakat. Hasil pengabdian bahwa: kecemasan publik tentang sertifikat tanah elektronik salah satunya didasari masalah keamanan. Tidak sedikit masyarakat yang merasa bahwa dengan memegang salinan sertifikat tanah dalam bentuk fisik amat vital, terutama saat terjadi sengketa. Bukan hanya itu, kasus sertifikat kepemilikan tanah ganda cukup banyak terjadi, sehingga publik pun sulit untuk begitu saja percaya dengan rencana pemerintah untuk beralih ke sertifikat elektronik atau dikenal dengan sertifikat-el. Selain itu, sistem keamanan digital pemerintah untuk sertifikat tanah elektronik ini juga masih menjadi tanda tanya. Bagaimana apabila terjadi peretasan yang mengakibatkan kebocoran data penting masyarakat, sehingga bisa disalahgunakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Peraturan ini perlu ditinjau kembali, apakah sudah saatnya pemerintah menerapkan system elektronik dalam proses pendaftaran tanah mengingat sejumlah kasus sertifikat ganda terus meningkat.
Perlindungan Hukum terhadap Korban yang Salah Tangkap dalam Proses Penyidikan Rina Maryani; Dheny Wahyudhi; Elizabeth Siregar
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i2.20035

Abstract

This study aims to determine and analyze the legal protection arrangements for victims who were wrongly arrested in the investigation process and to find out and analyze why the current regulations have not provided protection for victims who were wrongly arrested in the investigation process. This study uses the Statue Approach, Conceptual Approach Case Law Approach. The results of this study indicate that the regulation of legal protection for victims of wrongful arrest is regulated in Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) and further regulations are regulated in Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. The form of protection for victims of wrongful arrest is regulated in Article 95 and Article 97 KUHAP on Compensation and Rehabilitation. However, the current regulation still cannot provide or reflect legal protection and certainty for victims of wrongful arrests. And in its implementation it does not have coercive power which in Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 is not clear who has to pay and there are no consequences if the compensation is not paid. So there is a vagueness of norms, where the norms that regulate victims of wrongful arrest have not been able to provide protection for victims.Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan perlindungan hukum terhadap korban yang salah tangkap dalam proses penyidikan dan untuk mengetahui dan menganalisis mengapa dengan aturan yang sekarang belum memberikan perlindungan terhadap korban yang salah tangkap dalam proses penyidikan. Penelitian ini menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) dan Pendekatan Kasus (Case Law Approach). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa  pengaturan  perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan pengaturan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bentuk perlindungan bagi korban salah tangkap diatur dalam Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. Namun dengan pengaturan yang sekarang ini masih belum bisa memberikan ataupun mencerminkan perlindungan dan kepastian hukum terhadap korban salah tangkap. Dan dalam pelaksanaannya tidak mempunyai daya paksa yang mana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tersebut tidak jelas siapa yang harus membayar dan tidak adanya konsekuensi jika ganti rugi tersebut tidak dibayarkan. Sehingga terdapat adanya kekaburan norma, dimana norma yang mengatur korban salah tangkap belum bisa memberikan perlindungan terhadap korban.