Fifin Luthfia Rahmi
Unknown Affiliation

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Pengaruh lama mengunyah terhadap kadar glukosa postprandial dewasa obesitas Wulansari, Arin; Luthfinnisa, Fryta Ameilia; Uyun, Fuadah; Retnoningrum, Dwi; Rahmi, Fifin Luthfia; Wildan, Arief
Jurnal Gizi Indonesia (The Indonesian Journal of Nutrition) Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : Department of Nutrition Science, Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (278.198 KB) | DOI: 10.14710/jgi.8.1.24-30

Abstract

Background: Obesity cause various physiological changes in the body, one of which is insulin resistance causes high blood glucose levels. Chewing is a stimulus of cephalic phase responses and sensory stimulation that can increase hormones releasing such as insulin, ghrelin, cholecystokinin (CCK) and glucagon like peptide-1 (GLP-1). Chewing plays important role in determining postprandial plasma glucose concentration.Objective: Investigate the effect of chewing on postprandial blood glucose in obese adults.Method: This was true experimental research. Research subjects were treated in the form of chewing 22 times and 40 times each mouthful. Blood glucose levels were measured using glucometer on fasting blood glucose and postprandial blood glucose 15 minutes, 30 minutes, 60 minutes, and 120 minutes. Statistical test using Independent t-test.Results: The mean postprandial glucose levels in the 22 chews group at 15 minutes, 30 minutes, 60 minutes, and 120 minutes were 112.11 ± 14.3328, 126.11 ± 15.667, 116.94 ± 15.539, and 89.67 ± 11.668 . While the mean postprandial blood glucose levels in the 40 chews group at 15 minutes, 30 minutes, 60 minutes, and 120 minutes were 122.22 ± 14.381, 129.61 ± 15.112, 109.50 ± 14.995, and 85.83 ± 13.963. There were statistically significant differences between chewing groups 22 times and chewing 40 times on fasting blood glucose and 15 minutes postprandial blood glucose (p = 0.041 and p = 0.042), while on 30 minutes postprandial glucose testing, 60 minutes , and 120 minutes there was no significant difference (p> 0.05).Conclusion: There was significant differences in 15 minutes postprandial blood glucose level between group 22 times chewing and 40 times chewing each mouthful.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MIOPIA PADA ANAK SD DI DAERAH PERKOTAAN DAN DAERAH PINGGIRAN KOTA Wulansari, Dewi; Rahmi, Fifin Luthfia; Nugroho, Trilaksana
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (398.738 KB)

Abstract

Latar Belakang Kelainan refraksi merupakan salah satu penyakit mata yang dapat menyebabkan kebutaan. Miopia merupakan salah satu bentuk kelainan refraksi. Data WHO tahun 2010 didapatkan prevalensi miopia di dunia sebesar 27% dan 2,8% untuk miopia tinggi. Faktor risiko terjadinya miopia adalah faktor keturunan dan faktor lingkungan. Diperlukan studi tentang faktor risiko dalam upaya pencegahan miopia.Tujuan Mengetahui dan menganalisis perbedaan prevalensi dan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan miopia miopia pada anak sekolah di perkotaan dan pinggiran kotaMetode Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan studi crossectional. Subjek penelitian adalah siswa SD kelas 4-6, dengan jumlah 59 di pinggiran kota dan 75 di perkotaan. Data dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Uji statistik yang dilakukan adalah uji Chi-square.Hasil Prevalensi miopia di perkotaan 56%, sedangkan di pinggiran kota 28,8%. Didapatkan hasil yang signifikan antara jarak membaca buku (p=0,011), dan aktivitas di luar ruangan pada hari libur (p=0,002) dengan miopia di daerah perkotaan. Di daerah pinggiran kota didapatkan hasil yang tidak signifikan antara faktor-faktor yang diteliti dengan miopia. Didapatkan hasil yang signifikan antara letak geografis dengan miopia (p=0,002)Simpulan Prevalensi miopia lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan piggiran kota. Faktor yang berhubungan dengan miopia di perkotaan adalah tingkat pendidikan orang tua, status ekonomi, jarak membaca buku, dan aktivitas di luar ruangan pada hari libur. Tidak terdapat hasil yang signifikan antara faktor-faktor dengan miopia di pinggiran kota. Terdapat hubungan antara letak geografis dengan miopia.
HUBUNGAN JENIS TERAPI DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN GLAUKOMA Johanes Jethro Nugroho; Fifin Luthfia Rahmi; Trilaksana Nugroho
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 8, No 2 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (386.583 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v8i2.23796

Abstract

Latar belakang: Glaukoma merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan kebutaan yang bersifat irreversible. Pada tahun 2010, jumlah orang yang menderita glaukoma sudut terbuka diperkirakan sebanyak 44 juta orang sedunia dan sebanyak 2,7 juta terdapat di Amerika Serikat. Oleh karena itu membutuhkan penanganan terapi yang tepat. Penanganan kasus glaukoma tidak hanya mencapai target klinis namun juga diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup pasien.  Untuk itu perlu adanya pengetahuan mengenai hubungan jenis terapi tertentu dengan kualitas hidup pasien glaukoma. Tujuan: Mengetahui adanya hubungan kualitas hidup pada pasien glaukoma dengan terapi yang diberikan.  Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan mengambil data nilai kualitas hidup melalui wawancara pasien RSUP Dr. Kariadi Semarang yang sudah menjalani terapi glaukoma menggunakan kuesioner NEI-VFQ-25 (National Eye Institute Visual Function Questionnaire 25). Terapi glaukoma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu, kelompok terapi medikamentosa dan operatif. Data tersebut kemudian disusun dan dilakukan analisis statistik dengan uji Independent-t dan uji Mann Whitney untuk melihat perbedaan nilai kualitas hidup antara jenis terapi medikamentosa dan operatif.  Hasil: Terdapat 22 subjek penelitian kelompok terapi medikamentosa dan 23 subjek penelitian kelompok terapi operatif. Rerata nilai Kualitas Hidup kelompok terapi medikamentosa lebih tinggi (75,69 ± 9,48) dibandingkan dengan terapi operatif (71,10 ± 15,91). Namun, secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok dalam hal kualitas hidup (p=0,246).  Kesimpulan: Terdapat perbedaan rerata nilai kualitas hidup pada kelompok terapi medikamentosa dibandingkan dengan kelompok terapi operatif. Nilai rerata kualitas hidup pada kelompok terapi medikamentosa lebih tinggi dibandingkan kelompok operatif. Namun, secara statistik tidak signifikan. Kata kunci: Glaukoma, Kualitas Hidup, Terapi Medikamentosa, Terapi Operatif
CORRELATIONS BETWEEN SUCCESSFUL THERAPY AND ANXIETY LEVEL OF POST OPERATIVE GLAUCOMA PATIENTS Singgih Pratama; Arief Wildan; Riski Prihatningtias; Fifin Luthfia Rahmi
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 9, No 3 (2020): DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL ( Jurnal Kedokteran Diponegoro )
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (303.145 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v9i3.27505

Abstract

Background : Glaucoma is a disease that can cause damage to the optic nerve. High intraocular pressure is a major risk factor for glaucoma. The main goal of treating glaucoma is to control the disease progression by reducing intraocular pressure to the normal range or in accordance with the target pressure, and unsuccessful treatment can lead to anxiety. Aims : Identifying the correlation between therapeutic success and anxiety levels in post-operative glaucoma patients. Methods : This research used observational analytic method with a cross-sectional design. A total of 34 post-operative glaucoma patients were collected by consecutive sampling at the Eye Outpatient Installation of Dr. Kariadi Hospital Semarang. The anxiety level was assessed using the Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) questionnaire. Data analysis in the study used the Contingency Coefficient test. Results : A total of 34 glaucoma patients consisted of 17 patients who successfully achieved the target pressure and 17 patients who failed to achieve the target pressure. There was a significant correlation between the success of glaucoma therapy with anxiety levels (p = 0.008) and there was a weak relationship between the two variables (r = 0.471). Conclusion : There is a correlation between therapeutic success and anxiety levels in post-operative glaucoma patients.
PERBANDINGAN KEBERHASILAN TERAPI TRABEKULEKTOMI PADA GLAUKOMA PRIMER SUDUT TERBUKA DAN GLAUKOMA PRIMER SUDUT TERTUTUP Azhar Wirayudha; Fifin Luthfia Rahmi; Riski Prihatningtias; Maharani Maharani
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 8, No 4 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (293.922 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v8i4.25322

Abstract

Latar Belakang: Glaukoma primer sudut terbuka merupakan bentuk glaukoma yang sering ditemukan yang disebabkan sumbatan pada trabecular meshwork. Sedangkan glaukoma primer sudut tertutup disebabkan karena tersumbatnya saluran drainase. Trabekulektomi merupakan salah satu terapi untuk glaukoma yang bertujuan untuk menurunkan tekanan intra okular dengan membuat saluran humor akuos baru. Tujuan: Mengetahui perbandingan keberhasilan terapi trabekulektomi pada glaukoma primer sudut terbuka dan glaukoma primer sudut tertutup. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross-sectional, yaitu mengambil data sekunder dari rekam medik dan hasil pemeriksaan setelah intervensi. Intervensi adalah trabekulektomi. Sampel adalah 50 pasien yang menderita glaukoma primer, dibagi menjadi 25 pasien glaukoma primer sudut terbuka dan 15 pasien glaukoma primer sudut tertutup yang menjalani operasi trabekulektomi yang sesuai dengan kriteria tertentu dan melakukan follow up selama minimal 3 bulan. Uji statistik menggunakan uji Chi-square. Hasil: Keberhasilan trabekulektomi pasca 3 bulan operasi pada glaukoma primer sudut terbuka 52% Complete Success, 44% Qualified Success, 4% Failure. Pada glaukoma primer sudut tertutup 16% Complete Success, 48% Qualified Success, 36% Failure. Kesimpulan: Terdapat perbedaan tingkat keberhasilan trabekulektomi pada glaukoma primer sudut terbuka dan glaukoma primer sudut tertutup.Kata Kunci: Trabekulektomi, Glaukoma Primer Sudut Terbuka, Glaukoma Primer Sudut Tertutup
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROGRESIVITAS MIOPIA PADA MAHASISWA KEDOKTERAN Inez Sharfina Primadiani; Fifin Luthfia Rahmi
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 6, No 4 (2017): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (390.895 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v6i4.18381

Abstract

Latar Belakang  : Sebagian besar miopia berkembang pada anak usia sekolah dan akan stabil pada usia remaja. Namun, pada sebagian orang akan menunjukkan perubahan ketika usia dewasa muda pada saat duduk di bangku perkuliahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi progresivitas miopia belum jelas, namun bukti mengatakan bahwa adanya kondisi multifaktorial antara lain genetik dan faktor lingkungan dapat menyebabkan berkembangnya miopia.Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi progresivitas miopia pada mahasiswa kedokteran.Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Subjek penelitian sebanyak 59 orang dipilih secara simple random sampling dari mahasiswa kedokteran umum Universitas Diponegoro angkatan 2013 dengan mengisi kuesioner. Uji hipotesis menggunakan uji Chi-Square.Hasil : Sebanyak 5 responden (8,5%) adalah penderita myopia progresif, dan 54 (91,5%) tidak progresif. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan progresivitas miopia (p = 0,23). Tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara jarak, lama, posisi, dan intensitas cahaya pada aktivitas melihat dekat dengan progresivitas miopia (p>0,05).Simpulan : Riwayat keluarga miopia, jarak, lama, posisi, dan intensitas cahaya aktivitas melihat dekat yang merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan miopia pada penelitian ini tidak terbukti sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi progresivitas miopia.
PERBANDINGAN PENURUNAN TEKANAN INTRAOKULER PASCA TRABEKULEKTOMI DAN PASCA FAKO-TRABEKULEKTOMI PADA GLAUKOMA PRIMER SUDUT TERTUTUP: STUDI PADA BERBAGAI STADIUM Nur Muhammad Ichsan; Maharani Maharani; Fifin Luthfia Rahmi
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.984 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i2.21277

Abstract

Latar Belakang Glaukoma primer sudut tertutup seringkali ditangani dengan operasi trabeulektomi ataupun fako-trabekulektomi. Tetapi belum ada yang menelitinya pada berbagai stadium.Tujuan Membandingkan penurunan tekanan intraokuler (TIO) pasca trabekulektomi dengan pasca fako-trabekulektomi pada berbagai stadium glaukoma primer sudut tertutup.Metode Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross-sectional.  Sampel adalah 30 buah rekam medik pasien glaukoma primer sudut tertutup dengan kriteria tertentu, yang dibagi menjadi 15 rekam medik pasien yang dioperasi dengan trabekulektomi dan 15 rekam medik pasien yang dioperasi dengan fako-trabekulektomi. Data yang diambil adalah nomor rekam medik, umur, jenis kelamin, diagnosis glaukoma primer sudut tertutup beserta cup-disk ratio, TIO pra operasi, pasca operasi, dan saat follow-up selama minimal 3 bulan, dan obat antiglaukoma tambahan. Uji statistik menggunakan uji t tidak berpasangan. Hasil Dari data 30 sampel, didapatkan rerata penurunan TIO pada keseluruhan sampel kelompok trabekulektomi 23,07 ± 14,48 mmHg, stadium ringan 12,30 ± 6,51 mmHg, stadium sedang 19,27 ± 10,29 mmHg, dan stadium berat 29,41± 16,68 mmHg. Pada kelompok fako-trabekulektomi hasil rerata penurunan TIO pada keseluruhan sampel 14,39 ± 10,94 mmHg, stadium ringan 19,77 ± 14,72 mmHg, stadium sedang 10,32 ± 5,31 mmHg, dan stadium berat 15,00 ± 12,63 mmHg. Uji t tidak berpasangan tidak menunjukkan perbedaan bermakna antar kedua kelompok, baik secara umum (p = 0,074) maupun pada berbagai stadium (stadium ringan: p = 0,562; stadium sedang: p = 0,114; stadium berat: p = 0,098).Kesimpulan Tidak ada perbedaan penurunan TIO yang bermakna pasca trabekulektomi maupun pasca fako-trabekulektomi pada berbagai stadium glakuoma primer sudut tertutup.
PENGARUH PENGGUNAAN BETA BLOCKER TOPIKAL JANGKA PANJANG TERHADAP SENSIBILITAS KORNEA PADA PASIEN GLAUKOMA Tusita Devi; Fifin Luthfia Rahmi
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 6, No 2 (2017): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (331.299 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v6i2.18644

Abstract

Latar Belakang : Penurunan sensibilitas kornea merupakan salah satu efek samping dari penggunaan beta blocker topikal yang dapat menimbulkan berbagai masalah seperti penurunan reflex mengedip, penurunan kemampuan penyembuhan luka pada kornea, dan terkait juga dengan penurunan sekresi air mata.Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara sensibilitas kornea dengan lama penggunaan beta blocker pada pasien glaukoma di RSUP Dr. Kariadi Semarang.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional, yang menggunakan data dari wawancara dengan pasien dan pemeriksaan langsung. Pemeriksaan sensibilitas kornea menggunakan alat estesiometer Cochet-Bonnet. Uji statistik yang digunakan adalah uji non parametrik Spearman.Hasil : Sebanyak 44 mata dari 25 pasien glaukoma yang terdiri dari 9 laki-laki dan 16 perempuan dan telah diwawancara lama penggunaan beta blocker diperiksa sensibilitas korneanya. Kelompok subjek yang menggunakan beta blocker < 6 bulan memiliki rerata skor sensibilitas yang lebih baik, yaitu 14,395 mg/mm2 ,diikuti kelompok subjek yang menggunakan beta blocker selama 6-12 bulan dengan rerata skor 15,148 mg/mm2, sedangkan subjek yang menggunakan beta blocker lebih lama, yaitu >12 bulan memiliki rerata skor sensibilitas kornea tertinggi yaitu  19,958 mg/mm2. Uji non parametrik Spearman menunjukkan adanya kekuatan korelasi sedang, yaitu r=0,495, dengan p =0,001.Kesimpulan : Terdapat hubungan antara penurunan sensibilitas kornea dengan lama penggunaan beta blocker pada pasien glaukoma.
The Tingkat Keberhasilan Trabekulektomi dan Faktor yang Berpengaruh pada Keberhasilan Trabekulektomi di RS Dr. Kariadi Semarang novika pristiwati; Fifin Luthfia Rahmi
Majalah Oftalmologi Indonesia Vol 46 No 1 (2020): Ophthalmologica Indonesiana
Publisher : The Indonesian Ophthalmologists Association (IOA, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (318.039 KB) | DOI: 10.35749/journal.v46i1.99980

Abstract

Latar belakang : Trabekulektomi merupakan prosedur yang sering dilakukan untuk menurunkan tekanan intra okuler ( TIO ) pada pasien glaukoma. Tingkat keberhasilan trabekulektomi dapat dinilai melalui TIO. Tujuan : Untuk mengetahui tingkat keberhasilan trabekulektomi di RS dr. Kariadi Semarang serta untuk mngidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode : penelitian ini merupakan suatu studi kohort retrospektif. Pasien yang menjalani trabekulektomi primer di RS dr. Kariadi pada 2016 -2017 dievaluasi selama 3 bulan berturut – turut dan dikelompokkan ke dalam 3 kategori: berhasil total , berhasil sebagian, dan gagal. Faktor – faktor baik preoperatif , intraoperatif dan postoperatif dianalisa untuk mengetahui besar pengaruhnya terhadap keberhasilan trabekulektomi. Result : Terdapat 164 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Tingkat keberhasilan pada kelompok berhasil total trabekulektomi adalah sebesar 28,4% dan berhasil sebagian sebesar 44,2 % Berdasarkan penelitian ini riwayat operasi intraokuler dan tingkat keparahan glaukoma menjadi faktor yang mempengaruhi hasil akhir trabekulektomi. Evaluasi TIO selama 3 bulan pada kelompok berhasil total lebih stabil dibandingkan kelompok lain. Kesimpulan : Tingkat keberhasilan dapat dinilai melalui TIO. Riwayat operasi intraokuler dan derajat keparahan glaukoma merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan trabekulektomi.
LATE-ONSET, BLEB-ASSOCIATED ENDOPHTHALMITIS CAUSED BY STAPHYLOCOCCUS AUREUS Riskha Pangestika; Fifin Luthfia Rahmi; Maharani Maharani
Majalah Oftalmologi Indonesia Vol 49 No 1 (2023): Ophthalmologica Indonesiana
Publisher : The Indonesian Ophthalmologists Association (IOA, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35749/journal.v49i1.100429

Abstract

Introduction: Bleb-associated endophthalmitis (BAE) is a potentially sight-threatening complications of trabeculectomy and is associated with poor visual outcome. BAE denotes an ocular infection with involvement of the vitreous, which usually develops months or years after glaucoma filtering surgery. The purpose of this case report was to present a case about late onset BAE caused by Staphylococcus aureus. Methods: A 55-year-old male presented with a 3-days history of left eye pain, redness, hypopion decreased visual acuity and hypotony with Seidel test positive. He had a history of primary open angle glaucoma that was treated with a combined procedure of cataract surgery and trabeculectomy in the left eye ten years earlier. His visual acuity had decreased from 6/20 to light perception. This patient showed signs of hypotony, endophthalmitis, leak, and pain but no previous history of using anti-fibrotic agents. BAE causative organisms cultures grew the S.aureus, that frequent cause of acute-onset endophthalmitis. The patient underwent treatment with pars plana vitrectomy, vitreous taps, administered intravitreal antibiotic, and prescribed hourly topical antibiotic. Six months after his last treatment, his left eye shows no residual infection, and visual acuity increase to 1/60. Results: One case of late onset BAE with visual improvement after early vitrectomy, intravitreal, oral and topical antibiotic treatment. Conclusion: Despite the poor prognosis of BAE caused by S.aureus infection, after proper treatment can yield an adequate result, as demonstrated in this case.