This Author published in this journals
All Journal TSAQAFAH
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Antara Teodisi dan Monoteisme: Memaknai Esensi Keadilan Ilahi Sujiat Zubaidi
TSAQAFAH Vol 7, No 2 (2011): Islamic Theology
Publisher : Universitas Darussalam Gontor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (302.235 KB) | DOI: 10.21111/tsaqafah.v7i2.2

Abstract

In the tradition of Islamic thought, the problem of crime usually arises in connection with the justice of God. Various schools of Islamic thought have their own views and interpretations in accordance with their respective principles. However, they differ from Western philosophers and thinkers who tend to discredit God. For the Muslim philosophers, especially theologians, their orientation in addressing this problem is precisely to maintain the tanzih and the tawhid of God. In principle, the word fair is used in four aspects. First, the fair is a state of balance; second, equality and disclaimer of any distinction; third, to maintain individual rights and give the right to every person entitled to receive; fourth, maintaining the right of sustainability of the life existence. Furthermore, the most crucial problem is if the principle of divine justice which is confronted with the phenomenon of various evils in the world. Indeed, when there is the evil, there must be the good, and where there is the good there will be the evil. Good and evil are united and bounded with in nature. Both are a compound between existence and non-existence. According to Iqbal, the universe can be updated again, while the elements of sin and evil can be eliminated gradually through optimal effort and full of optimism with the good. Iqbal claimed that Muslims could be strong and free from evil and its destruction by the selfaffirmation, self-expression, and self-development.Dalam tradisi pemikiran Islam, masalah kejahatan biasanya dihubungkan dengan keadilan Ilahi. Berbagai madzhab pemikiran Islam memiliki pandangan dan interpretasi sendiri sesuai dengan prinsip masing-masing. Namun, mereka berbeda dari filsuf dan pemikir Barat yang cenderung mendiskreditkan Tuhan.Para filsuf Muslim, terutama teolog, orientasi mereka dalam menangani masalah ini justru untuk menjaga tanzih dan tauhid Allah. Dalam prinsipnya, kata adil digunakan dalam empat aspek. Pertama, adil adalah suatu keadaan keseimbangan; kedua, kesetaraan dan sanggahan terhadap perbedaan; ketiga, untuk mempertahankan hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak untuk menerima; dan keempat, mempertahankan hak keberlanjutan keberadaan kehidupan. Selain itu, masalah yang paling krusial adalah jika prinsip keadilan Ilahi yang dihadapkan dengan fenomena berbagai kejahatan di dunia. Memang, bila ada kejahatan, harus ada yang baik, dan di mana ada kebaikan, maka akan ada kejahatan. Tulisan iuni menyimpulkan, bahwa baik dan buruk selalu inheren dan menyatu dalam kosmos. Keduanya adalah senyawa antara eksistensi dan non-eksistensi. Menurut Iqbal, alam semesta dapat diperbarui lagi, sedangkan unsur dosa dan kejahatan dapat dihilangkan secara bertahap melalui upaya optimal dan penuh optimisme dengan baik. Iqbal menyatakan bahwa umat Islam dapat menjadi kuat dan bebas dari kejahatan dan kehancuran oleh penegasan diri, ekspresi diri, dan pengembangan diri.Keywords: tradisi, omni kebaikan, wajib al-wujud, teologi keadilan, monoteisme.
Antara Teodisi dan Monoteisme: Memaknai Esensi Keadilan Ilahi Sujiat Zubaidi
TSAQAFAH Vol. 7 No. 2 (2011): Islamic Theology
Publisher : Universitas Darussalam Gontor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21111/tsaqafah.v7i2.2

Abstract

In the tradition of Islamic thought, the problem of crime usually arises in connection with the justice of God. Various schools of Islamic thought have their own views and interpretations in accordance with their respective principles. However, they differ from Western philosophers and thinkers who tend to discredit God. For the Muslim philosophers, especially theologians, their orientation in addressing this problem is precisely to maintain the tanzih and the tawhid of God. In principle, the word fair is used in four aspects. First, the fair is a state of balance; second, equality and disclaimer of any distinction; third, to maintain individual rights and give the right to every person entitled to receive; fourth, maintaining the right of sustainability of the life existence. Furthermore, the most crucial problem is if the principle of divine justice which is confronted with the phenomenon of various evils in the world. Indeed, when there is the evil, there must be the good, and where there is the good there will be the evil. Good and evil are united and bounded with in nature. Both are a compound between existence and non-existence. According to Iqbal, the universe can be updated again, while the elements of sin and evil can be eliminated gradually through optimal effort and full of optimism with the good. Iqbal claimed that Muslims could be strong and free from evil and its destruction by the selfaffirmation, self-expression, and self-development.Dalam tradisi pemikiran Islam, masalah kejahatan biasanya dihubungkan dengan keadilan Ilahi. Berbagai madzhab pemikiran Islam memiliki pandangan dan interpretasi sendiri sesuai dengan prinsip masing-masing. Namun, mereka berbeda dari filsuf dan pemikir Barat yang cenderung mendiskreditkan Tuhan.Para filsuf Muslim, terutama teolog, orientasi mereka dalam menangani masalah ini justru untuk menjaga tanzih dan tauhid Allah. Dalam prinsipnya, kata adil digunakan dalam empat aspek. Pertama, adil adalah suatu keadaan keseimbangan; kedua, kesetaraan dan sanggahan terhadap perbedaan; ketiga, untuk mempertahankan hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak untuk menerima; dan keempat, mempertahankan hak keberlanjutan keberadaan kehidupan. Selain itu, masalah yang paling krusial adalah jika prinsip keadilan Ilahi yang dihadapkan dengan fenomena berbagai kejahatan di dunia. Memang, bila ada kejahatan, harus ada yang baik, dan di mana ada kebaikan, maka akan ada kejahatan. Tulisan iuni menyimpulkan, bahwa baik dan buruk selalu inheren dan menyatu dalam kosmos. Keduanya adalah senyawa antara eksistensi dan non-eksistensi. Menurut Iqbal, alam semesta dapat diperbarui lagi, sedangkan unsur dosa dan kejahatan dapat dihilangkan secara bertahap melalui upaya optimal dan penuh optimisme dengan baik. Iqbal menyatakan bahwa umat Islam dapat menjadi kuat dan bebas dari kejahatan dan kehancuran oleh penegasan diri, ekspresi diri, dan pengembangan diri.Keywords: tradisi, omni kebaikan, wajib al-wujud, teologi keadilan, monoteisme.