Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Kesesuaian Galur-Galur Harapan Kapas Berdaun Okra dalam Sistem Tumpang Sari Dengan Kedelai Riajaya, Prima Diarini; Kadarwati, Fitriningdyah Tri
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 6, No 1 (2014): April 2014
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Galur-galur kapas berdaun okra atau menjari berpotensiuntuk ditanam pada tata tanam rapat dalam sistem tumpangsari dengan palawija karena bentuk daun yang menjari dapat meneruskan intersepsi cahaya ke ca-bang bagian bawah, namun kesesuaiannya perlu diteliti. Penelitian lapang dilakukan di Kebun Percobaan Ka-rangploso, Malang mulai AprilsampaiSeptember 2011 bertujuan untuk mendapatkan galur-galur kapas ber-daun okra yang sesuai pada sistem tumpang sari dengan kedelai. Bahan tanaman yang digunakan adalah 4 galur harapan kapas berdaun okra dan 2 varietas kapas berdaun normal terdiri atas 98031/1/7, 98039/6, 98040/3, 98048/2, Kanesia 8, dan Kanesia 10. Galur-galur kapas tersebut tahan terhadap hama penggerek buah dan mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi. Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Monokultur kapas dan kedelai ditanam untuk menghitung penurunan produksi tumpang sari terhadap monokultur dan menghitung Nilai Kesetaraan Lahan (NKL). Parameter yang diamati pada ta-naman kapas adalah tinggi tanaman, lebar kanopi, jumlah cabang vegetatif dan generatif, serta jumlah buah/ tanaman setiap dua minggu mulai 60–120 HST. Bobot buah, jumlah buah terpanen, hasil kapas berbiji, dan hasil kedelai diamati saat panen. Parameter pertumbuhan yang diamati pada jagung maupun kedelai adalah tinggi tanaman dan lebar kanopi. Hasil penelitian menunjukkan galur kapas berdaun okra yaitu galur 98048/2 mempunyai kesesuaian yang tinggi bila ditumpangsarikan dengan kedelai dengan hasil kapas 1.888 kg/ha dan kedelai 1.492 kg/ha, dengan 67,3% dari potensi hasil galur tersebut dan NKL 1,3. Tingkat penurunan hasil kapas dan kedelai masing-masing 33% dan 39% terhadap monokultur. Hasil kapas monokultur galur 98048/2 tertinggi dibanding galur okra lainnya yaitu 2.837 kg/ha, dengan 101,1% dari potensi hasil galur tersebut. Penurunan hasil kedelai lebih tinggi (45–47%) bila ditumpangsarikan dengan kapas berdaun nor-mal dibanding galur okra (36–44%).    
Kesesuaian Galur Harapan Kapas pada Sistem Tumpang Sari dengan Palawija Riajaya, Prima Diarini; Kadarwati, Fitriningdyah Tri
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 2, No 1 (2010): April 2010
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tanaman kapas selalu ditumpangsarikan dengan palawija, sehingga varietas harapan yang telah dirakit hen-daknya mempunyai toleransi yang cukup tinggi terhadap persaingan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengevaluasi toleransi galur-galur harapan kapas tahan A. biguttula terhadap persaingan dengan kedelai dan jagung. Penelitian dilaksanakan di lahan petani Desa Sumber Soka, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamo-ngan pada bulan Maret sampai dengan Oktober 2008. Kegiatan penelitian disusun dalam rancangan petak terbagi dengan dua faktor yang diulang empat kali. Petak utama adalah galur unggul, yaitu: 99022/1 (G1); 99001/2 (G2); dan 199023/5 (G3). Anak petak adalah jenis tanaman tumpang sari, yaitu kedelai (Kd) dan jagung (J). Untuk menghitung nilai kesetaraan lahan (NKL) dilakukan penanaman monokultur kapas dari ke-tiga galur unggul, kedelai, dan jagung. Untuk masing-masing jenis tanaman monokultur diulang 2 kali. Peng-amatan dilakukan terhadap komponen pertumbuhan tanaman (vegetatif dan generatif), perkembangan po-pulasi A. biguttula, produksi kapas berbiji, jagung, dan kedelai, serta NKL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran kanopi tanaman, jumlah cabang vegetatif dan generatif yang terbentuk pada tumpang sari dengan jagung lebih besar dibanding tumpang sari dengan kedelai. Galur G1 membentuk square lebih ba-nyak dibanding galur yang lain jika ditumpangsarikan dengan jagung yaitu 10 square/tanaman pada 82 hst dan membentuk buah lebih banyak (9 buah/tanaman) pada 122 hst; galur G3 membentuk square lebih ba-nyak pada tumpang sari dengan kedelai yaitu 8 square/tanaman pada umur yang sama dan membentuk bu-ah yang lebih banyak (11 buah/tanaman). Persentase kerusakan square tertinggi terjadi pada galur G3 yang ditumpangsarikan dengan jagung (28%) dan galur G1 yang ditumpangsarikan dengan kedelai (15%). NKL dari galur-galur yang diuji tumpang sari dengan kedelai lebih tinggi (1,31,8) dibandingkan dengan tumpang sari dengan jagung (0,981,42). NKL tertinggi (1,8) ditunjukkan oleh galur G3 tumpang sari dengan kedelai. As a cash crop, cotton is intercropped with secondary food crops in Indonesia. Therefore, the promising lines of such cotton varieties should have a high tolerant to a competitions, so that their potential production would be less affected in intercropping system. The aim of this research was to evaluate the tolerance of promising-cotton lines resistant to A. biguttula in intercropping with soybean and maize. The research was conducted in farmer’s land at Sumber Soka Village, Mantup, Lamongan from March up to October 2008. The research used split plot design with two factors and four replicates. The main plots were the promising lines: 99022/1 (G1); 99001/2 (G2); and 199023/5 (G3) and sub-plots were the secondary crop species: soybean (Kd) and maize (J). For calculating land equivalent ratio (LER) we planted the cotton lines, soybean, and maize in monoculture, each of them with two replicates. Observations were made for plant growth compo-nents (vegetative and generative), development of A. biguttula population, productions of seed cotton, maize and soybean, LER, as well as a simple-partial farming analysis. In intercropping with maize, the canointercropped with soybean. Line G1 showed the highest number in forming squares in intercropping with maize (10 square/plant at 82 dap) and formed bolls more (9 bolls/plant) than the other lines; and so did line G3 in intercropping with soybean (8 square/plant) and formed 11 bolls/plant. However, square damage was also the highest occurrence in these two promising lines (1528%). LER of lines intercropped with soybean were higher (1.31.8) than that of lines intercropped with maize (0.981.42). Line G3 gives the highest LER (1.8) when intercropped with soybean. Cotton lines intercropping with soybean resulted in a better added income over monoculture system compare to that of maize intercropping.
Toleransi Beberapa Galur Unggul Kapas pada Tumpang Sari dengan Kacang Hijau Riajaya, Prima Diarini; Kadarwati, Fitriningdyah Tri
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 5, No 1 (2013): April 2013
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tanaman kapas dalam program pengembangan selalu ditanam secara tumpang sari dengan palawija. Pera-kitan varietas kapas untuk mendapatkan galur yang mempunyai toleransi tinggi terhadap sistem tumpang sari dengan palawija perlu/penting dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji galur-galur unggul ka-pas yang mempunyai toleransi tinggi terhadap sistem tumpang sari dengan kacang hijau. Pengujian dilakukan di Asembagus mulai bulan Februari sampai Juli 2009. Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Perlakuan terdiri atas enam galur unggul kapas: 99022/1, 99002/2, 99023/5, 98037, 98045/40/11, 98050/9/2/4 dan dua varietas pembanding: Kanesia 13 dan Kanesia 14. Galur-galur kapas tersebut merupa-kan hasil persilangan yang mempunyai keunggulan dalam produktivitas dan mutu serat, serta ketahanan terha-dap hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa galur kapas yang toleran terhadap sistem tumpang sari de-ngan kacang hijau adalah galur 98050/9/2/4, dengan hasil kapas berbiji 1.940 kg/ha dan hasil kacang hijau 276 kg/ha, peningkatan hasil kapas berbiji sebesar 10,9% pada sistem tumpang sari dengan kacang hijau dibanding pada sistem monokultur dengan persentase terhadap potensi hasil 92% dan nilai kesetaraan lahan (NKL) ter-tinggi (1,57). Galur 98050/9/2/4 menunjukkan keragaan yang lebih unggul daripada Kanesia 13 dan Kanesia 14. Cotton is mainly grown under intercropping system with secondary food crops. Cotton breeding program to get high tolerance under multiple cropping with secondary crop should be conducted. Research of cotton in-tercropped with mungbean was done in Asembagus Experimental Station from February to July 2009. The field trial was lay out in a randomized block design with three replications. Monoculture of cotton and mung-bean were sown to calculate land equivalent ratio (LER). The treatments were 6 cotton lines (99022/1, 99002/2, 99023/5, 98037, 98045/40/11, 98050/9/2/4) and 2 cotton varieties (Kanesia 13 and Kanesia 14) as control varieties. The cotton lines tested were yields of cross breeding that had advantages in improving yield, lint quality, and resistance to pest. Results showed that cotton lines 6 (98050/9/2/4) was tolerant to intercropping system with mungbean yielded seed cotton and mungbean 1,940 kg/ha and 276 kg/ha, increased by 10.9% than solecrop with percentage to yield potential 92% and the highest LER (1.57). Cotton line 98050/9/2/4 had higher yield performance under intercropping than Kanesia 13 and Kanesia 14.
Studi Kelayakan Pengembangan Usaha Tani Tebu di Kabupaten Sampang Andri, Kuntoro Boga; Riajaya, Prima Diarini; Kadarwati, Fitriningdyah Tri; Santoso, Budi; Nugraheni, Suminar Diyah
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 7, No 1 (2015): April 2015
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam mendukung pencapaian swasembada gula, Pulau Madura menjadi salah satu sasaran lokasi pengembangan tebu. Di Kabupaten Sampang pengembangan usaha tani tebu dimulai sejak tahun 2009. Program inididukung oleh masuknya perusahaan perkebunan serta bantuan penganggaran dari APBN. Penelitian bertujuan mengetahui kelayakan secara sosial dan ekonomi serta potensi pengembangan usaha tani tebu ke depan dan untuk mengetahui peluang dari usaha tani tebu ini bagi masyarakat di Pulau Madura secara umum.  Penelitian dilaksanakan mulai September sampai Desember 2013 di lokasi-lokasi kecamatan pengembangan tebu Kabupaten Sampang. Informasi dikumpulkan dengan memanfaatkan data sekunder dan data primer melalui wawancara dengan individu maupun grup/kelompok masyarakat, dinas/institusi terkait. Data dianalisa menggunakan analisis deskriptif untuk memperoleh gambaran kondisi yang dihadapi dan pemecahan dari masalah yang dihadapi di wilayah yang diamati. Analisis aspek usaha tani meliputi data input-output komoditas existing dengan analisis finansial. Untuk melihat kelayakan usaha tani digunakan R/C Ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kelayakan usaha tani tebu adalah kepemilikan lahan, insentif rangsangan dana bantuan sosial (Bansos) APBN dan subsidi pengembangan Tebu Madura (Dinas Perkebunan Provinsi), serta kerja sama kemitraaan dengan pabrik gula (PTPN X) yang menawarkan bantuan modal, subsidi saprotan, alat/mesin pertanian, serta jaminan pasar. Kemitraan yang telah ada antara PTPN X dengan petani tebu di Sampang dapat dikategorikan dalam tipe kemitraan subkontrak dan layak diteruskan.  Skema yang sudah diterapkan dalam kontrak ini adalah pola kemitraan antara pemerintah daerah, swasta (PTPN X), dan petani tebu. Usaha tani tebu dengan R/C ratio sebesar 1,05 dan 1,68 dan pendapatan bersih Rp1.358.920,00/ha dan Rp14.024.360,00/ha pada usaha tani tebu awal dan tebu kepras I, membuktikan usaha tani tebu di lokasi penelitian sangat layak untuk diusahakan dan menguntungkan. Selain peluang bagi masyarakat memanfaatkan potensi lahan tidur dan sub-optimal untuk pengembangan usaha tani tebu yang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat di Kabupaten Sampang. In order to achieve self-sufficient in sugar consumption, the Madura Island became one of the targets of sugar cane development area. In Sampang Regency, the development of sugar cane agribusiness have been started since 2009. This program was supported by the companies as well as financial supported from national budget (APBN). The study aims to determine the feasibility of social and economic as well as the potentialfor future development of sugar cane farming and to understand the opportunities of the farming for community in Madura Island on the whole. The study was conducted from September to December 2013 at 14 districts of sugar cane developing area in Sampang. Information was collected by using secondary data and primary data through interviews with individual and group/community groups, agencies/institutions concerned.  Data were analyzed using descriptive analysis to obtain a description of the conditions encountered and the solving of problems encountered in the observed region. The analysis covers aspects of farm commodity input-output data with the existing financial analysis. To look at the feasibility of farming used the R/C ratio. The results of the study showed that some factors which influenced the farmer to plant the cane were: land ownership; the stimuli of incentives from social grants (Bansos) from APBN and subsidy from projectdevelopment (from Provincial Agricultural office); the cooperation of partners through sugar company (PTPN X) which offered grants, input subsidy, equipments/agriculture machinery as well as market assurance. The partnership among PTPN X and the sugar cane farmers in Sampang was feasible and categorized a subcontract partnership type. Meanwhile, the scheme that had been implemented in this type of contract was thepartnership pattern between local government, private (PTPN X) and the sugar cane farmers. The sugar cane farming with R/C ratio of 1.05 and 1.68, or net income recieved of Rp1,358,920/ha and Rp14,024,360/ha atthe first harvested and second period harvested, proving that the farming in the study area is feasible to carry on and profitable. In addition, it is the opportunities to develop the potential of the unused and suboptialland for sugar cane agribusiness development that provides economic benefits to the community in Sampang Regency.
Potensi Sumber Daya Iklim di Kabupaten Bone untuk Pengembangan Tanaman Tebu Riajaya, Prima Diarini; Kadarwati, Fitriningdyah Tri; Djumali, .
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 7, No 1 (2015): April 2015
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu wilayah pengembangan tanaman tebu lahan kering di Sulawesi Selatan terdapat di Kabupaten Bone dengan dua pabrik gula (PG) yaitu PG Bone dan PG Camming. Produktivitas tebu dan rendemen sangat berfluktuasi dan dipengaruhi oleh faktor iklim selain pengelolaan on farm. Dengan demikian potensi sumber daya iklim yang berpengaruh terhadap produktivitas tebu dan rendemen perlu diketahui. Analisis data iklim di Kabupaten Bone dilaksanakan mulai bulan Juni 2012 sampai Desember 2013. Data yang diperlukan terdiri atas curah hujan, suhu maksimum, suhu minimum, kelembapan, lama penyinaran, dan kecepatan angin yang terkumpul dari Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Selatan, PG Camming, dan PG Bone. Data produktivitas tebu dan rendemen diperoleh dari PG Camming dan PG Bone. Awal dan akhir musim hujan, peluang hujan, serta lama periode kering ditentukan berdasarkan metode Markov Chain FirstOrder Probability. Pola sebaran hujan ditentukan berdasarkan isohiet yang dibuat menggunakan program ArcGIS 9.03. Evapotranspirasi dihitung berdasarkan hasil analisis neraca air berdasarkan metode Penman-Monteith menggunakan program CROPWAT 8.0. Sebaran curah hujan tahunan di Kabupaten Bone didominasi oleh pola hujan tahunan >2.000 mm dan 1.500–2.000 mm dan sebagian kecil wilayah Timur dengan curah hujan tahunan <1.000 mm. Tingginya curah hujan yang berlangsung sepanjang tahun menyebabkan rata-rata periode hari kering relatif pendek yaitu 66–92 hari. Evapotranspirasi potensial di wilayah PG Camming berkisar 1.268–1.288 mm sehingga potensi curah hujan dapat memenuhi kebutuhan air tanaman tebu. Tekstur tanah di sebagian besar wilayah pengembangan tebu di Bone adalah tekstur berat dan drainase lahan jelek maka potensi lahan tergenang cukup tinggi. Dengan potensi sumber daya iklim tersebut mengindikasikan bahwa di sebagian besar wilayah PG Bone dan PG Camming optimasi masa tanam sangat penting dan menggunakan varietas tebu masak awal yang tahan kelebihan air terutama pada wilayah dengan curah hujan >2.000 mm/tahun. Selain itu perlu ditunjang dengan usaha memanen air hujan yang melimpah dan perbaikan drainase. Waktu tanam yang optimum adalah tengah bulan pertama Oktober sampai tengah bulan pertama November (10A–11A) di wilayah PG Camming dan tengah bulan pertama November (11A) di wilayah PG Bone. One of sugar cane cultivation area of dry land in South Sulawesi  concentrated in Bone regency with two sugar mills (Bone and Camming). The productivity of sugar cane and sugar are fluctuated and mostly causedby climatic factors. Therefore, climate resources in Bone regency that influence sugar cane growth and yield need to be evaluated. Analysis of climate data in Bone regency was conducted from June 2012 up to December 2013 based on the data of rainfall, maximum temperature, minimum temperature, humidity, sun shine duration, and wind speed collected from the Department of Irrigation Works South Sulawesi Province, Camming and Bone Sugar Mills. Cane and sugar production were collected from Camming and Bone Sugar Mills. The onset and end of rainy season, length of dryspell, and rainfall probability were analysed by The MarkovChain First Order Probability Method. Rainfall pattern was determined by using isohiet. Evapotranspiration was calculated by water balance analysis. Rainfall pattern in Bone was dominated by annual rainfall pattern >2,000 mm and 1,500–2,000 mm, eastern part of Bone has annual rainfall pattern <1,000 mm. The high rainfall that lasted throughout the year resulted in relatively short average dry day (66–92 days). Potential evapotranspiration in the region of Camming Sugar Mill ranges from 1,268 to 1,288 mm so the annual rainfall can meet crop water requirement of sugar cane. Heavy soil texture and bad soil drainage in Bone regions resulted in flooded land. Based on climate resources, it indicates that in most areas of the Bone and Camming Sugar Mills optimization of planting time is critical, use of sugar cane varieties with early maturity and resistant to excess water, and effort to harvest the abundant rainwater especially in areas with rainfall >2000mm/year, and improvement in drainage system. Optimum planting season in Camming Sugar Mill is the first half of October to second half of  November (10A–11A) and the first half of November (11A) in Bone SugarMill.
RESPON GALUR/VARIETAS KAPAS (Gossypium hirsutum L.) TERHADAP PUPUK DOSIS N dan ZAT PENGATUR TUMBUH PADA SISTEM TUMPANGSARI DENGAN JAGUNG [Responses of Cotton Lines/Variety (Gossypium hirsutum L.) to Dosage of Nitrogen Fertiliser and Plant Growth Regulator Under Intercropping with Maize] Kadarwati, Fitriningdyah Tri; Riajaya, Prima Diarini
BERITA BIOLOGI Vol 15, No 2 (2016)
Publisher : Research Center for Biology-Indonesian Institute of Sciences

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3064.076 KB) | DOI: 10.14203/beritabiologi.v15i3.2266

Abstract

Cotton lines/varieties with high productivity require high availability of nutrients in the soil, especially nitrogen (N). To maximize the utilization and distribution of nutrients in the crops, plant growth regulator (PGR) is needed to optimize the cotton production. The research was aimed to estimate the suitable dose of N fertilizer and plant growth regulator suitable for the new cotton lines. The experiment was conducted in Mojomulyo village, Tambakromo District, Pati, Central Java, from May to October 2011.  The research was arranged in a Split Plot Design with three replications. The main plots were three lines/varieties of cotton: 99022/1; 99023/5 and Kanesia 13. The subplots were sixdose  of combination of N fertilizer with PGR namely (1) N 90 + mepiquat chloride; (2) N 90 + pachlobutrasol; (3) N 90  without PGR; (4) N 120 + mepiquat chloride; (5) N 120 + pachlobutrasol; and (6) N 120  without PGR. The results showed that under drought conditions, the use of PGR pachlobutrasol was better than mepiquat chloride. Pachlobutrasol has a higher impact on cotton production with high N fertilization (120 N/ha) resulting in 701.26 kg cotton/ha. When mepiquat chloride was added cotton production reached 665.37 kg/ha and 604.81 kg/ ha with no PGR. Production of cotton lines 99023/5 was 721.65 kg/ha higher that of Kanesia 13 (577,50 kg/ha).
Sebaran Curah Hujan Sebagai Dasar Penetapan Waktu Tanam Kapas Pada Lahan Sawah Sesudah Padi di Lamongan, Jawa Timur RIAJAYA, PRIMA DIARINI
Perspektif Vol 5, No 1 (2006): Juni 2006
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v5n1.2006.%p

Abstract

ABSTRAKCurah hujan menjadi faktor penentu bagi pengusahaan kapas baik di lahan sawah maupun lahan kering. Analisis sebaran hujan dilakukan berdasarkan seri data curah hujan jangka panjang untuk mengetahui peluang turun hujan pada berbagai jumlah curah hujan di Kabupaten Lamongan (Kec. Mantup) sebagai salah satu indikator keberhasilan pengembangan kapas di Jawa Timur. Dengan mengetahui sebaran hujan selama musim tanam, maka kebutuhan tambahan air irigasi dapat ditentukan.  Curah hujan selama musim hujan terdistribusi mulai Nopember hingga April dan berpeluang turun (60%) antara 200-250 mm/bulan. Mulai Mei hingga Oktober (musim kemarau) rata-rata jumlah  hujan  kurang  dari 50  mm/bulan dengan peluang hujan 60%. Penanaman kapas dan kedelai sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, paling lambat seminggu setelah padi dipanen atau awal Maret. Penanaman padi  dilakukan pada awal musim hujan yaitu Nopember atau Desember.  Apabila total curah hujan selama musim tanam kapas lebih dari 500 mm maka kebutuhan tambahan air irigasi pada tanaman kapas berkisar 100 mm yang dapat diberikan dalam dua kali irigasi.  Tambahan air irigasi tersebut dapat dilakukan dengan penyiraman langsung yang sumber airnya berasal dari sumur dangkal yang tersebar di beberapa lokasi.  Kebutuhan air tersebut akan semakin meningkat apabila waktu tanam kapas dan kedelai semakin mundur. Pemanfaatan sumur dangkal dan embung sangat dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan air pada musim kemarau, dan pengelolaan tanaman  antara  lain  dengan  mengatur  kerapatan tanaman dan pemberian mulsa juga dianjurkan untuk menekan evaporasi.Kata kunci : Kapas, Gossypium hirsutum, sebaran hujan, hujan, waktu tanam, Jawa Timur ABSTRACTRainfall Distribution As The Base to Determine Cotton Planting Time on The Rice Field in Lamongan, East JavaRainfall is a determining factor in cotton production on rice field and dry areas.  Rainfall analysis is determined based on rainfall data in the long period, to estimate the probability of having certain amount of rainfall from January to December in Lamongan (Mantup District), East Java as and indicator for successful cotton development in East Java. By recognizing rainfall distribution during planting season, the need for irrigation water can be determined. Total rainfall of 200-250 mm/month occurred during the rainy season from November to April with 60% of probability. Moreover, rainfall less than 50 mm/month occurred during the dry season from May to October with 60 % of probability. Cotton planting should be done as soon as possible, or, a week after rice harvesting (early March).  Rice should be planted early  rainy season in November or December.  When the total rainfall is greater than 500 mm over the growing season, the need for additional irrigation water is only about 100 mm, which can be applied 2 times.  Water from a nearby shallow well was used for watering.  The additional irrigation can be taken from the wells near the location. The need for irrigation water will increase if the cotton and soybean planting is delayed. The use of wells and embung is recommended to supply the additional irrigation waterduring dry season, and crop management, plant density and mulching are also recommended to reduse evaporation.Key  words  :  Cotton,  Gossypium  hirsutum,  rainfall distribution,  rainfall,  planting  time, East Java.
Rekomendasi Waktu Tanam Kapas di Lahan Tadah Hujan RIAJAYA, PRIMA DIARINI
Perspektif Vol 7, No 2 (2008): Desember 2008
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v7n2.2008.%p

Abstract

ABSTRAKPenanaman kapas di lahan tadah hujan membutuhkan perkiraan  waktu  tanam  yang  tepat  agar  tanaman mendapatkan   suplai   air   yang   cukup   selama pertumbuhannya.  Rekomendasi waktu tanam kapas di daerah tadah hujan Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, dan Nusa Tenggara Barat telah ditetapkan berdasarkan analisis data curah hujan lebih dari 20 tahun dengan metode peluang Markov Order Pertama   dan   perhitungan   peluang   selang   kering berturut-turut.    Rekomendasi  waktu  tanam  dalam minggu  tanam  paling  lambat (MPL)  di  Sulawesi Selatan yaitu di Kabupaten Jeneponto, Takalar dan sebagian besar Gowa berkisar minggu I-IV Desember. Sedangkan di Kabupaten Soppeng dan Wajo berkisar minggu III Februari sampai minggu III Maret.  Di Bone dan  Bulukumba  MPL  berkisar  minggu  III  Maret sampai minggu III April.  MPL di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Jember dan Banyuwangi berkisar minggu I-IV Desember, dan di kabupaten Lumajang berkisar minggu I Januari, kemudian di Kabupaten Lamongan, Mojokerto dan Tuban berkisar minggu II Desember sampai minggu I Januari.  MPL di Jawa Tengah meliputi Kabupaten Grobogan dan Wonogiri berkisar minggu I Desember sampai   minggu   I   Januari   sedangkan   di   Blora, Pemalang,  Tegal  dan  Brebes  adalah  minggu  I-IV Januari.    MPL  di  Nusa  Tenggara  Barat  yaitu  di sebagian   besar   Lombok   dan   Sumbawa   berkisar minggu I-II Desember.  Tipe iklim di wilayah tersebut didominasi oleh tipe iklim D dan E dengan musim hujan hanya 3-4 bulan sehingga mempunyai resiko tinggi   terhadap   kekeringan.   Untuk   meningkatkan produktivitas kapas di lahan kering maka tambahan air   irigasi   mutlak   diperlukan   untuk   mengatasi kekurangan air atau kekeringan.Kata kunci: Gossypium hirsutum, waktu tanam, periode kering ABSTRACTRecommendation on Rainfed Cotton Planting TimesRecommendation on cotton planting time is needed as cotton is mostly grown under rainfed condition.  The right   planting   times   were   determined   for   South Sulawesi, East Java, Central Java, DIY, and West Nusa Tenggara. The rainfall analysis was done based on more than 20 years daily rainfall data using Markov Chain First Order Probability and dry spell probability method. The planting times in South Sulawesi varied from the first week to the forth week of December for Jeneponto, Takalar and Mostly Gowa. The planting times in Soppeng and Wajo were ranged from the third week  of  February  to  the  third  week  of  March. Moreover,   cotton   planting   times   in   Bone   and Bulukumba were ranged from the third week of March to the third week of April. The planting times in East Java varied from the first week to the forth week of December   for   Pasuruan,   Probolinggo,   Situbondo, Jember   and   Banyuwangi.   The   planting   times   in Lumajang, Lamongan, Mojokerto and Tuban ranged from mid December to early January.  The planting times in Central Java varied from the first week of December to the first week of January for Grobogan and Wonogiri.  The planting times in Blora, Pemalang, Tegal and Brebes  were ranged from early to late January. The planting times in West Nusa Tenggara varied from the first week to the second week of December for most areas of Lombok and Sumbawa. Lack of water or drought in  rainfed cotton growing areas  is  a  regular  phenomenon  since  cotton  is developed in the dry areas (climate classification D and E) to which rainfall only lasts three to four months. Irrigation water is highly needed in rainfed areas to meet the crop water need especially when lack of water or drought occurs.Key words: Gossypium hirsutum, planting time, dry spell