Intarniati Nur Rohmah
Unknown Affiliation

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

PERBEDAAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI SALURAN NAPAS ATAS INTRAVITAL, PERIMORTEM DAN POSTMORTEM MENCIT BALB/C YANG DIBERIKAN PAPARAN API Diamanta, Andica; Rohmah, Intarniati Nur; Amarwati, Siti
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 6, No 2 (2017): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (315.235 KB)

Abstract

Latar Belakang : Luka bakar merupakan trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi. Luka bakar menyebabkan kerusakan lokal dan respon sistemik. Percobaan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih baik dampak luka bakar pada saluran napas hewan percobaan mencit terutama dalam aplikasinya di bidang forensik dalam membedakan luka bakar intravital, perimortem dan postmortem.Tujuan : Mengetahui perbedaan histopatologi saluran napas atas intravital, perimortem dan postmortem mencit BALB/c yang diberikan paparan api.Metode : Penelitian eksperimental dengan Post Test-Only Control Group Design. Sampel terdiri dari 49 mencit BALB/c jantan yang dibagi menjadi 7 kelompok. Kelompok P1 dan P2 kelompok mencit fase intravital yang diberikan paparan api 20 detik dan 10 detik. Kelompok P3 dan P4 kelompok mencit diberi paparan api perimortem selama 20 detik dan 10 detik. Kelompok P5 dan P6 kelompok mencit fase postmortem yang diberikan paparan api 20 detik dan 10 detik. K kontrol. Setelah intervensi dilakukan pembuatan preparat dan pemeriksaan gambaran mikroskopisHasil : Dari 35 preparat mukosa nasofaring tidak terdapat perbedaan signifikan dilatasi vaskuler. Ditemukan jumlah sebukan sel radang yang lebih tinggi pada kelompok mencit yang diberikan paparan api dibandingkan terhadap kelompok kontrol (p < 0.05). Terdapat jumlah jelaga yang lebih tinggi pada kelompok perimortem dibandingkan kelompok intravital (p < 0.05).Kesimpulan : Terdapat perbedaan gambaran histopatologi parameter sebukan sel radang dan keberadaan jelaga saluran napas atas intravital, perimortem dan postmortem pada mencit BALB/c yang diberikan paparan api.
Pola Perlukaan Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan Raja Al Fath Al Fath Widya Iswara; Ratna Relawati; Intarniati Nur Rohmah
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 4 No. 3 (2017): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.877 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v4i3.336

Abstract

Latar Belakang : Kekerasan terhadap anak (KtA) dan perempuan (KtP) mempunyai angka kejadian yang tinggi di Indonesia, dimana setiap tahunnya menunjukkan peningkatan yang signifikan. Upaya meningkatkan kemampuan pendeteksian korban KtA maupun KtP bagi para dokter adalah dengan mengetahui pola perlukaan pada kekerasan baik terhadap anak maupun perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola perlukaan pada kekerasan terhadap anak dan perempuan. Metode: Penelitian deskriptif observasional dengan menggunakan data sekunder dari Rekam Medis korban kekerasan terhadap anak dan perempuan yang divisum di RS Bhayangkara Kota Semarang Periode Januari-Desember 2015. Hasil :Kekerasan terhadap anak terbanyak pada anak laki-laki (72%), Usia terbanyak korban KtA adalah usia 6-10 tahun, sedangkan usia terbanyak pada KtP 26-35 tahun. Bentuk kekerasan terbanyak pada KtA maupun KtP adalah kekerasan Fisik dengan jenis kekerasan tumpul. Jenis luka terbanyak pada KtA adalah luka memar, sedangkan jenis luka terbanyak pada KtP adalah luka lecet. Jumlah luka terbanyak pada KtA maupun KtP sebanyak 2-5 buah. Lokasi luka terbanyak pada KtA laki-laki di wajah, KtA perempuan di Genital, sedangkan lokasi luka terbanyak pada KtP di wajah. Simpulan : Terdapat pola perlukaan yang khas pada korban kekerasan terhadap anak dan perempuanyaitulukaakibat kekerasan tumpul berupa luka memar dan luka lecet, tidak mematikan, multipel dan paling banyak di wajah. Kata Kunci :Pola Perlukaan, Kekerasan, Anak, Perempuan
GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS TIKUS WISTAR AKIBAT LUKA BAKAR TERMAL SELUAS 30% TOTAL BODY SURFACE AREA (TBSA) PADA FASE INTRAVITAL, PERIMORTEM DAN POSTMORTEM Naufaldi Dary Hartanto; Intarniati Nur Rohmah; Ika Pawitra Miranti
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 7, No 2 (2018): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (350.371 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v7i2.21193

Abstract

Latar Belakang  : Luka bakar merupakan salah satu cedera yang mengakibatkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi di dunia. Luka bakar dapat digunakan untuk mengaburkan penyebab kematian seseorang apakah luka bakar terjadi saat korban masih hidup, sesaat setelah korban meninggal, atau saat korban sudah meninggal. Adanya temuan infiltrasi leukosit dan vasodilatasi vaskular pada usus halus ketika terjadi luka bakar akan digunakan sebagai pembeda luka bakar pada fase intravital, perimortem dan postmortem.Tujuan : Mengetahui perbedaan gambaran histopatologi (infiltrasi leukosit dan vasodilatasi vaskular ) usus halus tikus wistar akibat luka bakar pada fase intravital, perimortem dan postmortem.Metode : Penelitian eksperimental dengan Post Test-Only Control Group Design. Sampel terdiri dari 24 tikus wistar jantan yang terbagi menjadi 4 kelompok. Kelompok K tidak diberi perlakuan. Kelompok P1 diberi paparan luka bakar intravital. Kelompok P2 diberi paparan luka bakar perimortem yaitu 10 menit sejak waktu kematian. Kelompok P3 diberi paparan luka bakar postmortem yaitu 3 jam sejak waktu kematian. Setelah dilakukan intervensi, dilakukan pembuatan preparat usus halus dan pemeriksaan gambaran mikorskopis. Uji analisis menggunakan Kruskall Wallis dan Mann Whitney untuk paramter infiltrasi leukosit dan menggunakan uji Chi-Square untuk parameter vasodilatasi.Hasil : Pada paramteter infiltrasi leukosit uji Kruskal Wallis menunjukkan perbedaan bermakna dengan nilai p = 0.003 pada seluruh kelompok, dilanjutkan dengan uji Mann Whitney antar kelompok didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok K dengan P1, K dengan P2, K dengan P3 dan P1 dengan P3 dan didapatkan perbedaan tidak bermakna pada kelompok P1 dengan P2, dan P2 dengan P3. Pada parameter vasodilatasi, tidak didapatkan perbedaan pada seluruh kelompok sehingga tidak mengeluarkan hasil ketika diuji dengan Chi-Square.Kesimpulan : Infiltrasi leukosit tertinggi terdapat pada kelompok intravital, kemudian perimortem, postmortem dan tidak didapatkan pada kontrol. Tidak didapatkan vasodilatasi vaskuler pada seluruh kelompok.
PENGARUH PEMBERIAN BORAKS DENGAN DOSIS BERTINGKAT TERHADAP PERUBAHAN MAKROSKOPIS DAN MIKROKSKOPIS GINJAL TIKUS WISTAR SELAMA 4 MINGGU DILANJUTKAN 2 MINGGU TANPA PAPARAN BORAKS Hakim Alhaady Juhana; Intarniati Nur Rohmah
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 1 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.092 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v5i1.11360

Abstract

Background : Borax or sodium tetraborate decahydrate is a mineral with low toxicity. Borax is generally used in various products such as the product insecticides, fungicides, herbicides, and borax can also be dissolved in water and used to clean gold and silver . However now many are using borax as a food preservative,it is contrary to the minister of health regulations. Borax contained in foods with excessive doses can cause poisoning. However,to date research on the influence of borax in oral histopathological kidney remains unclear.Objective: This study aimed to verify the effect of graded doses of borax orally for 4 weeks followed 2 weeks to changes in macroscopic and microscopic picture of Wistar rat kidney.Methods : The research laboratory with an experimental post -test only control group design. Sample of 21 Wistar rats that have met the inclusion and exclusion criteria,adapted for 7 days. After a period of adaptation,Wistar rats were divided by simple random sampling into 3 groups. K is a control group without borax given orally. Borax P1 given orally 300 mg / kg /day ( 100 mg / cc / day ) and P2 borax was given orally 600 mg / kg / day ( 200 mg / cc / day).Results : The results of the Kruskal - Wallis test for kidney macroscopic found no significant differences between the 3 groups ( p = 0.083 ) and then proceed Mann Whitney Post Hoc Test for kidney weight was not found significant differences in the K - P1 ( p = 0.482 ), obtained difference K - P2 significant ( p = 0.041 ),and found no significant difference P1 - P2 ( p = 0.085 ). Kruskal - Wallis test results for the microscopic kidney obtained significant differences between the 3 groups ( p = 0.000 ).Conclusion : Delivery of oral doses of borax stratified for 4 weeks followed 2 weeks without exposure to borax no macroscopic changes ( kidney weight ) in Wistar rats as well as a change in the microscopic ( histopathological ) Wistar rat kidney. Changes seen in the form of lumen narrowing,and loss of brush border protein cast ( lumen contains ). 
THE LEVEL OF UNDERSTANDING OF GENERAL DOCTORS AND SPECIALIST DOCTORS IN THE MAKING OF VISUM ET REPERTUM IN SEMARANG CITY Wahyu Purnomo Adji; Intarniati Nur Rohmah; Julia Ike Haryanto; Edward Kurnia Setiawan
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 9, No 1 (2020): DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL ( Jurnal Kedokteran Diponegoro )
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (459.709 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v9i1.26562

Abstract

Background: Visum et repertum is a form of report addressing the condition of human bodies, both living and dead. The reality is that in the field there are still mistakes in making VeR that can influence court decisions, this is also reinforced by the findings of research data that had been done before. Aim: To determine the level of understanding of general doctors and specialists (Obstetrics and Gynecology and Surgery) in making VeR in Semarang City. Methods: Descriptive study of 34 doctors consisting of 16 general doctors, 10 surgeons and 8 obstetricians and gynecologists. The procedure of the research involved collecting data using a questionnaire consisting of the VeR section. The data are sorted according to the group of respondents and description is done. Results: Descriptive analysis showed that the level of understanding of 16 general doctors was categorized as medium with a value of 71.43 % with: 8 doctors (50 %) good questionnaire value, 6 doctors (37.5 %) medium questionnaire value, and 2 doctors (12.5 % ) bad questionnaire value. The level of understanding of 10 surgeons is categorized as good with a value of 76.43 % with: 4 doctors (40 %) good questionnaire value, 6 doctors (60 %) medium questionnaire value, and no bad value. The level of understanding of 8 obstetrics and gynecology specialists was categorized as good with a value of 76.17 % with: 4 doctors (50 %) good questionnaire value, 4 doctors (50 %) medium questionnaire value, and no bad scores. Conclusion: The level of understanding of general doctors was medium with a value of 71.43%, the surgeon specialist was categorized good with a value of 76.43% and obstetricians and gynecology specialists were categorized good with a value of 76.17%.Keywords: level of understanding, visum et repertum
GAMBARAN MIKROSKOPIK MAKROFAG PENDERITA TUBERKULOSIS DENGAN DIABETES MELITUS TIPE II YANG TERKONTROL DAN TIDAK TERKONTROL Hafiza Rahmi; Arlita Leniseptaria Antari; Astika Widy Utomo; Helmia Farida; Intarniati Nur Rohmah
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 8, No 4 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (351.667 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v8i4.25863

Abstract

Latar belakang: Tuberkulosis (TB)  paru menyerang 9,4 juta orang dan telah membunuh 1,7 juta penduduk dunia setiap tahunnya. Pengendalian TB diperburuk dengan semakin meningkatnya jumlah penderita diabetes mellitus (DM). Penderita diabetes mempunyai gangguan respons imun tubuh yang  salah satunya makrofag, yang akan memperberat infeksi TB. Gangguan respons imun tubuh tersebut dapat dilihat pada gambaran mikroskopik makrofag pada TB dengan DM tipe II terkontrol dan tidak terkontrol. Tujuan: Menganalisis gambaran  mikroskopik makrofag antara penderita TB dengan DM tipe II yang terkontrol dan tidak terkontrol. Metode:  Desain penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan desain cross sectional. Pengambilan subjek dilakukan dengan cara consecutive sampling. Subjek penelitian adalah 24 pasien TB dengan DM tipe II yang datang berobat di BKPM Semarang. Hasil: Gambran Makrofag penderita Tb dengan DM tipe II yang terkontrol, dominan more activated macrophages  ( 83.3%) sementara pada penderita Tb dengan DM tipe II tidak terkontrol dominan less activated macrophages (91,7%).  Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan pada gambaran mikroskopik makrofag yang TB dengan DM tipe II yang terkontrol dan tidak terkontrol (p=0,001)Kata kunci: tuberkulosis, diabetes melitus tipe II,makrofag
PERBANDINGAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI OTAK TIKUS WISTAR YANG DIGANTUNG DENGAN PEMBEDAAN PERIODE POSTMORTEM Rr Hillary Kusharsamita; Intarniati Nur Rohmah; Ika Pawitra Miranti
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 8, No 1 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (568.046 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v8i1.23391

Abstract

Latar Belakang: Penggantungan adalah kematian akibat asfiksia yang paling sering ditemukan. Penggantungan dapat dilakukan antemortem (saat korban masih hidup) dan postmortem (saat korban sudah meninggal). Kematian dikaitkan dengan bunuh diri atau kecelakaan pada penggantungan antemortem. Sebaliknya, penggantungan pada postmortem digunakan sebagai metode untuk menutupi pembunuhan sebagai suatu tindakan bunuh diri setelah korban dibunuh dengan metode yang berbeda. Oleh karena itu, penentuan waktu kematian atau Postmortem Interval (PMI) merupakan hal terpenting dan tugas fundamental ahli patologi forensik ketika jenazah ditemukan. Gambaran histopatologi dapat dipilih sebagai metode tambahan untuk memberikan hasil PMI yang akurat. Salah satu parameter histopatologi otak yang dapat digunakan adalah astrogliosis yaitu perubahan morfologi dan fungsional astrosit sebagai mekanisme kompensasi kerusakan pada otak karena kematian akibat asfiksia Tujuan:. Mengetahui perbandingan gambaran astrogliosis berdasarkan histopatologi otak tikus Wistar dengan perbedaan periode pememulaian penggantungan pada fase postmortem Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan Post Test-Only Control Group Design. Sampel teriri dari 28 tikus eistar jantan yang terbagi dalam 4 kelompok. Kelompok Kontrol (K) yaitu tikus yang digantung antemortem. Kelompok Perlakuan 1 (P1) yaitu tikus yang mulai digantung 1 jam postmortem. Kelompok Perlakuan 2 (P2) yaitu tikus yang mulai digantung 2 jam postmortem. Kelompok Perlakuan 3 (P3) yaitu tikus yang mulai digantung 3 jam postmortem. Uji analisis menggunakan uji Kruskal Wallis kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk parameter astrogliosis Hasil: uji Kruskal Wallis menunjukkan perbedaan bermakna dengan nilai p = 0,018 pada seluruh kelompok. Kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok K dengan P1, dan P1 dengan P3. Sementara itu, pada kelompok K dengan P2, K dengan P3, dan P2 dengan P3 tidak didapatkan perbedaan bermakna. Kesimpulan: Terdapat perbedaan gambaran astrogliosis berdasarkan histopatologi otak tikus Wistar dengan pembedaan periode memulai penggantungan postmortemKata Kunci: Penggantungan, astrogliosis, PMI (Postmortem Interval)
PERBANDINGAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI KULIT LEHER TIKUS WISTAR YANG DIGANTUNG DENGAN PEMBEDAAN PERIODE POSTMORTEM Muhammad Sulthon Al Haris; Intarniati Nur Rohmah; Ika Pawitra Miranti
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 8, No 1 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (493.455 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v8i1.23346

Abstract

Latar Belakang : Penggantungan adalah jenis penjeratan di mana tekanan pada leher disebabkan oleh berat badan korban sendiri. Tidak semua kasus penggantungan disebabkan melalui praktik bunuh diri. Kasus penggantungan juga dapat terjadi akibat kecelakaan ataupun pembunuhan, dan dapat pula ditemui kasus penggantungan postmortem yaitu bila korban digantung dalam keadaan sudah meninggal setelah sebelumnya dibunuh. Untuk membedakan kasus-kasus tersebut diperlukan investigasi yang menyeluruh serta kecermatan dalam proses autopsi yang bertujuan untuk mencari dan mengidentifikasi adanya luka atau jejas sehingga dapat ditentukan intravitalitas dan umur luka atau jejas tersebut, baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Salah satu metode pemeriksaan mikroskopik adalah melalui analisis proses inflamasi yang menggunakan beberapa parameter seperti infiltrasi leukosit. Sejauh ini belum ada penelitian yang membahas tentang perbandingan intravitalitas berdasarkan gambaran histopatologi organ. Tujuan : Mengetahui perbandingan gambaran histopatologi kulit leher tikus Wistar yang digantung dengan perbedaan periode postmortem. Metode : Penelitian eksperimental dengan post test-only control group design ini menggunakan 4 kelompok yang masing-masing terdiri atas 7 ekor tikus Wistar. Kelompok K (kontrol) yaitu tikus yang digantung antemortem setelah mendapat anestesi. Kelompok P1 (perlakuan 1) yaitu tikus yang digantung saat postmortem 1 jam setelah diterminasi menggunakan anestesi dosis letal dengan durasi penggantungan selama 1 jam. Kelompok P2 (perlakuan 2) dan P3 (perlakuan 3) digantung 2 jam dan 3 jam saat postmortem dengan cara yang sama seperti kelompok P1. Selanjutnya dilakukan pembuatan preparat histopatologi kulit leher dan pemeriksaan gambaran mikroskopis. Hasil : Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok K dengan P1 (p < 0,001), K dengan P2 (p < 0,001), dan K dengan P3 (p < 0,001), serta diperoleh perbedaan yang tidak bermakna antara kelompok P1 dengan P2 (p = 1), P1 dengan P3 (p = 0,576), dan P2 dengan P3 (p = 1). Simpulan : Terdapat penurunan jumlah leukosit pada tikus Wistar yang mulai digantung 1 jam , 2 jam, dan 3 jam postmortem dengan kontrol, serta terdapat jumlah leukosit yang hampir sama pada tikus Wistar yang mulai digantung antara 1 jam, 2 jam, dengan 3 jam postmortem.Kata Kunci : penggantungan, postmortem, infiltrasi leukosit
GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA SALURAN NAPAS BAWAH INTRAVITAL, PERIMORTEM DAN POSTMORTEM MENCIT BALB/C YANG DIBERI PAPARAN API Qhastalani Aurima F. Sugianto; Intarniati Nur Rohmah; Ika Pawitra Miranti
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 5, No 4 (2016): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (426.173 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v5i4.15779

Abstract

Latar Belakang : Luka bakar merupakan salah satu cedera yang paling luas yang berkembang di dunia dan merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Kejadian luka bakar yang semakin luas menimbulkan tantangan bagi investigator, ahli forensik dan penegak hukum untuk membedakan apakah luka bakar terjadi saat korban masih hidup, sesaat setelah korban meninggal atau saat korban sudah meninggal.Tujuan : Mengetahui perbedaan gambaran histopatologi saluran napas bawah intravital, perimortem, dan postmortem mencit Balb/c yang diberi paparan api.Metode : Penelitian eksperimental dengan Post Test-Only Control Group Design. Sampel terdiri dari 49 mencit Balb/c jantan yang terbagi menjadi 7 kelompok. Kelompok K tidak diberi perlakuan. Kelompok P1 diberi paparan api intravital selama 10 detik. Kelompok P2 diberi paparan api intravital selama 20 detik. Kelompok P3 diberi paparan api perimortem selama 10 detik. Kelompok P4 diberi paparan api perimortem selama 20 detik. Kelompok P5 diberi paparan api postmortem 10 detik. Kelompok P6 diberi paparan api postmortem 20 detik. Setelah intervensi, dilakukan pembuatan preparat paru dan pemeriksaan gambaran mikroskopis. Uji analisis menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney.Hasil : Uji Kruskal-Wallis menunjukkan perbedaan bermakna pada seluruh kelompok dilatasi vaskuler dengan nilai p bronkus = 0,022; nilai p bronkiolus = 0,010; dan nilai p alveolus = 0,000. Pada kelompok sel radang menunjukkan perbedaan bermakna dengan nilai p bronkus = 0,005; nilai p bronkiolus = 0,024; dan nilai p alveolus = 0,002. Pada kelompok jelaga menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p bronkus = 0,005; dan nilai p alveolus = 0,002, dan tidak bermakna pada bronkiolus yaitu dengan nilai p = 0,709.Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna pada bronkus, bronkiolus dan alveolus untuk parameter dilatasi vaskuler dan sel radang, sedangkan untuk parameter jelaga didapatkan perbedaan bermakna pada bronkus dan alveolus, namun tidak bermakna pada bronkiolus.