Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Rekonstruksi Identitas Ke-“Tionghoa”-an dalam Film Indie Pasca-Suharto Umilia Rokhani; Aprinus Salam; Ida Rochani-Adi
Rekam : Jurnal Fotografi, Televisi, Animasi Vol 12, No 1 (2016): April 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/rekam.v12i1.1380

Abstract

AbstrakKe-“tionghoa”-an  senantiasa menjadi hal yang dipermasalahkan di Indonesia. Hal ini mengacu pada identitas ke-“tionghoa”-an yang selalu  diformulasikan oleh masyarakat Indonesia, baik oleh masyarakat Tionghoa  itu sendiri maupun masyarakat non-Tionghoa. Upaya formulasi tersebut dimunculkan melalui berbagai wacana yang muncul baik perdebatan publik maupun berbagai karya mengenai kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia seperti dalam film. Metode yang dipakai mempergunakan pendekatan konstruktivisme sosial. Dalam hal ini, makna-makna subjektif dikaji atas pengalaman-pengalaman kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia melalui representasi film indie. Representasi tersebut dikaji tidak hanya melalui  makna karya semata, tetapi juga mempertimbangkan unsur sejarah sebagai salah satu penentu alat produksi dan reproduksi. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar diperoleh gambaran latar belakang yang kompleks mengenai kondisi historikal dan kultural kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Gambaran yang kompleks tersebut akan membantu dalam menafsirkan makna-makna yang terkandung dalam karya film indie sebagai suatu hasil produksi dan reproduksi dari gambaran kehidupan masyarakat Tionghoa sebenarnya. Identitas masyarakat Tionghoa di Indonesia terbentuk baik dari pandangan eksternal maupun internal, sudut pandang formal maupun informal. Sudut pandang eksternal dilihat dari sisi luar masyarakat Tionghoa, sedangkan sudut pandang internal merupakan sudut pandang masyarakat Tionghoa membentuk jati dirinya sendiri. Identitas yang dibentuk secara formal terkait dengan peraturan perundangan yang diberlakukan di Indonesia sedangkan secara informal merupakan identitas yang dikembangkan melalui kolaborasi budaya bersifat mana suka (arbitrerness) yang pada akhirnya membentuk identitas baru yang tumbuh dari konteks ruang-antara masyarakat Tionghoa di Indonesia. Abstract The Reconstruction of Tionghoaness Identity in Indonesian Indie Movies in the Era of Post-Suharto. ‘Being a Chinese’ has always been an issue in Indonesia. It refers to the identities of ‘being a Chinese’ that were formulated by Indonesian people, both by the half-Chinese Indonesians and non half-Chinese Indonesians. The efforts in formulating those identities were mediated by various discourses found in public debates and works of arts represented the Chinese society life in Indonesia, such as in films. In this research, the social constructivism approach was applied. The experiences in life traversed by the Chinese society in Indonesia depicted in indie movies were studied to get the subjective meanings. The representations were not scrutinized merely from the meaning, but also by considering the historical aspects as, among others, the determinant factor of the means of production and reproduction. It was carried out to get the full picture of complicated background about the historical and cultural conditions of the Chinese people in Indonesia. The complicated depiction will be very beneficial in interpreting the meanings of the indie movies as a result of production and reproduction of the real life experienced by the Chinese society. The identity of Chinese people in Indonesia was shaped by the internal and external perspectives, by the formal and non formal point of views. The external point of view was the one given by the non Chinese people, whereas the internal was how the Chinese view themselves. The formally built identity was related to the laws applied in Indonesia. Arbitrary cultural collaborations informally developed the new Chinese identity that grew from the spatial contexts between the Chinese people in Indonesia. 
Produksi Kultural Film Indie Ke-“Tionghoa”-An di Indonesia* Umilia Rokhani
Rekam : Jurnal Fotografi, Televisi, Animasi Vol 13, No 1 (2017): April 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/rekam.v13i1.1705

Abstract

Produksi kultural film indie ke-“tionghoa”-an berada pada struktur ruang yang membangunrelasi antarposisi dengan produksi karya lainnya. Keberadaan masyarakat Tionghoa yangsenantiasa dipermasalahkan menyebabkan agen-agen sosial berupaya membuka ruangkemungkinan melalui produksi karya. Metode yang dipergunakan adalah konstruktivismesosial yang melibatkan agen melalui production activity sehingga agen akan terlibat dalamdunianya sendiri. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan dalam struktur ruang tersebut adalahberusaha mencapai legitimasi dalam suatu struktur kuasa. Hal tersebutdiupayakan oleh agenpemroduksi film indie ke-“tionghoa”-an yang kapital modalnya lebih rendah bila dibandingkandengan produksi film komersial atau layar lebar. Strategi yang dipergunakan untuk memperolehlegitimasi film indie ke-“tionghoa-“an adalah dengan mengikuti festival film di luar negerisebagai tataran legitimasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan legitimasi yang terbangundi Indonesia melalui habitus. Dengan menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakatdunia, dominasi struktur kuasa akan mengecil. Melalui karya film indie tersebut dibanguneksistensi dan prestise melalui ekspresi karya sebagai suatu kesempatan untuk mendapatkanpengakuan dan kepercayaan masyarakat dunia mengenai ke-“tionghoa”-an di Indonesia. Cultural Production of Indie Movies With Chineseness Theme in Indonesia. Culturalproduction in indie movies telling story about chineseness exists within a space structure thatestablishes a relation between the position and the production of other movies. The existenceof Chinese society that always inflicts polemic drives the social agents to try to open roomsof possibility by producing opuses. The method employed is social constructivism involvingagents through production activities so that those agents will get involved in their own world.In this case, the effort carried out is struggling to gain legitimation in a power structure. It ispracticed by indie movie producer agents who have lower production budget compared to thecommercial movie producers. In doing this, the strategy employed is joining movie festivalsabroad, considered as a higher level of legitimation, legitimation built in Indonesia via habitus.By posing Indonesian society as a part of the international society, the domination of powerstructure will lessen. Acknowledged through indie movies, existence and prestige are built bythe expression of their works in the form of movies as an opportunity to get recognition andtrust from the world society regarding the chineseness in Indonesia.
Musikalisasi Puisi “Hatiku Selembar Daun” Royke B. Koapaha; Umilia Rokhani; Nurul Farida
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts) Vol 10, No 2 (2009): Desember 2009
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v10i2.476

Abstract

The musical poem of “Hatiku Selembar Daun”. Music and poetry have a signifi cant relationship; they bothhave an element of sound. This study discusses the relation of the transformation of poetry to musical poem in“Hatiku Selembar Daun” by Djoko Damono Sapardi. The study was conducted by means of the form of music andharmony through musicological studies, as well as the relationship between music and poetry in a musical poemitself. Based on the analysis we concluded that the dominant harmonious relationship between music and the meaningof the poem “Hatiku Selembar Daun” deals with the creative elements in it.
Rancangan Garap Karya Gending Sekar Jagad Berbasis Motif Batik Gaya Yogyakarta Umilia Rokhani; Haryanto Haryanto
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts) Vol 21, No 3 (2020): Desember 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v21i3.4110

Abstract

The creation of works employing transforming media becomes an exciting breakthrough in the art industry to study. Using the concept of changing the media, the meeting of the two different media, such as art and music, provides opportunities for the emergence of a broader range of creative work. The design of musical works based on the inspiration and philosophy from the media of batik has complexity and beauty and high value as the great works from the Indonesian ancestors. Sekar Jagad is a title for the composition of musical design, taken from the name of a batik motif that is very familiar in Javanese culture. By understanding the basic batik motifs such as gringsing, kawung, machete, nitik, cement and poleng, the elements of vocal melodies performed in two different voices gave an overview of the concept of the Sekar Jagad batik motif. It indeed required knowledge of the shape, function and character of the batik motif itself as the basis for gending in musical arts. The melody arrangement was made entirely with two tunings or pelog and slendro scales. It was intended to find the characters that best suits the characteristics and philosophy of batik. The elements of batik motifs that were put together into one Sekar Jagad batik motif were then applied through vocal melodies and supported by lyrics that described some of these batik elements.
Konstruksi Identitas Tionghoa melalui Difusi Budaya Gambang Kromong: Studi Kasus Film Dikumenter Anak Naga Beranak Naga Umilia Rokhani; Aprianus Salam; Ida Rochani-Adi
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts) Vol 16, No 3 (2015): Desember 2015
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (136.558 KB) | DOI: 10.24821/resital.v16i3.1679

Abstract

Gambang kromong menjadi kesenian campur yang mampu bertahan di tengah pembatasanterhadap ruang gerak masyarakat Tionghoa. Keberadaan kesenian ini sekaligus menjadi atributbudaya yang mampu menjadi unsur pembangun identitas masyarakat Tionghoa. Identitas Tionghoamelalui kesenian gambang kromong memunculkan konstruksi yang berbeda terkait dengankebertahanan kesenian tersebut. Wacana ini muncul pada film dokumenter Anak Naga BeranakNaga. Konstruksi identitas ini dikaji dengan mempergunakan teori Bhabha tentang konsep ruangantara.Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktivisme sosial untuk melihat makna-maknasubjektif dari pengalaman-pengalaman subjek pelaku kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia.Melalui pendekatan ini dapat diketahui bahwa konstruksi identitas masyarakat Tionghoa melaluikesenian gambang kromong bersifat heterogen. Konsep kehidupan berkesenian yang cair dan mampumenembus batas perbedaan terepresentasi pada bentuk instrumen, lagu-lagu yang dibawakan maupunfungsional dari pertunjukan itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa identitas masyarakat Tionghoajuga dikonstruksi secara cair oleh masyarakat, bukan hanya dalam menghadapi perbedaan danpermasalahan etnisitas tetapi juga kemampuan beradaptasi terhadap perkembangan zaman. Dengankonstruksi yang cair tersebut, konstruksi identitas masyarakat Tionghoa menjadi bersifat pragmatisdan dis-identifikasi.
LEGITIMATION OF RELIGIOUS MUSIC OF SABYAN GAMBUS’ SONG “DEEN ASSALAM” AS A PERCEPTIVE RESPON TO ISLAMIC RADICALIZATION IN INDONESIA Umilia Rokhani
Journal of Urban Society's Arts Vol 6, No 2 (2019): October 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jousa.v6i2.3866

Abstract

Islam is often referred as being a radical movement or activity. Sabyan Gambus, through their song cover, responses to the situation in their song “Deen Assalam”. This song was created as an effort to minimize and reduce the society’s misthinking on the concept and implementation of Islamic teaching. Thus, a study of values implied in the song becomes essential to view such a perception shift within the society as a legitimation upon the work as well as the positioning of Islam in the structural world of Indonesian people. An analysis of the song lyrics is, accordingly, essentially needed.The theory of Riffaterre is applied to study the song lyric. Meanwhile, a theory of Bourdieu is employed to review the legitimation achievement of the work production practices. The behaviorism method is used in analyzing the agents’ behaviors during the production process to reach a legitimation that can be considered as shifting of position and perception of the society.The legitimation of Sabyan Gambus’ works by analyzing the response from the society can be considered as some possibilities of the emergence of a more moderate Islam in Indonesia. The analysis of internal meaning may also create some possibilities to audience to gain the power of value that affects the power relation and other external factors. Therefore, both internal and external work analyses are necessary to show the influence of work production and its legitimation achievement on its position and perception of the society.
KAJIAN HERMENEUTIKA SASTRA MUSIK SELAWAT JAWI PADA FILM DOKUMENTER ARAB DIGARAP, JAWA DIGAWA Umilia Rokhani
UNEJ e-Proceeding 2020: E-PROSIDING SEMINAR NASIONAL PEKAN CHAIRIL ANWAR
Publisher : UPT Penerbitan Universitas Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Selawat Jawi yang terdapat pada film dokumenter Arab Digarap, Jawa Digowo merupakan tradisi yang dikembangkan di Pedukuhan Trowono, Karang Asem, Paliyan, Yogyakarta. Tradisi ini merupakan bentuk akulturasi yang dipertahankan dan dikembangkan untuk berbagai aspek kehidupan masyarakat di dukuh tersebut. Pemahaman kontekstual atas keberadaan tradisi tersebut dan refleksi kehidupan masyarakat menjadi daya atas kebertahanan tradisi itu sendiri. Oleh sebab itu, kajian hermeneutika atas tradisi selawat jawi dan aspek makna kehidupan menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Hermeneutika Ricoeur menjadi landasan untuk menguak makna teks melalui pemahaman atas fenomenologi melalui tiga unsurnya, yaitu: pemahaman atas diri melalui pertemuan diri dan pengetahuan diri; pemahaman diri melalui tanda, simbol, dan teks; kesadaran akan sesuatu. Untuk itu, digunakan metode fenomenologi hermeneutik berupa interpretasi teks secara reflektif untuk memperoleh pemahaman yang berarti, melalui objektivasi struktur, distansiasi melalui tulisan, dunia teks, dan apropriasi atau pemahaman diri. Selawat Jawi merupakan budaya hibrid yang berkembang dari tradisi, ritual keagamaan, hingga menjadi hiburan. Budaya hibrid tersebut merupakan penyesuaian kitab Al Barjanzi yang dinyanyikan dengan kombinasi salawat dan langgam Jawa. Selain itu, terdapat teks rawi yang mengisahkan biografi Nabi Muhammad berhuruf Arab Pegon dan berbahasa Jawa yang dibacakan saat kegiatan dilangsungkan. Salawat ini teraplikasikan dalam berbagai kepentingan masyarakat yang menghubungkan manusia, alam, dan Tuhannya. Kata kunci: analisis hermeneutika, Arab Digarap, Jawa Digowo, film dokumenter, Selawat Jawi
EKSPLORASI ORGAN VOKAL DAN PROSES LATIHAN BEATBOX PADA KOMUNITAS BEATBOXING OF JOGJA DI TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA Dwi Okta Renanda; Suryati Suryati; Umilia Rokhani
Laga-Laga : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 3, No 1 (2017): Laga-Laga : Jurnal Seni Pertunjukan
Publisher : Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26887/lg.v1i1.248

Abstract

Beatbox adalah bentuk seni yang menggunakan organ vokal manusia untuk meniru suara beriramadan ketukan drum, alat musik, dan suara buatan lainnya. Organ vokal umumnya digunakan untuk berbicara atau berkomunikasi, sekarang dieksplorasi untuk meniru suara berbagai perkusi dan efek suara. Salah satu komunitas yang mewadahi pecinta beatbox adalah Beatboxing of Jogja (BeJo). Setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode analisis deskriptif dengan menggunakan data kualitatif, beatbox unik dalam hal proses memproduksinya. Banyak teknik yang ditemukan di beatbox, tidak hanya suara perkusi tapi juga efek suara. Dalam proses latihan, BeJo terbagi menjadi tiga kelas, masing-masing kelas memiliki standar penguasaan teknis tertentu. latihan akan dipimpin oleh koordinator dari masing-masing kelas untuk memberi contoh dan anggota akan meniru satu persatu. Beatbox is a form of art that uses the human vocal organs to imitate the rhythmic sounds and drum beats, musical instruments, and other artificial sounds. Vocal organs are generally used to speak or communicate, are now explored to imitate the sounds of various percussion and sound effects. One of community that embodies beatbox lovers is Beatboxing of Jogja (BeJo). .After research using analysis descriptive method by using qualitative data, beatbox is unique in terms of the process of producing it. Many of the techniques found in beatbox, not only percussion sounds but also sound effects. In the practice process, BeJo is divided into three classes, each class has a certain standard of technical mastery. The exercise will be led by a coordinator from each class to give examples and members will imitate one by one.
Kekerasan Simbolik pada Produksi Komsit Yang Maha Luwes : Dekonstruksi Religiusitas Ketuhanan Umilia Rokhani
Sense: Journal of Film and Television Studies Vol 5, No 2 (2022)
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/sense.v5i2.8272

Abstract

Produk karya sebagai produksi kultural yang membawa simbol-simbol sebagai bagian dari ekspresi pemikiran agen pemroduksi dapat mendekonstruksi kultur budaya masyarakatnya. Karya yang hadir tidak dari kekosongan budaya juga akan mengisi nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakatnya. Salah satu nilai yang dapat turut berkembang adalah nilai-nilai ketuhanan di tengah masyarakat religius. Hal ini dibidik oleh Hompimpa Sinema Nusantara dalam karyanya Yang Maha Luwes. Dengan mengkaji tema karya sebagai bagian dari produksi karya serta menafsirkan nilai-nilai yang dapat digali, nilai-nilai ketuhanan yang ada di tengah masyarakat Indonesia yang religius dapat terdekonstruksi. Oleh karena itu, digunakan pendekatan konstruktivisme sosial yang berkaitan dengan metode production activity yang direlasikan dengan metode hermenutika radikal untuk menafsirkan karya dengan pijakan dekonstruksi Derrida sehingga dapat digunakan untuk melihat nilai-nilai ketuhanan dan menghubungkannya dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Produksi komsit tersebut selain bertujuan untuk menunjukkan eksistensi berkarya, juga memberikan hiburan parodi sederhana kepada masyarakat. Tema terdekat yang diangkat adalah nilai-nilai ketuhanan dengan membentuk konsep parodi sederhana melalui penokohan tuhan dengan sifat-sifat manusia. Pemahaman konstruksi berpikir penikmat atas Tuhan menjadi kontras ketika diperankan dengan sifat-sifat dan kebiasaan manusia. Sekalipun masyarakat Indonesia dikatakan masyarakat religius dengan keberadaan enam agama dan berbagai aliran kepercayaan, tetapi pemahaman awam seolah menempatkan Tuhan berjarak dengan manusia sebagai hamba-Nya. Komsit ini mendekonstruksi pemahaman tersebut dengan menanggalkan dikotomi jauh – dekat, langit – bumi antara Tuhan dan manusia. Tuhan berada di mana pun hamba-Nya berada.
Analisis Ragam Lisan dalam Makalah Ilmiah Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta Umilia Rokhani
EKSPRESI: Indonesian Art Journal Vol 10, No 2 (2010)
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/ekp.v10i2.12354

Abstract

The Presence of Spoken Language Analysis in Students' Scientific Paper at the Faculty of Performing Art, Indonesian Institute of the Art Yogyakarta. Scientific writing, as in students' paper, requires standard writing orderliness. However, such requirement is often neglected due to the presence of the spoken style of language in their scientific papers. The assumption of the presence of spoken language appears in the scientific papers written by the students of the Faculty of Performing Art, especially those who belong to the Departments of Karawitan, Pedalangan, Ethnomusicology, and Dance. The above assumption is proven by employing the theory of bilingual division, i.e. bilingualism and bilinguality. Bilingualism is ones habit to use two languages during his interaction with other people. Meanwhile, bilinguality is ones willingness or ability to use two languages. Thus, the presence of the spoken language in students' scientific papers is considered to be a bilingualism process without bilinguality. Based on this theory, a research on misleading/arms of the presence of spoken language in students 'scientific papers and some factors that influence it is needed Keywords: Scientific paper, spoken language, forms and factors of error.