Kiai Ihsan dikenal spesialis ulama di bidang tasawuf, namun selama ini tidak ada yang menyangka bahwa dirinya juga merupakan mufasir yang kompeten. Hal itu dapat dibuktikan dalam karya serialnya yang berjudul SirÄj al-ṬÄlibÄ«n, sebuah kitab tasawuf yang mengomentari kitab MinhÄj al-‘ĀbidÄ«n karya al-GhazÄlÄ«. Penafsiran seringkali dilakukan oleh kiai Ihsan melalui penggalan ayat-ayat al-Qur`an yang disitir dari MinhÄj al-‘ĀbidÄ«n. Penggalan ayat-ayat itu secara keseluruhan berjumlah 259, dengan rincian 79 di jilid pertama, dan 180 di jilid kedua. Kemudian penggalan ayat-ayat al-Qur`an dari MinhÄj al-‘ĀbidÄ«n ia tarik ke dalam SirÄj al-ṬÄlibÄ«n untuk ditafsirkan. Di dalam SirÄj al-ṬÄlibÄ«n banyak ditemukan penafsiran-penafsiran yang sangat khas. Tulisan ini akan berpijak pada pendekatan teori intertekstual yang biasa diterapkan dalam dunia sastra. Interteks dianggap menjadi landasan analisis yang tepat terhadap sebuah hasil penafsiran yang diklaim terpengaruh (baca: mengutip) oleh khazanah literatur ulama terdahulu. Berdasarkan temuan penulis ada sembilas belas sumber rujukan yang digunakan oleh kiai Ihsan dalam menafsirkan potongan ayat-ayat al-Qur`an di dalam SirÄj al-ṬÄlibÄ«n, yang terdiri dari 10 kitab tafsir, 3 kitab tasawuf, 2 mu’jam, 1 kitab Ulum al-Qur’an serta 3 kitab yang belum diketahui secara pasti. TafsÄ«r alKhÄzin menempati urutan terbanyak, dirujuk dirujuk 113 kali. Yang menarik, TafsÄ«r alJalÄlayn yang dianggap merupakan kitab tafsir paling populer di dunia pesantren justru menempati urutan ketiga.