Nike K. Rumokoy
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PELAKSANAAN PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI SETELAH BERLAKUNYA UU NO 9 TAHUN 2015 Rumokoy, Nike K.
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 22, No 6 (2016): Jurnal Hukum Unsrat
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007. Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.2 Pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD.Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.3 Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa. Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur di bidang "pembangunan" demokrasi, sehingga masih dicarikan cara untuk menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK. Bagi sebagian pihak yang lain, Pemilukada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja. Tetapi satu hal prinsip yang harus digarisbawahi (walaupun dalam pelaksanaan Pemilukada tidak langsung nanti ternyata menyenangkan rakyat) adalah: Pertama, Pemilukada tidak langsung menyebabkan hak pilih rakyat hilang. Kedua, Pemilukada tidak langsung menyebabkan anggota DPRD mendapat dua hak sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi.Padahal jika Pemilukada secara langsung, tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD (sebagai warga negara) hak pilihnya tetap ada. Pilkada serentak tahun 2015 ini sempat membuat polemik karena di beberapa wilayah hanya terdapat satu pasang calon kepala daerah, atau calon tunggal. Namun Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memperbolehkan pemilihan kepala daerah bagi daerah yang hanya memiliki calon tunggal. Mahkamah Konstitusi beralasan, jika pilkada ditunda karena kurangnya calon, maka akan menghapus hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih. Mahkamah juga menilai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pilkada juga tidak memberikan jalan keluar seandainya syarat-syarat calon tidak terpenuhi4. Untuk proses pemilihan kepala daerah calon tunggal, surat suara akan dibuat berbeda. Surat suara khusus ini hanya akan berisi satu pasangan calon kepala daerah, dengan pilihan "Setuju" atau "Tidak Setuju" dibagian bawahnya.
EKSISTENSI “AFDOENING BUITEN PROCESS” DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA Rumokoy, Nike K.
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 23, No 8 (2017): Jurnal Hukum Unsrat
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Berdasarkan kewenangan Jika melihat dari sejarahnya, upaya alternative penyelesaian perkara pidana ini sudah jauh diberlakukan sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada masa kolonial Belanda. Proses yang dilakukan dikenal dengan Afdoening Buiten Process (Penyelesaian perkara di luar pengadilan). Adapun bentuk untuk menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan sekarang yang berlaku adalah seponeren yaitu penyampingan perkara demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung, diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana pada Undang-undang system peradilan pidana anak, pasal 82 KUHP serta didalam ketentuan RKUHP dan RKUHAP. Adapun Pasal 109 ayat (2) dan (3) KUHP dan Pasal 140 ayat (2) KUHP tidak penulis anggap sebagai suatu penyelesaian diluar pengadilan, dikarenakan sifat penghentiannya ad hoc, yang sewaktu-waktu bisa dilakukan pemeriksaan didalam sidang pengadilan. Pasal 35 huruf (c) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menyatakan “Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”.
KEDAULATAN DAN KEKUASAAN DALAM UUD 1945 DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA Rumokoy, Nike K.
JURNAL HUKUM UNSRAT Vol 23, No 9 (2017): JURNAL HUKUM UNSRAT
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kekuasaan dapat menentukan hukum. Sebab terdapat hubungan signifikan antara kekuasaan dan wajah hukum. Namun yang terjadi selama ini, hukum menjadi alat kekuasaan. Dari beberapa Orde pemerintahan yang pernah terjadi di Indonesia, selalu hukum dijadikan instrumen bagi penguasa. Moment yang terjadi pada tahun 1965, dan tahun 1998 belum juga merubah wajah hukum yang otoriter.Pembentukan hukum masih berorientasi pada kepentingan penguasa dari pada kepentingan rakyat yang dikenai aturan itu. Oleh sebab itu sudah saatnya pembentukan hukum, dirubah dari rakyat kepada wakil rakyat, kemudian penguasa yang menjalankan.