This Author published in this journals
All Journal Interaksi Online
Angga Widhi Saputro
Unknown Affiliation

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

Resepsi Pemirsa Tentang Diskriminasi Gender dalam Tayangan Kakek-Kakek Narsis di Trans TV Angga Widhi Saputro; Sunarto Sunarto; Sri Budi Lestari
Interaksi Online Vol 1, No 3: Agustus 2013
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (260.048 KB)

Abstract

ABSTRAKSINama : Angga Widhi SaputroNIM : D2C007006Judul : Resepsi Pemirsa Tentang Diskriminasi Gender dalam Tayangan Kakek-KakekNarsis di Trans TVPenelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya bentuk diskriminasi gender yang ada di media.Hal ini tidak terlepas dari adanya budaya patriarki yang ada di balik produksi teks danwacana yang ada dalam media. Media kerap menampilkan perempuan sebagai objek seks danlaki-laki sebagai subjeknya. Tayangan talk show bernama Kakek-Kakek Narsis diduga turutmempengaruhi dalam menampilkan perempuan yang hanya sebagai objek dari laki-lakidengan mengeksploitasi seksualitas yang dimilikinya.Penelitian ini menggunakan analisis resepsi penonton perempuan yang menyaksikantayangan Kakek-Kakek Narsis terhadap bentuk diskriminasi yang muncul, sebagai suatubentuk perlawanan terhadap kekuasaan laki-laki dimedia. Pada penelitian ini menggunakanteori pemaknaan Stuart Hall dengan model encoding-decoding untuk menganalisisresepsinya. Sedangkan teori utamanya yakni menggunakan teori Feminisme Radikal, jugadigunakan teori Standpoint sebagai pendukung. Penelitian ini menggunakan metode kualitatifdengan metode wawancara mendalam. Subyeknya adalah para perempuan yang menyaksikantayangan Kakek-Kakek Narsis berkalangan menengah keatas.Hasil penelitian menunjukan, para pemirsa meresepsi ke dalam tiga tipe pemaknaanyang diantaranya yaitu dominan, negosiasi dan oposisi. Informan yang berada dalam posisidominan, memaknai sama seperti yang ditawarkan oleh media bahwa tindakan atau tayangandalam acara Kakek-Kakek Narsis tidak menampilkan bentuk-bentuk diskriminasimenganggap bahwa adegan yang dilakukan perempuan dalam tayangan ini adalah sikapprofesionalisme dalam bekerja. Sedangkan informan yang berada pada posisi negosiasimenyatakan, pengarahan seksualitas perempuan dalam tayangan ini adalah sebagai daya tarikacara. Namun, mereka juga menyebutkan bahwa perempuan juga mengalami tindakdiskriminasi seperti colekan, pelukan, kritikan fisik, dan penindasan oleh presenter laki-laki.Sementara bagi mereka yang masuk dalam posisi oposisi menjelaskan bahwa, semua yangditayangkan dalam acara Kakek-Kakek Narsis adalah merupakan bentuk diskriminasi danpenindasan terhadap kaum perempuan. Hasil penelitian ini telah memperkuat tentangpenyebaran ideologi patriarki yang dilakukan pihak pengelola melalui media massa yaknitelevisi sebagai alat kekuasaan (laki-laki) dalam mempertahankan status quo-nya dalambudaya patrirki di Indonesia.Keywords : talk show, diskriminasi, penindasan, patriarkiABSTRACTName : Angga Widhi SaputroNIM : D2C007006Title : Audience Reception of Gender Discrimination in Program Kakek-Kakek Narsis inTrans TVThis research based on many forms of gender discrimination in the media. It is not spite ofpatriarchal culture that is behind the production of text and discourse in the media. The mediaoften show women as sex objects and men as subjects. Programs talk show called Kakek-Kakek Narsis alleged also affect in presenting women as the object of male by exploiting itssexuality. This research used analysis reception that appears, as a form of resistance to malepower in the media.On this research using the theory of the meaning of Stuart Hall encoding-decodingmodel to analyze the reception. Whereas main theory which uses the theory of RadicalFeminism, Standpoint theory is also used as a support. This research use method a qualitativein-depth interviews. The subject is the women who watch the show Kakek-Kakek Narsismiddle class and above.The results showed, the audience make reception to the three types interpretationamong the dominant, negotiation and opposition. Informants who are in a dominant position,interpret the same as that offered by the media that the actions or impressions in the showKakek-Kakek Narsis did not show other forms of discrimination, assume that women doscenes in this show is the attitude of professionalism in work. Whereas informants who are ina position negotiating states, directing female sexuality in this show is as an attraction event.However, they also said that women also experience discrimination such as pokes, hugs,physical criticism, and oppression by the male presenter. While for those who are in theposition opposition of explaining that, all of which shown on the show Kakek-Kakek Narsiswas a form of discrimination and oppression of women. The results of this research hasstrengthened deployment of a patriarchal ideology that made the manager through the mediaof television as a tool of power (men) in maintaining the status quo in patriarchy culture inIndonesia.Keywords : talk show, discrimination, suppression, patriarchyPENDAHULUANDewasa ini bentuk-bentuk diskriminasi gender marak sekali bermunculan baik dilingkungansekitar maupun dalam dunia pertelevisian entah itu dalam bentuk verbal atau non verbal.Kondisi ini cukup mencemaskan yang mana kebanyakan diskriminasi tersebut ditujukan olehkalangan perempuan. Sangat memperhatinkan memang, ditengah-tengah masyarakat yangharusnya sudah „modern‟, secara prinsip rasionalitas, demokrasi, dan humanisme yang manajika dipandang melalui teori dapat mengurangi tindak diskriminasi, justru budaya tersebutkian menjamur di kehidupan masyarakat. Sangat jelas, akhir-akhir ini berita mengenaiketidakadilan, pelecehan seksual, dan lain-lain dirasakan betul oleh kaum perempuan.Bahkan media elektronik menggunakan wanita untuk kepentingan bisnis semata denganhanya menonjolkan kemolekan tubuhnya yang dijadikan „mesin‟ dalam meraup keuntungan.Dalam dunia pekerjaan misalnya, dimana sebagian besar lowongan kerja profesiakuntan menginginkan dilakukan oleh perempuan karena dianggap lebih teliti dan ulet, dilainpihak kesempatan untuk menggunakan wewenang ternyata lebih kecil. Sebelum ditentukansebagai pegawai pun ada syarat-syarat atau perjanjian bahwa yang bersangkutan tidak bolehmenikah selama satu tahun. Karena umumnya perempuan pasca menikah akan hamil dankemudian mengambil cuti panjang dengan kontribusi sebagai pegawai yang belum maksimalmenambah kerugian bagi perusahaan.Masih ingat tentunya kasus Rumah Sakit Mitra Internasional yang memecat tigakaryawatinya karena bersikeras memakai jilbab sesuai syariat, yaitu menutup sampai dada.Hal ini mengundang tanya, adakah yang salah bila mengunakan jilbab saat bekerja? bentukbentukdiskriminasi semacam ini membatasi perempuan dalam mencari pekerjaan yang cocokdengan karakternya. Berbeda dengan kasus pemecatan di Rumah Sakit Mitra Internasional,perempuan di Aceh bahkan diwajibkan untuk selalu berkerudung. Ada sanksi tegas bilakedapatan keluar rumah tidak berkerudung. Sanksi itu bisa teguran bahkan hukum cambukbila keluar rumah dengan berpenampilan terbuka (pakaian ketat, seksi, memakai rok mini).Menurut Gubernur Aceh Irwandi, menyebutkan bahwa wajib jilbab bagi perempuan sudahmenjadi hukum positif dan bukan lagi syariat agama. Apabila ada pihak-pihak yangmengkritisi tentang kebijakan tersebut mau tidak mau sudah bersentuhan dengan agama.Sementara dalam Konstitusi, Pasal 28 I (2) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Setiaporang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhakmendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Hal iniberarti bahwa secara filosofis, Indonesia menjamin dan melindungi tiap warga negaranya darisikap atau tindakan diskriminatif tanpa membeda-bedakan status sosial, ras, suku, budaya,agama, maupun jenis kelamin. Karena tindakan diskriminatif yang menyebabkan penguasaandan dominasi terhadap salah satu kelompok warga tertentu merupakan sikap yang tidakberperikemanusiaan dan berperikeadilan, sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai denganperikemanusiaan dan perikeadilan”.Kondisi ini telah menjalur kedalam industri pertelevisian dimana banyak sejumlahprogram acara yang menayangkan adegan-adegan berbau diskriminasi. Hal ini juga bertolakbelakang dengan pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasiterhadap wanita UU nomor 7 tahun 1984, kemudian juga tentang Undang-Undang PenyiaranPasal 36 nomor 6 tahun 2002 yang menyatakan bahwa, “Isi siaran dilarang memperolok,melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia indonesia, ataumerusak hubungan internasional”.Pada media elektronik sendiri keberadaan diskriminasi telah mewarnai tayanganpertelevisian di Indonesia. Kenyataan ini tampak pada program acara yang kerap kalimenggunakan perempuan sebagai objek seksualitas. Peran perempuan hanya sekedar sebagaifigura belaka, dengan menonjolkan sisi sensualitas. Terbukti dalam acara Talk Show diIndonesia yang kebanyakan memposisikan wanita sebagai bahan yang ditindas. Contoh TalkShow semacam ini adalah acara Empat Mata yang sekarang berubah menjadi Bukan EmpatMata, dalam acara yang dipandu oleh Tukul Arwana itu memperlihatkan bagaimana seorangVega yang juga host dalam acara itu selalu tampil seksi dengan pakaian ketatnya. Kemudianpelecehan terhadap sosok Susi yang juga tidak lain istri dari Tukul sendiri yang mana kerapkali sengaja atau tidak sengaja dihina dan ditertawakan.Semua adalah pernyataan tentang gender, dan didalam perundangan pun secara sahmelarang adanya bentuk diskriminasi gender, menurut aturan yang berlaku mengenaidiskriminasi terhadap perempuan yang juga telah disahkan oleh Undang-Undang no. 7 Tahun1984, yaitu disitu disebutkan “Setiap pembedaan, pengabaian, atau pembatasan yangdilakukan atas dasar jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan,mempengaruhi atau bertujuan mengurangi ataupun meniadakan pengakuan, penikmatanatau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik,ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apa pun lainya kaum perempuan terlepas dari statusperkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.”Semakin tinggi rating sebuah program acara, maka semakin banyak keuntungan iklanyang didapat. Menyadari hal itu penyelenggara televisi berlomba untuk memperolehsebanyak mungkin keuntungan dari penghasilan iklan, dengan menyajikan tontonan yangmenarik banyak publik. Namun yang disesalkan adalah para pengelola televisimengesampingkan dampak yang terjadi di masyarakat. Masyarakat yang heterogen terdiridari berbagai macam warna dan budaya, hal semacam ini yang perlu diperhatikan oleh parapengelola televisi untuk lebih mencermati program yang tidak bertentangan dengan norma,etika, hukum dan dampak negatif yang ditimbulkanya. Melihat fenomena tersebut penulisberusaha mengangkat kedalam sebuah penelitian yang mana program acara Kakek-KakekNarsis yang begitu banyak dinanti dan dinikmati orang namun disatusisi banyak jugakritikan-kritikan yang masuk mengenai tayangan tersebut. Hal ini yang ingin penulismencoba teliti dalam penelitian ini.Secara empirik banyak sekali masalah gender yang dijumpai lingkungan masyarakatdan media. Kakek-Kakek Narsis adalah bukti nyata bagaimana diskriminasi merambahkedalam suatu program acara yang disaksikan oleh khalayak luas. Hal ini sangat disayangkanmenginggat dalam Undang-Undang pun melarang adanya bentuk-bentuk diskriminasisemacam ini. Didalam lembaga penyiaran secara jelas tertulis bahwa penyiaran melarangmuatan yang memperolok, merendahkan, melecehkan, dan atau mengabaikan martabatmanusia. Disatusisi tayangan ini dikritik namun disisi lain tayangan ini begitu dinantikan. Halini terbukti pada adanya komentar media sosial Kakek-Kakek Narsis Trans TV (Facebook)bahwa kebanyakan dari mereka menanggapi dan mengikuti acara tersebut hingga requestbintang tamu kesayangaannya dituntut untuk hadir dalam memeriahkan acara tersebut.Pertanyaan lain yang timbul disini adalah sudah tahu tayangan ini mendapat kritik danteguran tetapi kenapa masih banyak yang menonton? Dan apakah penonton menerima bahwaobjektifitas seksual yang dilakukan laki-laki dalam tayangan Kakek-Kakek Narsis adalahsuatu hal yang wajar dan menghibur ataukah sebaliknya?Beranekaragamnya kebudayaan dari suatu daerah membentuk persepsi yang berbedapula mengenai pemaknaan suatu makna. Sebenarnya bagaimana proses pemaknaan yangdilakukan khalayak dengan latar belakang yang berbeda mengenai diskriminasi gender dalamtayangan Kakek-Kakek Narsis di Trans TV? Seperti apa resepsi yang ditangkap penonton?Apakah hal yang disajikan oleh laki-laki (produsen, host, crew, kamera-man) sebagaimanamakna dominan dapat diterima oleh kaum perempuan, setujukah perempuan dengan keadaanyang menggambarkan seperti itu. Makna dari sebuah teks televisi, semuanya akan kembalipada khalayak sendiri. Khalayak bebas menentukan keputusan apa yang mereka pilih setelahmenyaksikan acara tersebut.PEMBAHASANPerkembangan identitas gender sangat erat kaitanya dengan aspek biologis, sehingga hal inimerupakan bagian yang esensial dari konsep diri individu. Konsep kesetaraan gendermerupakan suatu konsep yang rumit dan mengundang kontroversi. Apa yang dimaksuddengan kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki. Kesetaraan gender dapat juga berartiadanya kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kesempatan sertahak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional, sertakesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Kesetaraan gender ditandai dengan tidakadanya diskriminasi gender antara perempuan dan laki-laki dalam segala akses. Laki-laki danperempuan memiliki akses berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakansumber daya dan memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan.Bahasa merupakan sistem dari representasi yang diperlukan dalam seluruh prosespengkonstruksian makna. Penyebaraan pemetaan konseptual diterjemahkan dalam bahasaumum sehingga bisa menghubungkan konsep ide dengan kata dan tulisan tertentu, citra(image) suara atau visual. pemahamaan umum yang dipakai seperti kata-kata, suara atauimage yang mengandung makna atau yang disebut dengan simbol. Simbol-simbol yangmengandung makna digunakan untuk merepresentikan konsep. Hubungan antar simbol satudengan yang lainya dibawa dalam pikiran kita dan bersamaanya membuat sistem pemaknaandalam suatu kultur. Citra suara, kata-kata, image, atau objek yang berfungsi sebagai simboldan diorganisasikan bersama simbol lainya dalam sebuah sistem yang mampu membawa danmengekspresikan makna, pada intinya adalah bahasa. Bahasa tidak terbatas pada verbal (katakata,tuturan, dan tulisan), tetapi juga imajinasi visual, bahasa tubuh, dan ekspresi muka(Hall, 1997 : 8).Televisi memang memainkan peran langsung dalam penetrasi kebudayaan oleh sistemmakna dari lain tempat, tapi ia tidak menghapus konsepsi-konsepsi lokal. Proses ini lebihbaik dipahami sebagai penumpukan makna-makna lokal oleh berbagai definisi alternatif,yang membuat keduanya menjadi relatif serta menciptakan pemahaman baru akan abiguitasdan ketidakpastian. Dalam Barker (2005: 360) dijelaskan, bahwa televisi menjadi sumberbagi pembentukan identitas kultural, dan pemirsa juga menggunakan identitas dankompetensi kultural mereka untuk mendekode program dengan cara khas masing-masing.Seiring dengan mengglobalnya televisi, perannya dalam pembentukan identitas-identitas etnisdan nasional menjadi semakin pentingPenulis dalam hal ini memilih paradigma kritis untuk mendasari penelitian inidikarenakan adanya persoalan gender (feminisme) yang kental akan penindasan danketidakadilan dalam masyarakat dan kehidupan sehari-hari yang ditujukan kaum perempuanoleh kaum laki-laki. Tradisi kritis cenderung memandang komunikasi sebagai suatu “socialarrangement of power and oppression”. Artinya didalam kebanyakan realitas sosial yangada, komunikasi lebih didominasi oleh kalangan yang lebih kuat yang bermaksud hendakmenindas yang lemah sementara pihak yang lemah ingin melakukan perlawanan (Parwito,2007: 26). Dalam aliran kritis, dunia positivisme dan empirisme ilmu sosial, struktur memangtidak adil. Karena ilmu sosial yang bertindak tidak memihak, netral, objektif serta harusmempunyai jarak, merupakan suatu sikap ketidakadilan tersendiri, atau bisa dikatakanmelanggengkan ketidakadilan (status quo). Oleh karenanya, paradigma ini menolak bentukobjektivitas dan netralitas dari ilmu sosial. Paradigma mengharuskan adanya bentuksubjektifitas, keberpihakan pada nilai-nilai kepentingan politik dan ekonomi golongantertentu, terutama kaum lemah, golongan yang tertindas dan kelompok minoritas, dimanakeberpihakan ini merupakan naluri yang dimiliki oleh setiap manusia.Pada teori Stuart Hall yakni Reception Theory mengatakan bahwa makna yangdimaksudkan dan diartikan dalam sebuah pesan bisa terdapat perbedaan. Kode yangdigunakan atau yang disandi (encode) dan yang disandi balik (decode) tidak selamanyaberbentuk simetris. Derajat simetris dalam teori ini dimaksudkan sebagai derajat pemahamanserta kesalahpahaman dalam pertukaran pesan dalam proses komunikasi – tergantung padarelasi ekuivalen (simetri atau tidak) yang terbentuk diantara encoder dan decoder. Selain ituposisi encoder dan decoder, jika dipersonifikasikan menjadi pembuat pesan dan penerimapesan. Ketika khalayak menyandi balik (decoding) dalam suatu komunikasi, maka terdapatposisi hipotekal, yakni : (1) Dominant-Hegemonic Positian, (2) Negotiated Position, (3)Oppositional Position.Reception Analysis merupakan bagian khusus dari studi khalayak yang mencobamengkaji secara mendalam proses aktual dimana wacana media diasimilasikan melaluipraktek wacana dan budaya khalayaknya. David Morley pada tahun 1980 mempublikasikanStudi of the Nationawide Audience kemudian dikenal sebagai pakar analisis resepsi secaramendalam. Dalam tulisanya yang dimuat dalam Cultural Transformation : The Politics ofResistence (183, dalam Marris dan Tornham 1999: 474,475). Morley merujuk pada penelitianHall, mengemukakan tiga posisi hipotesis didalam pembaca teks (program acara) yaitu;1. Dominant (atau hegemonic) reading, pembaca sejalan dengan kode-kode program(yang didalamnya terkandung nilai-nilai, sikap, keyakinan dan asumsi) dan secarapenuh menerima makna yang disodorkan dan dikehendaki oleh sipembuat program.2. Negotiated reading, pembaca dalam batas-batas tertentu sejalan dengan kode-kodeprogram dan pada dasarnya menerima makna yang disodorkan oleh sipembuatprogram namun memodifikasikanya sedemikian rupa sehingga mencerminkan posisidan minat-minat pribadinya.3. Oppositional (counter hegemonic) reading, pembaca tidak sejalan dengan kode-kodeprogram dan menolak makna atau pembacaan yang disodorkan, dan kemudianmenentukan frame alternatif sendiri didalam menginterpretasikan pesan atau program.Kerangka Reception Theory pada penelitian ini akan digunakan peneliti untukmemahami dan melihat bagaimana khalayak memaknai pesan yang dikomunikasikan denganpendekatan mendalam. Mengacu pada teori tersebut, peneliti mencoba mendiskripsikan halhalyang terkait dengan proses pemaknaan informan terhadap pesan dalam tayangan Kakek-Kakek Narsis.Pemanfaatan teori reception analysis sebagai pendukung dalam kajian terhadapkhalayak sesungguhnya menempatkan khalayak tidak semata pasif namun dilihat sebagaiagen kultural (cultural agent) yang memiliki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan maknadari berbagai wacana yang ditawarkan media. Makna yang diusung media lalu bisa bersifatterbuka atau polysemic dan bahkan bisa ditanggapi secara oposisif oleh khalayak. Maknasebuah teks pada dasarnya bersifat polisemi dan terbuka sehingga memungkinkan khalayakuntuk memahami dan menginterpretasikan pesan secara berbeda. Analisis resepsi berupayamenganalisisnya dengan apa yang ada ataupun sesuatu yang tersembunyi dibalik penuturanpenuturanaudience tersebut.Dengan menggunakan analisis resepsi, selain mendapat makna atas pemahaman daninterpretasi teks media, juga mendapat penjelasan mengenai :1. Alasan mengapa terjadi perbedaan interpretasi dalam diri pembaca2. Alasan mengapa para pembaca dapat membaca teks yang sama secara berbeda3. Faktor-faktor kontekstual yang memungkinkan perbedaan pembacaan4. Cara teks-teks kebudayaan dimaknai oleh audiens, dan pengaruhnya dalam keseharianmereka.Beberapa teori dalam penelitian ini sangat relevan dalam menaggapi permasalahanyang ada dalam program acara Kakek-Kakek Narsis. Feminisme radikal berpendapat bahwa,ketidakadilan gender bersumber pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan itusendiri. Perbedaan biologis ini terkait dengan peran kehamilan dan keibuan yang selaludiperankan oleh perempuan. Semua ini hanya termanifestasi dalam institusi keluarga, dimanabegitu seseorang menikah dengan laki-laki, maka perbedaan biologis ini akan melahirkanperan-peran gender yang erat kaitanya dengan masalah biologis. Karenanya, para feminisradikal sering menyerang keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluargadianggap sebagai institusi yang melahirkan dominasi laki-laki, sehingga perempuan ditindas.Feminisme radikal memandang pornografi sebagai bentuk subordinasi, karena menganggappornografi tidak lebih dari propaganda patriarkal mengenai peran perempuan yangseharusnya sebagai pembantu, penolong, perawat, dan mainan laki-laki. Sementara laki-lakiada untuk dirinya sendiri, perempuan ada untuk laki-laki. Laki-laki subjek, perempuan objek(Tong, 2006 : 98).Feminisme radikal pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran sebagai berikut :1. Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas adalah laki-laki.Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan dimengerti, dan tidak boleh direduksimenjadi kekuasaan kapitalis, misalnya.2. Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan feminim sepenuhnyaadalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh masyarakat, sebenarnya tidak atas dasarperbedaan alami perempuan dan laki-laki. Maka yang perlu adalah penghapusanperan perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi.3. Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari seluruh bentukpenindasan lainya, dimana hal ini menjadi suatu pola penindasan.KESIMPULANBerdasarkan analisis dan pembahasan terkait resepsi pemirsa tentang diskriminasi genderdalam tayangan Kakek-Kakek Narsis, ditemukan 3 pemaknaan yang berbeda dari informandalam memaknai teks. Khalayak yang berada dalam posisi dominan, yakni memaknai samaseperti yang ditawarkan oleh media bahwa tindakan atau tayangan dalam acara ini tidakmenampilkan bentuk-bentuk diskriminasi menganggap bahwa adegan yang dilakukanperempuan disini adalah profesionalisme dalam bekerja, jadi sebagai tuntutan pekerjaanselama itu dibayar tidak menjadi masalah. Bahkan sosok wanita seksi dalam tayangan inidigunakan sebagai penarik minat pemirsa untuk menonton serta punya daya jual yang tinggi.Khalayak yang berada dalam posisi negosiasi menganggap bahwa pengarahan seksualitasperempuan dalam tayangan ini adalah sebagai daya tarik masyarakat untuk menonton acaraini, namun mereka juga menyatakan bahwa para perempuan yakni nanny dan bintang tamujuga mengalami tindak diskriminasi. Sedangkan khalayak yang berada dalam posisi oposisimenyatakan, semua yang ditayangkan dalam acara Kakek-Kakek Narsis adalah merupakanbentuk diskriminasi dan penindasan terhadap kaum perempuan. Hasil penelitian ini telahmemperkuat tentang penyebaran ideologi patriarki yang dilakukan pihak pengelola melaluimedia massa yakni televisi sebagai alat kekuasaan (laki-laki) dalam mempertahankan statusquo-nya dalam budaya patrirki di Indonesia.Dalam menanggapi penelitian ini resepsi audience tidak pernah menjadi pihak pasifdalam membaca sebuah teks kebudayaan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa seksualitasdiilustrasikan audience sebagai bentuk pengarahan, pengaturan dan pengekspresianperempuan sebagai bentuk hiburan dalam media. Faktor pendidikan dan budayamempengaruhi keaktifan audience dalam memproduksi makna, ketika menyaksikan sesamaperempuan yang dilecehkan seksualitasnya oleh media membuat mereka berempati, merasamenjadi bagian sesama perempuan yang dilecehkan. Feedback yang diberikan audiencedalam memaknai kontruksi media memberikan jawaban bahwa audience tidak serta mertamenerima apa yang ditontonnya, melainkan memprosesnya yang kemudian disesuaikandengan pengalaman hidup, faktor lingkungan dan pendidikan.Kepada pihak pengelola media disarankan untuk perlu memperhatikan manfaat apayang dapat diberikan kepada masyarakat dalam menayangkan sebuah program acara. Tidakhanya dapat menghibur namun mampu setidaknya memberikan manfaat baik berupa hiburanmaupun dari sisi pendidikan. Dengan begitu diharapkan dalam masa mendatang bentukbentukacara televisi semakin variatif dan berkualitas tidak monoton dan hanya sekedar ikutikutanseperti yang diperlihatkan sekarang. Karena sebenarnya untuk mencapai rating tinggiadalah dengan melihat suatu program acara dapat bertahan lama dan dicintai penontonyakarena mutu dan konsep acara yang menarik, bukan eksploitasi ataupun penindasan terhadappihak tertentu. Adanya faktor pendidikan ini maka diharapkan menjadi kesadaran penontonuntuk dapat meningkatkan kemampuan membaca teks yang baik dan dapat mengambilkeputusan untuk menyikapi tayangan bernuansa gender semacam ini secara lebih dewasa.Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam hal ini harus turun tangan menindak lanjutiprogram tayangan yang mengedepankan unsur gender dan diskriminasi semacam ini. Karenadalam Undang-Undang pun menyebutkan bahwa segala macam bentuk penindasan dandiskriminasi harus segera dihapuskan seperti yang terdapat pada pasal 28 (I) 2 UUD 1945.KPI harus menyiapkan sistem regulasi yang efektif dan memberikan tidakan tegas terhadaptayangan-tayangan yang tidak sesuai dan menonjolkan ketimpangan gender akibatketidakadilan yang ditujukan oleh perempuan baik dalam sikap maupun peran.Menarik atau tidaknya suatu program acara bukanlah dilihat dari artis atau bagaimanacara berpakaiannya, namun melihat secara keseluruhan inti dari konsep acara yang disajikan,bagaimana manfaat dan unsur pendidikan yang bisa diambil setelah melihat tayangan ini.Melalui tayangan Kakek-Kakek Narsis menjadikan pelajaran bagi pengelola lain agar bisamembuat acara yang lebih baik lagi dengan tidak memandang keberadaan gender dandiskriminasi di media, dan untuk masyarakat diharapkan untuk lebih cerdas lagi dalammemaknai isi teks media.DAFTAR PUSTAKAA.MacKinnon, Catharine. (1987). Feminism Unmodified. Havard University Press, USA :Ninth Printing.Agger, Ben. (2003). Teori Sosial Kritis.Yogyakarta : Kreasi Wacana.Alcoff (1989). Reposting Feminism and Education : Perspectives on Educating for SocialChange. London : Greenwood.Arief Budiman. (1982). Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta : Gramedia.Barker, C. (2005). Culture Stadies Teori dan Praktik. London : Sage Publications.Berger, C.R. and S.H., Chaffe. (1983). Handbook Communication Science. Beverly Hills :Sage Publications.Basow, Susan A. (1992). Gender Stereotypes and Roles. USA : Brooks/Cole PublishingCompany.Cott, Nancy F. (1987). The Grounding of Modern Feminism. Yale University Press.New Haven.Creswell. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design : Choosing Among FiveTradition. London : Sage Publictions.Croteau, David and William Hoynes (2007). Media/Society. Pine Forge Press, USA :Thousand Oaks.Effendy. O.U. (2003). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT. Citra AdityaBakti.Fiske, John. (1987). Television Culture. London : Routledge.Fiske, J. (2004). Culture and Communication Studies. Yogyakarta : Routledge.Grant, A.E. & Wilkinson, J.S. (2009). Understanding Media Convergence : The State of theField. NY : Oxford University press (9).Griffin, EM. (2006). A first Look At Communication Theory, 6th Edition, New York :McGraw-Hill, inc.Grossberg, Lawrence, Carly Nelsen, dan Paula A. Treicher. (1992). Culture Stadies.New York, London : Routledge.Guba. Egon (ed.). (1990). The Paradigm Dialog. London : Sage Publications.Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representasions and Signifying Practices. BaverleyHills : Sage Publications.Harris, Marvin. (1968). The Rise of Anthropological Theory. New York : Thomas Y.Cromwell Company.Jackson, Stevi dan Jackie Jones. (2009). Teori-Teori Feminis Kontemporer. Yogyakarta :Jalasutra.Jensen, Klaus, Bruhn & Jankowski, Nicholas W. (2003). A Handbook of QualitativeMethodologies for Mass Communication Research. London : Routledge.Junaedi, F. (2007). Komunikasi Massa (Pengantar Teoritis). Yogyakarta : Santusta.Kasiyan. (2006). Bias Gender Dalam Iklan Televisi. Media Pressindo.Kasiyan. (2008). Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta :Ombak.Khun, Thomas. (1970). The Structure of Scientific Revolution (cetakan ke-2) Chicago :Chicago University Press.Littlejohn, Stephen W & Foss, Karen A. (2008). Theories of Human Communication, USA :The Thomson Corporation.Luhulima. (2002). Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung :Alumni.Sadli, Saparinah. (2010). Berbeda Tetapi Setara. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.Silverstone, Roger.(1994). Television : and everday life. London, New York : Routledge.Soekarno (1963). Kawajiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia. Jakarta :Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno.Spradley, J.P. (2006). Metode Etnografi (penerjemah : Elizameth, M.Z dari The EtnographicInterview) edisi II. Yogyakarta : Tiara Wacana.Sudibyo, Agus. (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta : Penerbit LkiSYogyakartaSunarto. (2009). Kekerasan, Televisi & Perempuan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.SuSan A. Basow (1992). Gender Stereotypes and Roles. Pacific Grove, California :Brooks/Cole.Storey, Jhon. (2008). Cultur Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta : Jalasutra.Tong, Rosemerie Putnam (1998). Feminist Thought : Pengantar Paling Konferhensif KepadaArus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta : Jalasutra.Mansour Fakih. (1997). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta :PustakaPelajarMartadi. (2000). Reposisi Citra Melalui Logo. Jurnal Nirmana.McQuail, Denis. (1991). Teori Komunikasi Massa, Penerbit Erlangga, Jakarta, Edisi kedua.Moelong, Lexy J. (1991). Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,Bandung.Morley, David (1992). Television Audience and Cultural Studies. London : Routledge.Parwito, (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : LkiS.Winship, J. (1981) Woman Become an “induvidual” : Femininity and Consumption inMagazine. Birmingham ; University of Birmingham.