Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Respon Pertumbuhan, Produksi dan Kualitas Daun Duduk (Desmodium triquetrum (L.) D.C.) terhadap Ketinggian Tempat Budidaya Fauzi; Dyah Subositi
Jurnal Jamu Indonesia Vol. 4 No. 2 (2019): Jurnal Jamu Indonesia
Publisher : Pusat Studi Biofarmaka Tropika LPPM IPB; Tropical Biopharmaca Research Center - Bogor Agricultural University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1169.199 KB) | DOI: 10.29244/jji.v4i2.129

Abstract

Daun duduk (Desmodium triquetrum (L.) DC.) merupakan tumbuhan obat yang mengandung senyawa flavonoid, saponin, polifenol dan trigonelin. Tanaman ini di Indonesia tersebar di pulau Jawa, Madura dan Sumatera. Tumbuh dari daerah dataran rendah sampai dataran tinggi pada ketinggian 5 - 1.500 m dpl, sampai saat ini belum banyak dibudidayakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketinggian tempat tumbuh yang optimal bagi pertumbuhan, produksi dan kualitas daun duduk. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional pada bulan Januari – September 2016. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok, faktor perlakuan yang dicobakan adalah ketinggian lokasi penanaman yaitu 200, 450 dan 1.200 m dpl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketinggian tempat berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, produksi dan kadar flavonoid daun duduk. Tinggi tanaman tertinggi (179,90 cm) diperoleh pada penanaman di ketinggian 1.200 m dpl. Jumlah dan bobot kering daun tertinggi dihasilkan pada penanaman di ketinggian 200 m dpl. Kadar sari larut air (19,73 %), kadar sari larut etanol (18,28 %), dan kadar flavonoid (0,249 %) yang tertinggi diperoleh di ketinggian 450 m dpl.
Karakterisasi Morfologi dan Kandungan Minyak Atsiri Beberapa Jenis Sirih (Piper sp.) Yuli Widiyastuti; Sari Haryanti; Dyah Subositi
Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences Vol. 3 (2016): Spesial Issue of Mulawarman Pharmaceuticals Conference Proceeding (Prosiding Semnas T
Publisher : Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (478.53 KB) | DOI: 10.25026/mpc.v3i2.148

Abstract

Piper merupakan salah satu marga dalam famili Piperaceae yang meliputi lebih dari seribu jenis tumbuhan yang tersebar di daerah tropis dan sub tropis. Sirih (Piper betle L.) adalah salah satu spesies dalam genus Piper yang sangat dikenal masyarakat, karena tidak hanya dimanfaatkan sebagai herbal namun juga memiliki nilai penting dalam kultur atau budaya masyarakat. Berdasarkan bentuk dan warna daun, rasa dan aroma, dikenal beberapa jenis sirih antara lain sirih cacing, sirih Jawa, sirih gading, sirih banda, dan sirih cengkih. Untuk itu dilakukan penelitian karakterisasi morfologi dan kandungan minyak atsiri beberapa jenis sirih yang berasal dari beberapa daerah. Penelitian dilakukan secara eksploratif dengan mengambil spesimen beberapa jenis sirih, kemudian dilakukan karakterisasi morfologi di Laboratorium Sistematika Tumbuhan. Analisis minyak atsiri dilakukan secara stahl destilasi dan identifikasi kandungan minyak atsiri secara Kromatografi Lapis Tipis menggunakan fase diam Silikagel G dan fase bergerak toluene:etyl acetat: 93:7, visualisasi menggunakan vanillin asam sulfat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis sirih yang dikenal dengan nama daerah sirih gading, sirih cacing, dan sirih hijau dengan nama botani Piper betle L., serta sirih merah dengan nama botani Piper crocatum L. atau Piper ornatum L. Perbedaan morfologi yang paling menonjol ada pada bentuk daun, tekstur daun, warna batang, warna tangkai daun, habitus, dan aroma. Kadar minyak atsiri masing-masing jenis sirih berturut turut: sirih hijau (0,6 %), sirih cacing (0,3%), sirih gading (0,3%), dan sirih merah (0,6%). Profil KLT dari minyak atsiri masing-masing jenis sirih menunjukkan perbedaan dalam jumlah spot maupun warna spot.
Keragaman Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.) yang digunakan di 6 Etnis di Indonesia berdasarkan Penanda Molekular ISSR Dyah Subositi; Nina Kurnianingrum; Slamet Wahyono
Prosiding SNPBS (Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek) 2017: Prosiding SNPBS (Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.407 KB)

Abstract

Data pengetahuan etnofarmakologi, tumbuhan obat dan ramuan obat tradisional pada 209 etnis di Indonesia telah diperoleh dari penelitian Ristoja (Riset Tumbuhan Obat dan Jamu) pada tahun 2012. Penelitian lanjutan Ristoja dilakukan pada tumbuhan yang paling banyak digunakan diseluruh etnis sekaligus sebagai penyusun ramuan anti kanker dan anti malaria, termasuk diantaranya adalah sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.). Salah satu tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui keragaman genetik sambung nyawa yang digunakan dalam ramuan obat tradisional pada 6 etnis di Indonesia berdasarkan penanda molekular Inter-simple Sequence Repeats (ISSR). Empat primer ISSR terpilih digunakan untuk amplifikasi masing- masing aksesi dan menghasilkan sebanyak 25 fragmen DNA dengan tingkat polimorfisme sebesar 92%. Indeks Similaritas Dice digunakan untuk perhitungan nilai similaritas antar aksesi sambung nyawa. Penyusunan dendrogram berdasarkan UPGMA. Enam aksesi sambung nyawa terbagi menjadi dua klaster dengan nilai indeks similaritas 39,68%. Aksesi sambung nyawa asal etnis Kaidipang (Sulawesi Utara) dan Togutil (Maluku Utara) mempunyai kemiripan tertinggi sebesar 96%.
Seleksi Primer RAPD untuk Autentikasi Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus (Blume) Miq.) Dyah Subositi; Anshary Maruzy; Nur Rahmawati Wijaya
Prosiding SNPBS (Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek) 2020: Prosiding SNPBS (Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (436.8 KB)

Abstract

Kumis kucing (Orthosiphon aristatus) merupakan tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan baku obat tradisional oleh masyarakat umum maupun industri. Tanaman ini berpotensi dipalsukan atau terjadi kekeliruan dengan tekelan (Eupatorium riparium) karena mempunyai morfologi daun yang mirip terutama dalam bentuk simplisia. Penggunaan karakter morfologidan fitokimia dalam autentikasi tanaman obat mempunyai keterbatasan karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan umur fisiologis tanaman. Penanda molekular RAPD merupakan salah satu metode autentikasi tumbuhan obat yang tidak dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk seleksi primer RAPD sebagai tahap awal dalam autentikasi kumis kucing. Isolasi DNA genom dilakukan pada kumis kucing, tekelan dan campuran keduanya, selanjutnya dilakukan amplifikasi menggunakan 20 primer RAPD. Tiga primer RAPD tidak dapat menghasilkan produk amplifikasi dan total fragmen yang dihasilkan sebanyak 97 fragmen DNA, serta polimorfisme sebesar 43,3%. Sebanyak 3 primer RAPD yaitu OPK2, OPL-1 dan OPM1menghasilkanmasingmasingsatufragmen spesifik pada kumis kucing dan tekelan. Primer RAPD tersebut dapat digunakan untuk autentikasi kumis kucing dengan tekelan.
Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb) dalam Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Rohmat Mujahid; Dyah Subositi
Prosiding SNPBS (Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek) 2020: Prosiding SNPBS (Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (266.684 KB)

Abstract

Sonchus arvensis L. merupakan salah satu tanaman yang digunakan dalam beberapa ramuan, khasiat dan keamanannya telah terbukti dalam uji preklinis, observasi klinis maupun uji klinis yang dilakukan di Klinik Saintifikasi Djamoe “Hortus Medicus”. Pemenuhan kebutuhan Sonchus arvensis L. di Klinik Saintifikasi Djamoe Hortus Medicus dari hasil budidaya, namun pemakaian oleh masyarakat umumnya berasal dari tumbuhan liar, yang banyak tumbuh di pekarangan, lahan kosong maupun pingir jalan. Luasnya sebaran Sonchus arvensis L. menimbulkan potensi cemaran logam berat terutama yang tumbuh disekitar jalan/jalan raya. Telah dilakukan pengambilan 20 sampel Sonchus arvensis L. yang dibagi dalam 5 kelompok berdasar potensi cemaran logam berat. Kandungan logam berat ditetapkan secara Spektrofotometri Serapan Atom pada panjang gelombang 217,0 nm timbal (Pb) dan 228,8 nm kadmium (Cd). Kandungan kadmium tidak terdeteksi dalam semua sampel (LOD 0,04 ppm), sedangkan kandungan timbal sangat bervariasi mulai dari tidak terdeteksi (6 sampel) hingga 4,34 ppm (LOD 0,01 ppm), terdapat kecenderungan makin dekat tempuyung tumbuh dengan jalan/jalan raya makin besar kandungan timbalnya.
Medicinal Plants used for Antihypercholesterolemia in Ethnic Groups of Celebes Island, Indonesia: Pemanfaatan Tumbuhan Obat sebagai Antihiperkolesterolemia di Berbagai Etnis di Pulau Sulawesi, Indonesia Nuning Rahmawati; Sari Haryanti; Ika Yanti Marfuatush Sholikhah; Dyah Subositi; Harto Widodo; Rohmat Mujahid; Yuli Widiyastuti
Jurnal Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 16 No. 2 (2023): JURNAL TUMBUHAN OBAT INDONESIA
Publisher : Universitas Tidar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31002/jtoi.v16i2.1025

Abstract

This study aimed to identify the utilization of medicinal plants used by selected traditional healers who met inclusion criteria to treat high cholesterol levels in ethnic groups of Celebes Island, Indonesia. Data collection was carried out through interviews, observation, and sample collection. This study revealed 67 concoction information and identified the use of 48 plant species distributed in 32 families among 39 healers in 20 ethnic groups in Celebes Island. Peperomia pellucida (L.) Kunth (UV=0.21), lamiaceae (15.63%), and leaves (57.35%) were determined as the most prominent species, family, and plant part used. The most widely prescribed rule of use is internal administration (94.03%) with a frequency of 3x1 per day (44.78%) for a week to a month (56.72%). However, conservation efforts need to be initiated immediately since more than 50% of healers made no cultivation efforts