Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

PENERAPAN DOKTRIN RES IPSA LOQUITUR DALAM PENYELESAIAN KASUS MALPRAKTEK MEDIK (Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Kasus Malpraktek Medik) Patri Bayu Murdi; Widodo Tresno Novianto; Hari Purwadi
HUKUM PEMBANGUNAN EKONOMI Vol 6, No 2 (2018): JULI - DESEMBER
Publisher : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/hpe.v6i2.17758

Abstract

AbstractThis article is meant to analyze the doktrim res ipsa loquitur. medical malpractice cases in the resolution. The kind of research in writing this is, doctrinal by relying on legal concept ke-3 law the law is what is decided by a judge in concreto and. tersistematis as Judge Made Law. The study used is a diagnostic analysis. Secondary type of data and the data covering material. primary and secondary law. Analyzing of which utilize the qualitative analysis. Based on the results of research and discussion with respect to the question of the that were examined, it can be concluded as follows: (1) The factors that being the difference in judicial consideration used by the judge in charge of decide cases caused medical malpractice as follows: (a) That the defendant is not medical malpractice but an medical risk. (b) That the defendant is medical disciplinary violations and the powers of the assembly should be Honor Discipline of Indonesia is not the Criminal Court. (c) The professional organization POGI/IDI have dropped sanction such as supervision to the defendant for 6 months. (d) Differences in interpretation the article 361 KUHP profession and with a standard operating procedures doctor set in article 50 Law Practices Medicine. (2) The benefits of the application of the Res Ipsa Loquitur doctrine as follows: (a) Facilitate the system of evidence in cases which are difficult to access by the victims. (b) Not complicated and there was no doubt of the truth has happened the allegation of wrongdoing (omission) that is carried out by the defendant. The Recommendations that are presented was remember the doctrine res ipsa loquitur ease of evidence system a mistake especially cases which was not easily accessible to the victim medical malpractice and should be the doctrine can be used as a system of evidence in the trial in a court of law.Keywords : Res Ipsa Loquitur; Substantiation; Medical Malpractice.AbstrakArtikel ini bertujuan untuk menganalisis Penerapan Doktrim Res Ipsa Loquitur Dalam Penyelesaian Kasus Malpraktek Medik. Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah doktrinal, dengan mendasarkan pada konsep hukum yang ke-3yaitu Hukum adalah apa yang diputuskan oleh Hakim in concreto dan tersistematis sebagai Judge Made Law. Bentuk penelitian yang digunakan adalah analisis diagnostik. Jenis data sekunder, dan sumber data meliputi bahan hukum primer dan sekunder. Analisis datanya menggunakan analisis kualitatif.Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sehubungan dengan masalah yang dikaji, dapat disimpulkan sebagai berikut :(1) Faktor-faktor yang menjadi perbedaan dalam pertimbangan hukum yang dipakai oleh hakim dalam memutuskan kasus malpraktek medik disebabkansebagai berikut : (a) Perbuatan Terdakwa bukan malpraktek tetapi suatu kealpaaan medik (resiko medik). (b) Perbuatan Terdakwa merupakan pelanggaran disiplin kedokteran sehingga seharusnya merupakan wewenang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bukan ranah Pengadilan Pidana. (c) Organisasi Profesi POGI/IDI telah menjatuhkan sanksi berupa pengawasan kepada Terdakwa selama 6 Bulan. (d) Perbedaan penafsiran ketentuan Pasal 361 KUHP dengan standar profesi dan operasional prosedur dokter yang diatur dalam Pasal 50 UU Praktek Kedokteran. (2) Manfaat penerapan Doktrin Res Ipsa Loquitur sebagai berikut : (a) memudahkan sistem pembuktian pada kasus-kasus  yang sulit diakses oleh pihak korban, (b) tidak berbelit-belit dan tidak dapat disangkal lagi kebenarannya telah terjadi adanya unsur kesalahan (kelalaian) yang dilakukan oleh terdakwa. Rekomendasi yang disampaikan adalah mengingat Doktrin Res Ipsa Loquiturmemudahkan sistem pembuktian adanya kesalahan khususnya perkara-perkara yang tidak mudah diakses korban malpraktek medik maka seyogyanya doktrin ini dapat dipakai sebagai sistem pembuktian  dalam persidangan di pengadilan.Kata Kunci :Res Ipsa Loquitur;Pembuktian; Malpraktek Medik.
URGENSI WHISTLE BLOWER DAN JUSTICE COLLABORATORDALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Ari Prasetya Panca Atmaja; Hari Purwadi; Hartiwiningsih ,
HUKUM PEMBANGUNAN EKONOMI Vol 6, No 1 (2018): JANUARI-JUNI
Publisher : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/hpe.v6i1.17584

Abstract

AbstractThis article aims to know the importance of whistle blower and justice collaborator in criminal justice system eradication of corruption crime in Indonesia, and to know form of protection against whistle blower and justice collaborator in Indonesia. This research is a type of normative legal research using conceptual approach. The legal substances used in this study are primary legal materials and secondary legal materials. This legal material analysis technique uses deductive analysis techniques by determining the major premise and minor premise to draw a conclusion or conclusion of the proposed problem. The results of this study show that the justice collaborator and whistle blower have an important role in disclosing the criminal act of corruption considering the difficulty of proving the criminal act of corruption, especially incase of the way to collecting the witness evidence. Keywords: whistle blower, justice collaborator, and corruption crime AbstrakArtikel ini bertujuan untuk mengetahui arti penting whistle blower dan justice collaborator dalam sistem peradilan pidana pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, dan untuk mengetahui bentuk perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator di Indonesia. Penelitian ini berjenis penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik analisis bahan hukum ini menggunakan teknik analisis deduktif dengan menentukan premis mayor dan premis minor untuk menarik suatu konklusi atau simpulan dari permasalahan yang diajukan. Hasil penelitian ini menunjukkan justice collaborator dan whistle blower memiliki peranan penting di dalam mengungkapkan tindak pidana korupsi mengingat sulitnya membuktikan tindak pidana korupsi terutama dalam hal mengumpulkan alat bukti keterangan saksi.Kata kunci: whistle blower, justice collaborator, dan tindak pidana korupsi
PRAKTEK HUKUM PENENTUAN GANTI RUGI OLEH HAKIM SEBAGAI AKIBAT ADANYA GUGATAN WANPRESTASI PADA KASUS HUTANG PIUTANG ATAU TUNTUTAN MEMBAYAR SEJUMLAH UANG DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Th. Wahyu Winarto; Hari Purwadi; Widodo T Novianto
HUKUM PEMBANGUNAN EKONOMI Vol 5, No 1 (2017): JANUARI-JUNI
Publisher : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/hpe.v5i1.18334

Abstract

AbstractThis article aims to know the components and standards what is used and what legal practice used by judge District Court of Surakarta to determine punitive damages based on tort lawsuits in the dispute a debt receivable or pay an amount of money. The article is the juridical normative research. That the practice of law determining the indemnity by the judge as a result of any such tort lawsuits in case of debts receivable or demands payment of a sum of money in the District Court of Surakarta, that conclusion can be obtained in determining his little big compensation is required, the judge uses standard components and such indemnity as provided for in Article 1243 until 1252 The Book Of Civil Law (KUHPerdata) and the law is rooted in the jurisprudence. So that legal considerations in the verdict, a very dry atmosphere of juridical, sociological and philosophical. Recommendation in the context of the discovery of the law by the judge, in order to provide authoritative legal verdict, then required the preparation of material different methods of determining the law regarding the determination of the damages, and legal discovery method as a reference for judges in carrying out tasks mandated laws.Keywords : Indemnity, Tort Lawsuit, Debt Receivable           AbstrakArtikel ini bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen dan standar apa yang dipakai dan apa Praktek  hukum yang  dipakai oleh hakim  Pengadilan  Negeri  Surakarta  untuk  menentukan ganti rugi yang didasarkan pada gugatan wanprestasi dalam sengketa hutang piutang atau tuntutan membayar sejumlah uang. Artikel ini adalah penelitian yuridis normatif. Dalam menentukan besar kecilnya ganti rugi yang dituntut, hakim menggunakan komponen dan standar ganti rugi seperti seperti yang diatur dalam Pasal 1243 sampai dengan 1252 KUHPerdata dan hukum yang digunakan adalah yang dianut dalam yurisprudensi. Sehingga pertimbangan-pertimbangan  hukum dalam  putusan tersebut, sangat kering oleh hakim, agar dapat menghasilkan putusan hukum yang berwibawa, maka diperlukan penyusunan materi  berbagai  metode  penentuan  hukum mengenai  Praktek  penentuan  ganti  rugi,  dan  sekaligus metode penemuan hukum sebagai acuan bagi para hakim dalam menjalankan tugas yang diamanatkan undang-undang.  Kata Kunci : Ganti Rugi, Gugatan Wanprestasi, Hutang Piutang
PARADIGMA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA Ahmad Kodir Jailani Tanjung; Hari Purwadi; , Hartiwiningsih
HUKUM PEMBANGUNAN EKONOMI Vol 7, No 1 (2019): JANUARI-JUNI
Publisher : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/hpe.v7i1.29178

Abstract

AbstractThis research is aims to assess the judge’s way of thinking in deciding criminal cases in Indonesia. Since the first world of law science has been colored by contemplation of legal thought. One of the most influential streams in the development of the Indonesian legal system is the flow of positivism or analytical positivism or rechtsdogmatiek. This research is normative law research. This research is approaching case and concept while its data collecting technique is done by researching case study and literature study or secondary data only. . If the result of research done by writer with inductive, deductive, analogy, paroductive method is that it can be concluded that judge in Indonesia is a posistivisme adherent. It is proved that judges in Indonesia make decisions only by law. And do not see any other legal eyes. In general criminal cases 55% of Supreme Court judges use Deductive methods and 30% use Analogy, 25% use parduksi and 5% using other methods. And in Special Crimes 80% of judges use deductive, 15% using Analogy and 5% using other methods. Thus, if combined between Special and Criminal Crimes, the Judges in the Supreme Court 70% use deductive and the rest use analogies, deductions and other methods. Awriter concludes that the judge in the Supreme Court in pursuing a criminal case during 2017 embraces a positivist paradigm.Keywords: Paradigm; Judge; Deciding Criminal Case.AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk  menilai  cara berpikir  hakim dalam memutuskan perkara-perkara pidana di Indonesia. Sejak dahulu dunia ilmu hukum telah diwarnai oleh kontestasi pemikiran hukum. Salah satu aliran yang sangat berpengaruh dalam perkembangan sistem hukum Indonesia adalah aliran positivisme atau analyticalpositivism atau rechtsdogmatiek. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian ini melakukan pendekatan kasus dan konsep sedangkan Teknik pengumpulan datanya  dengan dilakukan dengan cara meneliti studi kasus dan studi pustaka  atau data sekunder belaka. .Jika dilihat hasil peneilitian yang dilakukan penulis dengan  metode Induktif, deduktif, analogi, paroduktif  adalah bahwa bisa disimpulkan bahwa hakim di  Indonesia adalah penganut posistivisme. Dengan dibuktikan bahwa hakim di Indonesia melakukan putusan hanya berdasarkan undang-undang. Dan tidak melihat kaca mata hukum lain.  Dalam perkara pidana umum 55% hakim Mahkamah Agung menggunakan metode Deduktif dan 30% menggunakan Analogi, 25% menggunakan parduksi dan 5% menggunakan metode lain. Dan didalam pidana Khusus 80% hakim menggunakan deduktif, 15% menggunakan Analogi dan 5% menggunakan metode lain. Sehingga jika digabungkan antara pidana Khusus dan pidana Umum Hakim di Mahkamah Agung 70% menggunakan deduktif dan sebagagian lainnya menggunakan analogi, deduktif dan metode lain. Sehinggga penulis menyimpulkan bahwa hakim di Mahkamah Agung dalam meutuskan perkara pidana selama tahun 2017 menganut paradigma positivisme.   Kata Kunci: Paradigma;  Hakim;  Memutuskan Perkara Pidana.
ASSET RECOVERY YANG DILAKUKAN OLEH KEJAKSAAN PADA TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA Aryono ,; Hari Purwadi; Supanto ,
HUKUM PEMBANGUNAN EKONOMI Vol 6, No 1 (2018): JANUARI-JUNI
Publisher : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/hpe.v6i1.17586

Abstract

AbstractThis article aims to determine the efforts that have been implemented by the parties related to the return of state losses, and to know the constraints of the Parties to the Corruption and Corruption Commission in the judiciary in executing the assets of the criminal act of corruption. This type of legal research is non-doctrinal. This research takes place at the Sragen State Attorney and the High Court of Semarang. The reason for choosing this location is because of the availability of data related to the problem in the thesis. In this research, the data collection technique is interview and document. Analytical technique used is interactive data model analysis technique. Based on the results of research and discussion it is known that the efforts made by the prosecutor in connection with the decision of Supreme Court No. 1361 / K / Pid.sus / 2012 against the former Regent of Sragen is the prosecutor has made efforts to seize the assets belonging to the former Regent of Sragen which the region is in East Jakarta with the estimate that the confiscated assets are worth 14 Billion, so with one asset is expected to be able to pay additional crime in the form of replacement money according to the Supreme Court's decision. Nevertheless prosecutors in this case also still find difficulties in running the execution because the confiscated assets are located outside the jurisdiction of the State Prosecutor Sragen / outside the jurisdiction of the Sragen District Attorney. Furthermore, in order to seize the assets can be confiscated, in this case the State Prosecutor Sragen together with the High Court of Semarang assisted by the High Prosecutor's Office Jakarta has appealed to BPN East Jakarta to do the blocking, and then the last attempt to do is the State Prosecutor Sragen has sent Warning letter for emptying. Keywords: asset recovery, corruption, execution  AbstrakArtikel ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang sudah dilaksanakan oleh pihak terkait dengan pengembalian kerugian negara, dan untuk mengetahui kendala pihak Pihak Komisi Pemberatasan Korupsi dan kejaksaan dalam mengeksekusi aset hasil tindak pidana korupsi. Jenis penelitian hukum ini adalah non doktrinal. Penelitian ini mengambil lokasi di Kejaksaan Negeri Sragen dan Kejaksaan Tinggi Semarang. Alasan dipilihnya lokasi ini adalah karena ketersediaan data yang berhubungan dengan permasalahan dalam tesis. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara dan dokumen. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis data model interaktif. Hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa Upaya yang dilakukan pihak kejaksaan sehubungan dengan adanya putusan MA Nomor 1361/K/Pid.sus/2012 terhadap mantan Bupati Sragen tersebut adalah jaksa sudah melakukan upaya untuk melakukan penyitaan aset milik mantan Bupati Sragen tersebut yang wilayahnya berada di Jakarta Timur dengan perkiraan bahwa aset yang disita senilai 14 Milyar, sehingga dengan satu aset tersebut diharapkan bisa untuk membayar pidana tambahan berupa uang pengganti sesuai putusan MA tersebut. Jaksa masih menemui kesulitan dalam menjalankan eksekusi dikarenakan aset yang disita tersebut berada diluar wilayah hukum Kejaksaan Negeri Sragen/ diluar wilayah hukum Kejaksaan Negeri Sragen. Selanjutnya untuk mengupayakan agar aset tersebut bisa disita maka dalam hal ini Kejaksaan Negeri Sragen bersama-sama dengan Kejaksaan Tinggi Semarang dibantu oleh Kejaksaan Tinggi Jakarta telah memohon kepada BPN Jakarta Timur untuk melakukan pemblokiran, dan selanjutnya upaya yang terakhir lakukan adalah pihak Kejaksaan Negeri Sragen telah mengirimkan surat peringatan untuk pengosongan. Kata Kunci : asset recovery; korupsi; eksekusi
MEKANISME PERAMPASAN ASET DENGAN MENGGUNAKAN NON-CONVICTION BASED ASSET FORFEITURE SEBAGAI UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI Sudarto ,; Hari Purwadi; Hartriwiningsih ,
HUKUM PEMBANGUNAN EKONOMI Vol 5, No 1 (2017): JANUARI-JUNI
Publisher : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/hpe.v5i1.18352

Abstract

AbstrakArtikel  ini  bertujuan  untuk mengetahui  mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan atau  Non-Conviction Based (NCB) Assets Forfeiture sebagai alternatif dalam upaya mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai jawaban permasalahan sulitnya melakukan perampasan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi yang telah berpindah tangan, berubah wujud, atau disembunyikan. Artikel ini menggunakan penelitian normatif dengan menggunakan bahan primer yang bersifat otoritatif, berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Artikel ini menjelaskan bahwa mekanisme perampasan aset  tanpa pemidanaan  dimasa  mendatang  dapat  diatur  dalam  undang-undang  perampasan  aset dengan mekanisme yang sesuai dengan ketentuan United Nations Convention Against Corruption, yang memungkinkan penerapan pembuktian terbalik oleh pelaku tindak pidana korupsi sejak tahap penyidikan demi terwujudnya prinsip follow the money dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.Kata Kunci :   Perampasan Aset, NCB, Korupsi.
IMPLEMENTASI PERATURAN PRESIDEN NOMOR 54 TAHUN 2010 TENTANG PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH DI KABUPATEN SUKOHARJO Yuli Isnandar; Hari Purwadi; I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
HUKUM PEMBANGUNAN EKONOMI Vol 5, No 2 (2017): JULI - DESEMBER
Publisher : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/hpe.v5i2.18308

Abstract

AbstractThis article aims to describe the implementation of procurement auction policy of goods and services in Sukoharjo before and after the Presidential Regulation No. 54 of 2010 on Procurement of Government Goods and Services (e-procurement), to explain constraints in the implementation of procurement auction policy of goods and services in Kabupaten Sukoharjo after the issuance of Presidential Regulation No. 54 of 2010 on Procurement of Government Goods and Services (e-procurement) and its solution. This type of legal research is sociological or non-doctrinal with qualitative research methods that aim to know the Implementation of Presidential Regulation No. 54 of 2010 on Procurement of Government Goods and Services (Case Study of Implementation of E-Procurement in Sukoharjo District). Data collection techniques used interview techniques, literature study and documentation. The result of this research is in the implementation of the policy of auction of procurement of goods and services in Sukoharjo District before the Presidential Regulation Number 54 Year 2010 concerning Procurement of Government Goods and Services (e-procurement), there is Presidential Regulation Number 54 Year 2010 concerning Procurement of Government Goods and Services -procurement) in Sukoharjo Regency in accordance with Presidential Decree No. 80 of 2003 on Guidelines for Procurement of Government Goods and Services. Implementation of procurement auction policy of goods and services in Sukoharjo District after the Presidential Regulation Number 54 Year 2010 concerning Procurement of Government Goods and Services (e-procurement) that is, the length of time required in the procurement of goods/services in LPSE Sukoharjo District is 1) fiscal year. The time required to disseminate Presidential Regulation No. 54/2010 on Procurement of Goods/Services of the Government of Sukoharjo Regency is not maximal, since the socialization provided by the Sukoharjo District Government is very limited, since this socialization is only given the opportunity to the Official Commitment Officer/Procurement Committee and Civil Servants who are prepared as technical personnel managing goods/services Government that has a certificate Procurement of goods/services.Keywords: Procurement of goods and services; E-Procurement; LPSEAbstrakArtikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan kebijakan lelang pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Sukoharjo sebelum dan sesudah adanya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (e-procurement), untuk menjelaskan kendala dalam pelaksanaan kebijakan  lelang pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Sukoharjo setelah  adanya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (e-procurement) dan solusinya. Jenis penelitian hukum ini adalah sosiologis atau non doktrinal dengan metode penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui  Implementasi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pelaksanaan E-Procurement di Kabupaten Sukoharjo). Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi. Hasil penelitian ini adalah dalam pelaksanaan kebijakan lelang pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Sukoharjo sebelum adanya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (e-procurement), terdapat Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (e-procurement) di Kabupaten Sukoharjo sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 TentangPedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pelaksanaan kebijakan lelang pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Sukoharjo setelah  adanya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (e-procurement) yaitu, lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa di di LPSE Kabupaten Sukoharjo adalah 1 (satu) tahun anggaran. Waktu yang dibutuhkan dalam melakukan sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah untuk Kabupaten Sukoharjo tidaklah maksimal, karena sosialisasi yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo sangatlah dibatasi, karena sosialisasi ini hanya diberikan kesempatan kepada Pejabat Pembuat Komitmen Pejabat/Panitia Pengadaan dan Pegawai Negeri Sipil yang dipersiapkan sebagai tenaga teknis pengelola barang/jasa Pemerintah yang telah memiliki sertifikat Pengadaan barang/jasa. Kata Kunci: Pengadaan barang dan jasa; E-Procurement; LPSE
EFEKTIVITAS TINDAKAN POLISI TERHADAP PELANGGAR PASAL 106 AYAT 5 UNDANG-UNDANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENGENAI KELENGKAPAN SIM DAN STNK PADA KENDARAAN RODA DUA DALAM KONTEKSPERSAMAANPERLAKUAN DI HADAPAN HUKUM (Studi Kasus di Kabupaten Blora) Erwin Syahruddin; Hari Purwadi; Supanto ,
HUKUM PEMBANGUNAN EKONOMI Vol 6, No 1 (2018): JANUARI-JUNI
Publisher : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/hpe.v6i1.17588

Abstract

Abstract The purpose of this article is to analize whether the impact of policeaction toward the violators of traffic and highway rules at Blora has already realizing the equality before the law at Blora.This  law  research  used  sociological  legal reseacrh that verificated various exist data with the findings in the field (triangulation). This article concludes that traffic enforcement in Blora is still not working properly yet and dismissing the principle of equality and transparancy of law enforcement which were caused by a legal culture that is still permissive and discriminative. The transparancy principle of law enforcement can be achieved if the society is given direct access  in  monitoring  law  enforcer’s  performances  and  facilitated  by  free  access  of information which is communicative toward fictie principle of law. Meanwhile, the equality of law enforcement is a principle which treats everyone equal in front of the law (equality before the law). Key Word : enforcement; police; equality;monitoryAbstract Tujuan dari artikel ini adalah untuk menganalisis efektivitas tindakan polisi terhadap pelanggar peraturan lalu lintas dan jalan raya pada kendaraan roda dua dalam konteks persamaan perlakuandihadapan hukum. Penelitian hukum ini menggunakan penelitian sosiologis yang telah memverifikasi berbagai data dengan temuan di lapangan.Artikel ini menyimpulkan bahwa penegakan lalu lintas di Blora masih belum efektif dan mengabaikan persamaan perlakuan di hadapan hukum disebabkan oleh budaya hukum yang masih permisif dan diskriminatif.Prinsip transparansi penegakan hukum dapat tercapai jika masyarakat diberi akses langsung dalam memantau kinerja penegakan hukum dan difasilitasi oleh akses informasi yang bebas dan komunikatif dalam merespon asas fiktif hukum. Sementara itu, persamaan penegakan hukum adalah prinsip yang memperlakukan semua orang setara di depan hukum (persamaan di depan hukum).Key Word : penegakan; polisi;persamaan;pengawasan
URGENSI KRIMINALISASI KUMPUL KEBO (COHABITATION) DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Budi Sulistiyono; Hari Purwadi; Hartiwiningsih ,
HUKUM PEMBANGUNAN EKONOMI Vol 6, No 2 (2018): JULI - DESEMBER
Publisher : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/hpe.v6i2.17750

Abstract

AbstractThis article aims to know the criminal law policy against the current kebo gathering and to know the criminal law formulation policy against kebo assemble in the future. This research is a type of normative legal research using conceptual approach. The legal substances used in this study are primary legal materials and secondary legal materials. This legal material analysis technique uses deductive analysis techniques by determining the major premise and minor premise to draw a conclusion or conclusion of the proposed problem. The results of this study indicate the need for a criminal law formulation policy in the form of criminalization of kebo kebo practices in Indonesia. Keyboard: formulation policy, criminal law, cohabitatio AbstrakArtikel ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap kumpul kebo saat ini dan untuk mengetahui kebijakan formulasi hukum pidana terhadap kumpul kebo di masa mendatang. Penelitian ini berjenis penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik analisis bahan hukum ini menggunakan teknik analisis deduktif dengan menentukan premis mayor dan premis minor untuk menarik suatu konklusi atau simpulan dari permasalahan yang diajukan. Hasil penelitian ini menunjukkan perlu adanya kebijakan formulasi hukum pidana berupa kriminalisasi terhadap perbuatan kumpul kebo di Indonesia di masa mendatang.Keyword: kebijakan formulasi, hukum pidana, kumpul kebo
KEBIJAKAN NEGARA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PRAKTIK ABORSI DI INDONESIA. Siti Fatimah; Hari Purwadi; Hartiwiningsih ,
HUKUM PEMBANGUNAN EKONOMI Vol 6, No 1 (2018): JANUARI-JUNI
Publisher : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/hpe.v6i1.17600

Abstract

AbstractThis paper discusses the abortion that can be done if there is an indication of medical emergency or pregnancy due to rape. Discriminalization of abortion regulated in Indonesian legislation is imbalanced and unfair in protecting the lives of its people, both children and women. This research is a prescriptive legal research with the approach of law and conceptual approach. Technique of collecting legal material of literature study and technique of legal material analysis using deduction method. The results of this paper conclude to ensure the safety and effective abortion practices. The law of abortion should impose and regulate abortion as a health care intervention, in which health, safety, and welfare are measures of legal legitimacy. This paper recommends the state to ensure the availability of clear, decisive and predictable rules. States should ensure the continuity and moral acceptability associated with legal certainty in a material way. Legal certainty should always be read as rule clarity, predictable, guaranteed continuity, and must be accepted or executed. Keywords: abortion, informed consent, contracted justice, patient. AbstrakTulisan ini membahas perihal aborsi yang dapat dilakukan jika terjadi indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan. Diskriminalisasi aborsi yang diatur dalam perundang-undangan Indonesia tidak seimbang dan tidak adil dalam melindungi kehidupan masyarakatnya baik anak, maupun perempuan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat preskiptif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Teknik pengumpulan bahan hukum studi pustaka dan teknik analisis bahan hukum menggunakan metode deduksi. Hasil tulisan ini menyimpulkan untuk memastikan keamanan dan praktik aborsi yang efektif. Hukum aborsi harus memberlakukan dan mengatur aborsi sebagai intervensi perawatan kesehatan, di mana kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan merupakan langkah-langkah legitimasi hukum. Tulisan ini merekomendasikan pada negara untuk menjamin ketersediaan aturan yang jelas, tegas dan predictable. Negara harus menjamin kontinuitas dan akseptabilitas moral yang  terkait  dengan  kepastian  hukum  secara  materil. Legal certainty selalu harus dibaca sebagai kejernihan aturan, predictable, dijamin kontinuitasnya, dan harus bisa diterima atau dijalankan. Kata kunci: aborsi, informed consent, keadilan berkontrak, pasien.