Ni Luh Putu Wiwin Astari
Universitas Hindu Indonesia

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

STRUKTUR DRAMATIK PERTUNJUKAN DRAMA KLASIK SANGGAR TEATER MINI LAKON DEWA RUCI KAJIAN BENTUK DAN FUNGSI I Made Rudita; Ni Luh Putu Wiwin Astari
WIDYANATYA Vol 1 No 1 (2019): widyanatya
Publisher : UNHI PRESS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32795/widyanatya.v1i1.270

Abstract

ABSTRAK Pada dasarnya nilai pendidikan karakter mempunyai tiga bagian yang saling bekaitan, yaitu pengetahuan moral, penghayatan moral dan perilaku moral. Oleh karena itu seseorang dengan karakter yang baik, mengetahui, menginginkan, dan melakukan yang baik. Ketiganya merupakan syarat untuk menuntun hidup yang bermoral dan membangun kematangan moral. Dalam melakukan pendidikan karakter tidak harus dengan menambah program tersendiri, melainkan bisa melalui transformasi budaya, salah satunya nilai-nilai pendidikan karakter bisa disampaikan melalui seni pertunjukan drama, khususnya pertunjukan drama klasik. Untuk menjawab masalah di atas, dalam hal mengetahui nilai pendidikan karakter melalui transformasi budaya Bali berupa pertunjukan drama klasik Sanggar Teater Mini, perlu dibuat suatu penelitian mengenai nilai pendidikan karakter dalam pertunjukan drama klasik Sanggar Teater Mini dengan lakon Dewa Ruci. Penelitian ini berjudul “Struktur Dramatik Pada Pertunjukan Drama Klasik Sanggar Teater Mini lakon Dewa Ruci”.Kajian (Bentuk dan Fungsi)” adalah hasil studi yang mendalam struktur dramatik pada pertunjukan drama klasik. Penelitian ini mengangkat dua pokok masalah yaitu : 1) untuk mengetahui dan menganalisis bentuk struktur dramatik pertunjukan drama klasik Sanggar Teater Mini lakon Dewa Ruci ; 2) untuk mengetahui dan menganalisis fungsi pertunjukan drama klasik Sanggar Teater Mini lakon Dewa Ruci. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan peranan penting dari nilai-nilai pendidikan karakter dalam pertunjukan pertunjukan drama klasik Sanggar Teater Mini lakon Dewa Ruci . Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bentuk struktur dramatik dan fungsi pertunjukan drama klasik Sanggar Teater Mini lakon Dewa Ruci. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian kualitatif dengan menggunakan dua teori : teori estetika dan teori fungsional struktural. Metode-metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi, wawancara, dokumentasi dan kepustakaan.Seluruh data diolah menggunakan tehnik deskriptif interpretatif. Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut ; Bentuk struktur dramatik pertunjukan drama klasik Sanggar Teater Mini lakon Dewa Ruci adalah sebagai berikut : (1) tema, (2) alur, (3) latar, (4) penokohan, (5) insiden dan (6) amanat. Sedangkan fungsi drama klasik Sanggar Teater Mini lakon Dewa Ruci adalah sebagai berikut : (1) fungsi ekonomi, (2) fungsi hiburan, (3) fungsi promosi dan (4) fungsi komunikasi. ABSTRACT Basically, the value of character education has three interrelated parts, namely moral knowledge, moral appreciation and moral behavior. Therefore someone with good character, knows, wants, and does good. All three are conditions for guiding a moral life and building moral maturity. In doing character education does not have to add a separate program, but it can be through cultural transformation, one of which is the values ​​of character education can be conveyed through drama performing arts, especially classical drama performances. To answer the above problem, in terms of knowing the value of character education through the transformation of Balinese culture in the form of a classic Mini Theater studio performance, it is necessary to make a study of the value of character education in the performance of the Sanggar Teater Mini classic drama with Dewa Ruci play. This research entitled "Dramatic Structure of the Classical Drama Performance of Teater Mini lakon Dewa Ruci". Studies (Forms and Functions) "are the results of an in-depth study of the dramatic structure of classical drama performances. This research raises two main issues, namely: 1) to find out and analyze the dramatic structural forms of the Sanggar Teater Mini classical drama performance Dewa Ruci play; 2) to find out and analyze the function of the Sanggar Teater Mini lakon Dewa Ruci performance. In general, this study aims to find out the existence and important role of character education values ​​in the performance of the classic Sanggar Teater Mini lakon Dewa Ruci performance. Specifically, this study aims to explain the dramatic structure and function of the classical drama performances of Sanggar Teater Mini Dewa Ruci play. This research was designed as qualitative research using two theories: aesthetic theory and structural functional theory. Data collection methods used include observation, interviews, documentation and literature. All data are processed using interpretive descriptive techniques. The results of this study are as follows; The form of the dramatic structure of the Sanggar Teater Mini classical drama performances by Dewa Ruci are as follows: (1) theme, (2) plot, (3) background, (4) characterization, (5) incident and (6) mandate. While the function of the classical drama Sanggar Teater Mini lakon Dewa Ruci is as follows: (1) economic function, (2) entertainment function, (3) promotion function and (4) communication function.
NILAI PENDIDIKAN PADA TARI REJANG PAMENDAK DI PURA LUHUR BATUKAU Ni Luh Putu Wiwin Astari; I Made Sugiarta
WIDYANATYA Vol 2 No 01 (2020): WIDYANATYA
Publisher : UNHI PRESS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32795/widyanatya.v2i01.629

Abstract

Pelaksanaan yadnya bagi umat Hindu, tidak hanya dalam bentuk upacara saja, akan tetapi melalui karya seni salah satunya seni Tari. Hampir tidak ada upacara ritual agama Hindu di Bali yang tidak dilengkapi dengan sajian tari-tarian, baik yang merupakan bagian dari upacara adat atau agama, sebagai sajian penunjang untuk melengkapi pelaksanaan upacara, maupun sebagai hiburan yang bersifat sekuler. Tari Rejang Pamendak sebagai bagian dari pelaksanaan upacara agama dimana kata ”Pamendak” mengandung makna memendak para Dewa yang berstana di Pura Batukau dari payogan dihadirkan pada saat upacara penyineban serangkaian Pujawali atau Piodalan di pura Luhur Batukau, Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan yang diselenggarakan setiap enam bulan sekali bertepatan dengan Umanis Galungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggungkap dua hal yaitu bagaimana bentuk tari Rejang Pamendak dan nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam tari Rejang Pamendak. Maka diperoleh kesimpulan bahwa tari Rejang Pamendak ditarikan oleh 10 orang atau lebih para wanita yang sudah menikah dengan membawa sarana dupa. Gerakan serta kostum sangat sederhana dan menggunakan gamelan Gong Kebyar dengan bilah daun sembilan. Nilai pendidikan yang terkandung pada Rejang Pamendak adalah Nilai Pendidikan Religi, Nilai Pendidikan Estetika, Nilai Pendidikan Etika,dan Nilai Pendidikan Tattwa.
ESTETIKA HINDU PADA TARI GANDRUNG DALAM UPACARA PIODALAN DI PURA DALEM, BANJAR TAMBAWU KELOD, DESA TAMBAWU, KELURAHAN PENATIH, KECAMATAN DENPASAR TIMUR I Made Sugiarta; Ni Luh Putu Wiwin Astari; I Gusti Putu Wulan Santika Puspita
WIDYANATYA Vol 3 No 1 (2021): Widyanatya: Jurnal Pendidikan Agama dan Seni 
Publisher : UNHI PRESS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32795/widyanatya.v3i1.1684

Abstract

Hinduism is the main source of the values ​​that animate Balinese culture, therefore every result of cultural creativity, including art, cannot be separated from noble values, especially aesthetic values ​​that come from Hinduism. In the implementation of religious activities, art has always been an important part of the success of the religious ceremonies that are held. In Tambawu village, we never miss to carry out the yadnya ceremony, this is based on the awareness of the community that everything is based on the gift of Ida Sang Hy ang Widhi Wasa. In carrying out the Dewa Yadnya ceremony, it is not only poured out in an offering in the form of Upakara but also presented sacred arts generation. Existence Gandrung dance is one type of sacred dance that is functioned in the bebali art setting during the Piodalan ceremony at Pura Dalem , Tambawu Village, which is presented every six months, on Tilem day after Buda Kliwon Paang . The problems at this writing include; 1) B How can the form of offering dance Infatuated , 2) What Functions dance gandrung , and 3) Is the Hindu aesthetics (tattva, ethics, ritual) in dihadirkannya dance gandrung on Piodalan at Pura Dalem , Tambawu village. The conclusion of its cover; (1) The form consists of dancers dance Infatuated , Range of motion , structure pe rsembahan dance Infatuated , Tata makeup and clothing, Upakara , music accompaniment, and place dihadirkannya . (2) The functions of tri Gandrung are Religious Functions, Social Functions , Hindu Religious Education Functions , and Cultural Preservation Functions. While the values ​​contained in the offerings of the Gandrung dance are the values of tattwa , morality and ceremonies
TINJAUAN ASPEK SASTRA DALAM JOGED PINGITAN DAN BARIS UPACARA i gusti made bagus supartama; I Made Sugiarta; Ni Luh Putu Wiwin Astari
WIDYANATYA Vol 4 No 1 (2022): Widyanatya: Jurnal Pendidikan Agama dan Seni 
Publisher : UNHI PRESS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Joged Pingit and Baris ceremonies can be understood as part of a ritual and communal function, as part of rural life. Joged Pingit and Baris Ceremonies are held to fulfill spiritual needs. Joged Pingit and Baris Ceremonies are held to fulfill spiritual needs, the need to find meaning in life (cf. Danesi, 2012). Joged Pingit and Baris Ceremony indicate a religious experience and an aesthetic experience. Therefore, the concept of dancing in Joged Pingit and Baris Ceremony can be understood as an effort to involve the whole body in the search for the meaning of life and in communicating with God and other supernatural inhabitants. The essence of Joged Pingitan and Baris Ceremony is an effort by the supporting community to achieve unity with the god or Ida Bhatara who is worshiped as an istadewata. In order to achieve unity with the deity, Joged Pingitan and Baris ceremonies are containers that shape and incarnate beauty as a place where the god (Ida Bhatara) descends in incarnation as an object of worship, as indicated by the dancer who is in a trance. Furthermore, Joged Pingitan and Baris Ceremony are means to achieve the ultimate goal of the life of the supporting community (moksasrtham Jagad Hitam). Therefore, Joged Pingitan and Baris Ceremony become an integral part of Balinese Hindu religious ceremonies, which are based on the integration of a trilogy of Hindu aesthetic principles, namely Satyam (Kindness), Siwam (Truth), Sundaram (Beauty). ABSTRAK Joged Pingitan dan Baris upacara dapat dipahami sebagai bagian riual dan berfungsi komunal, sebagai bagian dari kehidupan pedesaan. Joged Pingitan dan Baris Upacara diadakan untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Joged Pingitan dan Baris Upacara diadakan untuk memenuhi kebutuhan spiritual, kebutuhan untuk mencari makna hidup (cf.Danesi, 2012). Joged Pingitan dan Baris Upacara mengindikasikan pengalaman keagamaan dan pengalaman estetis. Karena itu, konsep menari dalam Joged Pingitan dan Baris Upacara dapat dipahami sebagai upaya melibatkan seluruh tubuh dalam pencarian makna hidup serta dalam usaha berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni gaib lainnya. Hakikat Joged Pingitan dan Baris Upacara merupakan usaha masyarakat pendukungnya untuk mencapai kesatuan dengan dewa atau Ida Bhatara yang dipuja sebagai istadewata. Dalam rangka mencapai kesatuan dengan dewa tersebut, Joged Pingitan dan Baris upacara merupakan wadah yang membentuk dan menjelmakan keindahan sebagai tempat dewa (Ida Bhatara) itu turun dalam penjelmaan sebagai obyek pemujaan, sebagaimana diindikasikan oleh penari yang kesurupan. Lebih jauh, Joged Pingitan dan Baris Upacara merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir kehidupan masyarakat pendukungnya (moksasrtham jagadhitam). Karena itu, Joged Pingitan dan Baris Upacara menjadi bagian integral dalam upacara agama Hindu Bali, yang didasarkan pada integrasi trilogi kaidah estetika Hindu, yaitu Satyam (Kebaikan), Siwam (Kebenaran), Sundaram (Keindahan).
REKONSTRUKSI TARI BARIS MAGPAG YEH DI SUBAK TEGAN DESA ADAT KAPAL KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG Ni Luh Putu Wiwin Astari; I Ketut Gede Rudita; Ni Dewi Septiandriani
WIDYANATYA Vol 4 No 2 (2022): Widyanatya: Jurnal Pendidikan Agama dan Seni 
Publisher : UNHI PRESS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACT Reconstruction is the return of something to its original place, the compilation or redrawing of existing materials and rearranged as it was or the original incident. Various arts are deliberately preserved for ceremonial purposes. Dance in Bali is closely related to religious processions. It is even worth believing that the age of dance standards is as old as the establishment of Hinduism. Sacred dances that are preserved for ceremonial purposes in religious processes cause Balinese arts to be preserved, such as: the Magpag Yeh Baris Dance in Kapal Village, Mengwi District, Badung Regency. Sensitivity to external influences needs attention so that the development and survival of the Baris Magpag Yeh Dance in modern times does not deviate from its parent which has a clear identity, namely Hinduism. A.A Bagus Sudarma Magpag Yeh's line dance in Kapal Village is now the result of reconstruction. The Baris Magpag Yeh dance is a sacred dance performed on sasih kapitu in Subak Tegan, Kapal Adat Village, which has existed since the 16th century AD. This is evidenced by the history of the origin of this dance based on the Sri Aji Kresna Kepakisan inscription dated 1667 AD. The Baris Magpag Yeh dance is a dance that is staged as an expression of gratitude for the community for the blessing of water. After every performance of the Baris Magpag Yeh dance, rain or big water from the upstream of Lake Beratan appears in torrents. In general, the Baris Magpag Yeh Dance is usually accompanied by gamelan gong gede, while the Baris Magpag Yeh Dance in Kapal village is accompanied by gamelan gong kebyar or accompanied by gamelan baleganjur. This dance has a symbolic function to illustrate God's activities such as images or illustrated in paintings or statues of Shiva Nataraja. ABSTRAK Rekonstruksi adalah pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula, penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula. Beraneka ragam kesenian secara sengaja dipelihara untuk kepentingan upacara. Seni Tari di Bali sangat erat kaitannya dengan prosesi keagamaan. Bahkan layak dipercaya bahwa usia pakem tari sama tuanya dengan penetapan Agama Hindu. Tari-tarian sakral yang dipelihara untuk kepentingan upacara dalam psoses keagamaan menyebabkan kesenian Bali tetap dijaga pelestariannya seperti halnya: Tari Baris Magpag Yeh yang ada di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Kepekaan terhadap pengaruh-pengaruh luar perlu mendapatkan perhatian agar perkembangan dan kelangsungan hidup Tari Baris Magpag Yeh tersebut dalam jaman modern ini tidak menyimpang dari induknya yang mempunyai identitas yang jelas yaitu Agama Hindu. A.A Bagus Sudarma tari baris Magpag Yeh yang ada di Desa Kapal sekarang merupakan hasil rekonstruksi. Tari Baris Magpag Yeh merupakan tari sakral yang dipetaskan pada sasih kapitu di Subak Tegan Desa Adat Kapal yang sudah ada dari abad ke-16 Masehi. Hal tersebut dibuktikan dengan sejarah asal mula tarian ini berdasarkan prasasti Sri Aji Kresna Kepakisan berangka tahun 1667 Masehi. Tari baris magpag yeh ini merupakan tarian yang dipentaskan sebagai ucapan rasa syukur masyarakat terhadap berkah berupa air.Setiap usai digelar pementasan tari Baris Magpag Yeh, hujan atau air besar dari hulu Danau Beratan muncul dengan deras. Pada umumnya Tari Baris Magpag Yeh biasanya diiringi oleh gamelan gong gede, sementara Tari Baris Magpag Yeh di desa Kapal diiringi oleh gamelan gong kebyar atau diiringi oleh gamelan baleganjur. Tari ini memiliki fungsi simbolik untuk mengilustrasikan aktivitas Tuhan seperti gambaran atau diilustrasikan dalam lukisan atau patung Siwa Nataraja.
KAJIAN BENTUK DAN FUNGSI ESTETIS ARCA DEWATA NAWASANGA I Gede Satria Budhi Utama; Ni Luh Putu wiwin astari; I Gede Yudi Artawan
WIDYANATYA Vol 5 No 1 (2023): WIDYANATYA: JURNAL PENDIDIKAN AGAMA DAN SENI
Publisher : UNHI PRESS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Arca adalah patung yang dibuat dengan tujuan utama sebagai media keagamaan, yaitu sarana dalam memuja tuhan atau dewa dewi. Arca berbeda dengan patung pada umumnya, yang merupakan hasil seni yang dimaksudkan sebagai sebuah keindahan. Oleh karena itu, membuat sebuah arca tidaklah sesederhana membuat sebuah patung. Arca Dewata Nawasanga merupakan benda sakral yang biasanya berada di Pura – Pura yang ada di Bali . Arca ini memiliki keunikan yaitu sebagai simbolis pembangunan Pura, selain itu juga mengambil wujud manusia dengan hiasan lengkap serta ornament ciri khas Hindu Bali. Dalam bentuk arca Dewata Nawasanga menggunakan tata busana seni pewayangan Bali. Pembuatan arca menggunakan bahan batu tabas, batu lahar, perunggu, kayu dan ada juga yang menggunakan emas. Cara pembuatannya dengan berbagai macam Teknik pahat atau ukir dan juga casting cetakan. Ornament yang di terapkan pada arca Dewata Nawasanga yaitu, keketusan, pepatran dan kekarangan. Fungsi arca Dewata nawasanga adalah sebagai kronogram simbolis pembangunan pura, selain itu fungsi arca Dewata Nawasanga adalah sebagai objek persembahan, selanjutnya arca dewata Nawasanga berfungsi sebagai benda seni seni yang bersifat sakral serta dalam penciptaannya mengacu pada konsep kesucian (Shiwam) konsep kebenaran (Satyam) serta konsep Keindahan (Sundaram). Kata Kunci : Bentuk, Makna , Estetis, Dewata Nawasanga Abstract Arca is a statue made with the main purpose of being a religious medium, namely a means of worshiping gods or gods and goddesses. The statue is different from the statue in general, which is a result of art that is intended as a beauty. Therefore, making a statue is not as simple as making a statue. The statue of the Gods Nawasanga is a sacred object which is usually found in temples in Bali. This statue is unique, namely as a symbol of the construction of a temple, besides that it also takes on a human form with complete decoration and ornaments typical of Balinese Hinduism. In the form of a statue of Dewata Nawasanga, it uses Balinese wayang art attire. The making of the statues uses tabas stone, lava stone, bronze, wood and some use gold. How to make it with a variety of sculpting or carving techniques and also casting molds. The ornaments that are applied to the statue of Dewata Nawasanga are sharpness, pepatran and artistry. The function of the Dewata Nawasanga statue is as a symbolic chronogram for the construction of the temple, besides that the function of the Dewata Nawasanga statue is as an offering object, then the Nawasanga Dewata statue functions as a sacred art object and in its creation refers to the concept of holiness (Shiwam) the concept of truth (Satyam) and the concept of Beauty (Sundaram). Keywords: Form, Meaning, Aesthetic, Dewata Nawasanga