This Author published in this journals
All Journal Manuskripta
Yulfira Riza
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Bandung

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

Berdamai dengan Perempuan: Komparasi Teks antara Naskah Al-Muāshirah dan Kitab Cermin Terus Yulfira Riza; Titin Nurhayati Ma'mun
Manuskripta Vol 9 No 1 (2019): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (607.458 KB) | DOI: 10.33656/manuskripta.v9i1.134

Abstract

Abstract: This paper aims to examine women and their pace in Minangkabau in the two great Minangkabau scholars’s opinion, Shekh Abdul Laṭīf Shakūr in the al Mu’ashārah and Haji Abdul Karīm Amrullāh in the Cermin Terus. Disclosure of thoughts on the two works uses hermineutic methods. Based on textual analysis of the both text, it was found that they differed in terms of technical matters such as the way to women’s dress and could have a career. Haji Abdul Karīm Amrullāh refused women to be westernized dressed and forbade women to work outside his home while Shekh Abdul Laṭīf Shakūr was more flexible in terms of Islamic dress. However, substantively such as female courtesy, women's rights and obligations in the family, both agreed to be in accordance with the Qur'an and sunnah. In essence, they want to change the mindset of Minangkabau women who are bound by adat and the matrilineal system. Keywords: Women, Thought, Minangkabau, Haji Abdul Karīm Amrullāh, Shekh Abdul Laṭīf Shakūr Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji perempuan dan kiprahnya di Minangkabau yang matrilineal menurut pendapat dua ulama besar Minangkabau yaitu Shekh Abdul Laṭīf Shakūr dalam manuskrip al Mu’ashārah dan Haji Abdul Karīm Amrullāh dalam Kitab Cermin Terus. Pengungkapan pemikiran terhadap kedua karya tersebut menggunakan metode hermineutik. Berdasarkan analisis tekstual dari konsep pemikiran kedua ulama tersebut, diperoleh makna bahwa kedua ulama itu berbeda pendapat dalam hal yang bersifat teknis seperti cara berpakaian wanita dan boleh/tidaknya ia berkarir. Haji Abdul Karīm Amrullāh menolak perempuan untuk berpakaian ketat dan kebarat-baratan serta melarang perempuan bekerja di luar rumahnya sedangkan Shekh Abdul Laṭīf Shakūr lebih fleksibel dalam hal berpakaian Islami asal tidak melupakan kodratnya sebagai seorang wanita. Akan tetapi, secara subtantif seperti adab perempuan, hak dan kewajiban perempuan di dalam keluarga, keduanya sepakat harus sesuai dengan Alquran dan sunnah. Intinya, keduanya ingin mengubah pola pikir perempuan Minangkabau yang terikat oleh adat dan sistem matrilineal.