Fayakun Satria
Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Jatiluhur

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

STATUS PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN TUNA NERITIK DI SAMUDERA HINDIA WPP 572 DAN 573 Agustinus Anung Widodo; Fayakun Satria; Lilis Sadiyah
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 6, No 1 (2014): (Mei 2014)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (280.298 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.6.1.2014.23-28

Abstract

Dalam rangka mendeskripsikan status pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tuna neritik di perairan Samudera Hindia (WPP 572 dan 573) telah dilakukan analisis terhadap informasi tentang jenis dan produksi tuna neritik yang disajikan dalam Statistik Perikanan Tangkap di Laut Menurut WPP tahun 2005-2012 (DJPT, 2013) serta data hasil penelitian berbasis di PPS Cilacap dan PPN Sibolga tahun 2011. Rekomendasi ‘working party’ tentang tuna neritik dari IOTC dikaji sebagai langkah pengelolaan perikanan tuna neritik di Indonesia. Hasil analisis dan kajian menunjukkan bahwa sumberdaya ikan tuna neritik yang tertangkap nelayan Indonesia di perairan WPP 572 dan 573 meliputi tongkol lisong (Auxis rochei), tongkol krai (Auxis thazard), tongkol komo atau kawakawa (Euthynnus affinis) dan tongkol abu-abu (Thunnus tonggol). Tuna neritik tertangkap sebagai by-product dari pukat cincin, jaring insang hanyut, pancing tonda, pancing ulur dan bagan. Tahun 2011 produksi neritik tuna di Samudera Hindia khususnya WPP 572 dan 573 mencapai 121.818 ton atau 29,4% dari total produksi tuna neritik nasional. Tuna neritik jenis tongkol lisong dan krai yang tertangkap jaring insang hanyut yang berbasis di Cilacap > 70% merupakan ikan yang telah dewasa. Adapun tongkol komo yang tertangkap pukat cincin yang berbasis di Sibolga sekitar 55,5% merupakan ikan dewasa. Belum ada langkah-langkah pengelolaan secara spesifik terhadap sumberdaya tuna neritik di Indonesia. Merujuk hasil Working Party on Neritic Tuna pertama dan kedua tahun 2011 dan 2012, Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) merekomendasikan adanya kerjasama antar negara anggota IOTC yang saling berdekatan didalam melakukan pengelolaan sumberdaya neritik tuna. Langkah pertama adalah dilakukan perelitian mengenai populasi melalui studi mtDNA untuk memastikan status stok dan populasinya. The species of neritic tuna caught by fishers in the Indian Ocean particularly FMAs 572 and 573 consisted of frigate tuna (Auxis thazard), bullet tuna (Auxis rochei), longtail tuna (Thunnus tonggol) and kawa-kawa/eastern little tuna (Euthynnus affinis). These species are by-product of purse seine, drifting gillnet, trolling lines, and lift net. In 2011, production of the neritic tuna from FMAs 572 and 573 reached 121,818 mt or about 29.4% of the national production. More than 70% of catch of neritic tuna especially frigate and bullet tuna caught by drifting gillnet based at Cilacap were matured fish, and kawa-kawa caught by purse seine based at Sibolga about 55.5% of total catch was mature. There are no specific management measures for neritic tuna resources in Indonesia. First and Second IOTC Working Parties on Neritic Tuna in 2011 and 2012 recommended among IOTC’s member countries that are geographically close to each other to conduct a management collaboration of neritic tuna which begins with identifying the status of stock and population through a study mtDNA or other proper methodology.
MODEL PENGENDALIAN OUTPUT PENANGKAPAN UNTUK PENYESUAIAN TERHADAP KUOTA NASIONAL TUNA SIRIP BIRU SELATAN Purwanto Purwanto; Lilis Sadiyah; Fayakun Satria
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 7, No 2 (2015): (November 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.509 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.7.2.2015.103-114

Abstract

Pengelolaan perikanan tuna sirip biru selatan (SBT) dilakukan oleh Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT) dengan pengendalian output melalui penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). Untuk tahun 2015 – 2017, Indonesia menerima alokasi JTB sebesar 750 ton SBT per tahun. Dalam pemanfaatan kuota tersebut, bila total hasil tangkapan SBT dalam satu tahun lebih rendah dari kuota, maka sisa kuota hanya dapat dimanfaatkan tahun berikutnya dan tidak boleh melebihi 20% dari sisa kuota. Sebaliknya, bila total hasil tangkapan SBT dalam satu tahun melebihi kuota, CCSBT dapat mengenakan tindakan korektif, berupa antara lain pengembalian kelebihan tangkapan dan pengurangan kuota nasional pada tahun berikutnya. Capaian pemanfaatan kuota nasional SBT ditentukan oleh hasil tangkapan masing-masing kapal. Mengingat hasil tangkapan masing-masing kapal terkadang tidak sesuai dengan kuotanya walaupun hasil tangkapan nasional sesuai dengan kuota nasional, Indonesia perlu melakukan pengendalian output masing-masing kapal. Untuk mendukung upaya pengendalian tersebut perlu disusun kaidah pengendaliannya. Kaidah tersebut disajikan dalam tulisan ini. Management of southern bluefin tuna fishery (SBT) is conducted by the Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) using output control through the total allowable catch (TAC). Indonesia will receive an allocation of 750 tonnes of SBT per year, for the years 2015 - 2017. In the utilization of the quota, if the total catch of SBT in one year is lower than the quota, then the remaining quota can only be used next year and must not exceed 20% of the remaining quota. Conversely, if the total catch of SBT in a year exceeds the quota, CCSBT may impose corrective action, such as, among others, the return of excess catch and national quota reduction in the following year. The achievement of national quota utilization of SBT is determined by the catch of each vessel. In view of the catch of each vessel may not comply each vessel’s quota although the national catches do not exceed the national quota, Indonesia needs to implement an output control of each vessel. To support this management measure, control rules need to be developed. The rules are presented in this paper.