Claim Missing Document
Check
Articles

Found 22 Documents
Search

Registration Legality of Deed of Establishment of Limited Partnership from District Court to Ministry of Law and Human Rights Dewi Kartika; Ida Nadirah; Ramlan Ramlan
Randwick International of Social Science Journal Vol. 2 No. 1 (2021): RISS Journal, January
Publisher : RIRAI Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47175/rissj.v2i1.189

Abstract

Based on Article 23 of the KUHD, registration of the deed of establishment of Limited Partnership (CV) is carried out at the secretariat of the district court where the CV is established. However, since the enactment of the Regulation of Ministry of Law and Human Rights (Permenkumham) No.17/2018, registration of the deed of establishment Limited has been carried out through SABU which is under the auspices of the Directorate General of General Legal Administration, Ministry of Law and Human Rights. The position of Permenkumham No.17/2018 in the hierarchy of legislation in Indonesia is under the KUHD, so the purpose of this study was to determine the legality of the registration deed of CV from the district court to the ministry of law and human rights. This research uses normative research, with a statutory approach method and the level of legal synchronization, with qualitative analysis. Based on Article I of the Transitional Rules of the 1945 Constitution, the position of the KUHD is still a law, this is emphasized in Article 7 Paragraph (1) of Law No.12 of 2011. So that based on the principle of lex superior derogat legi inferior, then the authorities to carry out and receive registration deed of incorporation CV is the clerk of the district court where CV is located
Business Agreements That Cause Unfair Business Competition Ida Nadirah
International Journal Reglement & Society (IJRS) Vol 1, No 1 (2020): May-August
Publisher : International Journal Reglement & Society (IJRS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55357/ijrs.v1i1.5

Abstract

In today's business world, there are actually many agreements that contain unfair elements against parties whose economic or social weaknesses are weaker on the pretext of maintaining unfair business competition. However, it cannot be denied that behind these business practices there are various kinds of competition. which is not healthy. This writing uses a normative juridical legal research method (normative research) with descriptive analytical research specifications that use secondary data. The data collection procedures are in the form of documentation of notes or quotations, searching legal literature, books and others related to problem identification both offline. and online which are then analyzed through the content analysis method (centent analysis method) with a focus on the problem of how the elements of a business agreement cause unfair business competition and how the responsibility of business actors to business agreements that cause unfair business competition. Whereas some elements of the agreement that cause unfair business competition are agreements to control the production and or marketing of goods and or services which may result in monopolistic practices and unfair business competition, an agreement that sets the price for a good and or service that must be paid by consumers or customers in the same relevant market.
Pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Masyarakat Sekitar Wilayah Perusahaan Perkebunan Ida Nadirah
Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum Vol 1, No 1 (2020): Juni - September
Publisher : Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55357/is.v1i1.15

Abstract

Berdasarkan kegiatan usaha yang dilaksanakan tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 74 Undang-undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas(UUPT), maka sudah sewajarnya Perusahaan Perkebunan melaksanakan program corporate social responsibility sebagaimana dimaksud UUPT. Hal ini mengingat kegiatan usaha yang dilaksanakan oleh Perusahaan Perkebunan berkaitan dengan sumber daya alam, sehingga memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan.  Secara teori penerapan corporate social responsibility, umumnya di dasari pada tiga hal pokok, yaitu CSR adalah: pertama, suatu peran yang sifatnya sukarela (voluntary) dimana suatu perusahaan membantu mengatasi masalah sosial dan lingkungan, oleh karena itu perusahaan memiliki kehendak bebas untuk melakukan atau tidak melakukan peran ini; Kedua, disamping sebagai institusi profit, perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk kedermawanan (filantropi) yang tujuannya untuk memberdayakan sosial dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat eksplorasi dan eksploitasi. Ketiga, corporate social responsibility sebagai bentuk kewajiban (obligation) perusahaan untuk peduli terhadap dan mengentaskan krisis kemanusiaan dan lingkungan yang terus meningkat
Studi Komparatif Terhadap Kepailitan Perusahaan Asuransi Syariah Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Ida Nadirah
Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum Vol 2, No 2 (2021): Juni - September
Publisher : Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55357/is.v2i2.131

Abstract

Kebangkrutan perusahaan asuransi syariah adalah hal baru di Indonesia, terutama dalam kegiatan operasionalnya ada konsep ekonomi syariah berdasarkan al-Qur'an dan Al Hadith.Sehingga dalam praktiknya adalah bisnis layanan yang berhubungan langsung dengan kepentingan banyak orang. Dalam hal ini menarik untuk memeriksa yang kemudian bertujuan untuk mengetahui kebangkrutan dalam perspektif hukum Islam, posisi perusahaan asuransi syariah dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, serta perbandingan hukum kebangkrutan Islam Perusahaan asuransi dengan Hukum Republik Indonesia No.37 tahun 2004 tentang kebangkrutan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis data sekunder yang terkait dengan kebangkrutan perusahaan asuransi Islam sehingga penelitian ini adalah penelitian normatif yang bersifat deskriptif.Sehingga data yang dianalisis hanyalah data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi, dapat disimpulkan bahwa kebangkrutan hukum Islam dapat didefinisikan sebagai TAFLIS, yaitu tidak memiliki properti dan muflis, yaitu orang-orang yang dinyatakan bangkrut oleh hakim. Dalam hal ini posisi hukum perusahaan asuransi syariah menurut hukum Islam adalah badan hukum yang beroperasi di sektor bisnis yang saling melindungi dan membantu satu sama lain berdasarkan al-Quran dan Al-Hadis yang operasinya diawasi oleh nasional. Dewan Pengawas Syariah didirikan oleh Majelis.Sarjana Indonesia. Perbandingan Hukum Kebangkrutan Perusahaan Asuransi Islam dengan Hukum Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2004 bila dibandingkan dengan hukum Islam ada keterbatasan yang membedakan antara kedua undang-undang. Dalam hukum Islam, kebangkrutan berasal dari Al-Qur'an, Hadits, Ijma, dan Qiyas.Diketahui bahwa kebangkrutan berasal dari hukum positif.Maka prinsip-prinsip didasarkan pada prinsip-prinsip keseimbangan, kesinambungan bisnis, integritas, keadilan. Penyelesaian ini dalam bentuk manajemen penyitaan umum aset debitur yang bangkrut, penyelesaian dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas yang nantinya akanmenetap di pengadilan komersial
Perlindungan Hukum Terhadap Tanah Hak Milik Masyarakat Pasca Bencana Alam Erupsi Gunung Sinabung Fitriani Fitriani; Masitah Pohan; Ida Nadirah
Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum Vol 2, No 3 (2021): Oktober 2021 - Januari 2022
Publisher : Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55357/is.v2i3.162

Abstract

Indonesia is located in a natural disaster prone location where various types of natural disasters, including earthquakes and tsunamis, volcanoes, floods, landslides, droughts, forest and land fires, and other natural disasters still occur very frequently. Post natural disaster events also have a systemic impact on land issues, especially for areas that are most severely affected by natural disasters, where one of the impacts is the loss of land boundaries caused by changes in land surface due to natural disasters, mainly caused by the earthquake and tsunami.The problems raised in this study, namely how the rule of law against community land rights after the Mt. Sinabung eruption natural disaster, the position and status of community property rights after the Mt. Sinabung eruption natural disasters and legal protection of community land ownership after the eruption. Mount Sinabung.To find answers to these problems, this research uses descriptive analytical normative legal research, where this normative legal research uses secondary data as primary data and also uses primary data as complementary data using data collection techniques carried out by means of literature study, as well as Qualitative data analysis.The rule of law for community property rights after the natural disaster of the Mt. Sinabung eruption is broadly regulated in Article 27 of Law Number 5 of 1960 Concerning Basic Agrarian Regulations which states that one of the causes of the abolition of ownership rights is because the land was destroyed, however, this provision does not automatically mean that the community's community-owned land can be abolished. There are a number of activities that must be carried out until the community's community-owned land is removed. The position and status of community property rights after the natural disaster of the Mt. Sinabung eruption, which basically remains the property of victims of natural disasters and victims of disasters do not lose their property rights before the disaster belongs to disaster victims. The state cannot directly control the ex-disaster land even though the land owner has died. Land ownership should still be returned to the community, especially for areas that are still inhabited by indigenous peoples. Legal protection of community land rights after the occurrence of natural disaster of the Mt. Sinabung eruption is through legal protection of individual ownership holders and protection through land consolidation and relocation activities
Perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual Terhadap Pengrajin Kerajinan Tangan Ida Nadirah
DE LEGA LATA: JURNAL ILMU HUKUM Vol 5, No 1 (2020): Januari - Juni
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (586.05 KB) | DOI: 10.30596/dll.v5i1.3444

Abstract

The arrangement of intellectual property rights of handicraft craftsmen in Indonesia is the result of transplants from the TRIP’s Agreement and the Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention) which has a capitalist paradigm. This regulation is difficult to implement optimally, because the background values and cultures are different. However, due to juridical and psychological consequences, Indonesia has agreed on the GATT (General Agreement of Tariff and Trade) and also agreed on the GATT / WTO (World Trade Organization) framework, finally Indonesia ratified through Law No. 7 of 1994.The great expectation of the Intellectual Property Rights Law can be implemented, but the fact is that Law No. 31 of 2000 is still not optimally applied mainly by handicraft craftsmen. This is proven by the fact that the number of applicants is getting worse because of the degradation of creativity and not fulfilling the values of social justice. An alternative step in bridging is to internalize the Pancasila values into the Intellectual Property Rights Act as "spirit or soul" which is expected to be able to provide justice for the community of handicraft craftsmen, so that it can spur the development of the creativity of the next handicraft craftsmen.
Juridical Analysis of Legal Sanctions for Criminal Acts of Corruption Conducted Together (Study of Supreme Court Decision Number 1054 K/Pid.Sus/2019) Asor Olodaiv Siagian; Alpi Sahari; Ida Nadirah
International Journal Reglement & Society (IJRS) Vol 3, No 3 (2022): September-December
Publisher : International Journal Reglement & Society (IJRS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55357/ijrs.v3i3.284

Abstract

Cases of criminal acts of corruption were carried out jointly based on the study of the Supreme Court's decision Number 1054 K/Pid.Sus/2019. The Defendant Luanna Wiriawaty as Director of PT Djaya Bima Agung who was appointed as the winner of the auction for the Procurement of KB II Batang Three-Year implants Plus Inserter T.A 2014 at the Directorate of Family Planning Health Development through the Government Line at the Deputy for Family Planning and Reproductive Health BKKBN, together with witness Yenny Wiriawaty as President Director of PT Triyasa Nagamas Farma as well as shareholder of PT Djaya Bima Agung and witness Karnasih Tjiptaning, S. Kom., MPH as Commitment Making Officer (each is subject to separate prosecution). This study aims to examine the regulation of criminal acts of corruption that are carried out together based on the applicable legal provisions in Indonesia. To examine the mechanism of reverse evidence in the crime of corruption and to analyze juridically the legal sanctions for the crime of corruption carried out together with the decision of the Supreme Court Number 1054 K/Pid.Sus/2019. This research method uses normative research with data types consisting of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. The results of this study the Supreme Court has mistakenly applied article 2 paragraph (1) to the defendant in the aquo case, in the author's opinion the difference between article 2 and article 3 of Law 31 of 1999 concerning the Crime of Corruption, namely in Article 3, the perpetrator can be charged if has the authority, while in Article 2, everyone referred to in the article is broader and more general. Furthermore, judex juris was wrong by not applying Article 64 of the Criminal Code
Keabsahan Perjanjian Baku Pada Transaksi Forex Dalam Upaya Memberikan Pelindungan Hukum Pada Investor Di Indonesia Eliya Nova Lubis; Ida Nadirah
Jurnal Pencerah Bangsa Vol 3, No 1 (2023): Juli - Desember
Publisher : Jurnal Pencerah Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penerapan perjanjian baku hingga kini masih menimbulkan kontroversi baik menyangkut keberadaan dan keabsahannya. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak secara spesifik mengatur tentang perjanjian baku. Hal ini mengakibatkan tidak adanya. Perlindungan hukum terhadap investor yang melakukan transaksi forex yang meliputi hak dan kewajiban para pihak baik itu pihak investor yang dirugikan maupun pihak Perusahaan Pialang yang seharusnya ikut  bertanggung jawab  akibat kerugian  yang dialami investor. Penelitian ini difokuskan pada dua permasalahan, yakni masalah keabsahan perjanjian baku pada transaksi forex dan perlindungan hukum kepada investor forex. Metode Penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Perjanjian dengan klausul baku  dipersoalkan sah atau tidaknya bila perjanjian baku tersebut tidak seimbang antara para pihak yang melakukan perjanjian sehingga mengakibatkan kerugikan pada  salah satu pihak yang mengikatkan diri kepada perjanjian tersebut  karena hal ini bertentangan dengan Undang Undang Perlindungan Konsumen, akibat dari tidak seimbangnnya klausul dalam perjanjian baku tersebut maka bila terjadi masalah dalam transaksi forex pihak investor menjadi pihak yang lemah posisinya di hadapan hukum dan tidak mendapatkan perlindungan hukum dikarenakan dalam perjanjian sudah ada klausula yaitu kerugian yang terjadi akibat transaksi forex ditanggung sendiri oleh investor.
Problematika Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) Pasca Putusan MK NO 34/PUU-XVII/2019 Dalam Penyelesaian Sengketa Perselisihan Hubungan Industrial Minggu Saragih; Ida Nadirah
Jurnal Pencerah Bangsa Vol 3, No 1 (2023): Juli - Desember
Publisher : Jurnal Pencerah Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Upaya hukum peninjauan kembali (PK) pasca putusan MK No 34/PUU-XVII/2019 dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Metode penelitian dengan menggunakan jenis penelitian hukum normatif, pendekatan penelitian yaitu pendekatan undang-undang, sifat penelitian deskriptif, sumber data merupan data sekunder, alat pengumpulan data studi dokumen, analisis data kualitatif. Peniadaan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdampak pada rasa keadilan para pihak. Terbukti adanya pengujian terhadap norma hukum dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang dianggap sebagai landasan peniadaan upaya hukum peninjauan kembali dengan munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Nomor 34/PUU-XVII/2019. Dalam penelitian ditemukan bahwa peniadaan peninjauan kembali dalam perkara perselisihan hubungan industrial justru menghilangkan keadilan yang terdapat dalam asas sederhana, cepat, adil dan murah, sebaiknya peninjauan kembali (PK) tetap diadakan demi adanya ruang upaya hukum luar biasa sebagaimana diatur pada KUHPerdata. Upaya hukum peninjauan kembali sebagai upaya luar biasa dalam perkara perselisihan hubungan industrial sejatinya tetap diberikan sebagai perwujudan persamaan hukum dan keadilan. salah satu contoh yang  menjadi hukum tetap dan tidak dapat mengajukan PK adalah putusan nomor 779 K/Pdt.Sus-PHI/2022 perkara antara PT Belawan Indah yang melawan Supatno, Hanafi, Abu Hasan, dkk. Menurut Gustav Radbruch, ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Mata Uang Oleh Kepolisian Edy Jhon Manalu; Alpi Sahari; Ida Nadirah
Legalitas: Jurnal Hukum Vol 14, No 2 (2022): Desember
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/legalitas.v14i2.346

Abstract

Penanggulangan tindak pidana mata uang dilakukan oleh Polri melalui pendekatan penal maupun non penal dengan menggunakan aturan peraturan perundang-undangan yang mengatur mata uang baik mata uang kertas maupun mata uang digital. Di dalam penanggulangan dengan pendekatan penal terkait mata uang digital adalah menggunakan kerangka hukum yang diatur dalam KUH Pidana karena Undang-Undang tentang Mata Uang tidak mengenal mata uang elektronik karena dimaknai mata uang digital digunakan dalam bentuk investasi. Hambatan yang ditemukan oleh Polri dalam melakukan serangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan dalam tatanan penal policy terkait tindak pidana disebabkan oleh factor internal dan factor ekternal.Upaya yang dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana mata uang oleh Polri selain melakukan tindakan pengungkapan yang ditujukan dalam kerangka pembuktian tindak pidana mata uang dengan menggunakan sarana hukum pidana berupa asas lex specialis juga dapat menggunakan aturan khusus terkait Uang Elektronik karena di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang tidak mengatur Uang Elektronik. Ketiadaan atau kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam penegakan hukum apabila timbul tindak pidana Uang Elektronik tentunya dapat ditelusuri dalam instrumen hukum lainnya, yang salah satunya ialah Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Di samping itu diperlukan sinergitas dalam penanggulangan tindak pidana mata uang