- Subandi
Unknown Affiliation

Published : 18 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

SENDRATARI LANGENDRIYAN ABIMANYU GUSUR (Langendriyan dance drama the death of Abimanyu) Subandi, -
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 4, No 1 (2003)
Publisher : Department of Drama, Dance, and Musik (Sendratasik), Semarang State University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v4i1.701

Abstract

Sendratari Langendriyan Abimanyu Gugur merupakan komposisi tari garapan  baru. Tokoh Abimanyu dalam pewayangan Jawa merupakan tokoh Senopati  Pandawa yang gugur di tengah perang Bharatayuda karena dikeroyok oleh  prajurit Kurawa yang dipimpin Jayadrata. Dalam Sendratari Langendriyan pada  malam Seminar Internasional Indiginasi llmu dan Seni di STSI Surakarta  merupakan kolaborasi antara Padneswara Jakarta pimpinan Retno Maruti dan sen/man STSI Surakarta. dengan garap Bedayan. Corak garapan baru terdapat da/am bentuk sajian tari, seniman penyaji, ide gagasan yang ingin dituangkan dan  karawitan iringan tannya. Sendratari yang lebih banyak dikenal da/am bentuk  Sendratari Ramayana digarap mengambil lakon versi Mahabharata. Sajian tari  yang berupa gerak digarap dengan dialog yang menggunakan tetembangan.  Bentuk sajian Bedaya yang biasanya untuk kepentingan keraton yang lebih bersifat  magis dan simbolis digunakan untuk menggarap lakon dalam wayang.Sendratari Langendriyan Abimanyu Gugur digarap dengan garap Bedayan, ini  berarti jumlah penari setiap kelompok sembilan orang dan ditarikan pada saat  tertentu, tata rias dan tata busana semua penari relatif seragam, tata has wajah  tidak mencerminkan ekspresi karakter tokoh tertentu, gerak tarinya relatif sama,  perbedaan gerak pada perubahan simbol karakter yang dibawakan, dialog dengan  menggunakan tetembangan/vokal, karawitan iringan tari disusun sesuai dengan  suasana lakon. Kesan yang diperoleh adalah mistis dan simbolis.Kata kunci: Bedaya, Sendratari Langendriyan, garap baru.
ASPEK HISTORIS WIRAWANITA DALAM BUDAYA JAWA (The Historical Aspect of Womens Bravery in Javanese Culture) Subandi, -
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 2, No 2 (2001)
Publisher : Department of Drama, Dance, and Musik (Sendratasik), Semarang State University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v2i2.848

Abstract

Seiring perjalanan waktu , sejarah peradaban manusia mencatat berbagaiperisiwa penting dalam hidup manusia. Pada budaya Jawa pria dan wanitamengalami siklus dalam memimpin masyarakat. Wanita bukan lagidipandang sebagai lambang kesuburan. Wira wanita menunjukkan buktisejarah bahwa kepemimpinan wanita pernah terjadi di lingkungan budayaJawa. Berbagai prasasti yang tertinggal, arca dalam candi-candi, legende,karya sastra dan babat merupakan peningalan yang berharga agarmendapatkan makna baru dalam peradaban sekarang.Kata Kunci: Sejarah, Wirawanita, Budaya Jawa, Makna Baru
Lakon Anoman Duta Garap Padat: Sebuah Penelitian Singkat (The Condensed Creativity of Anoman Duta : A Short Study) Subandi, -
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 6, No 3 (2005)
Publisher : Department of Drama, Dance, and Musik (Sendratasik), Semarang State University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v6i3.813

Abstract

Anoman Duta merupakan lakon wayang yang bersumber dari salah satu episode dalamRamayana versi pedalangan Jawa. Berbagai bentuk seni pertunjukan wayang digarapoleh para seniman tradisi untuk melestarikan nilainilai luhur yang terkandungdidalamnya. Lakon Anoman Duta dipergelarkan dalam bentuk seni pertunjukan wayangkulit Purwo oleh seniman dalang biasanya memakan durasi waktu sekitar enam jam. Padapementasan yang berujud Sendratari, Lakon Anoman Duta digarap ringkas dengandurasi waktu sekitar dua jam. Bentuk pertunjukan dengan konsep padat digarap dalamwaktu sekitar 30 menit. Lakon Anoman Duta digarap padat dalam pengertian konsep,isi dan ekspresi estetis oleh Padepokan Sarotama di Surakarta. Penghilangan berbagairagam gerak yang diulangulang, catur yang tidak perlu dengan iringan musik tradisi yangmenyatu menunjukkan lakon Anoman Duta dengan garap padat tetap berbobot dan lebihmenarik serta memberikan kepuasan baru bagi para penikmat seni yang relatifmemerlukan waktu terbatas untuk dapat melihat secara keseluruhan isi dan makna yangdisajikan dalam pertunjukan. Dengan bentuk pertunjukan Anoman Duta garap padatpelestarian seni tradisi melalui garap lakon berlangsung dengan berbagai variasi.Kata kunci: Wayang, Anoman Duta, Garap Padat
Akulturasi Psikologis para Self-Initiated Expatriate Sari, Ginda Rahmita; Subandi, -
Gadjah Mada Journal of Psychology Vol 1, No 1 (2015)
Publisher : Gadjah Mada Journal of Psychology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1.795 KB)

Abstract

Expatriation has become a phenomenon that can be found in many parts of the world as entering globalization era. Expatriation has been done not only by employees that were assigned by their company but also by individuals who choose to develop their capabilities by having cross cultures experiences and become a self-initiated expatriate. The aim of this study was to find meaning and process of self-initiated expatriate psychological acculturation in Yogyakarta. This study used phenomenological qualitative approach to comprehend meaning of self-initiated expatriate psychological acculturation in Yogyakarta. Data was gathered through in-depth interviews with six self-initiated expatriates that has built a new life in Yogyakarta with their spouse. The research findings showed that respondents chose to be self-initiated expatriates in Yogyakarta to seize an opportunity of a better living in Yogyakarta. In acculturation process, they develop two kinds of coping, adopting new culture and maintaining original culture. They combined both cultures values in their selves that caused changes in their cognitive, behavior and attitude and became an integrated self as a result. Further findings showed that coping variation was selected by considering their condition, situation, needs and interests.Keywords: self-initiated expatriate, culture, psychological acculturation
BARATAYUDA SULUHAN GATUTKACA GUGUR SEBAGAI PAHLAWAN : KAJIAN DARI ASPEK ETIS DAN ESTETIS Subandi, -
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 10, No 2 (2010)
Publisher : Department of Drama, Dance, and Musik (Sendratasik), Semarang State University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v10i2.58

Abstract

Puppet show is part of Indonesian culture that teaches good conducts. In Javanese puppet world, Mahabarata story has many times been transformed in puppet plays. Baratayuda Suluhan is one of the episodes of great battle between Kurawa against Pandawa in Kurusetra battlefield, in which Gatutkaca plays role as the commander in chief. The show of Baratayuda series took place in Taman Budaya Jawa Tengah of Surakarta on every Friday Kliwon eves, Javanese date, that has been lasting for almost two years. The shows are based on the puppet maters’ (dalang) point of views so that, sometimes, they seem not in the right order and tend to follow the dalangs’ tastes. Suluhan play is often known as the Dead of Gatutkaca. After the death of Bisma, the knights of Kurawa obeyed Darmayuda’s rule no more. The rule was about war ethics. The battle between Kurawa and Pandawa occurred heroically, severely, cruelly and ruthlessly. They fought nights and days. The most important thing for the commander in chief was how to defeat the enemy and how to kill even when they broke the rule of war. They never stopped fighting. Baratayuda Suluhan is performed at night by usingtorch or suluh as the lamp. Gatutkaca died as a hero. There are ethics values that can be generated from the battle of Baratayuda Suluhan as the moral values. All characters dying in the battle have ethics judgments according to the perspective of Javanese supporting puppet show. Kata kunci: pertunjukan wayang, etika , Baratayuda, pahlawan, sanggit
Lakon Anoman Duta Garap Padat: Sebuah Penelitian Singkat (The Condensed Creativity of Anoman Duta : A Short Study) Subandi, -
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 6, No 3 (2005)
Publisher : Department of Drama, Dance and Music, FBS, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v6i3.813

Abstract

Anoman Duta merupakan lakon wayang yang bersumber dari salah satu episode dalamRamayana versi pedalangan Jawa. Berbagai bentuk seni pertunjukan wayang digarapoleh para seniman tradisi untuk melestarikan nilainilai luhur yang terkandungdidalamnya. Lakon Anoman Duta dipergelarkan dalam bentuk seni pertunjukan wayangkulit Purwo oleh seniman dalang biasanya memakan durasi waktu sekitar enam jam. Padapementasan yang berujud Sendratari, Lakon Anoman Duta digarap ringkas dengandurasi waktu sekitar dua jam. Bentuk pertunjukan dengan konsep padat digarap dalamwaktu sekitar 30 menit. Lakon Anoman Duta digarap padat dalam pengertian konsep,isi dan ekspresi estetis oleh Padepokan Sarotama di Surakarta. Penghilangan berbagairagam gerak yang diulangulang, catur yang tidak perlu dengan iringan musik tradisi yangmenyatu menunjukkan lakon Anoman Duta dengan garap padat tetap berbobot dan lebihmenarik serta memberikan kepuasan baru bagi para penikmat seni yang relatifmemerlukan waktu terbatas untuk dapat melihat secara keseluruhan isi dan makna yangdisajikan dalam pertunjukan. Dengan bentuk pertunjukan Anoman Duta garap padatpelestarian seni tradisi melalui garap lakon berlangsung dengan berbagai variasi.Kata kunci: Wayang, Anoman Duta, Garap Padat
SENDRATARI LANGENDRIYAN ABIMANYU GUSUR (Langendriyan dance drama the death of Abimanyu) Subandi, -
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 4, No 1 (2003)
Publisher : Department of Drama, Dance and Music, FBS, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v4i1.701

Abstract

Sendratari Langendriyan Abimanyu Gugur merupakan komposisi tari garapan  baru. Tokoh Abimanyu dalam pewayangan Jawa merupakan tokoh Senopati  Pandawa yang gugur di tengah perang Bharatayuda karena dikeroyok oleh  prajurit Kurawa yang dipimpin Jayadrata. Dalam Sendratari Langendriyan pada  malam Seminar Internasional Indiginasi llmu dan Seni di STSI Surakarta  merupakan kolaborasi antara Padneswara Jakarta pimpinan Retno Maruti dan sen/man STSI Surakarta. dengan garap Bedayan. Corak garapan baru terdapat da/am bentuk sajian tari, seniman penyaji, ide gagasan yang ingin dituangkan dan  karawitan iringan tannya. Sendratari yang lebih banyak dikenal da/am bentuk  Sendratari Ramayana digarap mengambil lakon versi Mahabharata. Sajian tari  yang berupa gerak digarap dengan dialog yang menggunakan tetembangan.  Bentuk sajian Bedaya yang biasanya untuk kepentingan keraton yang lebih bersifat  magis dan simbolis digunakan untuk menggarap lakon dalam wayang.Sendratari Langendriyan Abimanyu Gugur digarap dengan garap Bedayan, ini  berarti jumlah penari setiap kelompok sembilan orang dan ditarikan pada saat  tertentu, tata rias dan tata busana semua penari relatif seragam, tata has wajah  tidak mencerminkan ekspresi karakter tokoh tertentu, gerak tarinya relatif sama,  perbedaan gerak pada perubahan simbol karakter yang dibawakan, dialog dengan  menggunakan tetembangan/vokal, karawitan iringan tari disusun sesuai dengan  suasana lakon. Kesan yang diperoleh adalah mistis dan simbolis.Kata kunci: Bedaya, Sendratari Langendriyan, garap baru.
BARATAYUDA SULUHAN GATUTKACA GUGUR SEBAGAI PAHLAWAN : KAJIAN DARI ASPEK ETIS DAN ESTETIS Subandi, -
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 10, No 2 (2010)
Publisher : Department of Drama, Dance and Music, FBS, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v10i2.58

Abstract

Puppet show is part of Indonesian culture that teaches good conducts. In Javanese puppet world, Mahabarata story has many times been transformed in puppet plays. Baratayuda Suluhan is one of the episodes of great battle between Kurawa against Pandawa in Kurusetra battlefield, in which Gatutkaca plays role as the commander in chief. The show of Baratayuda series took place in Taman Budaya Jawa Tengah of Surakarta on every Friday Kliwon eves, Javanese date, that has been lasting for almost two years. The shows are based on the puppet maters’ (dalang) point of views so that, sometimes, they seem not in the right order and tend to follow the dalangs’ tastes. Suluhan play is often known as the Dead of Gatutkaca. After the death of Bisma, the knights of Kurawa obeyed Darmayuda’s rule no more. The rule was about war ethics. The battle between Kurawa and Pandawa occurred heroically, severely, cruelly and ruthlessly. They fought nights and days. The most important thing for the commander in chief was how to defeat the enemy and how to kill even when they broke the rule of war. They never stopped fighting. Baratayuda Suluhan is performed at night by usingtorch or suluh as the lamp. Gatutkaca died as a hero. There are ethics values that can be generated from the battle of Baratayuda Suluhan as the moral values. All characters dying in the battle have ethics judgments according to the perspective of Javanese supporting puppet show. Kata kunci: pertunjukan wayang, etika , Baratayuda, pahlawan, sanggit
ASPEK HISTORIS WIRAWANITA DALAM BUDAYA JAWA (The Historical Aspect of Women's Bravery in Javanese Culture) Subandi, -
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 2, No 2 (2001)
Publisher : Department of Drama, Dance and Music, FBS, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v2i2.848

Abstract

Seiring perjalanan waktu , sejarah peradaban manusia mencatat berbagaiperisiwa penting dalam hidup manusia. Pada budaya Jawa pria dan wanitamengalami siklus dalam memimpin masyarakat. Wanita bukan lagidipandang sebagai lambang kesuburan. Wira wanita menunjukkan buktisejarah bahwa kepemimpinan wanita pernah terjadi di lingkungan budayaJawa. Berbagai prasasti yang tertinggal, arca dalam candi-candi, legende,karya sastra dan babat merupakan peningalan yang berharga agarmendapatkan makna baru dalam peradaban sekarang.Kata Kunci: Sejarah, Wirawanita, Budaya Jawa, Makna Baru
From Acute Pain to Intense Elation: The Psychological Dynamics of Five Individuals Who Experienced Spirit Possession Rahardanto, Michael Seno; Subandi, -
Jurnal Psikologi Vol 39, No 1 (2012)
Publisher : Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.238 KB) | DOI: 10.22146/jpsi.6965

Abstract

Kesurupan merupakan fenomena yang terjadi di berbagai kebudayaan di dunia, namun relatif jarang diteliti. Belum ada konsensus tentang etiologi kesurupan. Tokoh-tokoh psikodinamika menyebutnya ‘histeria’; para pendukung teori disosiatif menyebutnya proses disosiatif; para pakar antropologi menyebutnya fenomena yang dibentuk budaya. Dalam penelitian ini, peneliti mengajukan gagasan bahwa kesurupan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori yang berbeda, yakni kesurupan patologis, kesurupan relijius, kesurupan kuratif, dan kesurupan hiburan. Penulis menggunakan pendekatan studi kasus untuk mengeksplorasi pengalaman dan dinamika psikologis lima individu yang mengalami kesurupan. Penulis menggunakan tes proyektif (BAUM, DAP, HTP) untuk menunjang eksplorasi dinamika psikologis kelima partisipan. Data penelitian dan hasil kajian literatur menunjukkan bahwa kesurupan patologis, relijius, kuratif, dan hiburan merupakan jenis kesurupan yang berbeda. Partisipan yang mengalami kesurupan patologis melaporkan rasa sakit psikologis yang akut saat kesurupan. Eksplorasi riwayat keluarga menunjukkan tipe chaotic-disengaged. Partisipan yang mengalami kesurupan relijius (dikuasai Roh Kudus) melaporkan ekstase spiritual, yang dicirikan oleh sukacita yang sangat intens. Partisipan yang mengalami kesurupan hiburan melaporkan episode kesurupan yang dipicu oleh musik dan ritual, yang penyebabnya diatribusikan ke makhluk supernatural. Secara umum, hasil penelitian mendukung perspektif bahwa kesurupan adalah mekanisme untuk mengekspresikan kebutuhan dan hasrat psikologis yang terpendam dan tidak terpenuhi dalam kehidupan nyata. Penjelasan berdasarkan perspektif tunggal—misalnya hanya menggunakan perspektif fisiologis atau satu perspektif teoretik—akan menimbulkan “materialisme medis”, yang dikhawatirkan William James. Hasil penelitian ini mendukung suatu perspektif yang holistik, yang menyatakan bahwa kesurupan merupakan interaksi dinamis antara kebutuhan psikologis yang terpendam, frustrasi, hasrat, dan representasi keyakinan sosioreligiuspara partisipan. Kata kunci: kesurupan patologis, kesurupan relijius, kesurupan kuratif, kesurupan hiburan, fenomena disosiatif, perubahan kesadaran