Jauhari Jauhari
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Jauhari Jauhari; Firman Freaddy Busroh; Fatria Khairo
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 27 No. 3 (2021): September
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v27i3.57

Abstract

Abstrak Di Indonesia, perkawinan memang bukanlah sebuah persoalan yang rumit manakala pasangan memeluk agama yang sama, namun akan menjadi persoalan yang sangat rumit apabila kedua pasangan tersebut memeluk agama yang berbeda. Hal ini menjadi masalah karena dengan adanya perbedaan agama maka pelaksanaan perkawinan menjadi terhalang. Permasalahannya adalah bagaimana perkawinan berbeda agama menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan apa akibat hukum dari perkawinan berbeda agama pasca Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maksudnya adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan beserta peraturan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti termasuk putusan MK yang dibahas. Adapun peraturan perundang-undangan yang dikaji dalam penelitian ini adalah peraturan perundang- undangan yang terdapat kaitannya dengan masalah perkawinan berbeda agama seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Hasil penelitian menjelaskan bahwa perkawinan yang dilakukan antara kedua mempelai yang berbeda agama maka perkawinannya adalah tidak sah menurut agama yang berarti juga tidak sah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Akibat hukum dari perkawinan berbeda agama di Indonesia berdasarkan pasca putusan MK di atas adalah status anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan berbeda agama adalah anak tidak sah atau anak luar kawin karena perkawinan kedua orangtuanya bukan merupakan perkawinan yang sah, maka akibatnya adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak memiliki hubungan nasab dan kewarisan dengan ayah biologisnya yang telah dibuktikan dengan kecanggihan keilmuan pada zaman sekaranag seperti tes DNA dan lain-lain, namun tetap mempunyai hubungan sebatas keperdataan seperti kewajiban ayah biologis untuk memberikan nafkah demi kepentingan anak tersebut. Kata kunci: Perkawinan Beda Agama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Abstract In Indonesia, marriage is indeed not a complicated issue when a couple embraces the same religion, but it will be a very complicated issue if the two couples embrace different religions. This is a problem because with the existence of religious differences, the implementation of marriage becomes blocked. The problem is how interfaith marriages according to Law Number 1 of 1974 and what are the legal consequences of interfaith marriages after the Constitutional Court Decision Number 46/PUU-VIII/2010. The research method used is normative juridical, meaning that research is carried out by reviewing the laws and regulations and other regulations relevant to the problem under study, including the decision of the Constitutional Court discussed. The statutory regulations studied in this study are statutory regulations that are related to the issue of interfaith marriages such as Law Number 1 of 1974 concerning marriage and the Compilation of Islamic Law. The results of the study explain that marriages carried out between the bride and groom of different religions, the marriage is not valid according to religion which means it is also invalid according to Law Number 1 of 1974 and the Compilation of Islamic Law. The legal consequences of interfaith marriages in Indonesia based on the post-MK decision above are the status of children born from interfaith marriages are illegitimate children or children out of wedlock because the marriage of both parents is not a legal marriage, then the result is a child born from The marriage has no kinship and inheritance relationship with the biological father which has been proven by modern scientific sophistication such as DNA testing and others, but still has a limited civil relationship such as the biological father's obligation to provide a living for the benefit of the child.
JAMINAN PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK-HAK ISTRI PASCA PERCERAIAN Jauhari Jauhari; Firman Freaddy Busroh; Fatria Khairo
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 28 No. 2 (2022): Juni
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v28i2.68

Abstract

Abstrak Dimana perkara perceraian yang dilakukan oleh pihak suami atau permohonan perceraian kepada Pengadilan Agama untuk diberikan putusan yang menyatakan bahwa hubungan suami istri diantara mereka telah putus dengan pertimbangan majlis hakim bahwa yang bersangkutan tidak dapat kembali untuk membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu, muncullah permasalahan baru bahwa mantan suami tidak melaksanakan kewajibannya yaitu tidak memberikan hak istri yang telah diceraikannya seperti pemberian hak ‘iddah atau hak mut’ah. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yaitu sumber datanya adalah studi kepustakaan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan normatif yuridis. Hasil dari penelitian bahwa dalam amar putusan majelis hakim ditambahkan kalimat “…yang dibayar sebelum tergugat mengambil akta cerai”. Dengan demikian jaminan pelaksaan pemberian hak-hak perempuan pasca perceraian dapat terlaksana. Kata kunci : Perceraian, Amar Putusan Majelis Hakim dan Hak Istri. Abstract Where the divorce case is carried out by the husband or the application for divorce to the Religious Court to be given a decision stating that the husband and wife relationship between them has been broken with the consideration of the panel of judges that the person concerned cannot return to form a sakinah, mawaddah and rahmah household. Therefore, a new problem arises that the ex-husband does not carry out his obligations, namely not giving the rights of his divorced wife such as the granting of 'iddah rights or mut'ah rights. This research is a library research, that is, the source of the data is library research. The research method used is a juridical normative approach. The result of the research is that in the verdict of the panel of judges the sentence is added "... which is paid before the defendant takes the divorce certificate". Thus the guarantee of the implementation of the granting of women's rights after divorce can be carried out.