Rachmat Sumantri
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, jalan Pasteur 38 Bandung

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) Sebagai Petunjuk Ketaatan Minum Obat pada Penderita HIV Manullang, Rudolf Andean; Wisaksana, Rudi; Sumantri, Rachmat
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pengobatan Anti Retroviral (ARV) pada penderita HIV merubah secara dramatis prognosis penderita HIV tetapi memerlukan ketaatan pengobatan yang sempurna. Hingga saat ini penilaian ketaatan pengobatan ARV merupakan hal yang sulit dikerjakan karena ketiaadaan metoda penilaian yang ideal tetapi dapat digunakan sehari-hari diklinik. Pada makalah ini akan diutarakan mengenai peranan Mean Corpuscular Volume (MCV) sebagai metoda penilaian ketaatan pengobatan ARV pada penderita HIV.   Kata kunci: ARV, HIV, Ketaatan minum obat
Kegagalan Terapi Infeksi HIV/AIDS dan Resistensi Antiretroviral Sumantri, Rachmat
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak   Kegagalan pengobatan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) ditandai dengan kegagalan virologis, kegagalan imunologis, dan memburuknya keadaan klinis penderita. Kegagalan virologis mendahului kegagalan lainnya dan ditandai dengan viral load yang tidak menurun setelah 48 minggu pengobatan Anti Retro Viral (ARV). Kegagalan imunologis ditandai dengan CD4 yang menurun. Faktor yang berperan dalam kegagalan terapi ARV adalah kepatuhan, efek samping obat yang menyebabkan penghentian obat, absorbsi buruk, dosis suboptimal, serta resistensi virus. Virus HIV akan bermutasi dengan jenis mutasi yang khas untuk setiap jenis obat ARV. Pemeriksaan resistensi ARV terdiri dari dua cara, genotip dan fenotip. Pemeriksaan genotip adalah pemeriksaan terhadap mutasi, sedangkan pemeriksaan fenotip adalah pemeriksaan in vitro untuk melihat langsung suseptibilitas ARV. Mutasi virus untuk tiap obat berbeda, ditandai dengan penggantian asam amino pada suatu codon. Misalnya untuk lamivudine bila terdapat mutasi M184V, artinya metionin pada codon 184 diganti dengan valin. Pemeriksaan mutasi virus perlu dilakukan jika diduga terjadi virologic failure akibat resistensi ARV, obat ARV yang diberikan harus segera diganti.   Kata kunci:  ARV, HIV/AIDS, kegagalan pengobatan, mutasi
Insidensi dan Karakteristik Hepatotoksisitas Obat Antituberkulosis pada Penderita Tuberkulosis dengan dan tanpa Infeksi HIV Sumantri, Agung Firmansyah; Djumhana, Ali; Wisaksana, Rudi; Sumantri, Rachmat
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak   Salah satu penyulit dalam pengobatan tuberkulosis (Tb) adalah hepatotoksisitas obat antituberkulosis (OAT). Pasien Tb dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) meningkatkan risiko kejadian hepatotoksisitas OAT. Hal ini menjadi tantangan dalam menghadapi pasien Tb-HIV. Penelitian ini bertujuan mengetahui insidensi dan karakteristik penderita hepatotoksisitas OAT pada Tb dengan dan tanpa infeksi HIV. Penelitian ini adalah penelitian  epidemiologi  klinik  yang  bersifat  deskriptif  observasional.  Penelitian dilaksanakan di  ruang  rawat jalan dan rawat inap RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung serta ruang rawat jalan RS Bungsu periode Juni– Oktober 2012. Terdapat 120 subjek terdiri atas 18 penderita dengan infeksi HIV dan 102 penderita tanpa infeksi HIV. Mayoritas usia penderita Tb dengan infeksi HIV yaitu ≤35 tahun (17/18 penderita), laki-laki (12/18 penderita), indeks massa tubuh <18,5 kg/m2 (10/18 penderita), dan Tb paru (16/18 penderita). Penderita Tb dengan infeksi HIV yang mengalami hepatotoksisitas terhadap OAT lebih banyak daripada penderita Tb tanpa infeksi HIV (9/18 vs 19/102 penderita). Insidensi hepatotoksisitas OAT sebesar 23,3%. Hepatotoksisitas OAT pada penderita Tb dengan dan tanpa infeksi HIV terjadi pada 2 minggu pengobatan OAT dengan derajat ringan. Simpulan, insidensi hepatotoksisitas OAT pada penderita Tb dengan infeksi HIV lebih tinggi daripada tanpa infeksi HIV. Kata kunci: Hepatotoksisitas OAT, HIV, tuberkulosis   Incidence and Characteristics of Hepatotoxicity Anti-tuberculosis Drugs in Tuberculosis Patients with and without HIV Infection   Abstract Hepatotoxicity is one of the complications in the treatment of tuberculosis (Tb). Tuberculosis patient with HIV infection has higher risk in hepatotoxicity, and this is a clinical obstacle in dealing with Tb-HIV treatment. The aims of this study were to find the incidence and characateristic of anti-tuberculosis hepatotoxicity in tuberculosis patients with and without HIV infection. A descriptive observational study was conducted in outpatient/inpatient RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, and outpatient RS Bungsu period June–October 2012. There were 120 Tb patients consisted of 18 patients with HIV and 102 patients without HIV. Most of Tb patients with HIV occured in age ≤35 years (17/18 patients), male (12/18 patients), body mass index <18.5 kg/m2 (10/18 patients), and pulmonal Tb (16/18 patients). Tb patients with HIV had hepatotoxicity more than without HIV (9/18 vs 19/102 patients). The incidence of hepatotoxicity was 23.3%. Hepatotoxicity anti-tuberculosis drugs in Tb patients with and without HIV infection mostly occured in second week therapy with mild degree. In conclusion, anti-tuberculosis hepatotoxicity is higher in TB patients co-infected with HIV than non-HIV infections. Key words: Anti-tuberculosis hepatotoxicity, HIV, tuberculosis
ANEMIA PADA PENDERITA HIV-AIDS DI POLIKLINIK TERATAI RS HASAN SADIKIN- BANDUNG Sumantri, Rachmat; Wicaksana, Rudi; Ariantan, Agnes R; Supandiman, Iman; Idjradinata, Ponpon; Creven, Reinout van-; der Ven, Andre van
journal of internal medicine Vol. 10, No. 3 September 2009
Publisher : journal of internal medicine

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (71.28 KB)

Abstract

The prevalence of anemia in HIV-infection ranging between 1.3 ? 95% depend on the stadium of infection. Anemiamakes bad impact on morbidity and mortality, and anemia is an independent risk factor for death in HIV-infected patients. Across-sectional study has been done in Teratai Clinic Hasan Sadikin Hospital to evaluate the prevalence and the etiology ofanemia between 1 January to 30 June 2008. Inclusion criteria were all patients who signed the informed consent. There were534 patients, 222 were anemic, prevalence of anemia was 41.6% (95% CI: 37.4 ? 45.8%), men 167 (72.2%). 188 were mildanemia (Hb 10 ?12/14 g/dl), 26 moderate anemia (Hb 8 ? 10 g/dl), and severe anemia in 6 patients (Hb < 8 g/dl). Anemia ofchronic disease or anemia of in! ammation were found in 142 (64.5%) cases, zidovudine related anemia 32 (14.5%) cases, ironde" ciency 14 (6.4%), hemolytic anemia 15 (6.8%) cases, thallassemia 8 (3.6%) cases, and megaloblasic 9 (4.1%) cases. All ofanemic patients showed low (< 2) reticulocyt index, high ferritin, low sTfR, and high hs-CRP.
PERBEDAAN EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR DAN EKSPRESI TISSUE FACTOR BERDASARKAN RESPONS TERAPI KEMORADIASI CISPLATIN PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING STADIUM LANJUT Hendarsih, Een; Oehadian, Amaylia; Sumantri, Rachmat; Supandiman, Iman; Hernowo, Bethy S.
Majalah Kedokteran Bandung Vol 47, No 1 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (619.89 KB)

Abstract

Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan faktor angiogenik yang berperan dalam angiogenesis tumor. Tissue factor (TF) merupakan inisiator utama pembekuan darah dan merangsang protein yang mengatur angiogenesis. Penelitian bertujuan mengetahui perbedaan ekspresi VEGF dengan ekspresi TF pada penderita KNF stadium lanjut berdasarkan respons terapi kemoradiasi. Dilakukan penelitian kohort prospektif pada penderita KNF stadium III, IVa, dan IVb berdasarkan AJCC edisi ke-7 tahun 2010. Ekspresi TF dan VEGF diperiksa dengan imunohistokimia dan respons kemoradioterapi dievaluasi dengan memakai Response Evaluation Criteria in Solid Tumours (RECIST) revisi versi 1.1 tahun 2009. Analisis statistik yang digunakan adalah Uji eksak Fisher. Selama penelitian Oktober 2012?Oktober 2013 didapatkan 35 penderita KNF yang memenuhi kriteria inklusi dan 5 orang dikeluarkan dari penelitian. Pada kelompok respons didapatkan 17 dari 23 penderita ekspresi VEGF ? 25%; 6 dari 23 penderita ekspresi VEGF <25%; 16 dari 23 penderita ekspresi TF ? 33%; 7 dari 23 penderita ekspresi TF <33% (p=1,000) serta pada kelompok tidak respons 5 dari 27 penderita ekspresi VEGF ?25%; 2 dari 7 penderita ekspresi VEGF <25%; 4 dari 7 penderita ekspresi TF ? 33%; 3 dari 7 penderita ekspresi TF <33% (p=0,657). Simpulan, tidak terdapat perbedaan ekspresi VEGF dengan ekspresi TF pada penderita KNF stadium lanjut berdasarkan respons terapi kemoradiasi. [MKB. 2015;47(1):49?54]Kata kunci: Karsinoma nasofaring, respons kemoradiasi, tissue factor, vascular endothelial growth factorDifferences between Vascular Endothelial Growth Factor Expression and Tissue Factor Expression Based on Cisplatin Chemoradiation Therapy Response in Advanced Stage Nasopharyngeal CancerVascular endothelial growth factor (VEGF) is a proangiogenic factor involved in the angiogenesis of NPC. Tissue factor (TF), the main initiator of blood coagulation, also signals protein that regulates angiogenesis. This study  analyzed the differences between VEGF expression and TF expression in tumor tissue based on chemoradiation therapy response. Prospective cohort study was performed in NPC patients stage III, IVa and IVb according to the AJCC VII staging system. TF expression and VEGF expression were measured by immunohistochemistry, and chemoradiotherapy responses was evaluated by RECIST version 1.1 2009. Statistical analysis was performed using Fisher Exact test. From October 2012 to October 2013, 35 NPC patients were eligible for this study and 5 patients were excluded. In response group, there were 73.9% patients with VEGF expression ?25%, 26.1% patients with VEGF expression <25%; 69.6% patients with TF expression ?33%, 30.4% patients with TF expression <33% (p=1,000) and in no response group, there were 71,4% patients with VEGF expression ? 25%; 28.6% patients with VEGF expression <25%, 57.1% patients with TF expression  ?33%, 42.9% patients with TF expression <33% (p=0.657). In conclusion, there are differences between VEGF expression and TF expression based on the chemoradiation therapy response, but they are not significantly different. [MKB. 2015;47(1):49?54]Key words: Nasopharyngeal carcinoma, chemoradiation response, tissue factor, vascular endothelial growth factor DOI: 10.15395/mkb.v47n1.397   
COMPLETE REMISSION OF ACUTE MYELOID LEUKEMIA IN INDUCTION AND CONSOLIDATION CHEMOTHERAPY WITHOUT BONE MARROW TRANSPLANTATION: LESSONS LEARNED FROM GOOD PRESENTATION CASE Sri Hastuti, Tuti; Sumantri, Rachmat; Wijaya, Indra
Majalah Kedokteran Bandung Vol 51, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2625.916 KB) | DOI: 10.15395/mkb.v51n1.1634

Abstract

Acute myeloid leukemia (AML) is a clinically morphologically and genetically heterogeneous disease with variable responses to therapy. The majority of the patients eventually relapse and succumb to the disease. Therapeutic modalities of induction chemotherapy, consolidation, and bone marrow transplantation are intended to achieve complete remission. Induction therapy with cytarabine and anthracycline remains thestandard of care in AML. Consolidation treatment is necessary to prevent recurrence, which may reach 90% without this treatment. Options for consolidation therapy are conventional chemotherapy and bone marrow transplantation. Bone marrow transplantation represents the only realistic chance of long-term remission in patients with a high cytogenetic risk. The risk of recurrence of AML is determined mainly by the patient?s age and genetic factors. In younger patients, complete remission (CR) rates of ?80% may be achieved, with 5-year overall survival (OS) of 40%. InDr. Hasan Sadikin Hospital Bandung during the period of 2013-2018, 12 cases of LMA underwent chemotherapy. This case study discusses a young patient with AML who has successfully reached complete remission using induction and consolidation chemotherapy without bone marrow transplantation.    Key words: Acute myeloid leukemia, chemotherapy, complete remission Remisi Lengkap Pasca Kemoterapi Induksi dan Konsolidasi Tanpa Transplantasi Sumsum Tulang pada Leukemia Mieloblastik AkutLeukemia mieloblastik akut adalah sekelompok penyakit yang memiliki gejala klinis, morfologi sel darah, kelainan genetik, dan respon terhadap terapi yang sangat bervariasi. Sebagian besar pasien leukemia mieloblastik akut (LMA) biasanya akan mengalami kekambuhan dalam perjalanan penyakitnya. Kejadian kekambuhan dalam 5 tahun sebesar 9% untuk kekambuhan di ekstramedulari dan 29% kekambuhan di sumsum tulang. Tujuan terapi pada LMA adalah mencapai remisi lengkap dan mencegah kekambuhan melalui modalitas kemoterapi dan transplantasi sumsum tulang. Transplantasi sumsum tulang diindikasikan pada pasien LMA dengan risiko sitogenetik yang tinggi. Tingkat remisi lengkap ?80% dapat dicapai, terutama pada pasien yang lebih muda dengan kelangsungan hidup keseluruhan 5 tahun 40%. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, selama kurun waktu 2013-2018 didapatkan 12 kasus LMA yang menjalani kemoterapi. Pada artikel ini didiskusikan 1 pasien LMA usia muda yang berhasil mencapai remisi lengkap dengan kemoterapi induksi dan konsolidasi tanpa menjalani transplantasi sumsum tulang dengan terapi pendukung yang optimal selama pemberian kemoterapi.Kata kunci : Leukemia mieloblastik akut, kemoterapi, remisi lengkap
Hypercoagulable State dan Diabetes Melitus Tipe 2: Korelasi antara Fibrinogen dan HbA1c Aprijadi, Hery; Sumantri, Rachmat; Heri, Trinugroho; Irani, Pandji; Oehadian, Amaylia; Arifin, Augusta Y. L.
Majalah Kedokteran Bandung Vol 46, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1257.456 KB)

Abstract

Hiperkoagulabilitas merupakan penyebab kelainan vaskular pada diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2). Fibrinogen merupakan petanda hiperkoagulabilitas akibat inflamasi sistemik. Kadar HbA1c dipakai untuk menilai kadar gula darah jangka panjang dan berhubungan dengan petanda inflamasi. Terdapat perbedaan hasil penelitian terdahulu tentang bagaimana hubungan antara kadar fibrinogen dan HbA1c. Ada yang menyatakan hubungan bermakna dan ada pula yang tidak. Tujuan penelitian ini untuk melihat adakah korelasi antara fibrinogen dan HbA1c. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada penderita rawat jalan DM tipe 2 di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung selama Januari−Juli 2010. Kriteria inklusi penderita DM tipe 2 yang baru didiagnosis, normotensi, kadar hemoglobin normal, serta tes fungsi hati dan ginjal normal. Dilakukan pemeriksaan kadar fibrinogen, trigliserida, dan HbA1c. Kriteria eksklusi yaitu mendapat obat antiagregasi trombosit, obat antidiabetik oral, atau menderita penyakit autoimun. Analisis statistik berupa Spearman dan regresi digunakan pada penelitian ini. Terdapat 63 subjek yang diikutkan dalam penelitian. Semua subjek memiliki kadar HbA1c lebih dari 6,5% (rata-rata 8,21±2,5%). Terdapat 33 penderita (53%) dengan kadar fibrinogen di atas harga normal (rata-rata 416,75±102,7 mg/dL). Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kadar fibrinogen dan HbA1c. Simpulan, tidak terdapat korelasi antara kadar fibrinogen dan HbA1c. Meskipun demikian subjek dengan diabetes melitus cenderung mempunyai kadar fibrinogen yang tinggi. [MKB. 2014;46(1):48–51]Kata kunci: Diabetes melitus tipe 2, fibrinogen, HbA1c, hypercoagulable state Hypercoagulable State and Type 2 Diabetes Mellitus: the Correlation between Fibrinogen and HbA1cHypercoagulability has been suggested as a result of type 2 diabetic mellitus vascular disease. Fibrinogen is a marker of hypercoagulability due to systemic inflammation. HbA1c level is used to measure long-term blood glucose level. There was inconsistent findings about the correlation between fibrinogen level and HbA1c. Previous study found a significant correlation between fibrinogen levels and HbA1c, while other study showed different results for this finding. The aim of this study was to determine the correlation between fibrinogen and HbA1c. A cross-sectional study was performed in outpatients type 2 diabetes mellitus (DM) in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during January−July 2010. Patients with newly diagnosed type 2 DM, normotension, normal hemoglobin level, normal liver function test and normal kidney function test were included in this study. Fibrinogen, trigliseride, and HbA1c levels were examined. The exclusion criteria were patients taking antiplatelet drugs or oral antidiabetic and had autoimmune diseases. Spearman and regression analysis were used in this study. Sixty three subjects were included in this study. All subjects had HbA1c level more than 6.5% (mean 8.21±2.5%). Thirty three patients (53%) had fibrinogen level of more than the normal limit (mean 416.75±102.7 mg/dL). The mean of trigliseride level was 235.32±131.3 mg/dL. No significant correlation between fibrinogen and HbA1c. In conclusion, there is no correlation between the fibrinogen levels and HbA1c. However, subjects with diabetes mellitus tend to have high fibrinogen levels. [MKB. 2014;46(1):48–51]Key words: Fibrinogen, HbA1c, hypercoagulable state, type 2 diabetes mellitus DOI:  10.15395/mkb.v46n1.227
Peluang Kematian Penderita Human Immunodeficiency Virus-Acquired Immune Deficiency Syndrome berdasarkan Gabungan Derajat Anemia, Indeks Massa Tubuh, dan Jumlah Cluster Differentiation 4 Sumantri, Rachmat; Supandiman, Iman; Indjradinata, Ponpon; van der Ven, Andre; van Crevel, Reinout
Majalah Kedokteran Bandung Vol 44, No 1 (2012)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (374.298 KB)

Abstract

Prevalensi anemia pada infeksi human immunodeficiency virus (HIV) cukup tinggi, berkisar antara 1,3% sampai 95% bergantung pada stadium penyakitnya. Anemia, cluster differentiation 4 (CD4), dan viral load (VL) merupakan faktor risiko independen untuk kematian. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan faktor risiko yang penting untuk anemia dan progresivitas penyakit. Dilakukan penelitian kohor untuk mengevaluasi respons pengobatan selama follow-up 6 bulan dengan endpoint kematian, serta menghitung peluang kematian penderita acquired immunodeficiency syndrome (HIV-AIDS) berdasarkan gabungan derajat anemia, IMT, dan jumlah CD4. Subjek penelitian adalah penderita HIV-AIDS di klinik Teratai Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, periode Januari−Juni 2008, studi kohor dilakukan pada periode Juli−Desember 2008. Tercatat 534 penderita HIVAIDS yang masuk dalam data di klinik Teratai RSHS, sampai akhir penelitian terdapat 458 penderita yang masih aktif berobat, 38 penderita drop-out, 8 penderita pindah ke tempat lain, dan 28 penderita meninggal. Prevalensi anemia kelompok yang sama pada penelitian sebelumnya yaitu 41,6%. Dalam follow-up selama 6 bulan terdapat 26 kematian pada kelompok anemia dan hanya 2 kematian pada kelompok nonanemia. Gabungan antara derajat anemia sedang-berat, dengan CD4 ≤50/mm3, dan IMT <18,5 menunjukkan peluang kematian terbesar, dalam penelitian ini sebesar 80%. Simpulan, faktor risiko yang penting untuk kematian pada penderita HIV-AIDS yaitu jumlah CD4, derajat anemia, dan IMT. [MKB. 2012;44(1):50–6].Kata kunci: Anemia, CD4, indeks massa tubuhOpportunity of Death in Human Immunodeficiency Virus-Acquired Immunodeficiency Syndrome Patients by Combining Degree of Anemia, Body Mass Index, and Cluster Differentiation 4 CountThe prevalence of anemia in human immunodeficiency syndrome (HIV) infection was quite high, ranging from 1.3 to 95% depending on the stadium of HIV infection. Anemia, cluster differentiation 4 (CD4), and viral load were known as the independent risk factors for death. Body mass index (BMI) is an important risk factor for anemia and progression of the HIV infection. A cohort study had been conducted to evaluate the response of therapy, and deaths as the end point, and to calculate the opportunity of death  by combining the degree of anemia, BMI, and CD4 in HIV-AIDS patients. The subjects were patients in Teratai Clinic Dr. Hasan Sadikin General Hospital-Bandung from  January to June 2008. During 6 months of follow-up from  July−December 2008, there were 534 patients in the database of Teratai Clinic, with only 458 continuing the therapy, thirty eight  patients were dropped-out, eight patients moved to other hospital and 28 patients died. The prevalence of anemia from previous study of those 534 patients was 41.6%. After 6 months of follow-up, there were 26 deaths among anemic patients and 2 deaths in non-anemic patients. The combination of moderate-severe anemia, CD4 ≤50/mm3 and BMI <18.5 showing the highest opportunity of death in this study was 80%. In conclusion, the important risk factors of deaths in HIV-AIDS patients were CD4, grade of anemia, and BMI. [MKB. 2012;44(1):50–6].Key words: Anemia, body mass index, CD4DOI: http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v44n1.212
Prevalensi dan Faktor Risiko Anemia pada HIV-AIDS Sumantri, Rachmat; Wicaksana, Rudi; R. Ariantana, Agnes
Majalah Kedokteran Bandung Vol 41, No 4
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Anemia berperan dalam morbiditas dan mortalitas penderita HIV-AIDS. Penelitian mengenai anemia pada infeksiHIV di Indonesia belum banyak. Studi potong lintang dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan faktor risikoanemia pada penderita HIV-AIDS di Poliklinik Teratai RS. Hasan Sadikin dari 1 Januari-30 Juni 2008. Hasilpenelitian: terdapat 534 penderita HIV-AIDS, anemia 222 penderita, prevalensinya 41,6%. Anemia ringan (Hb 10-14 g/dL laki-laki, 10-12 g/dL wanita) didapatkan pada 188 penderita (35%); anemia sedang (Hb 8-10 g/dL) pada 28penderita (5,2%), dan anemia berat (Hb &lt; 8 g/dL) terdapat pada 6 penderita (1,1%). Faktor risiko yaitu jenis kelamin,umur, indeks massa tubuh (BMI), intravenous drug user (IDU), stadium klinis WHO, kandidiasis oral, peradangankronik, pemberian kotrimoksazol, pemberian ARV, tuberkulosis, CD4, dan viral load. Uji statistik menunjukkanbahwa faktor risiko anemia yang penting adalah BMI antara 18,5-22,9 dengan OR 0,368 (95% CI 0,216-0,627).Kandidiasis oral dengan OR 1,793 (95% CI 0.99-3,248), pemberian ARV dengan OR 0,905 (95% CI 0,555-1,474),dan CD4 antara 1-50 dengan OR 8,66 (95% CI 4,407-13,522). Peluang kejadian terbesar untuk kejadian anemiaadalah kombinasi BMI yang rendah (&lt; 18,5) baik mendapat ARV ataupun tidak mendapat ARV dengan kandidiasisoral dan CD4 antara 1-50/mm3. Penelitian ini menunjukkan prevalensi anemia yang cukup tinggi (41,6%) dan faktorrisiko yang penting untuk kejadian anemia adalah BMI yang rendah, kandidiasis oral, ARV dan CD4 yang rendah. [MKB 2009;41(4):187-93].Kata kunci: HIV-AIDS, anemia, faktor risikoPrevalence and Risk Factors of Anemia in HIV-AIDSAnemia has an important role in morbidity and mortality among HIV-AIDS patients. The study of anemia amongHIV-AIDS patients in Indonesia was not much done. A cross-sectional study has been done in Teratai Clinic HasanSadikin Hospital Bandung to evaluate the prevalence and risk factors of anemia in HIV-AIDS patients between 1January to 30 June 2008. There were 534 HIV-AIDS patients, anemia occured in 222 patients, the prevalence was41.6%. Mild anemia or Hb level 10-14 g/dL in man or 10-12 g/dL in woman was found in 188 (35%), moderateanemia or Hb 8-10 g/dL in 28 (5,2%) and severe anemia or Hb less than 8 g/dL in 6 (1,1%) patients. Risk factors weregender, age, BMI, IDU, WHO staging, oral candidiasis, chronic inflammation, ARV, tuberculosis, CD4, and viralload. Statistical analysis showed that the important risk factors were BMI between 18.5-22.9 OR 0.368 (95% CI0.216-0.627), oral candidiasis OR 1.793 (95% CI 0.99-3.248), use of ARV OR 0.905 (95% CI 0.555-1.474), andCD4 1-50 OR 8.66 (95% CI 4.407-13.522). The chance of anemia was great in combination of BMI ≤ 18.5 with CD4≤ 50 , oral candidiasis with or without ARV. This study showed that the prevalence of anemia in HIV-AIDS patients isprominent and the important risk factors for anemia are BMI, oral candidiasis, ARV and CD4.[MKB. 2009;41(4):187-93]Key words: HIV-AIDS, anemia, risk factorsDOI: http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v41n4.252
Hypercalcemia of Malignancy: Clinical Characteristics and Treatment Outcome Wijaya, Indra; Oehadian, Amaylia; Sumantri, Rachmat
Majalah Kedokteran Bandung Vol 46, No 2 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hypercalcemia is one of the most common paraneoplastic syndromes in hospitalized malignancy patients. The aim of this study was to determine the clinical characteristics and treatment outcome in hypercalcemia of malignancy. This was a study using medical records of patients with malignancy hospitalized in the Departement of Internal Medicine, Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung between December 2008 and March 2011. Statistical analysis was performed by Wilcoxon and Mann-Whitney tests. There were 40 patients with hypercalcemia of malignancy, consisted of 22 hematologic malignancies and 18 solid tumors. Disturbance of consiousness were found in 4, dehydration in 18, constipation in 6, and nausea and vomiting in 6 subjects. In 16 subjects, no symptoms were found. All subjects received rehydration with normal saline. Bisphosphonate was given in 26 subjects. The difference of decreasing ion calcium level, between the groups who were treated with or without bisphosphonate was 0.59 (0.01–1.17) mg/dL, p=0.0001. In conclusion, hematologic and solid tumors are found in about the same proportion in hypercalcemia associated malignancy. Treatment either with or without bisphosphonate shows good results. [MKB. 2014;46(2):111–17]Key words: Bisphosphonate, hypercalcemia of malignancy, rehydrationHiperkalsemia pada Keganasan: Karakteristik Klinik dan Luaran TerapiHiperkalsemia merupakan salah satu sindrom paraneoplasma yang sering ditemukan pada pasien keganasan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik klinis dan respons terapi penderita dengan hiperkalsemia pada keganasan. Penelitian ini menggunakan data rekam medis pasien yang dirawat di Departemen Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Desember 2008–Maret 2011. Analisis statistik menggunakan Uji Wilcoxon. Dari 40 penderita dengan hiperkalsemia pada keganasan, didapatkan 22 keganasan hematologi dan 18 tumor padat. Gejala klinis yang ditemukan adalah gangguan kesadaran pada 4 subjek, dehidrasi pada 18 subjek, konstipasi pada 6 subjek, mual dan muntah pada 6 subjek. Pada 16 subjek tidak ditemukan gejala. Semua subjek mendapatkan rehidrasi dengan NaCl 0,9%. Dua puluh enam subjek mendapat terapi bisfosfonat. Perbedaan penurunan kadar kalsium ion antara kelompok yang mendapatkan bisfosfonat dan tidak adalah 0,59 (0,01–1,17) mg/dL, p=0,0001. Simpulan, proporsi keganasan penyebab hiperkalsemia hampir sama antara keganasan hematologi dan tumor padat. Terapi rehidrasi dengan NaCl 0,9% tanpa atau disertai bisfosfonat memberikan hasil yang baik. [MKB. 2014;46(2):111–17]Kata kunci: Bisfosfonat, hiperkalsemia pada keganasan, rehidrasi DOI: 10.15395/mkb.v46n2.283