Lina Herlinawati
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

FUNGSI KARINDING BAGI MASYARAKAT CIKALONGKULON KABUPATEN CIANJUR Lina Herlinawati
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 1, No 1 (2009): PATANJALA VOL. 1 NO. 1 MARCH 2009
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (489.611 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v1i1.237

Abstract

AbstrakKarinding adalah satu jenis alat musik tradisional, dibuat dari bambu atau pelepah enau. Alat musik itu dimainkan oleh mulut disertai pukulan jari tangan, sehingga menghasilkan bunyi yang yang unik dan low decible. Alat musik tersebut diciptakan oleh leluhur petani Sunda. Selain untuk bermain musik, bunyi alat itu dipercaya dapat mengusir hama dan binatang perusak tanaman. Fungsi karinding demikian itu masih berlangsung pada masyarakat Cikalongkulon Kabupaten Cianjur.Seiring dengan perkembangan zaman, kemudian karinding menjadi alat hiburan, bahkan kini menjadi bentuk kesenian yang menarik, karena dapat dikola-borasikan dengan alat-alat musik lain. AbstractKarinding is a traditional music instrument, which is made from bamboo or palm leaf. This music instrument is played by mouth, alongside with tap from finger, creating an unique, low decible sound.This music instrument is created by the Sundanese farmer ancestor. In addition to its function as a music instrument, the sound of this instrument is believed as a pest repellant. This specific function is still believed by the people of Cikalong Kulon in Bandung Residence.Along with time, karinding developed into an entertainment tool, even as an attractive form of art because its combinable with other music instrument.
KAJIAN NILAI BUDAYA PADA ARSITEKTUR TRADISIONAL DI GIRI JAYA PADEPOKAN KABUPATEN SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT Lina Herlinawati
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 2, No 3 (2010): PATANJALA VOL. 2 NO. 3 SEPTEMBER 2010
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (427.966 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v2i3.238

Abstract

AbstrakGiri Jaya Padepokan yang terletak di kaki Gunung Salak, tepatnya di Desa Giri Jaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, memiliki bangunan-bangunan lama yang berarsitektur tradisional. Bangunan-bangunan tersebut perlu diperhatikan, dipelihara, dan dilestarikan keberadaannya. Pelestarian bangunan tersebut juga sekaligus melestarikan keterkaitan antara bangunan dan kehidupan komunitas manusianya, baik sehari-hari maupun ritual. Bagaimana konsep bangunan dalam struktur, fungsi, serta bentuk bangunan tidak banyak orang mengenalnya. Untuk itu, melalui penelitian yang bersifat deskripsi dengan pendekatan kualitatif dapatlah dipahami konsep-konsep tersebut. Dari hasil kajian tersebut, dapat dinyatakan bahwa bentuk-bentuk bangunan peninggalan leluhur Giri Jaya Padepokan itu selain memiliki bentuk bangunan berarsitektur tradisional Sunda, juga pada beberapa bagian bangunan ada pengaruh arsitektur Jawa dan Kolonial Belanda. Hal itu bisa terjadi karena leluhur Giri Jaya Padepokan sebagai pendiri bangunan tersebut memiliki pengalaman yang berkaitan dengan keberadaan Kolonial Belanda di Tatar Sunda serta pertemanannya dengan seseorang yang berasal dari “Mangku Negara” Surakarta. AbstractThe village of Giri Jaya Padepokan that lies on the foothill of Mount Salak has many buildings of traditional architecture. These buildings have to be preserved. To preserve those buildings means to preserve the relationship between the buildings themselves and the life of the community. There are very few people who have knowledge about the those traditiional buildings in term of structure and functions, as well as the shape. In understanding these concepts the author conducted a descriptive research method with qualitative approach. The author came into conclusion that despite of traditional Sundanese architecture, some of the buildings were influenced by both Javanese and Dutch colonial styles. The styles were adopted during their period of ruling Sundaland over centuries.
NGARUWAT SOLOKAN DI DESA CIHIDEUNG KECAMATAN PARONGPONG KABUPATEN BANDUNG BARAT Lina Herlinawati
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 3, No 2 (2011): PATANJALA VOL. 3 NO. 2 JUNE 2011
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (995.157 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v3i2.280

Abstract

AbstrakPelaksanaan upacara tradisional suatu masyarakat pada umumnya sangat menarik untuk diteliti, karena memiliki keunikan, kesakralan, dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Hal itulah yang mendorong penulis untuk mengunjungi masyarakat Cihideung di Kabupaten Bandung Barat, yang hingga kini setiap tahun masih melaksanakan upacara tradisional yang berkaitan dengan pertanian, yaitu Ngaruat Solokan atau Hajat Cai. Upacara yang merupakan sisa kepercayaan leluhur dan masih diyakini mereka adalah tradisi ritual untuk memelihara mata air dan selokan. Mereka memohon kepada Allah, karuhun, dan penunggu mata air, agar air selalu dalam keadaan lancar. Mereka pun sangat bersyukur dengan limpahan air, yang membuat mereka bisa bercocok tanam serta memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga kini. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan metode kualitatif. Dari pelaksanaan upacara tersebut terkandung berbagai macam norma serta nilai budaya yang berguna untuk mengukuhkan rasa solidaritas atau kebersamaan antarsesama warga masyarakat, yaitu nilai-nilai religius, sosial, ekonomi, pendidikan, dan rekreatif. AbstractTraditional ceremonies are interesting things to study because they are unique,sacred, and have moral values. Ngaruat solokan or hajat cai is a kind of ceremony that is conducted every year by Cihideung people in Kabupaten Bandung Barat. The ceremony is a remnant of ancestral beliefs and perceived as ritual tradition to preserve springs and streams. The people request for the mercy of God, ancestors and the spirit of the spring asking the water to be in abundance. They would be grateful for the abundance of the water that makes them cultivate and fulfill their daily needs up  to this day. Solidarity can be built through this kind of ceremony, e.g. religious, social, economical, educational and recreational values. This is a descriptive research with qualitative method.