Emiliana Tjitra
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Litbangkes, Kemenkes RI

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

DETEKSI P.VIVAX SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM (SNP) Y976F DARI SAMPEL MONITORING PENGOBATAN DIHIDROARTEMISININ-PIPERAKUIN DI KALIMANTAN DAN SULAWESI Salwati, Ervi; Herman, Reni; Handayani, Sarwo; Tjitra, Emiliana
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 22, No 3 Sep (2012)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/2905

Abstract

Abstract This study was a part of the activity of monitoring Dihydroartemisinin-Piperaquine (DHP) treatment in subjects infected with P.falciparum and P.vivax in Kalimantan and Sulawesi. SNP Y976F had been proved as the mutation in pvmdr1 gene which was related to P. vivax resistance chloroquine in Papua. Data of spreading pvmdr1 SNP Y976F outside Papua is needed for using Dihidroartemisinin-Piperakuin policy in the treatment of vivax malaria in Indonesia. Detection of SNP Y976F was done against 95 day0-samples of subjects confirmed infected with P.vivax or mixed infection of P.vivax and P.falciparum by PCR. The results showed that 88 (93%) of a total 95 samples were positive detected 976F mutant which were distributed in all sentinel sites of West Kalimantan (2of 3), Central Kalimantan (6 of 8), North Sulawesi (63 of 65), and Central Sulawesi (17 of 19).  In conclusion,  pvmdr1 SNP Y976F has been spreaded in all sentinel sites. Key words: P.vivax, pvmdr1, Single Nucleotide Polymorphism Abstrak Penelitian ini merupakan bagian kegiatan dari monitoring pengobatan Dihidroartemisinin-Piperakuin (DHP) pada subyek yang terinfeksi dengan P.vivax atau infeksi campuran P.falciparum dan P. vivax di Kalimantan dan Sulawesi. SNP Y976F merupakan mutasi pada gen pvmdr1 yang terbukti berhubungan dengan P. vivax resisten klorokuin di Papua. Dalam rangka kebijakan penggunaan Dihidroartemisinin-Piperakuin untuk pengobatan malaria vivaks di seluruh Indonesia, perlu data penyebaran parasit SNP Y976F pada gen pvmdr1 di luar Papua. Deteksi SNP Y976F dilakukan terhadap 95 sampel H0 subyek terinfeksi P. vivax atau infeksi campuran P.vivax dan P.falciparum yang telah dikonfirmasi dengan PCR. Hasil menunjukkan bahwa 88 dari 95 sampel (93%)  terdeteksi positif galur mutan 976F yang tersebar di  Kalimantan Barat (2 dari 3), Kalimantan Tengah (6 dari 8), Sulawesi Utara (63 dari 65) dan Sulawesi Tengah (17 dari 19). Kesimpulannya bahwa P.vivax galur Y976F sudah tersebar di setiap sentinel penelitian.   Kata kunci: P.vivax, pvmdr1, Single Nucleotide Polymorphism
KERAGAMAN GENETIK PETANDA P. falciparum DARI SPECIMEN SUBYEK PENELITIAN MONITORING DIHIDROARTEMISININ-PIPERAKUIN DI KALIMANTAN DAN SULAWESI Handayani, Sarwo; Salwati, Ervi; Tjitra, Emiliana
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 22, No 3 Sep (2012)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/2906

Abstract

Abstract Treatment failure in falciparum malaria may be caused by parasite resistant to antimalarial drug or new infection. Polymorphism genetic marker of P. falciparum namely MSP1, MSP2 and GLURP locus genes in the population should be identified as a baseline to distinguish the cause of treatment failure. A nested Polymerase Chain Reaction (PCR) method was applied to each locus gene separately. A total 121 dried blood spot specimens from subjects infected with P. falciparum in monitoring Dihydroartemisinin-Piperaquine treatment in Kalimantan and Sulawesi Islands were analyzed. Locus genes of MSP1, MSP2 and GLURP were successful identified 82.6%, 96.7% and 81.0% respectively. However, the three (MSP1, MSP2 and GLURP) locus genes were only found in 71.9% (87 of 121) samples. All of MSP1 locus gene had just one allele, two alleles on most of MSP2 (67.5%) and few of GLURP (14.3%). Multi genotype infection was likely dominant than a single genotype infection (65.5% vs. 34.5%). Based on allele length classification, MSP2 locus gene shows more variety of allele class (12 alleles) than GLURP (9 alleles) and MSP1 (7 alleles), with an allele length mostly for MSP1: 440 - 479 bp, MSP2: 480–519 bp and GLURP: 580–639 bp. In this study, falciparum malaria cases were commonly as multi-genotype infection, and MSP2 was a dominant and polymorphic genetic marker of P.falciparum. Keywords: P. falciparum, PCR, MSP1, MSP2, GLURP, allele     Abstrak Gagal pengobatan pada malaria falsiparum dapat disebabkan oleh parasit yang resisten terhadap obat antimalaria atau oleh infeksi baru. Keragaman genetik petanda Plasmodium falciparum yaitu lokus gen MSP1, MSP2 dan GLURP dalam suatu populasi perlu diidentifikasi sebagai dasar untuk membedakan penyebab gagal pengobatan. Metode pemeriksaan yang digunakan adalah nested Polymerase Chain Reaction (PCR) terhadap masing-masing lokus gen secara terpisah. Telah dianalisis 121 spesimen resapan darah kering pada kertas filter dari subyek terinfeksi P.falciparum pada studi monitoring pengobatan dengan Dihidroartemisinin-Piperakuin di Kalimantan dan Sulawesi. Masing-masing lokus gen MSP1, MSP2 dan GLURP yang dapat diidentifikasi sebanyak 82,6%, 96,7% and 81,0%. Sedangkan ketiga lokus gen tersebut ditemukan hanya pada 71,9% (87/121) sampel. Lokus gen MSP1 semuanya mempunyai 1 alel, sedangkan dua alel ditemukan pada sebagian besar MSP2 (67,5%) dan sebagian kecil GLURP (14,3%). Infeksi multi-genotip oleh dua atau lebih genotip P.falciparum ditemukan pada 65,5% sampel dan infeksi tunggal hanya 34,5% sampel. Keragaman klas alel paling banyak ditemukan pada lokus gen MSP2 sebanyak 12 klas alel, GLURP sebanyak 9 klas alel, dan MSP1 sebanyak 7 klas alel. Alel pada lokus gen MSP1 sebagian besar pada kisaran 440 - 479 bp, MSP2: 480 – 519 bp, dan GLURP: 580–639 bp. Pada penelitian ini kasus malaria falsiparum umumnya merupakan infeksi multi-geotip, dan MSP2 merupakan petanda gen P.falciparum yang dominan dan beragam.   Kata kunci : P. falciparum, PCR, MSP1, MSP2, GLURP, alel
CEK SILANG MIKROSKOPIS SEDIAAN DARAH MALARIA PADA MONITORING PENGOBATAN DIHIDROARTEMISININ-PIPERAKUIN DI KALIMANTAN DAN SULAWESI Ariyanti, Endah; E, Riyanti; Prasetyorini, Budi; Aisyah, Aisyah; Khairiri, Khairiri; Harun, Syahrial; Handayani, Sarwo; Tjitra, Emiliana
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 22, No 4 Des (2012)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/2912

Abstract

Abstract Quality assurance of malaria microscopy is an important issue in health service and health research for a better case management. In monitoring Dyhydroartemisinin-Piperaquine, quality assurance was a part of this research activities at sentinel sites in Kalimantan and Sulawesi. This activity was carried out to confirmed diagnosis of malaria cases that could be analysed, and to evaluate the skill of microscopists to be improved in the future. Quality assurance was assessed based on the results of cross-checking malaria smears which done blindly by certified microscopist from Laboratory of  Parasitology ,National Institute of Health Research and Development, The quality of smears were mostly good, however the error rate was still high (10.9%). Therefore, a better and continuing planning and strategiy is needed to improve and mantain the quality  of  skill microscopists. Keywords: malaria; microscopic, Dyhydroartemisinin-Piperaquine   Abstrak Pemantapan kualitas mikroskopis malaria merupakan isue penting dalam pelayanan dan penelitian kesehatan untuk penanganan kasus yang lebih baik. Pada monitoring pengobatan Dihidroartemisinin-Piperakuin, pemantapan kualitas merupakan bagian dari kegiatan penelitian tersebut di lokasi sentinel (Kalimantan dan Sulawesi). Pemantapan dilakukan untuk mendapatkan kepastian diagnosis kasus malaria yang dapat dianalisis, dan sebagai evaluasi ketrampilan mikroskopis untuk perbaikan dan peningkatan di masa datang. Pemantapan kualitas dinilai berdasarkan hasil cek silang sediaan darah malaria secara blinded yang dilakukan oleh mikroskopis tersertifikasi dari Laboratorium Parasitologi Badan Litbang Kesehatan. Hasil cek silang menunjukkan kualitas  sediaan darah sebagian besar sudah baik meskipun untuk error rate masih tinggi mencapai 10,9%. Oleh sebab itu dibutuhkan rencana dan strategi yang baik dan berkelanjutan untuk memperbaiki dan mempertahankan kualitas tenaga mikroskopis malaria yang handal.   Keywords: malaria; mikroskopis; Dihidroartemisinin-Piperakuin
Randomized comparative study of chloroquine and halofantrine in vivax malaria patients Tjitra, Emiliana; Oemijati, Sri; Pribadi, Wita; Arbani, P. R.; Harianto, P. N.; Kawulur, Popy; Renny, Marvel
Medical Journal of Indonesia Vol 4, No 1 (1995): January-March
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (798.787 KB) | DOI: 10.13181/mji.v4i1.887

Abstract

[no abstract available]
PERBANDINGAN EFEKTIFITAS DOSIS SEKALI MINUM ARTEMISININ-NAFTOKUIN DENGAN DIHIDROARTEMISININ-PIPERAKUIN PADA PENGOBATAN PASIEN DEWASA MALARIA FALSIPARUM TANPA KOMPLIKASI Siswantoro, Hadjar; Hasugian, Armedy Ronny; Purnamasari, Telly; Laning, Sri; Yanuar, Lidwina; Dedang, Tersila; Tjitra, Emiliana
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 24, No 3 Sep (2014)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (564.468 KB)

Abstract

AbstrakKombinasi pengobatan berbasis artemisinin yang praktis dan sederhana dengan kepatuhan minum obat yang baik telah ditunjukkan dalam artikel utama: “Efficacy and Safety of Artemisinin-naphthoquine versus  dihydroartemisinin-piperaquine  in  adult  patients  with  uncomplicated  malaria:  a  multi-centre study in Indonesia” pada pasien dewasa dengan malaria apapun. Untuk melengkapi data terdahulu, disajikan  data  keamanan  dan  efikasi  obat  sekali  minum  artemisinin-naftokuin  (ANT)  dibandingkan dihidroartemisinin-piperakuin  (DHP)  pada  pengobatan  pasien  dewasa  dengan  malaria  falsiparum. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efikasi dan keamanan antara ANT dengan DHP pada pasien dewasa dengan malaria falsiparum. Studi dilakukan dengan uji klinik fase III, acak, terbuka menggunakan amplop terbuka, menggunakan protokol who untuk menilai efikasi obat antimalaria yang dipantau selama 42 hari. Hasil penelitian menunjukkan efikasi ANT dan DHP pada hari ke-42 berturutturut adalah 100% (74/74) dan 97,1% (66/68) dengan 2,9% (2/68) mengalami kegagalan pengobatan kasep.  Kejadian  sampingan  adalah  2,5%  batuk  setelah  pengobatan  ANT,  dan  1,4%  batuk  setelah pengobatan  DHP.  Kesimpulan  yang  diambil ANT  dosis  tunggal  aman  dan  efektif  seperti  DHP  dosis tunggal harian selama 3 hari untuk pengobatan malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi.Kata  kunci:  malaria,  dihidroartemisinin-piperakuin,  artemisinin-naftokuin,  Plasmodium  falciparum, Indonesia.AbstractA practical and simple Artemisinin based combination  therapy (ACT) with good compliance  in adult patients for all malaria species has been shown in the first article: “Efficacy and Safety of Artemisininnaphthoquine  versus  dihydroartemisinin-piperaquine  in  adult  patients  with  uncomplicated  malaria:  a multi-centre study in Indonesia”. It is worth to add data safety and efficacy of single dose artemisininnaphthoquine  (ANT)  compared  with  dihydroartemisinin-piperaquine  (DHP)  in  adult  patients  with P.falciparum malaria. The aims of this study is to compare safety and efficacy of ANT with DHP in adult patients  with  uncomplicated  P.falciparum  malaria. this  study  is  a  clinical  trial  phase  III,  randomized, open-label using unsealed envelopes, using WHO protocol to measure efficacy of antimalaria drug with 42 days of follow-up. The results show the efficacy of ANT and DHP at day 42 was 100% (74/74) and 97.1% (66/68), respectively with 2.9% (2/68) late treatment of failure for DHP. Adverse event was 2.5% cough after ANT treatment, and 1.4% cough after DHP treatment. The conclusion is that single dose of ANT is safe and very effective similar with DHP single daily dose for three days for treatment adult patients with uncomplicated P.falciparum malaria.Keywords : malaria, dihydroartemisinin-piperaquine, artemisinin-naphthoquine, Plasmodium falciparum, Indonesia.
ARTESUNAT-AMODIAKUIN DAN KLOROKUIN UNTUK PENGOBATAN MALARIA VIVAKS DI PUSKESMAS KOPETA, MAUMERE, NUSA TENGGARA TIMUR, 2007 Hasugian, Armedy Ronny; Tjitra, Emiliana
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 24, No 4 Des (2014)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (353.408 KB)

Abstract

AbstrakIndonesia merupakan negara endemis malaria yang merekomendasi Artemisinin-based Combination Therapy (ACT) untuk malaria Plasmodium vivax. Konfirmasi resistensi P.vivax terhadap kloroquin dan efikasi ACT  perlu  diteliti  untuk  mendukung  kebijakan  pengobatan  malaria.  Provinsi  Papua  bersama Nusa Tenggara Timur (NTT) penyumbang utama kasus malaria di Indonesia. Tujuan penelitian untuk mengevaluasi  efikasi  dan  keamanan ACT  program  artesunat-amodiakuin  (AsAq)  dibandingkan  obat konvensional klorokuin (Cq) pada malaria vivaks di Puskesmas, Provinsi NTT. Penelitian ini merupakan penelitian klinis, prospektif, evaluasi efikasi dan keamanan AsAq dibandingkan Cq pada subyek P.vivax malaria dan diamati selama 28 hari, sesuai protokol WHO tahun 2003. Efikasi AsAq dan Cq dianalisis dan dibandingkan secara intention to treat (ITT) dan per protocol (PP). Keamanan obat dievaluasi berdasarkan timbulnya atau memberatnya gejala klinis dalam kurun waktu 28 hari. Total 100 subjek monoinfeksi P. Vivax yang memenuhi criteria diobati secara acak dengan AsAq atau Cq. Efikasi hari-28 AsAq dibandingkan Cq secara Intention to Treat (ITT) adalah 93,7% (95%CI: 83,8 – 97,9) versus 56,4% (95%CI: 50,1 – 75,9) dengan Log Rank (Mantel Cox)<0.001 dan Hazard Ratio 8,3 (95%CI: 2,4 – 28,2). Efikasi hari-28 AsAq per protocol (PP) adalah 93,6% (95%CI: 82,8 – 97,8) dibandingkan Cq51,4% (95%CI: 35,9– 66,6) dengan Log Rank (Mantel Cox)<0,001 dan HR 9,3 (95%CI: 2,7 – 31,7). Dua (4%) kasus dengan Cq mengalami kegagalan pengobatan dini (Early Treatment Failure) di hari-3. Kejadian sampingan  terbanyak AsAq  dan  Cq  adalah  muntah  (26%  vs 20,4%)dan  dua  kasus  pengobatan  Cq merupakan kasus kejadian sampingan serius karena muntah berulang yang memerlukan rawat inap. Efikasi AsAq  lebih  baik  secara  signifikan  dibandingkan  Cq  untuk  pengobatan  P.  Vivax  di  Maumere. Muntah  merupakan  kejadian  sampingan  AsAq  dan  Cq  yang  paling  sering  terjadi  dan  memerlukan pengobatan. ACT alternatif yang efektif dan aman dibutuhkan untuk pengobatan infeksi P. vivax.Kata kunci : artesunat, amodiakuin, klorokuin, P. vivax.AbstractIndonesia as a malaria endemic country is recommended to use Artemisinin-based Combination Therapy  (ACT)  for  P.  vivax  malaria.   Confirmation  of  Chloroquine  resistant  and ACT  efficacy  for  P. vivax need to be investigated for supporting malaria treatment policy. Papua and East Nusa Tenggara (NTT) contribute the main malaria cases in Indonesia. To evaluate efficacy and safety of ArtesunateAmodiaquine (AsAq) as an ACT programme compared to drug Klorokuin (Cq) as a conventional for vivax malaria at Public Health Care in NTT. This was a clinical study, prospective, efficacy and safety evaluation of AsAq compared to Cq for malaria P.vivax subject and followed by 28 days, based on WHO protocol 2003. Intention to treat (ITT) and per protocol (PP) was performed to compare AsAq and Cq efficacy. Safety was evaluated based on the incidance or severity of clinical symptoms by 28 days of follow up. Total of 100 P. vivax monoinfection suitable with the inclusion/exclusion criteria was randomized treated with AsAq or Cq. The 28 days efficacy of AsAq and Cq was 93.7% (95%CI: 83.8 – 97.9) versus 56.4% (95%CI: 50.1 – 75.9) with Log Rank (Mantel Cox)<0.001 and Hazard Ratio (HR) 8,3 (95%CI: 2,4 – 28,2) by intention to treat (ITT). Per protocol (PP) efficacy was 93.6% (95%CI: 82.8 – 97.8) compared toCq51.4% (95%CI: 35.9– 66.6), Log Rank (Mantel Cox) <0,001 and HR 9,3 (95%CI: 2,7 – 31,7). Two (4%) cases with Cq had early treatment failure (ETF) at day 3. The major adverse event was vomiting for both AsAq and Cq (26% vs 20,4%) and two cases with severe vomiting were hospitalized. The efficacy of AsAq was better significantly than Cq for P. vivax treatment in Maumere. Vomiting was the major adverse event for both drugs and needed a treatment. The alternative of effective and safety ACT is needed for P. vivax infection.Key word : artesunate, amodiaquine, choloquine, P. vivax.
Efficacy of chloroquine, chloroquine plus sulphadoxine-pyrimethamine, and amodiaquine for treatment of vivax malaria in Bangka island, Indonesia: a randomized trial Tjitra, Emiliana; Maladi, Maladi; Prasetyorini, Budi; Suprianto, Sri; Harun, Syahrial; Nurhayati, Nurhayati; Yuwarni, Eni; Yandri, Boy; Laihad, Ferdinand; Ringwald, Pascal
Medical Journal of Indonesia Vol 17, No 2 (2008): April-June
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (571.518 KB) | DOI: 10.13181/mji.v17i2.307

Abstract

Plasmodium vivax malaria resistant to chloroquine is alarming in Indonesia and has been also reported in other countries. An alternative drug is needed. The study was a prospective evaluation and a comparative study of the therapeutic efficacy of chloroquine 25 mg base/kg bw for 3 days (CQ3, n=75), CQ3 plus sulfadoxine-pyrimethamine based on pyrimethamine dosage of 1.25 mg/kg bw single dose (SP1) [CQ3+SP1, n=84] and amodiaquine 25 mg base/kg bw for 3 days (AQ3, n=83) in symptomatic vivax malaria patients in children and adults. The new version of 2001 WHO test system was used in this study. PCR for genotyping was also done to validate and confirm the treatment outcomes. The therapeutic efficacy of CQ3, CQ3+SP1 and AQ3 on day 14 were very high (94.4%, 97.4% and 98.8%), and dropped on day 28 (81.7%, 87.2% and 96.2% by evaluable analysis; 78.9%. 82.0% and 92.5% after confirmation with PCR; and 74.7%, 78.0% and 90.2% by intention to treat analysis). Most of the ACPR cases (>96%) showed hematological recovery. Gametocyte carriages were documented on day 7 (2.9%, 1.3% and 1.2%), day 14 (4.3%, 1.3% and 1.2%) and day 28 (6.6%, 4.2% and none) in CQ3, CQ3+SP1 and AQ3 groups. Of these 3 regimens, AQ3 showed a better therapeutic efficacy than CQ3 and combined CQ3+SP1 by day 28. Introducing primaquine at the beginning of treatment day or giving a radical treatment in vivax malaria may improve the cure rate. (Med J Indones 2008; 17: 96-106)Keywords: P.vivax, chloroquine, sulfadoxine-pyrimethamine,amodiaquine, artesunate
Respon Klinis dan Parasitologis Dihidroartemisinin - Piperakuin pada Subyek Malaria Falsiparum dan Malaria Vivaks pada Hari Ke-3 Kunjungan Ulang Risniati, Yenni; Hasugian, Armedy Ronny; Siswantoro, Hadjar; Avrina, Rossa; Tjitra, Emiliana; -, Delima
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 4 Des (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i4 Des.79.

Abstract

Background: Clinical and parasitological response of malaria treatment on day 3 follow-up (D3) is a crucial condition to predict the successful of treatment. D3 is a period time that Early Treatment Failure may happen which may cause severe or complicated malaria. Moreover, if the asexual parasitemia is still detected more than 10% study subjects, it is assumed parasites resistance against artemisinin. Methods: Analysis used data from Monitoring Drug Resistance In Subject With P.falciparum And P.vivax Malaria In  Kalimantan And Sulawesi. Clinical data was gotten from anamnesis to identify clinical symptoms and physical examination including vital and clinical signs that was notified in case report form (CRF). Parasitological data was cross check examination from NIHRD microscopist for parasite density, and PCR examination result for Plasmodium detection and speciation that were recorded in log book and/or CRF. Clinical and parasitological response of DHP was examined with compared the condition of falciparum and vivax malaria on D0 (before treatment) and D3 (after 3 days treatment with completed dose). Result: Total malaria subject that were analyzed 206 subject, that were 119 falciparum malaria and 87 vivax malaria. Proportion subject falciparum and vivax malaria with clinical symptoms deceased significantly on D3 (p<0.05), accepted diarrhea on subject with vivax malaria. Proportion clinical signs also decreased significantly on D3, accepted dyspneu on falciparum malaria subject. From 206 malaria subject, only 1 subject (0,8%) with falciparum malaria that still was found asexual parasite with low density (10/ul). Proportion subject with gametocyte also decreased significantly on falciparum malaria (p=0,000) and vivax malaria (p=0,000). Conclusion: Clinical and parasitological response of DHP in falciparum and vivax subjects was excellent by D3. Only one falciparum malaria subject (0,8%) was still detected asexual parasitemia with the density of 10/ul.   DHP has rapid action and no clear  signs artemisinin resistance.AbstrakLatar belakang: Respon klinis dan parasitologis pengobatan malaria pada hari ke 3 kunjungan ulang (H3), merupakan keadaan yang penting untuk memprediksi keberhasilan pengobatan. H3 merupakan kurun waktu yang memungkinkan terjadinya kegagalan pengobatan dini (Early Treatment Failure) yang dapat megakibatkan malaria berat atau malaria dengan komplikasi. Selain itu apabila parasitemia masih terdeteksi pada H3 sebanyak ?10% dapat sebagai tanda sudah terjadi resisten parasit terhadap derivat artemisinin. Metode: Analisis menggunakan data Monitoring Pengobatan malaria dengan DHP di Kalimantan dan Sulawesi. Data klinis merupakan hasil anamnesis untuk mengidentifikasi gejala klinis, dan pemeriksaan fisik termasuk tanda vital dan tanda klinis yang tercatat di formulir rekam medis subyek. Sedangkan data parasitologis merupakan data hasil pemeriksaan cek silang mikroskopis untuk kepadatan parasit, dan hasil PCR untuk deteksi dan spesiasi Plasmodium yang tercatat di log book dan/atau di formulir rekam medis subyek. Respon klinis dan respon parasitologis DHP dinilai dengan membandingkan keadaan subyek malaria falsiparum dan malaria vivaks pada H0 (sebelum pengobatan) dengan H3 (pada hari setelah pengobatan dengan dosis lengkap 3 hari). Hasil: Jumlah subyek malaria yang dianalisis adalah 206 yaitu 119 malaria falsiparum dan 87 malaria vivaks. Gejala klinis subyek malaria falsiparum dan malaria vivaks yang mendapat pengobatan DHP berkurang proporsinya secara bermakna pada H3  (p<0,05),  kecuali diare pada subyek malaria vivaks. Demikian pula tanda klinis berkurang proporsinya secara bermakna pada H3  (p<0,05), kecuali  sesak nafas pada subyek malaria falsiparum. Dari total 206 subyek malaria, hanya satu kasus (0,8%) malaria falsiparum yang masih terdeteksi parasit aseksualnya dengan kepadatan rendah (10/ul).  Proporsi subyek dengan gametositemia juga menurun bermakna pada malaria falsiparum (p=0,000) dan malaria vivaks (p=0,000). Kesimpulan: Respon klinis dan parasitologis DHP pada subyek malaria falsiparum dan malaria vivaks sangat baik di H3. Hanya satu subyek malaria falsiparum (0,8%) yang  masih terdeteksi aseksual parasitemia dengan kepadatan 10/ul. DHP cepat kerjanya dan belum ada tanda yang jelas parasit resisten artemisinin
LEUKOPENIA SEBAGAI PREDIKTOR TERJADINYA SINDROM SYOK DENGUE PADA ANAK DENGAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI RSPI. Prof. dr. SULIANTI SAROSO Risniati, Yenni; Tarigan, Lukman Hakim; Tjitra, Emiliana
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 3 Sept (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i3 Sept.85.

Abstract

The development of DHF patient usually assessed base on clinical condition, platelet count and haematocrit value as the DSS indicators. While leukocyte count is irrespective though leucopenia is common in  viral infection. Therefore, further analysis was run to determine whether leucopenia could be as a predictor of DSS  This study was a  retrospective study with a case control (1:2) design using hospitalized children medical records from January 2006 to April 2008 at Prof. Dr. Sulianti Saroso Infectious Diseases Hospital. DSS cases were purposive sampling, and DHF controls were selected using simple random sampling. There  were 43 children diagnosed as DSS, and 86 diagnosed as DHF. By multivariate analysis, DHF subjects  with leucopenia showed 2.9 times higher risk to develop DSS than DHF subjects without leucopenia. ( 95% CI: 1.2-6.6). Increasing hematocrite was  found as a confounding variable  with  (ORa: 4.0 ; 95% CI: 1.7-9.5). As conclusion, leucopenia could be  a predictor of  progression DHF to DSS.AbstrakPerkembangan penyakit DBD umumnya dinilai dari kondisi klinis pasien, jumlah trombosit dan nilai hematokrit sebagai indikator. Jumlah leukosit seringkali diabaikan walaupun pada  infeksi virus biasanya disertai dengan leukopenia. Oleh sebab itu dilakukan analisis mendalam terhadap leukopenia sebagai prediktor terjadinya Sindroma Syok Dengue (SSD). Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan rancangan kasus kontrol (1:2) menggunakan  rekam medis subyek anak yang dirawat dari bulan Januari 2006-April 2008 di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso. Sampel kasus (SSD)dipilih secara purposif, sedangkan kontrol (DBD) ditentukan secara acak sederhana. Sampel  terdiri dari 43 SSD kasus dan 86 DBD sebagai kontrol. Dengan analisis multivariat logistic regression didapatkan subyek DBD dengan leukopenia mempunyai risiko mengalami SSD 2,9 (95% CI: 1,23-6,62) kali lebih besar dibandingkan subyek DBD tanpa leukopenia. Variabel yang menjadi konfounding adalah peningkatan nilai hematokrit (OR: 4,0 ; 95% CI: 1,68-9,50). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa leukopenia bisa dipakai sebagai prediktor terjadinya SSD pada anak dengan DBD.
DETEKSI DAN SPESIASI PARASIT MALARIA SAMPEL MONITORING PENGOBATAN DIHYDROARTEMISININ-PIPERAQUINE DI KALIMANTAN DAN SULAWESI: MIKROSKOPIS VS POLYMERASE CHAIN REACTION Herman, Reni; Ariyanti, Endah; Salwati, Ervi; -, Delima; Tjitra, Emiliana
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 3 Sept (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i3 Sept.91.

Abstract

In monitoring the treatment of malaria with Dihydroartemisinin-piperaquine (DHP), microscopic cross check and Polymerase Chain Reaction (PCR) performed to validate the results of laboratory examinations in the field. This study used finger prick samples from subjects with a diagnosis of malaria in monitoring the treatment of malaria with DHP in Kalimantan and Sulawesi. Samples taken at day 0, blood smears made on slides for microscopic and blood spot on filter paper for PCR examination. The PCR method used is a single-round multiplex polymerase chain reaction that has been modified, the examination of each species carried out in different tubes to distinguish the species P. falciparum or P. Vivax. Target of DNA amplification is a species-specific gene sequences in the small-subunit ribosomal RNA (SSUrRNA), 300 bp for P. falciparum and 276 bp for P.vivax.  P. falciparum and P.vivax identified in 229 samples of blood smears and blood spots. Microscopic and PCR gave the same results, positive 93.4% and negative 6.6% with a sensitivity of  99% and specificity 93.3%. P.falciparum sensitivity and specificity of 92% and 99%, P.vivax 97% and 94%, PCR as a gold standard. There are differences in the results of examination of 5 samples, ie with microscopic examination identified as P.vivax  while the PCR as P. falciparum. In this study, identification of  the microscopic parasite similar to the results of identification by PCR, but differ in determining the types of parasites. In general, the ability to microscopic diagnosis of malaria is very good, but confirmation by PCR is still needed.AbstrakPada monitoring pengobatan malaria  dengan Dihydroartemisinin-piperaquine (DHP),cek silang mikroskopis dan Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan untuk memvalidasi hasil pemeriksaan di laboratorium lapangan. Penelitian ini menggunakan sediaan darah jari dari subyek dengan diagnosis malaria pada monitoring pengobatan malaria dengan DHP di Kalimantan dan Sulawesi. Sampel diambil pada hari 0, dibuat sediaan apus darah pada kaca benda dan sediaan tetes darah (Blood spot) pada kertas saring. Terhadap sediaan apus darah dilakukan pemeriksaan mikroskopis, dan terhadap sediaan tetes darah dilakukan pemeriksaan PCR. Metode PCR yang digunakan adalah multiplex single round Polymerase Chain Reaction yang telah dimodifikasi, pemeriksaan masing-masing spesies dilakukan pada tabung yang berbeda untuk membedakan spesies P.falciparum atau P. Vivax. Target amplifikasi DNA adalah gen species-specific sequences pada small-subunit ribosomal RNA (SSUrRNA), 300 bp untuk P.falciparum dan P.vivax. P.falciparum dan P.vivax diidentifikasi pada 229 sampel berupa sediaan apus darah pada kaca benda dan blood spot. Hasil identifikasi dengan mikroskopis dan PCR, sampel positif 93,4% dan negatif 6,6% dengan  sensitifitas 99% dan spesifisitas 93,3%. Sensitifitas dan spesifisitas P.falciparum adalah 92% dan 99%, P.vivax 97% dan 94%, dihitung dengan PCR sebagai baku standar. Terdapat perbedaan hasil pemeriksaan terhadap 5 sampel, yaitu dengan pemeriksaan mikroskopis diidentifikasi sebagai P.vivax sementara pada pemeriksaan PCR sebagai P.falciparum. Pada penelitian ini, hasil identifikasi parasit dengan mikroskopis sama dengan hasil identifikasi dengan PCR, namun berbeda pada penentuan jenis parasit. Secara umum kemampuan tenaga mikroskopis pusat untuk menegakkan diagnosis malaria sudah sangat baik, namun untuk penentuan jenis Plasmodium masih memerlukan konfirmasi PCR.