Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

State and Islamic Law: A Study of Legal Politics on Zakat as a Tax Deduction in Aceh Mahdi Syahbandir; Wais Alqarni; Syahrizal Abbas; Bukhari Ali; Fauzan Samad
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 22, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v22i1.26200

Abstract

This study examines zakat (obligatory charity) as a tax deduction in Aceh. Currently, the existing legal rule stipulates that zakat paid by muzakkī (zakat payers) to the National Zakat Board (BAZNAS) and Zakat Official Institution (LAZ) is deducted from taxable income. However, this rule has not been applied since there is no Government Regulation. This empirical legal study used a statutory approach, analyzing the point of view of legal politics theory. This study concludes that the State and Islamic Law in Aceh are closely related to the political context of Indonesian law. The government regulations from the Old Order to the Reform Era related to Islamic Law or Muslims have been greatly influenced by political configurations. When the configuration is democratic, the legal character embraces democratic values and vice versa. As a result, the legal regulations regarding zakat have not yet been enforced due to the strong political configuration. However, referring to the arguments and logic of legal politics that the government is democratic towards the aspirations in Aceh, the Governmental Regulation Draft/Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) for Zakat as Tax Deduction will strengthen the previous legal rule, stipulating zakat as a tax deduction factor. The unification of zakat and taxes in one legal instrument by the government, which has political and structural authority, will be able to realize justice and economic and social welfare of the community as the primary goal of zakat.   AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengkaji zakat sebagai faktor pengurang pajak di Aceh. Berdasarkan aturan hukum yang ada bahwa zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Namun sampai saat ini aturan ini belum teraplikasi karena belum ada Peraturan Pemerintah. Kajian ini merupakan studi hukum empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, dianalisis dari sudut teori politik hukum. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hubungan antara agama, negara, dan hukum Islam di Aceh memiliki kaitan yang erat dengan konteks politik hukum Indonesia secara umum. Aturan pemerintah yang terkait dengan hukum Islam atau umat Islam sejak masa orde lama bahkan sampai reformasi dipengaruhi oleh konfigurasi politik, jika konfigurasinya demokratis maka karakter hukumnya juga demokratis begitu juga sebaliknya. Karena itu, aturan hukum tentang zakat tersebut sampai saat ini masih belum dapat diberlakukan karena kuatnya konfigurasi politik. Mengacu pada argumen dan logika politik hukum, pemerintah bersikap demokratis terhadap aspirasi di Aceh dengan membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Zakat sebagai Pengurangan Pajak yang akan menguatkan aturan hukum sebelumnya, yaitu zakat sebagai faktor pengurang pajak. Penyatuan zakat dan pajak dalam satu instrumen hukum oleh pemerintah yang memiliki kewenangan politik dan struktural akan dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat sebagai tujuan utama zakat.
PATTERN OF NAZHIR WAKF DEVELOPMENT IN THE CITY OF BANDA ACEH Husni Abdul Jalil; Bukhari Ali; Al Muzammir Saputra
Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 12, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/dusturiyah.v12i1.12371

Abstract

ABSTRACT Based on waqf regulations in Indonesia, Nazhir waqf is entitled to receive guidance from the government (central Ministry of Religion, Regional Office of the Ministry of Religion, Regency/City Ministry of Religion and KUA) and the Indonesian Waqf Board. However, the waqf regulations in Indonesia do not regulate the pattern of development. This study examines how the pattern of coaching Nazhir in the city of Banda Aceh. The method used in this research is a qualitative method that is a field study or empirical and the focus of the study is the role of the government in fostering Nazhir in the city of Banda Aceh. The results of the study show that the pattern of Nazhir's development in the city of Banda Aceh is a formal and informal pattern. Formal patterns such as seminars, workshops and training. Meanwhile, informal patterns such as at the time of sermons, religious lectures, at the momentum of the handover of Nazhir's decree, the participants were very limited and attended by participants other than Nazhir waqf.
Otoritas Ijtihad dalam Kajian Hukum Islam (Analisis Kaedah Fikih al-ijtihadu la yunqadhu bi al-ijtihadi) Bukhari Ali
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 4, No 1 (2021): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v4i1.9246

Abstract

Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapioleh umat Islam. Namun, tidak semua persoalan yang timbul di masyarakat termuat secara detail dalam Kitab Suci umat Islam tersebut maupun dalam hadits. Hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits kebanyakan bersifat global. Selain itu, ada perbedaan kondisi antara masa turunnya Al-Qur’an dan Hadits dengan kehidupan modern, karena kebudayaan Islam terus berkembang dari waktu ke waktu dengan segala probematika dan masalahnya sesuai dengan perkembangan zaman. Timbulnya berbagai masalah baru menghendaki kehadiran aturan-aturan yang baru pula dalam Islam. Untuk memecahkan persoalan ini, para ulama berusaha mencurahkan segala daya upayanya untuk berijtihad menetapkan hukum dengan menggunakan metode-metode tertentu, termasuk menggunakan al-Qawā’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh). Al-Qawā’id al-Fiqhiyah disusun untuk mempermudah memahami masalah-masalah partikular (juz’iyyat) dan kasus-kasus yang serupa (al-asybah wa al-nazhā-ir) di dalam menentukan hukum suatu perkara. Kaidah tersebut diproduksi dari perbuatan-perbuatan mukallaf yang telah ada hukumnya. Apabila dianggap sudah sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits (menjadi kaidah yang mapan & akurat), maka para ulama menggunakan kaidah-kaidah tersebut dalam menjawab berbagai persoalan hukum yang berkembang di masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Tulisan ini akan mengangkat salah satu contoh kaidah fiqh, yakni: الاءجتهاد لا ينقض بالاءجتهاد(ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang lain).
The Position of Non-Muslims in the Implementation of Islamic Law in Aceh, Indonesia Mursyid Djawas; Andi Sugirman; Bukhari Ali; Muqni Affan; Idham Idham
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 23, No 1 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v23i1.32127

Abstract

The position of non-Muslims living alongside Muslims is evident in the history of Islamic law. Since the time of the Prophet, Companions and governments after non-Muslims lived peacefully and were protected. However, when Muslim countries formed nation-states, several problems arose, including their position as citizens, including in Indonesia, especially in Aceh, which formally applied Islamic law. This study is an empirical legal study that examines the implementation of Islamic law in society by using legal and political theory. The data used is a literature study examining several Sharia courts' decisions in Aceh; Banda Aceh, Sabang, Meulaboh, Kutacane, Takengon, and Singkil. This study concludes that non-Muslims chose to concentrate after implementing the Islamic shari'a qanun. According to them, Qanun Jinayat is more efficient, affordable, effective, and quick in resolving problems. It has been proven in several cases, such as maysir, khalwat (ikhtilāṭ), khamr, and sexual harassment. Therefore, in legal politics, Islamic sharia and Qanun Jinayat, born from a democratic legal configuration, give birth to laws that are fair and equal and do not discriminate against non- Muslims. In several cases above, non-Muslims voluntarily chose to devote themselves to Islamic law.  Abstrak: Kedudukan non-Muslim yang hidup berdampingan dengan umat Islam sejatinya sudah jelas dalam sejarah hukum Islam. Sejak masa Nabi, Sahabat dan pemerintahan sesudah non muslim hidup secara damai dan dilindungi. Namun demikian ketika negera-negara Muslim membentuk sebagai negara bangsa timbul beberapa persoalan, diantaranya kedudukannya sebagai warga negara, termasuk di Indonesia, apalagi di Aceh yang menerapkan hukum Islam secara formal. Kajian ini merupakan studi hukum empiris yakni menelaah implementasi hukum Islam dalam masyarakat dengan menggunakan teori politik hukum. Data yang digunakan adalah studi literature dan menelaah beberapa putusan mahkamah syariat di Aceh; Banda Aceh, Sabang, Meulaboh, Kutacane, Takengon dan Singkil. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pasca penerapan qanun syariat Islam, non muslim justru memilih untuk me- nundukkan diri. Menurut mereka, Qanun Jinayat lebih efisien, terjangkau, efektif, dan cepat dalam menyelesaikan masalah. Terbukti dalam beberapa kasus seperti maisir, khalwat (ikhtilāṭ), khamar, dan pelecehan seksual. Karena itu, dalam konteks politik hukum, syariat Islam dan qanun jinayat yang lahir dari konfigurasi hukum yang demokratis melahirkan hukum yang adil dan setara tidak diskriminatif termasuk kepada non-Muslim. Non-muslim pada sejumlah kasus di atas, memilih untuk menundukkan diri kepada syariat Islam secara sukarela.  
Practices of the I'adah Zuhur after Friday Prayers in Aceh Besar District: An Analysis with the perspectives of Islamic Law Approaches Salman Abdul Muthalib; Furqan Amri; Bukhari Ali
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 5, No 1 (2021)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v5i1.8401

Abstract

This study discusses the practice of i'adah dzuhur after the Friday Prayers in Aceh Besar. I'adah dzuhur is carried out by some people as they see that the performance of Friday Prayers is considered to have ignored several conditions. This leads to some people’s decisions to re-perform the dzuhur prayer. This fact encourages the author to explore reasons that some people consider carrying out the i'adah dzuhur after Friday prayers. In addition, the performance is i'adah dzuhur was also driven by perspectives of Muslim scholars graduated from Islamic traditional boarding schools suggesting that the performance of Friday praying has yet to meet certain level of validity. This study is an empirical juridicial study using the Islamic legal approach. The data for the study was collected through interviews, observation and document analysis. In addition, the data was analyzed using qualitative data analysis procedures. The results showed that the performance of Friday prayers in Aceh Besar has met the rules as mandated in the fiqh. However, some people in Aceh Besar are cautious on the eligibility of the Friday prayer performances. This caution is in regard with the two requirements for the validity of Friday: First, the location between mosques should be adjacent with each other. Second, there should be the minimum number of 40 Friday prayer congregations, and all of them should be well educated on the nature of Friday prayers. As a result of being unsure about the fulfillment of these two conditions and caution (ihtiyati), some people perform the i'adah dzuhur after Friday. Such communal understanding is influenced by the alumni of Islamic traditional Boarding schools (dayah) due to several factors. First, the emergence of Islamic figures from the traditional Islamic boarding school; second, the alumni has been active in various socio-religious activities, and third, the alumni have gained some charisma.
TANGGUNG JAWAB BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM PENGESAHAN SERTIFIKAT GANDA DITINJAU DARI SIYASAH DUSTURIYAH (Studi Penelitian Kantor Wilayah Provinsi Aceh) Basrul Gunadi; Bukhari Ali; Riza Afrian Mustaqim
As-Siyadah : Jurnal Politik dan Hukum Tata Negara Vol 1 No 1 (2022): September As-Siyadah : Jurnal Politik dan Hukum Tata Negara
Publisher : Prodi Hukum Tata Negara (Siyasah)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (604.616 KB)

Abstract

Pendaftaran tanah di Indonesia bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak sebidang tanah, sehingga pemegang sertifikat mempunyai tanda bukti hak yang kuat. Namun pada faktanya masih banyak yang terjadi permasalahan dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah, yaitu permasalahan sertifikat dengan kepemilikan ganda yang diterbitkan oleh BPN, dimana satu bidang tanah dikuasai oleh dua pemilik yang berbeda. Metode penelitian yang digunakan metode penelitian kualitatif yang tergolong dalam penelitian lapangan (field research), yang bersifat deskriptif analisis yang bersumber dari data primer melalui wawancara dan data sekunder dengan mengadakan studi kepustakaan (library research) berupa peraturan, buku, dan karya ilmiah lainnya. Perumusan masalah dalam skripsi ini ialah pertama, bagaimana tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional dalam pengesahan sertifikat ganda dan yang kedua, bagaimana pandangan siyasah dusturiyah terhadap pertanggungjawaban BPN dalam pengesahan sertifikat ganda. Dimana BPN menerbitkan sebuah sertifikat sebagai tanda bukti hak atas sebidang tanah akan tetapi mengalami kecacatan pada bagian status kepemilikan karena terdapat dua kepemilikan sertifikat dengan tanah yang sama. Pandangan siyasah dusturiyah mengenai pertanggungjawaban BPN terhadap sertifikat ganda bahwasanya Badan Pertanahan Nasional tidak bertanggungjawab atas sertifikat yang digandakan sementara islam menerangkan setiap manusia memiliki tanggung jawab terhadap dirinya, keluarga dan negara.